Rabu, 29 Februari 2012
Kunjungan Obama dan Pemberantasan Terorisme
Oleh: Imam Mustofa
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (IKAPPUII)
Pemberantasan aksi terorisme di Indonesia menampakkan kemajuan yang signifikan. Satu demi satu gembong teroris yang selama ini menjadi buronan kepolisian Indonesia dan bahkan menjadi buronan Internasional, termasuk Amerika Serikat telah berhasil ditumpas.
Setelah dedengkot teroris Dr Azahari, Noor Din M. Top, Urwah, dan Syaifuddin Jaelani, pada tanggal 9 Maret 2010 Dulmatin, tokoh teroris berpengaruh berhasil ditembak mati oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror. Dulmatin alias Mansyur alias Joko Pitono yang menggunakan nama samaran Yahya Ibrahim adalah pembuat detonator bom di Bali pada 2002 dan di Hotel JW Marriott, Jakarta, pada 2003. Dia ahli membuat pemicu bom dan pernah berperang di Afganistan (Koran Tempo 10/3/10).
Sebelumnya, pada tanggal 4-6 Maret aparat Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-teror Mabes Polri telah berhasil menangkap sejumlah teroris di Aceh Besar. Dalam penyergapan tersebut Polri harus rela kehilangan tiga perajuritnya karena terbunuh tertembus peluru sang teroris.
Terbunuhnya Dulmatin bukan hanya menjadi berita yang menghebohkan Indonesia, tatapi juga dunia Internasional. Hal ini karena Dulmatin memang termasuk teroris kelas kakap yang menjadi buronan internasional, terutama Amerika Srikat. Maka wajar apabila berita terbunuhnya Dulmatin oleh tim Densus 88 Mabes Polri disampaikan Peresiden SBY yang sedang mengadakan kunjungan ke Australia. SBY menyampaikan berita tersebut pada saat memberikan sambutan dalam jamuan makan siang dengan anggota Parlemen negeri Kangguru tersebut.
Menariknya, prestasi yang ditorehkan Densus 88 Anti-teror dalam pemberantasan terorisme tersebut menjelang kunjungan Presiden Amerika Srikat, Barack Hussein Obama. Presiden ke-44 AS tersebut dijadwalkan akan datang ke Indonesia tanggal 20 hingga 22 Maret. Rencananya, Obama akan membawa istrinya, Michelle, dan kedua putrinya, Malia dan Sasha. Pemerintah RI telah mengadakan persiapan sedemikian rupa untuk menyambut kedatangan presiden Negara adidaya tersebut, terutama aspek keamanan.
Secara psikologis tentunya prestasi Polri dalam menangkap para pelaku teror, khususnya Dulmatin tersebut bepengaruh pada kepercayaan Pemerintah AS terhadap kemampuan Indonesia dalam malakukan perang terhadap terorisme. Apalagi Dulamtin merupakan salah satu tokoh teroris yang paling dicari oleh AS, sampai-sampai mereka bersumpah akan memberikan hadiah US$ 10 juta (sekitar Rp 92,7 miliar) bagi pembekuknya.
Perang melawan terorisme merupakan salah satu kebijakan luar negeri AS yang cukup dominan pada dekade terakhir. Penambahan pasukan AS sebanyak 35.000 personel yang dilakukan oleh AS di bawah pemerintahan Obama juga dalam rangka mempercepat proses penumpasan kelompok Taliban yang mereka klaim sebagai teroris yang mengancam kepentingan AS di wilayah tersebut. Pemerintah AS juga telah menggelontorkan dana yang cukup besar dalam perang melawan teororisme global yang sering disebut Global War on Terrorism (G-WOT).
Terkait dengan kebijakan perang melawan terorsme global, kunjungan Obama menunjukkan pentingnya posisi Indonesia di mata AS. Dengan kunjungan ini Amerika akan semakin meningkatkan kerja sama dengan Indonesia dalam berperang melawan terorisme global. AS memang sangat membutuhkan peran Indonesia dalam perang melawan teroris, hal ini karena Indonesia merupakan Negara dengan penduduk muslim terbesar di Dunia.
Diakui atau tidak, pada dasarnya munculya gerakan terorisme, khususnya yang mengatasnamakan agama beberapa dekade terakhir merupakan sebagai reaksi terhadap ketidakadilan dan standar ganda yang diterapkan oleh AS. AS dan para sekutunya bertindak diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu sebagai bentuk ketidakadilan global yang terjadi di banyak Negara, khususnya Negara muslim. Hal ini juga yang memupuk rasa kebencian kalangan Islam Fundamentalis terhadap Barat, terutama Amerika.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada paradoks mengenai isu terorisme dan wacana fundamentalisme Islam. Dalam hal ini AS menerapkan standar ganda dalam politik internasional. Di satu sisi ia menjadi "panglima" perang melawan terorisme, selalu mencurigai dan menekan kalangan fundamentalis Islam, namun di sisi lain ia mendukung tindakan terorisme.
Aksi terorisme muncul dengan berbagai latar belakang, politik, ekonomi dan ideologi. Oleh karena itu penanggulangannya jangan hanya menggunakan pendekatan kekerasan atau militer, tapi juga harus menggunakan berbagai pendekatan dan langkah termasuk pendekatan persuasif, pendekatan ideologi, politik dan terlebih pendekatan ekonomi.
Kedatangan Obama dengan berbagai agenda dan rencana kerjasama, semoga membawa dampak yang positif dalam kerangka hubungan AS dan Negara-negara Muslim. Khusus dalam kerangka pemberantasan terorisme, kiranya SBY sebagai presiden RI yang merupakan Negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia kiranya dapat meningkatkan kerjasama dengan AS sebagai komandan Perang anti-teror, untuk lebih menggunakan pendekatan persuasif. Hal ini dilakukan untuk menanggulangi terorisme tidak dalam tataran aksinya saja, akan tetapi akar masalah, sebab-musabab dan dapat menyelesaikan masalah yang melatarbelakangi aksi teorisme di muka bumi ini.
Setelah dedengkot teroris Dr Azahari, Noor Din M. Top, Urwah, dan Syaifuddin Jaelani, pada tanggal 9 Maret 2010 Dulmatin, tokoh teroris berpengaruh berhasil ditembak mati oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror. Dulmatin alias Mansyur alias Joko Pitono yang menggunakan nama samaran Yahya Ibrahim adalah pembuat detonator bom di Bali pada 2002 dan di Hotel JW Marriott, Jakarta, pada 2003. Dia ahli membuat pemicu bom dan pernah berperang di Afganistan (Koran Tempo 10/3/10).
Sebelumnya, pada tanggal 4-6 Maret aparat Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-teror Mabes Polri telah berhasil menangkap sejumlah teroris di Aceh Besar. Dalam penyergapan tersebut Polri harus rela kehilangan tiga perajuritnya karena terbunuh tertembus peluru sang teroris.
Terbunuhnya Dulmatin bukan hanya menjadi berita yang menghebohkan Indonesia, tatapi juga dunia Internasional. Hal ini karena Dulmatin memang termasuk teroris kelas kakap yang menjadi buronan internasional, terutama Amerika Srikat. Maka wajar apabila berita terbunuhnya Dulmatin oleh tim Densus 88 Mabes Polri disampaikan Peresiden SBY yang sedang mengadakan kunjungan ke Australia. SBY menyampaikan berita tersebut pada saat memberikan sambutan dalam jamuan makan siang dengan anggota Parlemen negeri Kangguru tersebut.
Menariknya, prestasi yang ditorehkan Densus 88 Anti-teror dalam pemberantasan terorisme tersebut menjelang kunjungan Presiden Amerika Srikat, Barack Hussein Obama. Presiden ke-44 AS tersebut dijadwalkan akan datang ke Indonesia tanggal 20 hingga 22 Maret. Rencananya, Obama akan membawa istrinya, Michelle, dan kedua putrinya, Malia dan Sasha. Pemerintah RI telah mengadakan persiapan sedemikian rupa untuk menyambut kedatangan presiden Negara adidaya tersebut, terutama aspek keamanan.
Secara psikologis tentunya prestasi Polri dalam menangkap para pelaku teror, khususnya Dulmatin tersebut bepengaruh pada kepercayaan Pemerintah AS terhadap kemampuan Indonesia dalam malakukan perang terhadap terorisme. Apalagi Dulamtin merupakan salah satu tokoh teroris yang paling dicari oleh AS, sampai-sampai mereka bersumpah akan memberikan hadiah US$ 10 juta (sekitar Rp 92,7 miliar) bagi pembekuknya.
Perang melawan terorisme merupakan salah satu kebijakan luar negeri AS yang cukup dominan pada dekade terakhir. Penambahan pasukan AS sebanyak 35.000 personel yang dilakukan oleh AS di bawah pemerintahan Obama juga dalam rangka mempercepat proses penumpasan kelompok Taliban yang mereka klaim sebagai teroris yang mengancam kepentingan AS di wilayah tersebut. Pemerintah AS juga telah menggelontorkan dana yang cukup besar dalam perang melawan teororisme global yang sering disebut Global War on Terrorism (G-WOT).
Terkait dengan kebijakan perang melawan terorsme global, kunjungan Obama menunjukkan pentingnya posisi Indonesia di mata AS. Dengan kunjungan ini Amerika akan semakin meningkatkan kerja sama dengan Indonesia dalam berperang melawan terorisme global. AS memang sangat membutuhkan peran Indonesia dalam perang melawan teroris, hal ini karena Indonesia merupakan Negara dengan penduduk muslim terbesar di Dunia.
Diakui atau tidak, pada dasarnya munculya gerakan terorisme, khususnya yang mengatasnamakan agama beberapa dekade terakhir merupakan sebagai reaksi terhadap ketidakadilan dan standar ganda yang diterapkan oleh AS. AS dan para sekutunya bertindak diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu sebagai bentuk ketidakadilan global yang terjadi di banyak Negara, khususnya Negara muslim. Hal ini juga yang memupuk rasa kebencian kalangan Islam Fundamentalis terhadap Barat, terutama Amerika.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada paradoks mengenai isu terorisme dan wacana fundamentalisme Islam. Dalam hal ini AS menerapkan standar ganda dalam politik internasional. Di satu sisi ia menjadi "panglima" perang melawan terorisme, selalu mencurigai dan menekan kalangan fundamentalis Islam, namun di sisi lain ia mendukung tindakan terorisme.
Aksi terorisme muncul dengan berbagai latar belakang, politik, ekonomi dan ideologi. Oleh karena itu penanggulangannya jangan hanya menggunakan pendekatan kekerasan atau militer, tapi juga harus menggunakan berbagai pendekatan dan langkah termasuk pendekatan persuasif, pendekatan ideologi, politik dan terlebih pendekatan ekonomi.
Kedatangan Obama dengan berbagai agenda dan rencana kerjasama, semoga membawa dampak yang positif dalam kerangka hubungan AS dan Negara-negara Muslim. Khusus dalam kerangka pemberantasan terorisme, kiranya SBY sebagai presiden RI yang merupakan Negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia kiranya dapat meningkatkan kerjasama dengan AS sebagai komandan Perang anti-teror, untuk lebih menggunakan pendekatan persuasif. Hal ini dilakukan untuk menanggulangi terorisme tidak dalam tataran aksinya saja, akan tetapi akar masalah, sebab-musabab dan dapat menyelesaikan masalah yang melatarbelakangi aksi teorisme di muka bumi ini.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post, Senin, 25 Maret 2010
Label:
ARTIKEL ILMIAH
KULTUR PERBUDAKAN DAN NASIB
Oleh: Imam Mustofa
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Penyikasaan dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh sebagian Tenaga Kerja Indonesia yang sering muncul selama ini hanyalah sebagin kecil dari fakta yang terungkap dan tercium oleh media. Hal ini terjadi karena para majikan, khususnya di Arab Saudi sering mengisolir pembantu, khususnya wanita dari dunia luar. Perlakuan semacam ini karena adanya kultur patriarki masih tersisanya kultur perbudakan di masyarakat Arab.
Kultur Arab jahiliyah, atau sebelum datangnya Islam sangat merendahkan wanita. Wanita bisa diwariskan, bisa diperjualbelikan, bahkan mempunyai anak wanita merupakan aib di masyarakat Arab, sehingga apabila seorang bayi yang lahir wanita maka dikubur hidup-hidup.
Islam datang dengan ajaran yang mensejajarkan semua manusia di dalam kehidupan masyarakat. Islam berusaha mengangkat harkat dan martabat wanita, hanya saja ada kalangan yang menafsirkan teks-teks agama atau ajaran Islam, bahwa Islam memberi porsi dan domain yang berbeda antara pria dan wanita. Domain yang berbeda ini dipahami dan disalahgunakan untuk memperlakukan wanita tidak selayaknya. Pemahaman ini tidak jarang dijadikan legitimasi untuk melanjutkan budaya patriarki di masyarakat Arab. Inilah yang menjadi salah satu sulitnya menghapsukan kultur perbudakan di kalangan Bangsa Arab.
Hal di atas harus dimaklumi, karena suatu kultur atau budaya pada dasarnya adalah eksistensi dari sebuah masyarakat. Ia mengakar dan menyatu serta tumbuh dengan perkembangan masyaraat yang bersangkutan. Jadi, meskipun berbagai upaya dilakuan untuk menghilangkan sebuah kultur, masih saja ada sisa paradigma yang dipegangi oleh masyarakat tersebut. Begitu juga dengan kultur perbudakan di kalangan bangsa Arab, ia susah dihilangkan secara total, meskipun dengan ajaran rahmatan lil 'alamin yang dibawa Islam melalui Nabi Muhammad saw.
Bukan hanya Islam yang berusaha menghapuskan perbudakan dari muka bumi. Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organisasi bangsa-bangsa dimuka bumi ini juga membuat aturan yang melarang praktik perbudakan. Namun demikian, di dunia modern seperti sekarang ini, peraturan hanya sekedar peraturan, peraturan dan kesepakatan hanya di atas kertas. Pada parktiknya, tidak jarang para pekerja dan pembantu diperlakukan tidak manusiawi melebihi perlakuan terhadap budak.
Kultur patriarki dan perbudakan di atas berimplikasi terhadap perlakuan para majikan di Arab Saudi kepada para TKW. Para TKW sering menjadi korban penganiayaan, penyiksaan dan bahkan pembunuhan.
Pemerintah sebagai stake holder sampai saat ini juga belum mempunyai solusi konkret dan sistematis untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Pemerintahan dan pejabat silih berganti, menteri berganti menteri namun penyiksaan yang dialami oleh sebagian pahlawan divisa masih saja terus terjadi.
Presiden sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus kepala negara hanya selalu bereaksi setelah ada pristiwa yang memilukan yang menimpa warga negaranya yang menjadi TKI. Reaksi terbaru adalah dengan menawarkan solusi untuk membekali hand phone kepada para TKI yang akan berangkat ke luar negeri. Seharusnya ada upaya yang sifatnya antisipatif dan kontinyu agar tidak ada lagi penyiksaan terhadap warga Negara Indonesia yang mengadu nasib di luar negeri.
Salah satu faktor penting yang menyebabkan tindakan semena-mena kepada para TKI di luar negeri adalah posisi tawar Indoneisa yang sangat lemah di kancah pergaulan dan politik global. Harus diakui, di mata Malaysia saja Indonesia tidak terlalu diperhitungkan dan dihargai.
Oleh karena budaya patriarki dan perbudakan yang masih dipegangi oleh masyarakat modern, khususnya di Arab Saudi yang berimplikasi pada perlakuan tidak manusiawi terhadap TKW, maka harus ada langkah solutif dari para stake holder untuk mengatasinya. Harus ada upaya sistematis, praktis kontinyu dan bukan hanya sekedar wacana untuk menghapuskan perlakuan tidak manusiawi terhap TKI, khususnya TKW. Political will pemerintah untuk memperjuangkan nasib TKI harus direalisasikan dengan langkah nyata agar para pahlawan devisa dapat diperlakukan sebagai layaknya manusia, tidak ada lagi berita penyiksaan apa lagi pembunuhan terhadap TKI yang mengadu nasib di luar negeri.
Kultur Arab jahiliyah, atau sebelum datangnya Islam sangat merendahkan wanita. Wanita bisa diwariskan, bisa diperjualbelikan, bahkan mempunyai anak wanita merupakan aib di masyarakat Arab, sehingga apabila seorang bayi yang lahir wanita maka dikubur hidup-hidup.
Islam datang dengan ajaran yang mensejajarkan semua manusia di dalam kehidupan masyarakat. Islam berusaha mengangkat harkat dan martabat wanita, hanya saja ada kalangan yang menafsirkan teks-teks agama atau ajaran Islam, bahwa Islam memberi porsi dan domain yang berbeda antara pria dan wanita. Domain yang berbeda ini dipahami dan disalahgunakan untuk memperlakukan wanita tidak selayaknya. Pemahaman ini tidak jarang dijadikan legitimasi untuk melanjutkan budaya patriarki di masyarakat Arab. Inilah yang menjadi salah satu sulitnya menghapsukan kultur perbudakan di kalangan Bangsa Arab.
Hal di atas harus dimaklumi, karena suatu kultur atau budaya pada dasarnya adalah eksistensi dari sebuah masyarakat. Ia mengakar dan menyatu serta tumbuh dengan perkembangan masyaraat yang bersangkutan. Jadi, meskipun berbagai upaya dilakuan untuk menghilangkan sebuah kultur, masih saja ada sisa paradigma yang dipegangi oleh masyarakat tersebut. Begitu juga dengan kultur perbudakan di kalangan bangsa Arab, ia susah dihilangkan secara total, meskipun dengan ajaran rahmatan lil 'alamin yang dibawa Islam melalui Nabi Muhammad saw.
Bukan hanya Islam yang berusaha menghapuskan perbudakan dari muka bumi. Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organisasi bangsa-bangsa dimuka bumi ini juga membuat aturan yang melarang praktik perbudakan. Namun demikian, di dunia modern seperti sekarang ini, peraturan hanya sekedar peraturan, peraturan dan kesepakatan hanya di atas kertas. Pada parktiknya, tidak jarang para pekerja dan pembantu diperlakukan tidak manusiawi melebihi perlakuan terhadap budak.
Kultur patriarki dan perbudakan di atas berimplikasi terhadap perlakuan para majikan di Arab Saudi kepada para TKW. Para TKW sering menjadi korban penganiayaan, penyiksaan dan bahkan pembunuhan.
Pemerintah sebagai stake holder sampai saat ini juga belum mempunyai solusi konkret dan sistematis untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Pemerintahan dan pejabat silih berganti, menteri berganti menteri namun penyiksaan yang dialami oleh sebagian pahlawan divisa masih saja terus terjadi.
Presiden sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus kepala negara hanya selalu bereaksi setelah ada pristiwa yang memilukan yang menimpa warga negaranya yang menjadi TKI. Reaksi terbaru adalah dengan menawarkan solusi untuk membekali hand phone kepada para TKI yang akan berangkat ke luar negeri. Seharusnya ada upaya yang sifatnya antisipatif dan kontinyu agar tidak ada lagi penyiksaan terhadap warga Negara Indonesia yang mengadu nasib di luar negeri.
Salah satu faktor penting yang menyebabkan tindakan semena-mena kepada para TKI di luar negeri adalah posisi tawar Indoneisa yang sangat lemah di kancah pergaulan dan politik global. Harus diakui, di mata Malaysia saja Indonesia tidak terlalu diperhitungkan dan dihargai.
Oleh karena budaya patriarki dan perbudakan yang masih dipegangi oleh masyarakat modern, khususnya di Arab Saudi yang berimplikasi pada perlakuan tidak manusiawi terhadap TKW, maka harus ada langkah solutif dari para stake holder untuk mengatasinya. Harus ada upaya sistematis, praktis kontinyu dan bukan hanya sekedar wacana untuk menghapuskan perlakuan tidak manusiawi terhap TKI, khususnya TKW. Political will pemerintah untuk memperjuangkan nasib TKI harus direalisasikan dengan langkah nyata agar para pahlawan devisa dapat diperlakukan sebagai layaknya manusia, tidak ada lagi berita penyiksaan apa lagi pembunuhan terhadap TKI yang mengadu nasib di luar negeri.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post, 22 Nopember 2010
Label:
ARTIKEL ILMIAH
KRITIK TOKOH AGAMA
Oleh: Imam Mustofa
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Mahasiswa Unggulan
Universitas Islam Indonesia)
Universitas Islam Indonesia)
Munculnya kritik dari tokoh lintas agama terhadap pemerintah saat ini menunjukkan betapa perhatian mereka terhadap permasalahan bangsa. Terlepas dari motif dan tendensi yang berada di balik kritik dan gerakan mereka, yang jelas, semua pihak berhak mengemukakan pendapat dan kritik terhadap pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Karena kebebasan berpendapat memang mendapat jaminan dan perlindungan dari konstitusi negara. Terlebih jika terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan negara.
Ada pihak yang menyatakan bahwa para tokoh agama telah menyeret umat pada pusaran arus politik. Pernyataan ini menurut penulis kurang tepat. Walau bagaimana pun apa yang dilakukan oleh para tokoh agama adalah menyambung lidah rakyat. Apa yang mereka sampaikan adalah demi tegaknya kemashlahatan umat dan negara, demi kesejahteraan rakyat.
Lalu mengapa para tokoh lintas agama sampai turun gunung menyampaikan kritik terhadap pemerintah? Karena diakui atau tidak, wakil mereka di parlemen yang seharusnya menjadi tumpuan harapan, selama ini kurang memperhatikan kehendak dan aspirasi mereka. Selain itu, bukankah kita tahu dan paham bahwa rakyat Indonesia adalah umat beragama, yang selain mempinyai pemimpin formal, mereka juga mempunyai pemimpin non formal. Mereka adalah warga negara dan sekaligus umat beragama. Jadi wajar apabila pemimpin nonformal mereka melakukan pembelaan ketika aspirasi dan hak mereka kurang diperhatikan oleh pemimpin formal, yaitu presiden sebagai kepala pemerintahan.
Tokoh agama merupakan pemimpin nonformal yang pengaruhnya bisa jadi melebihi pemimpin formal seperti presiden. Terlebih kepemimpinan presiden telah menyimpang dari janji dan amanah konstitusi serta menyayat rasa keadilan dalam luka-luka nurani rakyat yang telah lama mendambakan kesejahteraan. Rakyat telah jenuh dan bahkan frustasi dengan problem-problem dan krisis multidimensi, khusunya krisis moral yang melanda sebagian besar penyelenggara negara.
Memang harus diakui bahwa agama berada dan "beroperasi" pada wilayah sakral, pada ranah moral spirit berbangsa dan bernegara. Namun demikian, ketika muncul kemungkaran bangsa secara masif dan terorganisir dengan barisan mafia perusak negara yang merasuk ke seluruh persendian negara, maka tokoh agama sebagai penjaga moral bangsa harus turun gunung untuk memberikan sumbangan pencerahan kepada para pemegang amanat rakyat, para penyelenggara negara. Kita tidak perlu curiga bahwa wacana, kritik dan gerakan mereka bertujuan politis, apalagi sampai menurunkan paksa pemerintahan yang sah, kecuali memang terpaksa harus dilakukan karena kebandelannya.
Sampai saat ini wakil rakyat banyak yang tidak berdaya menghadapi tekanan dan tarik ulur kepentingan. Selain itu, tidak sedikit dari mereka yang lebih mengutamakan kesejahteraan diri, keluarga, kelompok dan partai. Karena pada kenyataannya mereka lebih merepresentasikan perwakilan partai daripada perwakilan rakyat. Lebih dari itu, chek and balances antara lembaga eksekutif dan yudikatif yang bersifat formal politis tidak jarang malah menjadi celah untuk melakukan transaksi politik demi keamanan dan keselamatan jabatan masing-masing.
Ketika hukum sebagai jaring terluar pengawal moral bangsa tidak dapat membendung kemungkaran dan penyelewengan penyelenggaraan negara dan pengembanan amanah rakyat, maka pertahanan terakhir, pertahanan tertinggi, pengawal moral, tokoh agama harus turun tangan. Karena pada dasarnya, agama dan negara mempunyai tujuan yang sama. Kedunya mengiramakan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hanya saja terkadang tarian di pelataran tidak sesuai dengan kedua irama tersebut.
Agama dan negara bertujuan menggiring umat manusia menuju padang kesejukan dan kemakmuran, arena kesejahteraan. Hanya saja kesejahteraan yang menjadi tujuan agama bukan saja kesejahteraan kehidupan di dunia. Lebih dari itu agama juga menuntun umatnya untuk menggapai kehidupan di akhirat kelak.
Meskipun mempunyai tujuan yang sama, agama dan negara mempunyai wilayah dan domain perjuangan yang berbeda. Agama berada pada rahan spirit, wilyah yang tak dapat tersentuh oleh indera, yaitu wilayah hati yang menjadi penggerak dan menentukan perilaku manusia dalam menjalani kehidupan, baik secara individu maupun bermasyarakat termasuk bernegara. Sementara negara bergerak pada wilayah profan, wilayah kekuasaan yang bersentuhan dengan berbagai aspek, terutama aspek politik. Apabila pemerintah atau penyelenggara negara menginginkan tercapainya kesejahteraan rakyat, maka dalam menjalankan roda pemerintahan negara, mereka harus berpegang teguh pada nilai moral agama yang pada dasarnya sudah tercermin dalam dasar dan ideologi negara pancasila.
Kita hanya berharap, semoga dalam menjalankan kritik terhadap pemerintah, para tokoh agama sebagai penjaga gerbang pertahanan moral umat manusia jangan sampai terkooptasi dan tergoda oleh kepentingan pragmatis politis. Kalau sampai hal ini terjadi, kepada siapa lagi masyarakat akan berharap dan melabuhkan harapan mereka untuk mendapat kesejateraan?
Ada pihak yang menyatakan bahwa para tokoh agama telah menyeret umat pada pusaran arus politik. Pernyataan ini menurut penulis kurang tepat. Walau bagaimana pun apa yang dilakukan oleh para tokoh agama adalah menyambung lidah rakyat. Apa yang mereka sampaikan adalah demi tegaknya kemashlahatan umat dan negara, demi kesejahteraan rakyat.
Lalu mengapa para tokoh lintas agama sampai turun gunung menyampaikan kritik terhadap pemerintah? Karena diakui atau tidak, wakil mereka di parlemen yang seharusnya menjadi tumpuan harapan, selama ini kurang memperhatikan kehendak dan aspirasi mereka. Selain itu, bukankah kita tahu dan paham bahwa rakyat Indonesia adalah umat beragama, yang selain mempinyai pemimpin formal, mereka juga mempunyai pemimpin non formal. Mereka adalah warga negara dan sekaligus umat beragama. Jadi wajar apabila pemimpin nonformal mereka melakukan pembelaan ketika aspirasi dan hak mereka kurang diperhatikan oleh pemimpin formal, yaitu presiden sebagai kepala pemerintahan.
Tokoh agama merupakan pemimpin nonformal yang pengaruhnya bisa jadi melebihi pemimpin formal seperti presiden. Terlebih kepemimpinan presiden telah menyimpang dari janji dan amanah konstitusi serta menyayat rasa keadilan dalam luka-luka nurani rakyat yang telah lama mendambakan kesejahteraan. Rakyat telah jenuh dan bahkan frustasi dengan problem-problem dan krisis multidimensi, khusunya krisis moral yang melanda sebagian besar penyelenggara negara.
Memang harus diakui bahwa agama berada dan "beroperasi" pada wilayah sakral, pada ranah moral spirit berbangsa dan bernegara. Namun demikian, ketika muncul kemungkaran bangsa secara masif dan terorganisir dengan barisan mafia perusak negara yang merasuk ke seluruh persendian negara, maka tokoh agama sebagai penjaga moral bangsa harus turun gunung untuk memberikan sumbangan pencerahan kepada para pemegang amanat rakyat, para penyelenggara negara. Kita tidak perlu curiga bahwa wacana, kritik dan gerakan mereka bertujuan politis, apalagi sampai menurunkan paksa pemerintahan yang sah, kecuali memang terpaksa harus dilakukan karena kebandelannya.
Sampai saat ini wakil rakyat banyak yang tidak berdaya menghadapi tekanan dan tarik ulur kepentingan. Selain itu, tidak sedikit dari mereka yang lebih mengutamakan kesejahteraan diri, keluarga, kelompok dan partai. Karena pada kenyataannya mereka lebih merepresentasikan perwakilan partai daripada perwakilan rakyat. Lebih dari itu, chek and balances antara lembaga eksekutif dan yudikatif yang bersifat formal politis tidak jarang malah menjadi celah untuk melakukan transaksi politik demi keamanan dan keselamatan jabatan masing-masing.
Ketika hukum sebagai jaring terluar pengawal moral bangsa tidak dapat membendung kemungkaran dan penyelewengan penyelenggaraan negara dan pengembanan amanah rakyat, maka pertahanan terakhir, pertahanan tertinggi, pengawal moral, tokoh agama harus turun tangan. Karena pada dasarnya, agama dan negara mempunyai tujuan yang sama. Kedunya mengiramakan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hanya saja terkadang tarian di pelataran tidak sesuai dengan kedua irama tersebut.
Agama dan negara bertujuan menggiring umat manusia menuju padang kesejukan dan kemakmuran, arena kesejahteraan. Hanya saja kesejahteraan yang menjadi tujuan agama bukan saja kesejahteraan kehidupan di dunia. Lebih dari itu agama juga menuntun umatnya untuk menggapai kehidupan di akhirat kelak.
Meskipun mempunyai tujuan yang sama, agama dan negara mempunyai wilayah dan domain perjuangan yang berbeda. Agama berada pada rahan spirit, wilyah yang tak dapat tersentuh oleh indera, yaitu wilayah hati yang menjadi penggerak dan menentukan perilaku manusia dalam menjalani kehidupan, baik secara individu maupun bermasyarakat termasuk bernegara. Sementara negara bergerak pada wilayah profan, wilayah kekuasaan yang bersentuhan dengan berbagai aspek, terutama aspek politik. Apabila pemerintah atau penyelenggara negara menginginkan tercapainya kesejahteraan rakyat, maka dalam menjalankan roda pemerintahan negara, mereka harus berpegang teguh pada nilai moral agama yang pada dasarnya sudah tercermin dalam dasar dan ideologi negara pancasila.
Kita hanya berharap, semoga dalam menjalankan kritik terhadap pemerintah, para tokoh agama sebagai penjaga gerbang pertahanan moral umat manusia jangan sampai terkooptasi dan tergoda oleh kepentingan pragmatis politis. Kalau sampai hal ini terjadi, kepada siapa lagi masyarakat akan berharap dan melabuhkan harapan mereka untuk mendapat kesejateraan?
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post, 27 Januari 2011
Label:
AGAMA,
ARTIKEL ILMIAH
TERORISME DAN MEDIA
Oleh Imam Mustofa
Terorisme dan korupsi adalah dua kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Keduanya merupakan musuh bersama semua bangsa, negara, dan agama di muka bumi. Keduanya mempunyai efek destruktif yang luar biasa.
Terorisme biasanya dilakukan dengan berbagai motif. Menurut Loudewijk F. Paulus (2000), terorisme mempunyai berbagai motif yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: rasional, psikologi, dan budaya, yang kemudian dapat dijabarkan lebih luas. Namun, motif yang sering muncul di kancah dunia modern ini, antara lain terorisme untuk mempertahankan atau memperluas daerah jajahan. Sementara korupsi berkisar pada motif ambisi jabatan dan motif ekonomi.
Faktor yang melatarbelakangi dan menjadi pendorong kedua kejahatan tersebut juga berbeda. Aksi teror yang muncul di antaranya dipicu oleh faktor balas dendam, ketidakadilan hukum, trauma psikologis, faktor ideologis, solidaritas kelompok, pencarian identitas, dan situasi lingkungan internasional. Sementara faktor yang mendorong munculnya korupsi, antara lain karena lemahnya penegakan hukum, rendahnya moralitas dan mentalitas pejabat publik serta rusaknya kultur birokrasi.
Sementara mengenai daya rusak, terorisme dan korupsi sama-sama mempunyai daya rusak yang dahsyat. Terorisme dapat membawa korban jiwa dan harta serta kerusakan tempat-tempat hiburan, fasilitas-fasilitas umum, termasuk rumah ibadah dan kerusakan lainnya. Yang lebih mengerikan tidak jarang teorisme mengubur harapan dan masa depan keluarga korban yang ditinggalkan.
Efek destruktif dan daya rusak korupsi biasanya memang tidak akan terasa langsung, akan tetapi ia lebih mengerikan dibanding terorisme. Bukan hanya itu, korupsi membawa efek domino kerusakan yang luar biasa. Korupsi tidak saja mengakibatkan rusaknya perekonomian masyarakat dan negara, ia dapat mengakibatkan kerusakan moral, budaya, politik, birokrasi, sistem, dan tatanan hukum serta merusak suprastruktur masyarakat dan infrastruktur negara. Kalau aksi terorisme dapat mengakibatkan korban jiwa secara langsung, korupsi mengakibatkan korban jiwa secara tidak langsung. Korupsi dapat membunuh cita-cita dan bahkan jiwa generasi bangsa secara halus dan perlahan.
Langkah Solutif
Sebagai kejahatan luar biasa, penanggulangan terhadap terorisme dan korupsi juga harus menggunakan cara luar biasa. Untuk menanggulangi terorisme tidak cukup hanya memotong aksi ini dari tengah dengan mengedepankan proses hukum. Cara represif dengan pendekatan militeristik dengan penangkapan dan bahkan penembakan pelaku teror merupakan langkah memotong aksi teror dari tengah. Hal ini memang dapat meminimalisasi aksi teror, tetapi tidak memutus dan mencabutnya dari akar yang menjadi faktor dan pemicu dan pemacunya. Terorisme selaksa gunung es di tengah lautan, aksi hanyalah yang tampak dari permukaan, adapun di bawah permukaan masih banyak permasalahan faktor, pemicu dan pemacu munculnya aksi teror di bumi Indonesia tercinta (Mustofa: 2010).
Penanggulangan terorisme harus berdasar pada “hasil diagnosis”, yaitu harus melihat faktor yang melatarbelakanginya. Dengan melihat faktor yang menyangkut akar masalah munculnya terorisme, dapat diambil langkah penanganan yang tepat. Sampai saat ini kesimpulan yang mendominasi mindset para peneliti dan pengkaji serta pemangku kepentingan pemicu utama aksi teror adalah faktor idelogi.
Melihat faktor di atas, maka langkah yang harus ditempuh adalah melakukan pendekatan ideologis keagamaan. Dengan demikian, hal penting yang harus dilakukan dalam rangka penanggulangan terorisme adalah dengan melakukan deradikalisasi dan pendidikan antiterorisme. Pendekatan militeristik dan penegakan hukum terkait aksi terorisme harus terus dilakukan lebih tegas, sementara pendekatan yang menitikberatkan pada pencegahan juga harus lebih intens dan dilakukan secara kontinu.
Mengenai langkah solutif terhadap kejahatan korupsi sebenarnya sudah sering disampaikan melalui berbagai forum, baik dari skala kecil atau lokal sampai level internasional. Hanya saja di sini penulis menekankan bahwa dalam rangka pemberantasan korupsi, perlu mempertegas dan memperkeras perangkat hukumnya (legal framework). Sanksi terhadap pelaku korupsi harus diperberat.
Selain mempertegas perangkat hukum, hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan reformasi mental birokrat, terutama di lembaga-lembaga penegak hukum. Reformasi dari mental transaktif menuju mental yang responsif. Mental transaktif tidak akan dapat menegakkan keadilan karena ia berorientasi pada kepentingan diri atau kelompok. Reformasi mental ini untuk memperbaiki moralitas, meningkatkan integritas pejabat publik. Bukan hanya itu, perlu juga perbaikan kultur birokrasi menuju birokrasi yang jelas dan bersih (clear and clean beurocracy). Dengan langkah ini diharapkan akan dapat meminimalisasi tindak kejahatan korupsi.
Terorisme dan korupsi menjadi musuh bersama (common enemy) umat manusia. Oleh karena itu, semua komponen dan lapisan masyarakat harus ikut aktif berpartisipasi mencegah dan menanggulanginya. Bila peradaban manusia bebas dari kedua kejahatan kemanusiaan tersebut, akan tercipta global village yang aman, tenteram, dan sejahtera.
Terorisme biasanya dilakukan dengan berbagai motif. Menurut Loudewijk F. Paulus (2000), terorisme mempunyai berbagai motif yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: rasional, psikologi, dan budaya, yang kemudian dapat dijabarkan lebih luas. Namun, motif yang sering muncul di kancah dunia modern ini, antara lain terorisme untuk mempertahankan atau memperluas daerah jajahan. Sementara korupsi berkisar pada motif ambisi jabatan dan motif ekonomi.
Faktor yang melatarbelakangi dan menjadi pendorong kedua kejahatan tersebut juga berbeda. Aksi teror yang muncul di antaranya dipicu oleh faktor balas dendam, ketidakadilan hukum, trauma psikologis, faktor ideologis, solidaritas kelompok, pencarian identitas, dan situasi lingkungan internasional. Sementara faktor yang mendorong munculnya korupsi, antara lain karena lemahnya penegakan hukum, rendahnya moralitas dan mentalitas pejabat publik serta rusaknya kultur birokrasi.
Sementara mengenai daya rusak, terorisme dan korupsi sama-sama mempunyai daya rusak yang dahsyat. Terorisme dapat membawa korban jiwa dan harta serta kerusakan tempat-tempat hiburan, fasilitas-fasilitas umum, termasuk rumah ibadah dan kerusakan lainnya. Yang lebih mengerikan tidak jarang teorisme mengubur harapan dan masa depan keluarga korban yang ditinggalkan.
Efek destruktif dan daya rusak korupsi biasanya memang tidak akan terasa langsung, akan tetapi ia lebih mengerikan dibanding terorisme. Bukan hanya itu, korupsi membawa efek domino kerusakan yang luar biasa. Korupsi tidak saja mengakibatkan rusaknya perekonomian masyarakat dan negara, ia dapat mengakibatkan kerusakan moral, budaya, politik, birokrasi, sistem, dan tatanan hukum serta merusak suprastruktur masyarakat dan infrastruktur negara. Kalau aksi terorisme dapat mengakibatkan korban jiwa secara langsung, korupsi mengakibatkan korban jiwa secara tidak langsung. Korupsi dapat membunuh cita-cita dan bahkan jiwa generasi bangsa secara halus dan perlahan.
Langkah Solutif
Sebagai kejahatan luar biasa, penanggulangan terhadap terorisme dan korupsi juga harus menggunakan cara luar biasa. Untuk menanggulangi terorisme tidak cukup hanya memotong aksi ini dari tengah dengan mengedepankan proses hukum. Cara represif dengan pendekatan militeristik dengan penangkapan dan bahkan penembakan pelaku teror merupakan langkah memotong aksi teror dari tengah. Hal ini memang dapat meminimalisasi aksi teror, tetapi tidak memutus dan mencabutnya dari akar yang menjadi faktor dan pemicu dan pemacunya. Terorisme selaksa gunung es di tengah lautan, aksi hanyalah yang tampak dari permukaan, adapun di bawah permukaan masih banyak permasalahan faktor, pemicu dan pemacu munculnya aksi teror di bumi Indonesia tercinta (Mustofa: 2010).
Penanggulangan terorisme harus berdasar pada “hasil diagnosis”, yaitu harus melihat faktor yang melatarbelakanginya. Dengan melihat faktor yang menyangkut akar masalah munculnya terorisme, dapat diambil langkah penanganan yang tepat. Sampai saat ini kesimpulan yang mendominasi mindset para peneliti dan pengkaji serta pemangku kepentingan pemicu utama aksi teror adalah faktor idelogi.
Melihat faktor di atas, maka langkah yang harus ditempuh adalah melakukan pendekatan ideologis keagamaan. Dengan demikian, hal penting yang harus dilakukan dalam rangka penanggulangan terorisme adalah dengan melakukan deradikalisasi dan pendidikan antiterorisme. Pendekatan militeristik dan penegakan hukum terkait aksi terorisme harus terus dilakukan lebih tegas, sementara pendekatan yang menitikberatkan pada pencegahan juga harus lebih intens dan dilakukan secara kontinu.
Mengenai langkah solutif terhadap kejahatan korupsi sebenarnya sudah sering disampaikan melalui berbagai forum, baik dari skala kecil atau lokal sampai level internasional. Hanya saja di sini penulis menekankan bahwa dalam rangka pemberantasan korupsi, perlu mempertegas dan memperkeras perangkat hukumnya (legal framework). Sanksi terhadap pelaku korupsi harus diperberat.
Selain mempertegas perangkat hukum, hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan reformasi mental birokrat, terutama di lembaga-lembaga penegak hukum. Reformasi dari mental transaktif menuju mental yang responsif. Mental transaktif tidak akan dapat menegakkan keadilan karena ia berorientasi pada kepentingan diri atau kelompok. Reformasi mental ini untuk memperbaiki moralitas, meningkatkan integritas pejabat publik. Bukan hanya itu, perlu juga perbaikan kultur birokrasi menuju birokrasi yang jelas dan bersih (clear and clean beurocracy). Dengan langkah ini diharapkan akan dapat meminimalisasi tindak kejahatan korupsi.
Terorisme dan korupsi menjadi musuh bersama (common enemy) umat manusia. Oleh karena itu, semua komponen dan lapisan masyarakat harus ikut aktif berpartisipasi mencegah dan menanggulanginya. Bila peradaban manusia bebas dari kedua kejahatan kemanusiaan tersebut, akan tercipta global village yang aman, tenteram, dan sejahtera.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post, 5 Mei 2011
Label:
ARTIKEL ILMIAH
KEMENAG, JANGAN LAGI TERKORUP
(Refeleksi HAB Kemenag ke-66)
Oleh: Imam Mustofa
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Beberapa waktu lalu, Survei integritas 2011 yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut Kementerian Agama sebagai lembaga paling korup di Indonesia. Statemen tersebut menimbulkan efek psikologis bagi keluarga besar kemenag. Bahkan, menteri Agama, Surya Dharma Ali mendatangi KPK untuk meminta klarifikasi terkait statemen terkorup tersebut.
Tolok ukur yang digunakan untuk menyimpulkan bahwa kemenag terkorup adalah sejumlah pelayanan di Kemenag, seperti perpanjangan ONH Plus, izin-izin haji, penyelenggaraan umroh khusus, dan bimbingan ibadah haji serta mengenai administrasi pernikahan di KUA (Kantor Urusan Agama). Pada titik-titik tersebut memang rawan terjadi tindak pidana korupsi, terutama suap. Namun demikian, setidaknya kurang bijak menilai kinerja sebuah kementerian yang satuan kerjanya sangat luas dengan hanya berlandaskan tolok ukur di atas.
Tulisan ini tidak bermaksud menepis atau menjawab statemen lembaga survei tersebut. Terlepas dari benar tidaknya serta ke-validan survei tersebut, kemenag sebagai instansi yang berlabel agama harus menjadikan survei tersebut sebagai pijakan untuk introspeksi diri dan perbaikan. Tanpa harus mencari-cari perbandingan dengan instansi lain, kemenag sebagai instansi yang terisi kalangan beragama harus tampil dan membuktikan diri bahwa mereka adalah lembaga yang paling bersih dan mempunyai kinerja yang terbaik di Indonesia.
Memang naif rasanya untuk menjadikan lembaga terbersih hanya mengandalkan bahwa keluarga besar kemenag berasal dari kalangan beragama. Karena fakta membuktikan bahwa agama “telah gagal” membentengi umatnya dari tindakan korupsi. Para pelaku korupsi di Indonesia sebagian besar adalah umat beragama, bahkan tidak jarang yang bergelar haji. Kegagalan yang dimaksud bukan pada agamanya, akan tetapi kegagalan umat beragama menangkap pesan moral agama dan mentransfiormasikan dalam kehidupan seharai-hari, termasuk dalam kehidupan birokrasi dan bernegara.
Membumikan Jargon Ikhlas Beramal
Hari Amal Bhakti (HAB) yang ke-66 ini harus menjadi landasan kemenag untuk mejadi kementerian yang lebih baik, jauh dari bau korupsi dan menjadi kementerian yang memberikan pelayanan publik yang prima. Langkah ini tentunya membutuhkan komitmen tinggi dari seluruh pegawai, terutama unsur pimpinan.
Kemenag harus mampu menunjukkan integritas yang tinggi untuk menjadi pelayan publik yang sesuai dengan semboyan kemenag “ikhklas beramal”. Ikhlas dalam arti menjadikan pekerjaan sebagai wahana untuk mengabdikan dan mendedikasikan diri kepada negara serta menjadi pelayan masyarakat. Ikhlas dalam arti bekerja dengan tidak menjadikan gaji sebagai tujuan, akan tetapi hanya sekadar konsekuensi logis dari sebuah pekerjaan dan dedikasi tinggi seorang pelayan masyarakat. Jangan sampai pegawai kemenag bekerja dengan orientasi gaji, apalagi sambil mencari penghasilan tambahan dengan cara-cara nudis seperti suap dan korupsi yang akan menghancurkan pilar-pilar eksistensi kemenag dan meruntuhkan benteng martabat kemenag di tengah-tengah instansi lain yang tidak berlebel agama.
Semboyan ikhlas beramal jangan sampai hanya bertengger di atas langit, akan tetapi harus menjadi jargon yang membumi. Menjadi pegangan yang tertanam dalam hati setiap pegawai kemenag dan dapat terimplementasikan dalam bekerja melayani masyarakat.
Pegawai kemenag yang notabene adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) jangan sampai memegangi paradigma bahwa pegawai sebagai pejabat yang harus dihromati dan dilayani. Pegawai kemenag harus memegang paradigma bahwa PNS adalah sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat. Sebagai instansi yang berlabel agama, kemenag harus lebih agamis dan bermoral dari instansi lain. Kemenag harus bisa menjadi percontohan bagi instansi lain.
Semoga Hari Amal Bhakti ke-66 bisa menjadi landasan pacu untuk berbenah agar menjadi lembaga yang lebih baik dan lebih bersih. Tidak ada lagi bau anyir korupsi di lingkungan kemenag, apalgi sampai dinyatakan sebagailembaga terkorup di Indonesia. Pekerjaan yang dilakukan benar-benar sebagai wujud integritas abdi negara, sebagai pelayanan yang berangkat dari keikhlasan seorang pelayan publik yang bernaung di bawah lembaga yang mempunyia semboyan “ikhlas beramal”. Selamat Hari Amal Bhakti yang ke-66.
Tolok ukur yang digunakan untuk menyimpulkan bahwa kemenag terkorup adalah sejumlah pelayanan di Kemenag, seperti perpanjangan ONH Plus, izin-izin haji, penyelenggaraan umroh khusus, dan bimbingan ibadah haji serta mengenai administrasi pernikahan di KUA (Kantor Urusan Agama). Pada titik-titik tersebut memang rawan terjadi tindak pidana korupsi, terutama suap. Namun demikian, setidaknya kurang bijak menilai kinerja sebuah kementerian yang satuan kerjanya sangat luas dengan hanya berlandaskan tolok ukur di atas.
Tulisan ini tidak bermaksud menepis atau menjawab statemen lembaga survei tersebut. Terlepas dari benar tidaknya serta ke-validan survei tersebut, kemenag sebagai instansi yang berlabel agama harus menjadikan survei tersebut sebagai pijakan untuk introspeksi diri dan perbaikan. Tanpa harus mencari-cari perbandingan dengan instansi lain, kemenag sebagai instansi yang terisi kalangan beragama harus tampil dan membuktikan diri bahwa mereka adalah lembaga yang paling bersih dan mempunyai kinerja yang terbaik di Indonesia.
Memang naif rasanya untuk menjadikan lembaga terbersih hanya mengandalkan bahwa keluarga besar kemenag berasal dari kalangan beragama. Karena fakta membuktikan bahwa agama “telah gagal” membentengi umatnya dari tindakan korupsi. Para pelaku korupsi di Indonesia sebagian besar adalah umat beragama, bahkan tidak jarang yang bergelar haji. Kegagalan yang dimaksud bukan pada agamanya, akan tetapi kegagalan umat beragama menangkap pesan moral agama dan mentransfiormasikan dalam kehidupan seharai-hari, termasuk dalam kehidupan birokrasi dan bernegara.
Membumikan Jargon Ikhlas Beramal
Hari Amal Bhakti (HAB) yang ke-66 ini harus menjadi landasan kemenag untuk mejadi kementerian yang lebih baik, jauh dari bau korupsi dan menjadi kementerian yang memberikan pelayanan publik yang prima. Langkah ini tentunya membutuhkan komitmen tinggi dari seluruh pegawai, terutama unsur pimpinan.
Kemenag harus mampu menunjukkan integritas yang tinggi untuk menjadi pelayan publik yang sesuai dengan semboyan kemenag “ikhklas beramal”. Ikhlas dalam arti menjadikan pekerjaan sebagai wahana untuk mengabdikan dan mendedikasikan diri kepada negara serta menjadi pelayan masyarakat. Ikhlas dalam arti bekerja dengan tidak menjadikan gaji sebagai tujuan, akan tetapi hanya sekadar konsekuensi logis dari sebuah pekerjaan dan dedikasi tinggi seorang pelayan masyarakat. Jangan sampai pegawai kemenag bekerja dengan orientasi gaji, apalagi sambil mencari penghasilan tambahan dengan cara-cara nudis seperti suap dan korupsi yang akan menghancurkan pilar-pilar eksistensi kemenag dan meruntuhkan benteng martabat kemenag di tengah-tengah instansi lain yang tidak berlebel agama.
Semboyan ikhlas beramal jangan sampai hanya bertengger di atas langit, akan tetapi harus menjadi jargon yang membumi. Menjadi pegangan yang tertanam dalam hati setiap pegawai kemenag dan dapat terimplementasikan dalam bekerja melayani masyarakat.
Pegawai kemenag yang notabene adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) jangan sampai memegangi paradigma bahwa pegawai sebagai pejabat yang harus dihromati dan dilayani. Pegawai kemenag harus memegang paradigma bahwa PNS adalah sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat. Sebagai instansi yang berlabel agama, kemenag harus lebih agamis dan bermoral dari instansi lain. Kemenag harus bisa menjadi percontohan bagi instansi lain.
Semoga Hari Amal Bhakti ke-66 bisa menjadi landasan pacu untuk berbenah agar menjadi lembaga yang lebih baik dan lebih bersih. Tidak ada lagi bau anyir korupsi di lingkungan kemenag, apalgi sampai dinyatakan sebagailembaga terkorup di Indonesia. Pekerjaan yang dilakukan benar-benar sebagai wujud integritas abdi negara, sebagai pelayanan yang berangkat dari keikhlasan seorang pelayan publik yang bernaung di bawah lembaga yang mempunyia semboyan “ikhlas beramal”. Selamat Hari Amal Bhakti yang ke-66.
Artikel ini telah diterbitkan Surat Kabar Harian Lampung Post, Selasa, 3 Januari 2012
Label:
ARTIKEL ILMIAH
KONTRATERORISME DAN DERADIKALISASI
Oleh: Imam Mustofa
(Dosen Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo Metro)
Tinta merah aksi teror nampaknya terus menerus tertoreh dalam lembaran sejarah bangsa Indonesia. Gerakan dan aksi teror bahkan dilakukan dengan modus baru, yaitu dengan melakukan perampokan guna menunjang kegiatan dan aksi teror berikutnya. Menurut Kapolri, Bambang Hendarso Danuri, Kasus perampokan Bank CIMB Niaga Medan yang terjadi pada 18 Agustus 2010 lalu bukan hanya kejahatan kriminal biasa, melainkan terkait dalam kasus terorisme. Lebih dari itu, aksi teror kelompok teroris semakin berani. Mereka berani menyerang Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara pada Rabu, 22 September 2010 lalu yang mengakibatkan tewasnya tiga orang polisi.
Harus diakui, memberantas terorisme memang tidak semudah membahasnya dalam teori. Ia tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan pemerintah Amerika Serikat yang merupakan Negara adidaya yang mendeklarasikan perang global melawan terorsme Global War on Terrorism (G-WOT) saja belum berhasil memberantas dan menumbangkan akasi teror dari muka bumi. Bahkan aksi teror cenderung meningkat. Padahal, sudah miliaran dolar dana, ratusan ribu tentara, tenaga dan pikiran telah dikerahkan dengan menggandeng Negara-negara Eropa serta berbagai organisasi dalam melakukan perang anti teror ini.
Dalam konteks Indonesia, sulitnya pemberantasan dan penanggulangan kejahatan terorisme karena sampai saat ini langkah yang dilakukan pemerintah masih bersifat represif dan reaktif seperti penangkapan, penembakan di tempat dan proses hukum sampai eksekusi. Langkah- langkah tersebut belum menyentuh akar masalah yang sesungguhnya. Hal ini juga diakui oleh Menkopolhukam, Marsekal Djoko Suyanto saat membuka acara Simposium Nasional Memutus Mata rantai Radikalisme dan Teorisme pada tanggal 27-28 Juli 2010 di Jakarta.
Cara represif dengan pendekatan militeristik dengan penangkapan dan bahkan penembakan pelaku teror merupakan langkah memotong aksi teror dari tengah. Hal ini memang dapat meminimalisir aksi teror, namun tidak memutus dan mencabutnya dari akar yang menjadi faktor dan pemicu dan pemacunya. Terorisme selaksa gunung es di tengah lautan, aksi hanyalah yang tampak dari permukaan, adapun di bawah permukaan masih banyak permasalahan faktor, pemicu dan pemacu munculnya aksi teror di bumi Indonesia tercinta.
Menurut Kabereskrim Mabes Polri Ito Sumardi, secara garis besar faktor munculnya aksi teror dapat dipetakan menjadi dua. Pertama, aksi teror yang muncul di daerah atau eks daerah konflik (conflict area). Aksi teror yang muncul di daerah semacam ini diantaranya dipicu oleh motif balas dendam, ketidakadilan hukum dan trauma psikologis. Kedua, terorisme yang terjadi di daerah normal (zero conflict). Pada umumnya teror di daerah aman dipicu oleh faktor ideologis, solidaritas kelompok, pencarian identitas dan situasi lingkungan internasional.
Melihat faktor yang menyangkut akar masalah munculnya terorisme di atas, seharusnya langkah penanganannya juga harus diarahkan dan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan faktor pemicunya. Sampai saat ini kesimpulan yang mendominasi mindset para pengkaji dan stakeholder pemicu utama aksi teror adalah faktor idelogi. Dengan demikian, maka langkah yang harus ditempuh adalah melakukan pendekatan ideologis keagamaan.
Memang harus diakui, bahwa ideologi agama bisa menimbulkan aksi radikalisme. Teks-teks agama yang ditafsirkan secara atomistik, parsial-monolitik (monolithic-partial) akan menimbulkan pandangan yang sempit dalam beragama. Kebenaran agama menjadi barang komoditi yang dapat dimonopoli. Ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan radikal dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi ini. Aksi radikalisme inilah yang sering mengarah kearah aksi teror. Oleh karena itu, kontra terorisme di Indonesia harus melalui proses pemutusan rantai radikalisme dengan melakukan deradikalisasi. Selama masih ada penyebaran paham dan interpretasi teks agama bahwa menyerang kepentingan Barat, atau fasilitas Negara yang mendukung atau setidaknya pro-kebijakan Negara-negara Barat dinggap jihad, dan pelakunya yang mati dinggap mati syahid, maka selama itu pula pemberantasan terorisme akan sulit, karena para pelaku teror memang mencari mati syahid.
Faktor ideologi keagamaan memang bukan satu-satunya faktor munculnya radikalisme dan terorisme di Indoneia, namun setidaknya, kesimpulan sementara faktor inilah yang dominan. Oleh karena itu, yang harus segera dilakukan adalah deradikalisasi.
Hal penting yang perlu dilakukan dalam rangka deradikalisasi yang menggunakan kedok agama untuk melakukan tinda kekerasan adalah dengan mengajak kelompok-kelompok radikal untuk berinteraksi, berkomunikasi, diskusi dan dialog secara intens. Selain itu, pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait, khususnya kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga harus bekerjasama dengan lembaga-lembaga atau organisasi Islam yang moderat, seperti NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi ini merupakan infrastruktur sosial besar yang dapat berperan signifikan dalam mengikis faham-faham dan pemikiran radikal di Indonesia. Kalau langkah ini dilakukan secara intens dan kontinyu tidak hanya bersifat sporadis dan reaktif nisacaya akan dapat berperan secara signifikan dalam menanggulangi radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Selama penanggulangan terorisme hanya mengandalkan aspek hukum, hanya memotongnya dari tengah, maka nampaknya ia akan terus membayangi dan mengancam. Belajar dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan pemberantasan terorisme yang telah lalu, pemerintah harus memperhatikan seluruh aspek dan faktor dan yang terkait.
Penanggulangan terorisme harus menyentuh akar masalah yang sesungguhnya, termasuk faktor politik, ekonomi, ideologi dan faktor-faktor lain. Kalau langkah-langkah tersebut dilakukan pemerintah dengan melibatkan instansi dan berbagai komponen masyarkat, termasuk ormas-ormas keagamaan, maka penaggulangan terorisme akan lebih efektif, sehingga aksi teror dapat dihilangkan dari Indonesia dan bahkan dari muka bumi.
Harus diakui, memberantas terorisme memang tidak semudah membahasnya dalam teori. Ia tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan pemerintah Amerika Serikat yang merupakan Negara adidaya yang mendeklarasikan perang global melawan terorsme Global War on Terrorism (G-WOT) saja belum berhasil memberantas dan menumbangkan akasi teror dari muka bumi. Bahkan aksi teror cenderung meningkat. Padahal, sudah miliaran dolar dana, ratusan ribu tentara, tenaga dan pikiran telah dikerahkan dengan menggandeng Negara-negara Eropa serta berbagai organisasi dalam melakukan perang anti teror ini.
Dalam konteks Indonesia, sulitnya pemberantasan dan penanggulangan kejahatan terorisme karena sampai saat ini langkah yang dilakukan pemerintah masih bersifat represif dan reaktif seperti penangkapan, penembakan di tempat dan proses hukum sampai eksekusi. Langkah- langkah tersebut belum menyentuh akar masalah yang sesungguhnya. Hal ini juga diakui oleh Menkopolhukam, Marsekal Djoko Suyanto saat membuka acara Simposium Nasional Memutus Mata rantai Radikalisme dan Teorisme pada tanggal 27-28 Juli 2010 di Jakarta.
Cara represif dengan pendekatan militeristik dengan penangkapan dan bahkan penembakan pelaku teror merupakan langkah memotong aksi teror dari tengah. Hal ini memang dapat meminimalisir aksi teror, namun tidak memutus dan mencabutnya dari akar yang menjadi faktor dan pemicu dan pemacunya. Terorisme selaksa gunung es di tengah lautan, aksi hanyalah yang tampak dari permukaan, adapun di bawah permukaan masih banyak permasalahan faktor, pemicu dan pemacu munculnya aksi teror di bumi Indonesia tercinta.
Menurut Kabereskrim Mabes Polri Ito Sumardi, secara garis besar faktor munculnya aksi teror dapat dipetakan menjadi dua. Pertama, aksi teror yang muncul di daerah atau eks daerah konflik (conflict area). Aksi teror yang muncul di daerah semacam ini diantaranya dipicu oleh motif balas dendam, ketidakadilan hukum dan trauma psikologis. Kedua, terorisme yang terjadi di daerah normal (zero conflict). Pada umumnya teror di daerah aman dipicu oleh faktor ideologis, solidaritas kelompok, pencarian identitas dan situasi lingkungan internasional.
Melihat faktor yang menyangkut akar masalah munculnya terorisme di atas, seharusnya langkah penanganannya juga harus diarahkan dan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan faktor pemicunya. Sampai saat ini kesimpulan yang mendominasi mindset para pengkaji dan stakeholder pemicu utama aksi teror adalah faktor idelogi. Dengan demikian, maka langkah yang harus ditempuh adalah melakukan pendekatan ideologis keagamaan.
Memang harus diakui, bahwa ideologi agama bisa menimbulkan aksi radikalisme. Teks-teks agama yang ditafsirkan secara atomistik, parsial-monolitik (monolithic-partial) akan menimbulkan pandangan yang sempit dalam beragama. Kebenaran agama menjadi barang komoditi yang dapat dimonopoli. Ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan radikal dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi ini. Aksi radikalisme inilah yang sering mengarah kearah aksi teror. Oleh karena itu, kontra terorisme di Indonesia harus melalui proses pemutusan rantai radikalisme dengan melakukan deradikalisasi. Selama masih ada penyebaran paham dan interpretasi teks agama bahwa menyerang kepentingan Barat, atau fasilitas Negara yang mendukung atau setidaknya pro-kebijakan Negara-negara Barat dinggap jihad, dan pelakunya yang mati dinggap mati syahid, maka selama itu pula pemberantasan terorisme akan sulit, karena para pelaku teror memang mencari mati syahid.
Faktor ideologi keagamaan memang bukan satu-satunya faktor munculnya radikalisme dan terorisme di Indoneia, namun setidaknya, kesimpulan sementara faktor inilah yang dominan. Oleh karena itu, yang harus segera dilakukan adalah deradikalisasi.
Hal penting yang perlu dilakukan dalam rangka deradikalisasi yang menggunakan kedok agama untuk melakukan tinda kekerasan adalah dengan mengajak kelompok-kelompok radikal untuk berinteraksi, berkomunikasi, diskusi dan dialog secara intens. Selain itu, pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait, khususnya kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga harus bekerjasama dengan lembaga-lembaga atau organisasi Islam yang moderat, seperti NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi ini merupakan infrastruktur sosial besar yang dapat berperan signifikan dalam mengikis faham-faham dan pemikiran radikal di Indonesia. Kalau langkah ini dilakukan secara intens dan kontinyu tidak hanya bersifat sporadis dan reaktif nisacaya akan dapat berperan secara signifikan dalam menanggulangi radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Selama penanggulangan terorisme hanya mengandalkan aspek hukum, hanya memotongnya dari tengah, maka nampaknya ia akan terus membayangi dan mengancam. Belajar dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan pemberantasan terorisme yang telah lalu, pemerintah harus memperhatikan seluruh aspek dan faktor dan yang terkait.
Penanggulangan terorisme harus menyentuh akar masalah yang sesungguhnya, termasuk faktor politik, ekonomi, ideologi dan faktor-faktor lain. Kalau langkah-langkah tersebut dilakukan pemerintah dengan melibatkan instansi dan berbagai komponen masyarkat, termasuk ormas-ormas keagamaan, maka penaggulangan terorisme akan lebih efektif, sehingga aksi teror dapat dihilangkan dari Indonesia dan bahkan dari muka bumi.
Artikel ini telah diterbitkan Surat Kabar Harian Lampung Post, Rabu, 29 September 2010
Label:
ARTIKEL ILMIAH
KEMANAKAH SUPREMASI HUKUM?
Oleh: Imam Mustofa
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Kaburnya mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin ke Singapura dan tidak tersentuhnya Miranda S Goeltom dan Nunun Nurbaeti oleh hukum menimbulkanpertanyaan besar. Benarkah ada kekuatan besar yang melindungi mereka? Kalau memang ada kekuatan besar itu, lalu kemanakah perginya supremasi hukum? Apakah dia telah tersesat di lorong-lorong kepentingan, hilang di tengah belantara kepentingan politik atau ditelan arus kekuatan mafia dan uang?
Supremasi hukum berarti memposisikan hukum sebagai "panglima besar" yang harus ditaati. Tidak ada satu kekuatan apa pun yang boleh melangkahi kekuatan hukum, karena hukum sebagai perangkat penegak keadilan dan kebenaran dalam bernegara dan berbangsa. Dan inilah sebagai konsekuensi negara Indonesia sebagai negara hukum. Dalam negara hukum ada tiga prinsip dasar yang harus dihormati, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum. Kesemuanya harus dijalankan dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum itu sendiri (due process of law).
Penegakan Hukum Transaksional
Meskipun proses hukum yang melibatkan para penegak hukum untuk menemukan sebuah keadilan dan kebenaran telah berjalan dengan berbagai dinamika yang ada, namun keadilan tidak selamanya tercapai. Terlebih apabila proses tersebut telah bersinggungan dengan para mafia keadilan, berbaur dengan politik dan rekayasa yang berlumur berbagai kepentingan yang mengarah pada penegakan hukum transaksional. Inilah yang menyebabkan krisis keadilan di negara hukum Indonesia. Tujuan hukum telah tereduksi oleh perilaku sebagian penegaknya. Maka wajar bila Robert Seidman dan William J. Chambliss menyatakan bahwa hukum adalah mitos yang setiap hari dibuktikan kebohongannya.
Menurut Suparman Marzuki (2008), penegakan hukum tidak mewujudkan pencerahan, rasa aman dan melindungi, tetapi justru sangat menekan, membuat sumpek sekaligus tidak memberi harapan. Kekuasaan kehakiman menjadi "kekuasaan alienatif" yang kuat mencerminkan rekayasa struktur yang menghasilkan kepatuhan karena tekanan. Kekuasaan moral yang dibangun di atas dasar konsensus normatif dan dipatuhi secara moral dengan sendirinya telah sirna.
Hukum dan keadilan tidak jarang tersandera dan terpenjara di dalam bilik-bilik kepentingan perorangan atau kelompok. Penegakan hukum dijadikan bargaining untuk mempertahankan atau memperoleh keuntungan pragmatis, jabatan, kekuasaan dan materi. Penegakan hukum semacam itu –meminjam istilah Vinogradoff- terlibat dalam "give and take" atau logika jual beli. Hukum dan keadilan menjadi komoditas.
Paradigma tersebut menjadikan penegakan hukum tidak obyektif lagi. Ia menggunakan logika tebang pilih. Penegak hukum tegas dan garang kala berhadapan dengan pihak yang tidak mampu memberikan atau memenuhi kepentingan penegaknya. Sebaliknya, ia akan lentur dan tumpul ketika berhadapan dengan pihak yang dapat memenuhi kepentingan pragmatis mereka. Maka tidak salah apa yang digambarkan oleh Marc Glanter dalam Marzuki (2008) bahwa pedang Dewi Themsis jarang diasah, kalaupun diasah hanya satu sisi. Jika berhadapan dengan obyek yang berkuasa atau berkantong tebal maka akan digunakannya sisi yang tumpul, sebaliknya, jika objeknya lemah dan papa, ditebasnya dengan sisi yang tumpul.
Reformasi mental penegak hukum
Lawrence Meir Friedman menyatakan, setidaknya ada tiga faktor yang mempngaruhi penegakan hukum yaitu hukum itu sendiri (legal substance), struktur hukum/pranata hukum (structure) dan kebudayaan (culture). Sementara menurut Soerjono Soekanto (1983) setidaknya ada lima faktor dalam proses penegakan hukum, yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukumnya, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan.
Kedua teori di atas sama-sama memasukkan faktor kebudayaan (culture) sebagai suatu yang mempengaruhi penegakan hukum. Kebudayan sangat mempengaruhi penegakan hukum karena pada dasarnya kultur akan membentuk sikap mental. Begitu juga sebaliknya mentalitas seseorang akan berpengaruh pada kultur lingkungannya. Inilah yang menjadi permasalahan dalam penegakan hukum.
Mentalitas penegak hukum di Indonesia telah terjangkiti virus pragmatisme. Virus ini akan menimbulkan penyakit turunan judicial corruption. Virus pragmatis-koruptif mengakibatkan pengidapnya menjalankan tugas hanya berdasarkan kepentingan diri, kelompok atau golongannya. Landasan yang menjadi acuan penegakan hukum bukanlah keadilan dan kebenaran melainkan terpenuhi atau tidaknya kepentingannya.
Menurut Moh. Mahfud MD (2008), para penegak hukum bukan lagi mencari kebenaran, melainkan bagaimana mencapai kemenangan riil sesuai dengan yang diinginkan dirinya maupun klien yang memesannya. Penyelesaian kasus-kasus hukum di pengadilanpun tidak lagi mengandalkan kekuatan argumen yang murni hukum, melainkan melalui lobi-lobi politik dan negosiasi tentang cara penyelesaian atau materi putusan yang dapat dinilai dengan harga uang tertentu.
Apabila kebudayaan yang dibangun di lingkungan lembaga penegak hukum adalah kebudayan yang menjunjung tinggi nali-nilai kejujuran, kebenaran dan obyektif, maka mental penegaknya juga akan menunjukkan nilai-nilai demikian pula. Bila kultur tersebut yang dibangun, maka mental penegak hukum akan dapat diandalkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada para penegak hukum melalui penegakkan keadilan secara konsisten dan kontinyu. Penegakan hukum yang berusaha menciptakan keadilan substantif dan bukan hanya keadilan prosedural yang dapat ditransaksikan. Kalau ini yang dilakukan, maka supremasi hukum akan benar-benar ada.
Supremasi hukum berarti memposisikan hukum sebagai "panglima besar" yang harus ditaati. Tidak ada satu kekuatan apa pun yang boleh melangkahi kekuatan hukum, karena hukum sebagai perangkat penegak keadilan dan kebenaran dalam bernegara dan berbangsa. Dan inilah sebagai konsekuensi negara Indonesia sebagai negara hukum. Dalam negara hukum ada tiga prinsip dasar yang harus dihormati, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum. Kesemuanya harus dijalankan dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum itu sendiri (due process of law).
Penegakan Hukum Transaksional
Meskipun proses hukum yang melibatkan para penegak hukum untuk menemukan sebuah keadilan dan kebenaran telah berjalan dengan berbagai dinamika yang ada, namun keadilan tidak selamanya tercapai. Terlebih apabila proses tersebut telah bersinggungan dengan para mafia keadilan, berbaur dengan politik dan rekayasa yang berlumur berbagai kepentingan yang mengarah pada penegakan hukum transaksional. Inilah yang menyebabkan krisis keadilan di negara hukum Indonesia. Tujuan hukum telah tereduksi oleh perilaku sebagian penegaknya. Maka wajar bila Robert Seidman dan William J. Chambliss menyatakan bahwa hukum adalah mitos yang setiap hari dibuktikan kebohongannya.
Menurut Suparman Marzuki (2008), penegakan hukum tidak mewujudkan pencerahan, rasa aman dan melindungi, tetapi justru sangat menekan, membuat sumpek sekaligus tidak memberi harapan. Kekuasaan kehakiman menjadi "kekuasaan alienatif" yang kuat mencerminkan rekayasa struktur yang menghasilkan kepatuhan karena tekanan. Kekuasaan moral yang dibangun di atas dasar konsensus normatif dan dipatuhi secara moral dengan sendirinya telah sirna.
Hukum dan keadilan tidak jarang tersandera dan terpenjara di dalam bilik-bilik kepentingan perorangan atau kelompok. Penegakan hukum dijadikan bargaining untuk mempertahankan atau memperoleh keuntungan pragmatis, jabatan, kekuasaan dan materi. Penegakan hukum semacam itu –meminjam istilah Vinogradoff- terlibat dalam "give and take" atau logika jual beli. Hukum dan keadilan menjadi komoditas.
Paradigma tersebut menjadikan penegakan hukum tidak obyektif lagi. Ia menggunakan logika tebang pilih. Penegak hukum tegas dan garang kala berhadapan dengan pihak yang tidak mampu memberikan atau memenuhi kepentingan penegaknya. Sebaliknya, ia akan lentur dan tumpul ketika berhadapan dengan pihak yang dapat memenuhi kepentingan pragmatis mereka. Maka tidak salah apa yang digambarkan oleh Marc Glanter dalam Marzuki (2008) bahwa pedang Dewi Themsis jarang diasah, kalaupun diasah hanya satu sisi. Jika berhadapan dengan obyek yang berkuasa atau berkantong tebal maka akan digunakannya sisi yang tumpul, sebaliknya, jika objeknya lemah dan papa, ditebasnya dengan sisi yang tumpul.
Reformasi mental penegak hukum
Lawrence Meir Friedman menyatakan, setidaknya ada tiga faktor yang mempngaruhi penegakan hukum yaitu hukum itu sendiri (legal substance), struktur hukum/pranata hukum (structure) dan kebudayaan (culture). Sementara menurut Soerjono Soekanto (1983) setidaknya ada lima faktor dalam proses penegakan hukum, yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukumnya, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan.
Kedua teori di atas sama-sama memasukkan faktor kebudayaan (culture) sebagai suatu yang mempengaruhi penegakan hukum. Kebudayan sangat mempengaruhi penegakan hukum karena pada dasarnya kultur akan membentuk sikap mental. Begitu juga sebaliknya mentalitas seseorang akan berpengaruh pada kultur lingkungannya. Inilah yang menjadi permasalahan dalam penegakan hukum.
Mentalitas penegak hukum di Indonesia telah terjangkiti virus pragmatisme. Virus ini akan menimbulkan penyakit turunan judicial corruption. Virus pragmatis-koruptif mengakibatkan pengidapnya menjalankan tugas hanya berdasarkan kepentingan diri, kelompok atau golongannya. Landasan yang menjadi acuan penegakan hukum bukanlah keadilan dan kebenaran melainkan terpenuhi atau tidaknya kepentingannya.
Menurut Moh. Mahfud MD (2008), para penegak hukum bukan lagi mencari kebenaran, melainkan bagaimana mencapai kemenangan riil sesuai dengan yang diinginkan dirinya maupun klien yang memesannya. Penyelesaian kasus-kasus hukum di pengadilanpun tidak lagi mengandalkan kekuatan argumen yang murni hukum, melainkan melalui lobi-lobi politik dan negosiasi tentang cara penyelesaian atau materi putusan yang dapat dinilai dengan harga uang tertentu.
Apabila kebudayaan yang dibangun di lingkungan lembaga penegak hukum adalah kebudayan yang menjunjung tinggi nali-nilai kejujuran, kebenaran dan obyektif, maka mental penegaknya juga akan menunjukkan nilai-nilai demikian pula. Bila kultur tersebut yang dibangun, maka mental penegak hukum akan dapat diandalkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada para penegak hukum melalui penegakkan keadilan secara konsisten dan kontinyu. Penegakan hukum yang berusaha menciptakan keadilan substantif dan bukan hanya keadilan prosedural yang dapat ditransaksikan. Kalau ini yang dilakukan, maka supremasi hukum akan benar-benar ada.
Artikel ini telah diterbitkan Surat Kabar Harian Lampung Post, Kamis, 23 Juni 2011
Label:
ARTIKEL ILMIAH,
HUKUM
Mengeluarkan Moral Agama dari Simbol
Oleh: Imam Mustofa
(Kader Kultural NU Lampung)
(Kader Kultural NU Lampung)
Sebagaimana mafhum, bahwa suatu agama, termasuk Islam terdiri dari dua unsur, yaitu body and soul. Body (badan) disini berarti simbol-simbol yang terdapat di dalam agama, seperti ritual yang dilakukan secara rutin oleh para pemeluknya. Sementara soul (ruh) adalah nilai-nilai moral etis, nilai spiritual yang menjadi inti dari ajaran agama tersebut.
Kedua unsur ini harus terpenuhi dalam kehidupan umat beragama. Bila tidak, maka akan terjadi kecacatan dalam beragama. Body atau simbol-simbol yang berupa aktifitas ritual rutin tanpa adanya proyeksi dan implementasi nilai-nilai moral etis yang terdapat di dalamnya, maka laksana badan tanpa nyawa. Agama hanya berupa simbol identitas belaka tanpa makna.
Begitu juga bergama hanya menjalankan nilai-nilai moral etis tanpa mau melakukan aktifitas ritual keagamaan sebagaimana telah diatur suatu aturan yang biasa disebut syariat, maka juga dinilai cacat. Karena hakikat dalam beragam tidak bisa dilepaskan dari syariat sebagai body yang menjadi indikator bagi adanya esensi atau nilai-nilai moral etis yang ada di dalamnya. Jadi keduanya harus ditampilkan secar bersamaan.
Berangkat dari pemaparan di atas, penulis mempunyai pemahaman bahwa yang menjadi inti ajaran agama (baca Islam) adalah nilai-nilai moral etis yang terdapat dalam simbol (syariat). Tujuan dari diturunkannya agama adalah untuk menegakkan nilai-nilai moral etis tersebut melalui syariat yang membungkusnya.
Pemahaman di atas penulis dasarkan pada sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang artinya kurang lebih "sesungguhnya aku diutus untuk menyenpurnakan akhlaq”. Nabi Muhammad, termasuk nabi-nabi sebelumnya diutus oleh Allah ke muka bumi ini adalah untuk menegakkan tiang moral yang terdapat dalam syariat. Moral etis dalam syariat agama adalah sebagai penyangga keberlangsungan peradaban manusia. Karena tanpa adanya moral, maka peradaban yang dibangun dengan segala upaya akan tergerogoti oleh tiindakan yang amoral-destruktif.
Untuk memperlancar tugas suci ini Allah memberikan tuntunan melalui wahyu yang kemudian disebut dengan kitab suci. Nabi Muhammad, sebagai nabi terakhir dituntun dan dibantu dengan panduan Al-Quran yang dalam konteks ini adalah sebagai data base atau kitab pokok tuntunan moral. Al-Quran dan bukanlah karya ilmiah, bukan juga ia sekedar kitab hukum, tidak juga kitab politik, pun juga bukan kitab ekonomi dan lain sebagainya. Adapun ada sebagian kecil ayat yang membicarakan masalah-masalah di atas, ia hanyalah prinsip-prinsip dasar yang sesungguhnya pesan dasarnya adalah bahwa semua kegiatan di atas harus dilakukan sesuai dengan pesan moral dan nilai-nilai etis agama yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut.
Ironi kerusakan moral masyarakat religius
Suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia terkenal dengan masyarakat yang remah tamah, sopan dan religius. Bukan hanya itu Negara Indonesia juga mengklaim dirinya sebagai Negara hukum. Kalau kita mendengar klaim dan predikat di atas, maka yang akan terlintas difikiran kita adalah di situ hiudplah masyarakat yang taat hukum, melaksanakan dan menjunjung nilai-nilai moral, etika dan norma serta ajaran-ajaran agama. Namun, apa yang terlintas dalam pikiran kita itu tidak sepenuhnya benar. Berbagai kerusakan moral terjadi hampir di semua lapisan masyarakat.
Akhir-akhir ini kerusakan alam sekitar kita sebagai umat beragama semakin parah. Kerusakan yang terjadi bukan hanya kerusakan lahir, akan tetapi lebih dari itu, ada kerusakan yang lebih parah, yaitu kerusakan batin atau kerusakan moral.
Kerusakan lahir seperti kerusakan lingkungan, penebangan hutan secara illegar (illegal loging), pembakaran hutan, penambangan liar, pembuangan sampah sembarangan dan sebagainya yang mengakibatkan kerusakan seperti timbulnya bencana, seperti banjir, tanah longsor. Lebih dari itu, perusakan dankerusakan lingkungan juga berimbas pada pemanasan global yang efeknya luar biasa dan dirasakan oleh umat manusia sedunia yang mengakibatkan berubahnya tatanan musim, cuaca dan iklim.
Kerusakan paling parah adalah terjadi pada kerusakan moral masyarakat yang merugikan banyak orang, seperti korupsi kolusi suap, jual beli keadilan, kekuasaan jabatan dan sebagainya. Selain itu, banyak terjadi tindak kekerasan, tindakan amoral yang terjadi antarsesama anggota masyarakat atau bahkan sesama anggota keluarga. Hampir setiap hari kita disuguhi berita-berita tentang pencurian, perampokan, penipuan, pergaulan bebas, pencabulan, seks bebas, aborsi, penggunaan obat-obatan terlarang dan lain sebagainya.
Kalau kita telisik lebih jauh, kita akan menemukan ironi bahwa kejahatan dan tindakan destruktif yang merusak infrastruktur sosial masyarakat dan infrastrukur Negara tersebut dilakukan oleh orang-orang beragama. Lebih ironis lagi banyak dari mereka yang taat beragama, rajin shalat, puasa, baca Al-Quran dan ritual keagamaan lainnya. Banyak yang bergelar haji atau bahkan ustadz yang notabene mempunyai pemahaman agama dan menjalankan syariat agama lebih giat daripada orang awam. Kalau kita perhatikan, jarang sekali terdakwa kasus korupsi di negeri religius ini yang tidak bergelar haji.
Kegagalan transformasi moral agama
Hal di atas terjadi karena para pelaku perusakan atau kejahatan tersebut tidak menangkap pesan moral terdapat dalam ritual ibadah yang dilakukannya setiap hari. Atau mereka sebenarnya menangkap pesan-pesan tersebut hanya saja menjadikannya sebagai bahan kajian, sebagai mata pelajaran yang diberikan di lembaga-lembaga pendidikan dan setelah itu dibiarkan mengendap di dalam otak tanpa ditransformasikan dalam perilaku kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Perlu penulis tegaskan bahwa terjadinya kerusakan moral yang akut di tengah-tengah masyarakat yang taat menjalankan ritual keagamaan bukan karena kegagalan agama dalam membentuk masyarakat bermoral. Kerusakan yang terjadi adalah karena kegagalan memahami pesan moral agama yang menjadi solul atau ruh dari syariat atau ritual-ritual ibadah yang setiap hari dijalankan. Bukan hanya itu, kesalahan yang paling fatal adalah kegagalan mentransformasikan nilai moral etis tersebut dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Agama dengan ritualnya hanya dipahami sebagai aturan-aturan legal formal yang hanya menyidiakan pahala dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan neraka. Padahal, selain mengandung aturan legal formal, agama mempunyai ajaran moral yang merupakan inti, sebagai ruh, sebagai perangkat untuk menciptakan masyarakat bermoral. Sudah saatnya umat beragama mengeluarkan nilai-nilai moral etis (soul) yang terdapat dalam simbol-simbol ritual keagamaan (body). Mengeluarkan nilai-nilai moral etis ini dilakukan dengan memproyeksikannya dalam kehidupan sehari-hari demi terciptanya masyarakat yang beradab, berperadaban ideal, aman, tenteram, tertib, bahagia di dunia dan akhirat.
Kedua unsur ini harus terpenuhi dalam kehidupan umat beragama. Bila tidak, maka akan terjadi kecacatan dalam beragama. Body atau simbol-simbol yang berupa aktifitas ritual rutin tanpa adanya proyeksi dan implementasi nilai-nilai moral etis yang terdapat di dalamnya, maka laksana badan tanpa nyawa. Agama hanya berupa simbol identitas belaka tanpa makna.
Begitu juga bergama hanya menjalankan nilai-nilai moral etis tanpa mau melakukan aktifitas ritual keagamaan sebagaimana telah diatur suatu aturan yang biasa disebut syariat, maka juga dinilai cacat. Karena hakikat dalam beragam tidak bisa dilepaskan dari syariat sebagai body yang menjadi indikator bagi adanya esensi atau nilai-nilai moral etis yang ada di dalamnya. Jadi keduanya harus ditampilkan secar bersamaan.
Berangkat dari pemaparan di atas, penulis mempunyai pemahaman bahwa yang menjadi inti ajaran agama (baca Islam) adalah nilai-nilai moral etis yang terdapat dalam simbol (syariat). Tujuan dari diturunkannya agama adalah untuk menegakkan nilai-nilai moral etis tersebut melalui syariat yang membungkusnya.
Pemahaman di atas penulis dasarkan pada sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang artinya kurang lebih "sesungguhnya aku diutus untuk menyenpurnakan akhlaq”. Nabi Muhammad, termasuk nabi-nabi sebelumnya diutus oleh Allah ke muka bumi ini adalah untuk menegakkan tiang moral yang terdapat dalam syariat. Moral etis dalam syariat agama adalah sebagai penyangga keberlangsungan peradaban manusia. Karena tanpa adanya moral, maka peradaban yang dibangun dengan segala upaya akan tergerogoti oleh tiindakan yang amoral-destruktif.
Untuk memperlancar tugas suci ini Allah memberikan tuntunan melalui wahyu yang kemudian disebut dengan kitab suci. Nabi Muhammad, sebagai nabi terakhir dituntun dan dibantu dengan panduan Al-Quran yang dalam konteks ini adalah sebagai data base atau kitab pokok tuntunan moral. Al-Quran dan bukanlah karya ilmiah, bukan juga ia sekedar kitab hukum, tidak juga kitab politik, pun juga bukan kitab ekonomi dan lain sebagainya. Adapun ada sebagian kecil ayat yang membicarakan masalah-masalah di atas, ia hanyalah prinsip-prinsip dasar yang sesungguhnya pesan dasarnya adalah bahwa semua kegiatan di atas harus dilakukan sesuai dengan pesan moral dan nilai-nilai etis agama yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut.
Ironi kerusakan moral masyarakat religius
Suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia terkenal dengan masyarakat yang remah tamah, sopan dan religius. Bukan hanya itu Negara Indonesia juga mengklaim dirinya sebagai Negara hukum. Kalau kita mendengar klaim dan predikat di atas, maka yang akan terlintas difikiran kita adalah di situ hiudplah masyarakat yang taat hukum, melaksanakan dan menjunjung nilai-nilai moral, etika dan norma serta ajaran-ajaran agama. Namun, apa yang terlintas dalam pikiran kita itu tidak sepenuhnya benar. Berbagai kerusakan moral terjadi hampir di semua lapisan masyarakat.
Akhir-akhir ini kerusakan alam sekitar kita sebagai umat beragama semakin parah. Kerusakan yang terjadi bukan hanya kerusakan lahir, akan tetapi lebih dari itu, ada kerusakan yang lebih parah, yaitu kerusakan batin atau kerusakan moral.
Kerusakan lahir seperti kerusakan lingkungan, penebangan hutan secara illegar (illegal loging), pembakaran hutan, penambangan liar, pembuangan sampah sembarangan dan sebagainya yang mengakibatkan kerusakan seperti timbulnya bencana, seperti banjir, tanah longsor. Lebih dari itu, perusakan dankerusakan lingkungan juga berimbas pada pemanasan global yang efeknya luar biasa dan dirasakan oleh umat manusia sedunia yang mengakibatkan berubahnya tatanan musim, cuaca dan iklim.
Kerusakan paling parah adalah terjadi pada kerusakan moral masyarakat yang merugikan banyak orang, seperti korupsi kolusi suap, jual beli keadilan, kekuasaan jabatan dan sebagainya. Selain itu, banyak terjadi tindak kekerasan, tindakan amoral yang terjadi antarsesama anggota masyarakat atau bahkan sesama anggota keluarga. Hampir setiap hari kita disuguhi berita-berita tentang pencurian, perampokan, penipuan, pergaulan bebas, pencabulan, seks bebas, aborsi, penggunaan obat-obatan terlarang dan lain sebagainya.
Kalau kita telisik lebih jauh, kita akan menemukan ironi bahwa kejahatan dan tindakan destruktif yang merusak infrastruktur sosial masyarakat dan infrastrukur Negara tersebut dilakukan oleh orang-orang beragama. Lebih ironis lagi banyak dari mereka yang taat beragama, rajin shalat, puasa, baca Al-Quran dan ritual keagamaan lainnya. Banyak yang bergelar haji atau bahkan ustadz yang notabene mempunyai pemahaman agama dan menjalankan syariat agama lebih giat daripada orang awam. Kalau kita perhatikan, jarang sekali terdakwa kasus korupsi di negeri religius ini yang tidak bergelar haji.
Kegagalan transformasi moral agama
Hal di atas terjadi karena para pelaku perusakan atau kejahatan tersebut tidak menangkap pesan moral terdapat dalam ritual ibadah yang dilakukannya setiap hari. Atau mereka sebenarnya menangkap pesan-pesan tersebut hanya saja menjadikannya sebagai bahan kajian, sebagai mata pelajaran yang diberikan di lembaga-lembaga pendidikan dan setelah itu dibiarkan mengendap di dalam otak tanpa ditransformasikan dalam perilaku kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Perlu penulis tegaskan bahwa terjadinya kerusakan moral yang akut di tengah-tengah masyarakat yang taat menjalankan ritual keagamaan bukan karena kegagalan agama dalam membentuk masyarakat bermoral. Kerusakan yang terjadi adalah karena kegagalan memahami pesan moral agama yang menjadi solul atau ruh dari syariat atau ritual-ritual ibadah yang setiap hari dijalankan. Bukan hanya itu, kesalahan yang paling fatal adalah kegagalan mentransformasikan nilai moral etis tersebut dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Agama dengan ritualnya hanya dipahami sebagai aturan-aturan legal formal yang hanya menyidiakan pahala dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan neraka. Padahal, selain mengandung aturan legal formal, agama mempunyai ajaran moral yang merupakan inti, sebagai ruh, sebagai perangkat untuk menciptakan masyarakat bermoral. Sudah saatnya umat beragama mengeluarkan nilai-nilai moral etis (soul) yang terdapat dalam simbol-simbol ritual keagamaan (body). Mengeluarkan nilai-nilai moral etis ini dilakukan dengan memproyeksikannya dalam kehidupan sehari-hari demi terciptanya masyarakat yang beradab, berperadaban ideal, aman, tenteram, tertib, bahagia di dunia dan akhirat.
Artikel Ini Telah Dimuat di Rubrik Opini Surat Kabar Harian Radar Lampung Tanggal 17 Februari 2010
Label:
AGAMA,
ARTIKEL ILMIAH
MENJADIKAN AGAMA SEBAGAI PEMBELA
Oleh: Imam Mustofa*
Membela agama sebagai ideologi yang diyakini (believed ideology) sudah lumrah dan memang menjadi kewajiban bagi setiap pemeluknya. Bahkan dalam Islam ada konsep jihad dengan berbagai varian praktiknya sebagai upaya untuk membela agama. Konsep tujuan syariat Islam, mashlahah juga bermuara pada pemeliharaan lima hal pokok, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam hal ini, apabila terjadi benturan antara menjaga jiwa dan agama, maka yang didahulukan adalah menjaga atau mempertahankan agama. Inilah yang dipraktikkan oleh Rasulullah berjihad dengan berkorban segalanya, nyawapun menjadi taruhan. Semua dilakukan dalam rangka membela dan menjaga agama Islam.
Agama memang wajib dibela dan dipelihara dengan segala upaya dan cara yang tentunya disesuaikan dengan kapasitas pemeluknya, konteks zaman dan keadaan. Dan pada dasarnya umat beragama bukan hanya berkewajiban membela agama yang diyakininya, akan tetapi lebih dari itu, mereka juga wajib menjadikan agama tersebut sebagai pembela dan pemilhara bagi individu dan masyarakat, peradaban, bahkan alam semesta.
Menjadikan agama sebagai pembela berarti melaksanakan ajaran agama dengan mengimplementasikan dan mentransformasikan nilai-nilai etik (ethic values) yang terkandung di dalam syariat agama. Ajaran agama yang mengandung nilai keadilan (justice), perdamaian (peace), persamaan (equality), kebersamaan (togetherness), persaudaraan (brotherhood), persatuan (unity), toleransi (tolerance), dan lain sebagainya yang intinya mengupayakan kesejahteraan (prosperous) dan kebahagiaan (happiness) dunia dan akhirat bagi umat manusia.
Ibadah shalat misalnya, di dalamnya setidaknya mengandung nilai kebersihan, kejujuran, kedisiplinan, persamaan, kebersamaan, persatuan, kasih sayang dan sebagainya. Nilai-nilai ini sifatnya masih abstrak, karena masih tersimpan dalam hati dan pikiran pelaksananya atau bahkan belum terserap olehnya dan masih tersimpan di dalam gerakan-gerakan sholat itu sendiri. Apabila nilai-nilai ini diejawantahkan dalam kehidupan individu maupun sosial masyarakat, maka ia akan membela dan menjaga pemeluknya.
Keberlangsungan umat beragama khususnya, dan umat manusia dengan hasil karyanya itu tergantung pada komitmennya memegang dan melaksanakan nilai moral etik yang sebagian besar terkandung di dalam ajaran agama. Kalau moralitas agama ini ditanamkan dalam hati secara mendalam, kemudian ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun sebagai anggota sosial masyarakat, maka ia akan menopang keberlangsungan hidup dan kehidupan serta peradaban manusia. Karena ia adalah pilar eksistensi sebuah bangsa dan perdabannya. Tetapi apabila agama hanya dijadikan dogma dan ideologi yang hanya diyakini, ritual-ritual rutin tanpa implementasi nilainya, maka ia hanya menjadi identitas belaka. Bahkan ia hanya menjadi penyekat dan menjadi batas dikotomi antara umat manusia yang satu dengan yang lain.
Paradigma Beragama
Penulis mempunyai pemahaman bahwa setidaknya ada dua paradigma dalam beragama. Pertama, paradigma beagama demi manusia untuk Tuhan dan kedua, beragama demi Tuhan untuk kemanusiaan. Dua paradigma ini mempunyai implikasi dan konsekuensi masing-masing.
Paradigma beragama demi manusia untuk Tuhan berarti beragama adalah melayani Tuhan. Ritual-ritual keagamaan yang diajarkan oleh para Nabi adalah dalam rangka melayani Tuhan. Umat beragama yang berpegang pada paradigma ini berharap dengan melayani Tuhan di dunia, maka di akhirat kelak Tuhan akan memberikan pelayanan kepada mereka dengan pelayanan yang sebaik mungkin.
Klausul "demi manusia" dalam paradigma ini berarti bahwa beragama ini tidak dilandasi niat yang tulus untuk menggapai ridho dan rahmat Tuhan, akan tetapi hanya karena manusia. Ritual atau ibadah yang dilakukan hanya karena tidak enak atau malu, karena riya' atau sum'ah dengan sesama manusia.
Pemahaman beragama seperti ini hanya berorientasi untuk mencari keselamatn di akhirat. Agama seolah tidak mengandung unsur kemanusiaan. Beragama hanya menjalin hubungan vertikal (vertical relationship) dengan Tuhan tanpa ada usaha untuk menjalin hubungan harmonis dan konstruktif horizontal antara manusia dengan lainnya dan manusia dengan alam semesta.
Secara tidak langsung paradigma ini menganggap bahwa Tuhan minta untuk disembah oleh hamba-Nya. Tuhan membutuhkan ritual-ritual dari hamba-Nya. Seoalah Tuhan mengajak transaksi, bahwa apabila engkau sebagai hamba mau menyembah, maka akan Aku beri imbalan, tapi apabila tidak mau menyembah, maka akan aku siksa. Seolah-olah Tuhan membutuhkan ibadah dari hamba-Nya. Padahal sama sekali Tuhan tidak membutuhkan apa pun dari hamba-Nya. Bahkan seandainya seluruh makhluk di langit dan bumi dan di kolong antara langit dan bumi ini ingkar dan tidak menyembah Tuhan, sedikit pun tidak akan mengurangi keagungan-Nya. Sebaliknya, seandainya mereka semua menyembah dan taat kepada Tuhan, sedikit pun tidak akan menambah keagungan-Nya. Tuhan menurunkan syariat melalui para nabi dengan tanpa tendensi dan pretensi kecuali demi keharmonisan sesama umat manusia dan antara manusia dengan makhluk hidup dan alam semesta serta demi kesejahteraan dan kebahagiaan mereka.
Paradigma kedua adalah paradigma beragama demi Tuhan untuk kemanusiaan. Beragama demi Tuhan untuk kemanusiaan berangkat dari pemahaman bahwa Tuhan menurunkan agama adalah untuk kepentingan manusia. Visi dan misi agama adalah untuk manusia. Agama adalah untuk manusia, Tuhan tidak mempunyai kepentingan apa pun dengan menurunkan agama ke muka bumi ini.
Ibadah yang disyariatkan untuk hambanya pada dasarnya adalah untuk manusia itu sendiri. Artinya dengan melaksanakan ritual atau ibadah itu diharapkan manusia dapat menangkap pesan moral dan nilai-nilai etik (ethic values) yang terkandung di dalamanya dan kemudian mentransformasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian umat beragama tidak cenderng bersikap dan bertindak amoral terhadap sesama manusia dan juga tidak bertindak destruktif terhadap alam semesta. Pemahaman dan aksi seperti ini, diharapkan dapat mendorong manusia untuk menjalin hubungan yang harmonis, konstruktif dan saling membahu dan membantu sesama lainnya, baik sesama pemeluk agama maupun dengan pemeluk agama lain dan kasih sayang dengan seluruh makhluk.
Paradigma ini mendasari semua aktifitas ritual keagamaan dan transformasi nilai etiknya pada Tuhan. Artinya, semuanya dilakukan tulus dan ikhlas demi Tuhan, demi menggapai rahmat dan ridha-Nya (la maqshuda wa la ghayata illa li ibtighoi mardhotillah wa rahmatihi), dan untuk kemanusiaan, untuk kebaikan sesama manusia khususnya, dan alam semesta pada umumnya. Adapun surga dan neraka adalah konsekuensi logis, dan bukan tujuan dari beragama. Dengan berpegang pada paradigma ini maka umat beragama diharapkan dapat menjadikan agama sebagai pemelihara dan pembela bagi kelangsungan eksistensi dirinya dan peradabannya serta alam semesta.
Jadi beragama bukan hanya berorientasi pada mencari keselamatan di akhirat. beragama tidak hanya menjalin hubungan vertirtikal (vertical relationship) dengan Tuhan tanpa ada usaha untuk menjalin hubungan harmonis dan konstruktif horizontal antara manusia dengan lainnya dan manusia dengan alam semesta.
Beragama berarti membumikan sifat jamaliyah (aesthetic) atau keindahan Tuhan. Umat beragama harus mampu menafsirkan dan menjabarkan keindahan Tuhannya dengan sifat, sikap, dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, baik individu maupun dalam kehidupan sosial berasyarakat lebih-lebih dalam berperilaku dengan seluruh makhluk.
Sebagai kholifah, manusia bertugas membumikan nilai-nilai keindahan yang sudah terkandung dan tergambarkan di dalam nama dan sifat Tuhan. Kalau umat beragama mampu memproyeksikan dan membumikan keindahan, ke rahmahan Tuhan dalam dirinya dan mentransformasikannya dalam kehidupannya, berarti dia telah menjadikan agama sebagai pemelihara dan pembela.
Agama memang wajib dibela dan dipelihara dengan segala upaya dan cara yang tentunya disesuaikan dengan kapasitas pemeluknya, konteks zaman dan keadaan. Dan pada dasarnya umat beragama bukan hanya berkewajiban membela agama yang diyakininya, akan tetapi lebih dari itu, mereka juga wajib menjadikan agama tersebut sebagai pembela dan pemilhara bagi individu dan masyarakat, peradaban, bahkan alam semesta.
Menjadikan agama sebagai pembela berarti melaksanakan ajaran agama dengan mengimplementasikan dan mentransformasikan nilai-nilai etik (ethic values) yang terkandung di dalam syariat agama. Ajaran agama yang mengandung nilai keadilan (justice), perdamaian (peace), persamaan (equality), kebersamaan (togetherness), persaudaraan (brotherhood), persatuan (unity), toleransi (tolerance), dan lain sebagainya yang intinya mengupayakan kesejahteraan (prosperous) dan kebahagiaan (happiness) dunia dan akhirat bagi umat manusia.
Ibadah shalat misalnya, di dalamnya setidaknya mengandung nilai kebersihan, kejujuran, kedisiplinan, persamaan, kebersamaan, persatuan, kasih sayang dan sebagainya. Nilai-nilai ini sifatnya masih abstrak, karena masih tersimpan dalam hati dan pikiran pelaksananya atau bahkan belum terserap olehnya dan masih tersimpan di dalam gerakan-gerakan sholat itu sendiri. Apabila nilai-nilai ini diejawantahkan dalam kehidupan individu maupun sosial masyarakat, maka ia akan membela dan menjaga pemeluknya.
Keberlangsungan umat beragama khususnya, dan umat manusia dengan hasil karyanya itu tergantung pada komitmennya memegang dan melaksanakan nilai moral etik yang sebagian besar terkandung di dalam ajaran agama. Kalau moralitas agama ini ditanamkan dalam hati secara mendalam, kemudian ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun sebagai anggota sosial masyarakat, maka ia akan menopang keberlangsungan hidup dan kehidupan serta peradaban manusia. Karena ia adalah pilar eksistensi sebuah bangsa dan perdabannya. Tetapi apabila agama hanya dijadikan dogma dan ideologi yang hanya diyakini, ritual-ritual rutin tanpa implementasi nilainya, maka ia hanya menjadi identitas belaka. Bahkan ia hanya menjadi penyekat dan menjadi batas dikotomi antara umat manusia yang satu dengan yang lain.
Paradigma Beragama
Penulis mempunyai pemahaman bahwa setidaknya ada dua paradigma dalam beragama. Pertama, paradigma beagama demi manusia untuk Tuhan dan kedua, beragama demi Tuhan untuk kemanusiaan. Dua paradigma ini mempunyai implikasi dan konsekuensi masing-masing.
Paradigma beragama demi manusia untuk Tuhan berarti beragama adalah melayani Tuhan. Ritual-ritual keagamaan yang diajarkan oleh para Nabi adalah dalam rangka melayani Tuhan. Umat beragama yang berpegang pada paradigma ini berharap dengan melayani Tuhan di dunia, maka di akhirat kelak Tuhan akan memberikan pelayanan kepada mereka dengan pelayanan yang sebaik mungkin.
Klausul "demi manusia" dalam paradigma ini berarti bahwa beragama ini tidak dilandasi niat yang tulus untuk menggapai ridho dan rahmat Tuhan, akan tetapi hanya karena manusia. Ritual atau ibadah yang dilakukan hanya karena tidak enak atau malu, karena riya' atau sum'ah dengan sesama manusia.
Pemahaman beragama seperti ini hanya berorientasi untuk mencari keselamatn di akhirat. Agama seolah tidak mengandung unsur kemanusiaan. Beragama hanya menjalin hubungan vertikal (vertical relationship) dengan Tuhan tanpa ada usaha untuk menjalin hubungan harmonis dan konstruktif horizontal antara manusia dengan lainnya dan manusia dengan alam semesta.
Secara tidak langsung paradigma ini menganggap bahwa Tuhan minta untuk disembah oleh hamba-Nya. Tuhan membutuhkan ritual-ritual dari hamba-Nya. Seoalah Tuhan mengajak transaksi, bahwa apabila engkau sebagai hamba mau menyembah, maka akan Aku beri imbalan, tapi apabila tidak mau menyembah, maka akan aku siksa. Seolah-olah Tuhan membutuhkan ibadah dari hamba-Nya. Padahal sama sekali Tuhan tidak membutuhkan apa pun dari hamba-Nya. Bahkan seandainya seluruh makhluk di langit dan bumi dan di kolong antara langit dan bumi ini ingkar dan tidak menyembah Tuhan, sedikit pun tidak akan mengurangi keagungan-Nya. Sebaliknya, seandainya mereka semua menyembah dan taat kepada Tuhan, sedikit pun tidak akan menambah keagungan-Nya. Tuhan menurunkan syariat melalui para nabi dengan tanpa tendensi dan pretensi kecuali demi keharmonisan sesama umat manusia dan antara manusia dengan makhluk hidup dan alam semesta serta demi kesejahteraan dan kebahagiaan mereka.
Paradigma kedua adalah paradigma beragama demi Tuhan untuk kemanusiaan. Beragama demi Tuhan untuk kemanusiaan berangkat dari pemahaman bahwa Tuhan menurunkan agama adalah untuk kepentingan manusia. Visi dan misi agama adalah untuk manusia. Agama adalah untuk manusia, Tuhan tidak mempunyai kepentingan apa pun dengan menurunkan agama ke muka bumi ini.
Ibadah yang disyariatkan untuk hambanya pada dasarnya adalah untuk manusia itu sendiri. Artinya dengan melaksanakan ritual atau ibadah itu diharapkan manusia dapat menangkap pesan moral dan nilai-nilai etik (ethic values) yang terkandung di dalamanya dan kemudian mentransformasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian umat beragama tidak cenderng bersikap dan bertindak amoral terhadap sesama manusia dan juga tidak bertindak destruktif terhadap alam semesta. Pemahaman dan aksi seperti ini, diharapkan dapat mendorong manusia untuk menjalin hubungan yang harmonis, konstruktif dan saling membahu dan membantu sesama lainnya, baik sesama pemeluk agama maupun dengan pemeluk agama lain dan kasih sayang dengan seluruh makhluk.
Paradigma ini mendasari semua aktifitas ritual keagamaan dan transformasi nilai etiknya pada Tuhan. Artinya, semuanya dilakukan tulus dan ikhlas demi Tuhan, demi menggapai rahmat dan ridha-Nya (la maqshuda wa la ghayata illa li ibtighoi mardhotillah wa rahmatihi), dan untuk kemanusiaan, untuk kebaikan sesama manusia khususnya, dan alam semesta pada umumnya. Adapun surga dan neraka adalah konsekuensi logis, dan bukan tujuan dari beragama. Dengan berpegang pada paradigma ini maka umat beragama diharapkan dapat menjadikan agama sebagai pemelihara dan pembela bagi kelangsungan eksistensi dirinya dan peradabannya serta alam semesta.
Jadi beragama bukan hanya berorientasi pada mencari keselamatan di akhirat. beragama tidak hanya menjalin hubungan vertirtikal (vertical relationship) dengan Tuhan tanpa ada usaha untuk menjalin hubungan harmonis dan konstruktif horizontal antara manusia dengan lainnya dan manusia dengan alam semesta.
Beragama berarti membumikan sifat jamaliyah (aesthetic) atau keindahan Tuhan. Umat beragama harus mampu menafsirkan dan menjabarkan keindahan Tuhannya dengan sifat, sikap, dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, baik individu maupun dalam kehidupan sosial berasyarakat lebih-lebih dalam berperilaku dengan seluruh makhluk.
Sebagai kholifah, manusia bertugas membumikan nilai-nilai keindahan yang sudah terkandung dan tergambarkan di dalam nama dan sifat Tuhan. Kalau umat beragama mampu memproyeksikan dan membumikan keindahan, ke rahmahan Tuhan dalam dirinya dan mentransformasikannya dalam kehidupannya, berarti dia telah menjadikan agama sebagai pemelihara dan pembela.
*Alumni Ponpes UII
Label:
AGAMA,
ARTIKEL ILMIAH
JIHAD MELAWAN MAFIA
Oleh: Imam Mustofa
(Dosen Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo Metro)
(Dosen Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo Metro)
Era reformasi telah berlalu lebih satu dekade. Reformasi yang diharapkan dapat memperbaiki pengelolaan pemerintahan dengan penegakan hukum dan menciptakan pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme ternyata belum tercapai. Pengelolaan pemerintahan Indonesia masih sarat silang-sengkarut oleh kepentingan-kepentingan elit dan virus korupsi yang menjalar ke hampir setiap nadi birokrasi.
Bukan hanya itu, munculnya mafia yang gentayangan di hampir semua instansi negara seolah menjadi benalu yang menyedot nutrisi pendapatan negara yang seharusnya menjadi gizi bagi kesejahteraan rakyat. Akibat mafia perusak negara, seperti mafia jabatan Pegawai Negeri Sipil, mafia hukum, mafia pajak, mafia pemilu, mafia jabatan, mafia anggaran dan mafia-mafia, dan mafia-mafia lainnya cita-cita reformasi, kesejahteraan dan terangkatnya martabat bangsa dalam pergaulan global seolah hanya fatamorgana atau bahkan hanya ilusi.
Jaringan dan kekuatan mafia yang menggurita telah berhasil "mensabotase" negara. Berbagai kekuatan mafia yang bergentayangan di berbagai borokrasi pemerintah telah menyandera penegakan hukum di Indonesia dan kesejahteraan rakyat. Mafia-mafia telah mewarnai dan sekaligus menjerat kehidupan bangsa Indonesia.
Mafia pajak telah menjadi drakula yang menghisap pendapatan Negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Mafia pajak juga telah menghambat laju roda perkembangan ekonomi Negara. Sementara mafia hukum telah merusak sistem hukum dan mengacak-acak proses penegakan hukum. Ia merasuk ke hampir semua lembaga penegak hukum dan merusak sistem kerja penegaknya.
Jaringan mafia tidak saja mengakibatkan rusakanya perekonomian masyarakat dan negara, ia dapat mengakibatkan kerusakan moral, budaya, politik, birokrasi, sistem dan tatanan hukum serta merusak suprastruktur masyarakat dan infrastruktur negara. Mafia Negara bukan hanya mengaburkan harapan masyarakat, akan tetapi juga menguburkan cita-cita bangsa Indonesia.
Berangkat dari pemikiran di atas, maka sudah saatnya bangsa Indonesia mendeklarasikan diri untuk berjihad melawan mafia. Pemberantasan mafia bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab lembaga-lembaga penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi atau Panja di DPR. Pemberantasan mafia adalah tugas semua elemen masyarakat Indonesia yang menginginkan keselamatan negara dan keberlangsungan bangsa Indonesia. Civil society harus dioptimalkan. Karena apabila keberadaan jaringan mafia ini masih mendominasi wajah bangsa Indonesia, maka bukan tidak mungkin suatu saat nanti Indonesia hanya tinggal nama tanpa martabat dan kehormatan.
Jihad melawan mafia harus ditempuh melalui berbagai lini. Mulai dari dunia pendidikan, kekuatan moral umat beragama, ormas-ormas keagamaan, kalangan intelektual kampus, Lembaga Swadaya Masyarakat dan terlebih kekuatan media. LSM dan media sebagai kekuatan civil society dapat merasuk ke sarang mafia dan mem-blow up kejahatan-kejahatan yang selama ini tersembunyi (hidden).
Tokoh agama harus turun tangan dan tidak cukup hanya dengan melakukan kritik, akan tetapi juga harus melakukan gerakan nyata dengan tujuan menyelamatkan Negara dari tangan mafia. Gerakan tokoh agama ini setidaknya dapat menjadi tekanan (pressure) bagi pemerintah untuk menjalankan Negara sesuai dengan amanat konstitusi dan kehendak rakyat.
Mafia perusak Negara harus dijadikan musuh bersama (common enemy) yang penaggulangnnya tidak hanya diserahkan kepada Negara. Telah banyak terbukti instansi-instansi yang seharusnya menjadi panglima dalam menjalankan pemerintahan yang baik dan bersih telah terkontaminasi dan bahkan menjadi tempat bersarangnya mafia.
Jihad bukanlah mencari mati di jalan Tuhan. Jihad adalah kita berusaha hidup dengan penuh cinta di Jalan-Nya. Gamal al Banna, Adik dari tokoh pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Banna mengemukakan sebuah gagasan "innal jihada fi al-'ashri al-hadits laisa huwa an-namuta fi sabilillah, wa lakin an-nahyaa fi sabilillah", (sesungguhnya jihad di era modern seperti sekarang ini bukanlah mencari mati di jalan Allah, akan tetapi bagaimana kita berusaha hidup bersama-sama di jalan Allah.
Hal di atas tidak akan bisa membumi di bumi Indonesia yang merupakan percikan surga melalui kekayaan alamnya yang melimpah ini, selama jaringan mafia masih menggurita. Artinya, kalau memang menginginkan kehidupan yang sejahtera, tenteram damai dalam rajutan benang-benang cinta satu bangsa Indonesia, maka hal terpenting yang harus dilakukan adalah jihad melawan dan memberantas mafia dan semua penjahat Negara yang bertopeng jabatan. Sebagai langkah nyata, penegakan hukum, peran media, tokoh agama, dan civil society harus dapat dioptimalkan.
Bukan hanya itu, munculnya mafia yang gentayangan di hampir semua instansi negara seolah menjadi benalu yang menyedot nutrisi pendapatan negara yang seharusnya menjadi gizi bagi kesejahteraan rakyat. Akibat mafia perusak negara, seperti mafia jabatan Pegawai Negeri Sipil, mafia hukum, mafia pajak, mafia pemilu, mafia jabatan, mafia anggaran dan mafia-mafia, dan mafia-mafia lainnya cita-cita reformasi, kesejahteraan dan terangkatnya martabat bangsa dalam pergaulan global seolah hanya fatamorgana atau bahkan hanya ilusi.
Jaringan dan kekuatan mafia yang menggurita telah berhasil "mensabotase" negara. Berbagai kekuatan mafia yang bergentayangan di berbagai borokrasi pemerintah telah menyandera penegakan hukum di Indonesia dan kesejahteraan rakyat. Mafia-mafia telah mewarnai dan sekaligus menjerat kehidupan bangsa Indonesia.
Mafia pajak telah menjadi drakula yang menghisap pendapatan Negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Mafia pajak juga telah menghambat laju roda perkembangan ekonomi Negara. Sementara mafia hukum telah merusak sistem hukum dan mengacak-acak proses penegakan hukum. Ia merasuk ke hampir semua lembaga penegak hukum dan merusak sistem kerja penegaknya.
Jaringan mafia tidak saja mengakibatkan rusakanya perekonomian masyarakat dan negara, ia dapat mengakibatkan kerusakan moral, budaya, politik, birokrasi, sistem dan tatanan hukum serta merusak suprastruktur masyarakat dan infrastruktur negara. Mafia Negara bukan hanya mengaburkan harapan masyarakat, akan tetapi juga menguburkan cita-cita bangsa Indonesia.
Berangkat dari pemikiran di atas, maka sudah saatnya bangsa Indonesia mendeklarasikan diri untuk berjihad melawan mafia. Pemberantasan mafia bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab lembaga-lembaga penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi atau Panja di DPR. Pemberantasan mafia adalah tugas semua elemen masyarakat Indonesia yang menginginkan keselamatan negara dan keberlangsungan bangsa Indonesia. Civil society harus dioptimalkan. Karena apabila keberadaan jaringan mafia ini masih mendominasi wajah bangsa Indonesia, maka bukan tidak mungkin suatu saat nanti Indonesia hanya tinggal nama tanpa martabat dan kehormatan.
Jihad melawan mafia harus ditempuh melalui berbagai lini. Mulai dari dunia pendidikan, kekuatan moral umat beragama, ormas-ormas keagamaan, kalangan intelektual kampus, Lembaga Swadaya Masyarakat dan terlebih kekuatan media. LSM dan media sebagai kekuatan civil society dapat merasuk ke sarang mafia dan mem-blow up kejahatan-kejahatan yang selama ini tersembunyi (hidden).
Tokoh agama harus turun tangan dan tidak cukup hanya dengan melakukan kritik, akan tetapi juga harus melakukan gerakan nyata dengan tujuan menyelamatkan Negara dari tangan mafia. Gerakan tokoh agama ini setidaknya dapat menjadi tekanan (pressure) bagi pemerintah untuk menjalankan Negara sesuai dengan amanat konstitusi dan kehendak rakyat.
Mafia perusak Negara harus dijadikan musuh bersama (common enemy) yang penaggulangnnya tidak hanya diserahkan kepada Negara. Telah banyak terbukti instansi-instansi yang seharusnya menjadi panglima dalam menjalankan pemerintahan yang baik dan bersih telah terkontaminasi dan bahkan menjadi tempat bersarangnya mafia.
Jihad bukanlah mencari mati di jalan Tuhan. Jihad adalah kita berusaha hidup dengan penuh cinta di Jalan-Nya. Gamal al Banna, Adik dari tokoh pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Banna mengemukakan sebuah gagasan "innal jihada fi al-'ashri al-hadits laisa huwa an-namuta fi sabilillah, wa lakin an-nahyaa fi sabilillah", (sesungguhnya jihad di era modern seperti sekarang ini bukanlah mencari mati di jalan Allah, akan tetapi bagaimana kita berusaha hidup bersama-sama di jalan Allah.
Hal di atas tidak akan bisa membumi di bumi Indonesia yang merupakan percikan surga melalui kekayaan alamnya yang melimpah ini, selama jaringan mafia masih menggurita. Artinya, kalau memang menginginkan kehidupan yang sejahtera, tenteram damai dalam rajutan benang-benang cinta satu bangsa Indonesia, maka hal terpenting yang harus dilakukan adalah jihad melawan dan memberantas mafia dan semua penjahat Negara yang bertopeng jabatan. Sebagai langkah nyata, penegakan hukum, peran media, tokoh agama, dan civil society harus dapat dioptimalkan.
Artikel ini telah diterbitkan Surat Kabar Harian Radar Lampung, Selasa, 25 Oktober 2011
Label:
AGAMA,
ARTIKEL ILMIAH
ISU TERORISME DAN PONDOK PESANTREN
OLEH: IMAM MUSTOFA
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia)
Isu-isu global yang terkadang dikaitkan dengan Islam, secara langsung maupun tidak, juga menyeret pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang tertua di Indonesia. Hal yang paling nyata adalah isu terorisme. Ketika isu terorisme diakit-kaitkan dengan Islam, maka institusi pesantren secara spontan juga dikaitkan dengan isu yang menarik perhatian global, khusunya negara-negara Barat ini.
Jihad yang masuk bab dalam salah satu kajian fikih yang dipelajari di pondok pesantren dituduh sebagai pemicu berbagai aksi kekerasan atau tindakan teror yang akhir-akhir ini kian meningkat. Berbagai tuduhan miring dilemparkan ke institusi pencetak intelektual sholeh ini. Diantara tuduhan yang dilemparkan oleh negara Barat adalah pesantren sebagai sarang teroris, tempat persemaian teroris dan tuduhan negatif lainnya. Akibat tuduhan ini, semua gerak-gerik pondok pesantren selalu dicurigai, bahkan diawasi oleh intelejen.
Disadari atu tudak, pada dasarnya pengaitan isu terorisme dengan agama akan mendeskriditkan pemeluk agama tertentu. Bahkan ajaran agama tersebut selalu dicuriga. Memang aksi kekerasan bisa saja bermotifkan agama. Sentimen agama sering menjadi salah satu penyebab radikalisme dan terorisme (Whittaker, 2000). Namun demikian bukan berarti hal ini muncul dari ajaran agama itu sendiri, tapi karena interpretasi yang kurang tepat terhadap teks agama oleh kelompok tertentu dan kemudian dijadikan alat untuk menjastifikasi tindakan mereka.
Munculnya ketidakadilan global dan tindakan sewenang-wenang Negara yang kuat secara politik, militer dan ekonomi terhadap bangsa yang lemah seperti yang dilakukan oleh Amerika dan sekutu-sekutunya terhadap Afghanistan, Irak dan Palestina, menjadi pemicu utama lahirnya tindak kekerasan. Dan bisa dikatakan bahwa aksi-aksi kekerasan seperti peledakan bom, bom bunuh diri, penyanderaan dan aksi kekerasan lainnya hanyalah sebagai reaksi atas tindakan terror yang dilakukan oleh Negara-negara kuat tersebut.
Reaksi terhadap teror negaa adikuasa tersebut tidak hanya terjadi di Negara-negara yang dijajah, akan tetapi menyebar ke berbagai Negara, termasuk Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Reaksi kelompok-kelompok tertentu di Indonesia diekspresikan dengan berbagai tindakan teror, seperti peledakan bom Bali I dan II dan peledakan hotel JW. Marriot dan Ritz-Carlton dan tindak kekerasan lain.
Munculnya asumsi yang mengatakan bahwa pesantren sebagai basis terorisme bermula saat muncul isu bahwa pesantren Ngruki merupakan salah satu basis al Jama’ah al Islamiyah (JI). Demikian pula beberapa pelaku pemboman Bali juga melibatkan mereka yang pernah belajar di pesantren. Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian Amerika Serikat mulai membidik pesantren sebagai basis terorisme di Indonesia. Dalam hal ini, salah satu yang paling dibidik adalah kurikulum pesantren dan bagaimana pola pengajaran di pesantren itu sendiri (Abegebriel, dkk, 2004: 740-741).
Setidaknya ada dua faktor yang melatarbelakangi stigmatisasi terhadap Pondok Pesantren terkait isu terorisme ini; pertama, adanya oknum-oknum pesantren yang terbukti melakukan tindakan teror. Para pelaku pemboman di Bali, Jakarta dan daerah-daerah lain yang kebetulan sebagian mereka pernah belajar di pondok pesantren secara otomatis membawa citra buruk pondok pesantren. Pondok pesantren dicyrigai sebagai ajang penyemaian teroris. Bahkan, ada pihak yang mengusulkan supaya kurikulum pondok pesantren diubah. Pemerintah AS melaui George Bush juga pernah meminta pemerintah Arab Saudi untuk menghilangkan konsep jihad dari ajaran Islam (Muhammad ‘Imarah, 2003:).
Kedua, adanya konsep jihad dalam Islam yang juga dipelajari di pondok pesantren. Memang ada beberapa kalangan yang salah dalam mengartikan jihad ini. Jihad diartikan sebagai aktivitas mengangkat senjata dan membunuh musuh dalam kondidsi apa pun. Pemahaman semacam ini merupakan pemahaman yang kurang tepat. Inilah yang menimbulkan tuduhan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam merupakan ajaran Islam itu sendiri. Padahal, terjadinya tindak kekerasan yang mengatasnamakan jihad ini akibat adanya misunderstanding terhadap teks agama. Islam sama sekali tidak membenarkan kekerasan, anarkis dan terorisme. Di dalam kurikulum pendidikan pondok pesantren juga tidak diajarkan kekerasan, apalagi tindakan teror.
Jihad yang dipelajari di pondok pesantren sangat berbeda dengan terorisme. Jihad adalah salah satu metode dakwah sebagai pembelaan diri terhadap umat Islam, yaitu untuk mempertahankan agama, diri, harta dan kehormatan. Hal ini tentunya sangat jauh berbeda dengan teror yang merupakan tindakan untuk menakut-nakuti, melakukan kekerasan sehingga menimbulkan korban harta atau jiwa. Islam memerintahkan umatnya untuk teguh membela hak milik dan tanah airnya. Pembelaan terhadap tanah air dan hak milik juga diakui secara resmi oleh undang-undang internasional. Dengan kata lain, pembelaan terhadap tanah air dan hak milik bukanlah sebuah bentuk terorisme.
Kita bisa lihat kitab-kitab ajar yang dipakai pada mayoritas pondok pesantren di Indonesia adalah kitab yang menekankan pada spiritualisme dan moral. Sementara kitab kitab fiqh yang dipakai adalah kitab kitab fiqh imam madzhab yang memang di dalamnya ada ‘bab’ yang membahas masalah jihad. Tetapi pula di bahas tuntunan bagaimana berjihad yang benar, termasuk adab dalam peperangan, memperlakukan tawanan perang, aturan memperlakukan wilayah musuh, sampai aturan tentang rampasan perang. Dalam bab ini juga diajarkan bahwa dalam suatu peperangan tidak boleh membunuh anak-anak dan wanita, dan aturan-aturan lain dalam perang.
Isu terorisme telah membawa dampak negatif terhadap pondok pesantren. Pesantren mendapat setigma dan implikasi yang sangat merugikan eksistensi dan reputasinya sebagai lembaga pendidikan agama Islam. Salah satu implikasi yang paling dirasakan pondok pesantren adalah, semua gerak-gerik pondok pesantren selalu dicurigai karena takut akan menimbulkan kekerasan atau tindakan teror. Kecuriagaan yang berlebihan terhadap aktifitas pondok pesantren ini menjadikannya seolah-olah pesantren memang menjadi sarang teroris. Meskipun tuduhan pesantren sebagai sarang teroris tidak membuat pesantren ditingalkan masyarakat, namun tuduhan ini menimbulkan pandangan negatif terhadap pendidikan sebagian pondok pesantren di Indonesia, diantaranya pondok pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo dan Al Islam Tenggulun Solokuro Lamongan.
Satu hal yang penting adalah, suatu tindakan yang tidak bijak apabila menjudge suatu lembaga pendidikan sebagai sarang pelaku makar dan kekerasan hanya karena pernah ada oknum tertentu yang pernah belajar di dalamnya. Pondok pesantren telah terbukti memberi sumbangan yang cukup besar dalam mencerdaskan bangsa ini melalui sistem pendidikan yang sudah ratusan tahun diterapkan.
Jihad yang masuk bab dalam salah satu kajian fikih yang dipelajari di pondok pesantren dituduh sebagai pemicu berbagai aksi kekerasan atau tindakan teror yang akhir-akhir ini kian meningkat. Berbagai tuduhan miring dilemparkan ke institusi pencetak intelektual sholeh ini. Diantara tuduhan yang dilemparkan oleh negara Barat adalah pesantren sebagai sarang teroris, tempat persemaian teroris dan tuduhan negatif lainnya. Akibat tuduhan ini, semua gerak-gerik pondok pesantren selalu dicurigai, bahkan diawasi oleh intelejen.
Disadari atu tudak, pada dasarnya pengaitan isu terorisme dengan agama akan mendeskriditkan pemeluk agama tertentu. Bahkan ajaran agama tersebut selalu dicuriga. Memang aksi kekerasan bisa saja bermotifkan agama. Sentimen agama sering menjadi salah satu penyebab radikalisme dan terorisme (Whittaker, 2000). Namun demikian bukan berarti hal ini muncul dari ajaran agama itu sendiri, tapi karena interpretasi yang kurang tepat terhadap teks agama oleh kelompok tertentu dan kemudian dijadikan alat untuk menjastifikasi tindakan mereka.
Munculnya ketidakadilan global dan tindakan sewenang-wenang Negara yang kuat secara politik, militer dan ekonomi terhadap bangsa yang lemah seperti yang dilakukan oleh Amerika dan sekutu-sekutunya terhadap Afghanistan, Irak dan Palestina, menjadi pemicu utama lahirnya tindak kekerasan. Dan bisa dikatakan bahwa aksi-aksi kekerasan seperti peledakan bom, bom bunuh diri, penyanderaan dan aksi kekerasan lainnya hanyalah sebagai reaksi atas tindakan terror yang dilakukan oleh Negara-negara kuat tersebut.
Reaksi terhadap teror negaa adikuasa tersebut tidak hanya terjadi di Negara-negara yang dijajah, akan tetapi menyebar ke berbagai Negara, termasuk Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Reaksi kelompok-kelompok tertentu di Indonesia diekspresikan dengan berbagai tindakan teror, seperti peledakan bom Bali I dan II dan peledakan hotel JW. Marriot dan Ritz-Carlton dan tindak kekerasan lain.
Munculnya asumsi yang mengatakan bahwa pesantren sebagai basis terorisme bermula saat muncul isu bahwa pesantren Ngruki merupakan salah satu basis al Jama’ah al Islamiyah (JI). Demikian pula beberapa pelaku pemboman Bali juga melibatkan mereka yang pernah belajar di pesantren. Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian Amerika Serikat mulai membidik pesantren sebagai basis terorisme di Indonesia. Dalam hal ini, salah satu yang paling dibidik adalah kurikulum pesantren dan bagaimana pola pengajaran di pesantren itu sendiri (Abegebriel, dkk, 2004: 740-741).
Setidaknya ada dua faktor yang melatarbelakangi stigmatisasi terhadap Pondok Pesantren terkait isu terorisme ini; pertama, adanya oknum-oknum pesantren yang terbukti melakukan tindakan teror. Para pelaku pemboman di Bali, Jakarta dan daerah-daerah lain yang kebetulan sebagian mereka pernah belajar di pondok pesantren secara otomatis membawa citra buruk pondok pesantren. Pondok pesantren dicyrigai sebagai ajang penyemaian teroris. Bahkan, ada pihak yang mengusulkan supaya kurikulum pondok pesantren diubah. Pemerintah AS melaui George Bush juga pernah meminta pemerintah Arab Saudi untuk menghilangkan konsep jihad dari ajaran Islam (Muhammad ‘Imarah, 2003:).
Kedua, adanya konsep jihad dalam Islam yang juga dipelajari di pondok pesantren. Memang ada beberapa kalangan yang salah dalam mengartikan jihad ini. Jihad diartikan sebagai aktivitas mengangkat senjata dan membunuh musuh dalam kondidsi apa pun. Pemahaman semacam ini merupakan pemahaman yang kurang tepat. Inilah yang menimbulkan tuduhan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam merupakan ajaran Islam itu sendiri. Padahal, terjadinya tindak kekerasan yang mengatasnamakan jihad ini akibat adanya misunderstanding terhadap teks agama. Islam sama sekali tidak membenarkan kekerasan, anarkis dan terorisme. Di dalam kurikulum pendidikan pondok pesantren juga tidak diajarkan kekerasan, apalagi tindakan teror.
Jihad yang dipelajari di pondok pesantren sangat berbeda dengan terorisme. Jihad adalah salah satu metode dakwah sebagai pembelaan diri terhadap umat Islam, yaitu untuk mempertahankan agama, diri, harta dan kehormatan. Hal ini tentunya sangat jauh berbeda dengan teror yang merupakan tindakan untuk menakut-nakuti, melakukan kekerasan sehingga menimbulkan korban harta atau jiwa. Islam memerintahkan umatnya untuk teguh membela hak milik dan tanah airnya. Pembelaan terhadap tanah air dan hak milik juga diakui secara resmi oleh undang-undang internasional. Dengan kata lain, pembelaan terhadap tanah air dan hak milik bukanlah sebuah bentuk terorisme.
Kita bisa lihat kitab-kitab ajar yang dipakai pada mayoritas pondok pesantren di Indonesia adalah kitab yang menekankan pada spiritualisme dan moral. Sementara kitab kitab fiqh yang dipakai adalah kitab kitab fiqh imam madzhab yang memang di dalamnya ada ‘bab’ yang membahas masalah jihad. Tetapi pula di bahas tuntunan bagaimana berjihad yang benar, termasuk adab dalam peperangan, memperlakukan tawanan perang, aturan memperlakukan wilayah musuh, sampai aturan tentang rampasan perang. Dalam bab ini juga diajarkan bahwa dalam suatu peperangan tidak boleh membunuh anak-anak dan wanita, dan aturan-aturan lain dalam perang.
Isu terorisme telah membawa dampak negatif terhadap pondok pesantren. Pesantren mendapat setigma dan implikasi yang sangat merugikan eksistensi dan reputasinya sebagai lembaga pendidikan agama Islam. Salah satu implikasi yang paling dirasakan pondok pesantren adalah, semua gerak-gerik pondok pesantren selalu dicurigai karena takut akan menimbulkan kekerasan atau tindakan teror. Kecuriagaan yang berlebihan terhadap aktifitas pondok pesantren ini menjadikannya seolah-olah pesantren memang menjadi sarang teroris. Meskipun tuduhan pesantren sebagai sarang teroris tidak membuat pesantren ditingalkan masyarakat, namun tuduhan ini menimbulkan pandangan negatif terhadap pendidikan sebagian pondok pesantren di Indonesia, diantaranya pondok pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo dan Al Islam Tenggulun Solokuro Lamongan.
Satu hal yang penting adalah, suatu tindakan yang tidak bijak apabila menjudge suatu lembaga pendidikan sebagai sarang pelaku makar dan kekerasan hanya karena pernah ada oknum tertentu yang pernah belajar di dalamnya. Pondok pesantren telah terbukti memberi sumbangan yang cukup besar dalam mencerdaskan bangsa ini melalui sistem pendidikan yang sudah ratusan tahun diterapkan.
Artikel ini telah diterbitkan Surat Kabar Harian Radar Lampung, Kamis, 27 Mei 2010
Label:
ARTIKEL ILMIAH,
PESANTREN
GUS DUR DAN LIBERAL NU
Oleh: Imam Mustofa
(Kader Kultural NU Lampung)
(Kader Kultural NU Lampung)
Para intelektual muda NU Muslim Indonesia pada umumnya lebih terbuka dan jujur dalam perkembangan pemikiran keislaman. Tokoh muda NU seperti Ulil Abshar Abdalla, Abdul Moqsith Ghazali lebih berani dalam menghadapi tantangan modernitas dengan ide pencerahan Islam jika dibandingkan dengan kalangan tokoh NU atau kelompok-kelompok muslim lainnya. Tokoh muda NU yang mempunyai pemikiran yang lebih progresif, moderat dan terbuka dengan mengusung dan mengembangakan wacana demokrasi, penegakan HAM, pluralisme, inklusivisme, dan humanisme dengan membuka pintu ijtihad seluas mungkin dinilai sebagai jamaah Islam liberal.
Pada umumnya, di kalangan internal NU sendiri masih belum begitu bisa menerima pemikiran yang diusung oleh para kalangan muda NU tersebut. Padahal, apa yang mereka kembangkan adalah hasil dari gagasan dan pemikiran mendiang Gus Dur yang juga mantan Ketua Umum PBNU. Menurut Greg Barton, para pemikir yang menjadi pendukung Islam liberal di Indonesia antara lain: Nurchalis majid dengan gagasan Neo-Modernisme dan “sekularisasi Islam”, (meskipun Nurcholis sendiri tidak pernah menggunakan istilah Islam liberal untuk mengembangkan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tapi ia tidak menentang ide-ide Islam liberal), Abdurrahman Wahid dengan paham pribumisasi Islam, Djohan Effendy, dan Ahmad Wahib. (Greg Barton, 1999: 27-42).
Menurut Gus Dur guna mempertahankan tawaran pribumisasi Islam tesebut setidaknya ada dua alasan pokok. Pertama, alasan historis bahwa pribumisasi Islam merupakan bagian dari sejarah Islam, baik di negeri asalnya maupun di negeri lain, temasuk Indonesia. Kedua, proses pribumisasi Islam berkaitan erat antara fiqih dengan adat, menurutnya adat tidak mengubah nash, melainkan hanya mengubah atau mengembangkan implementasinya agar lebih fleksibel.
Meskipun pemikiran dan wacana yang diusung oleh kalangan liberal NU merupakan hasil ramuan dan pengembangan pemikiran-pemikiran Gus Dur, namun hal itu tidak menjadikannya langusng diterima oleh kalangan NU sendiri. Bahkan mereka mendapat penolakan. Lebih-lebih kalangan Kyia dan sesepuh NU. Dari PB-NU yang nota bene organisasi yang menaungi Ulil juga memberikan tanggapan terhadap pemikiran-pemikiran yang diusung oleh JIL adalah KH. Salahuddin Wahid yang menyatakan bahwa JIL- yang kebanyakan dipelopori oleh anak-anak muda NU- jauh liberal dari Nurcholish Madjid.
Setidaknya ada dua alasan mendasar mereka kurang diterima atau tidak mendapatkan tempat di di kalangan jamaah NU. Pertama, ide-ide yang mereka usung telah dianggap keluar dali doktrin dan faham akidah alussunnah wal jamaah yang selama ini menjadi landasan NU secara jam'iyah dan jamaahnya dalam kehidupan beragama.
Paham-paham seperti pluralism, inklusivisme dan humanisme dengan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya dinilai telah melenceng dari pakem yang dipegangi NU selama ini. Pluralisme telah menyimpang karena dianggap menyamakan semua agama di muka bumi ini. Padahal sebenarnya yang terjadi adalah perbedaan perspektif dalam mengartikan pluralism.
Kedua, pemikiran liberal NU yang juga merupakan naka-anak didik Gus Dur terkesan elitis dan asing di kalangan NU yang nota bene mayoritas dari pedesaan. Isu-isu dan wacana demokrasi, penegakan HAM, pluralisme, inklusivisme, dan humanism merupakan hal yang masih agak atau bahkan sangat asing di kalangan NU, khususnya jamaah kalangan grass root.
Para tokoh dan Kyai NU sangat khawatir NU akan keluar dari frame doktrin ahlussunnah waljamaah yang telah ditanmkan para founding fathers NU yang sudah turun temurun menjadi pegangan dalam perjuangan dakwah Islamiyah.
Sementara pemikiran Gus Dur yang malah mejadi sumber inspirasi kalangan liberal NU seolah biasa dan tetap bisa diterima. Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal, antara lain, pertama, kharisma Gus Dur. Hal ini di karenakan beliau merupakan keturunan "darah biru" dari hadharatusysyaikh KH. Hasyim Asy'arie. Dengan adanya kharisma ini, meskipun ide-ide dan pemikiran beliau dianggap liberal dan sering keluar dari frame dan mind set kalangan tokoh dan para Kyai NU, sedikitpun tidak menggoyahkan kekuatan beliau di hati para jamaah NU, termasuk ide dangagasannya.
Kedua, faktor kedekatan Gus Dur dengan kalangan bawah. Dengan sikap yang apa adanya, bergaul dengan sapa saja, tidak elitis membuatnya menjadi milik setiap golongan,terutama kalangan akar rumput. Hal inilah yang menjadikan pemikiran liberal beliau tidak terkesan elitis.
Nampaknya perbedaan perspektif dalam menyikapi pemikiran liberal di kalangan NU karena perbedaan pandangan terhadap pengusung dan pengembang gagasannya. Meskipun gagasan liberal Islam di kalangan jamaah NU lahir dari Gus Dur, namun ketika ia dikembangkan oleh anak-anak didik beliau, maka ada semacam resistensi di kalangan jamaah NU.
Apa pun bentuk pemikiran dan bagaimana pun reaksi masyarakat, penulis hanya bisa berharap, semoga pemikiran-pemikiran yang telah dibangun oleh mendiang Gus Dur almaghfur lah dapat menjadi amal jariyah yang dapat memberikan siraman air ketenangan dan kebehagaiaan di alam sana. Amiin ya Robbal ‘alamiin.
Pada umumnya, di kalangan internal NU sendiri masih belum begitu bisa menerima pemikiran yang diusung oleh para kalangan muda NU tersebut. Padahal, apa yang mereka kembangkan adalah hasil dari gagasan dan pemikiran mendiang Gus Dur yang juga mantan Ketua Umum PBNU. Menurut Greg Barton, para pemikir yang menjadi pendukung Islam liberal di Indonesia antara lain: Nurchalis majid dengan gagasan Neo-Modernisme dan “sekularisasi Islam”, (meskipun Nurcholis sendiri tidak pernah menggunakan istilah Islam liberal untuk mengembangkan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tapi ia tidak menentang ide-ide Islam liberal), Abdurrahman Wahid dengan paham pribumisasi Islam, Djohan Effendy, dan Ahmad Wahib. (Greg Barton, 1999: 27-42).
Menurut Gus Dur guna mempertahankan tawaran pribumisasi Islam tesebut setidaknya ada dua alasan pokok. Pertama, alasan historis bahwa pribumisasi Islam merupakan bagian dari sejarah Islam, baik di negeri asalnya maupun di negeri lain, temasuk Indonesia. Kedua, proses pribumisasi Islam berkaitan erat antara fiqih dengan adat, menurutnya adat tidak mengubah nash, melainkan hanya mengubah atau mengembangkan implementasinya agar lebih fleksibel.
Meskipun pemikiran dan wacana yang diusung oleh kalangan liberal NU merupakan hasil ramuan dan pengembangan pemikiran-pemikiran Gus Dur, namun hal itu tidak menjadikannya langusng diterima oleh kalangan NU sendiri. Bahkan mereka mendapat penolakan. Lebih-lebih kalangan Kyia dan sesepuh NU. Dari PB-NU yang nota bene organisasi yang menaungi Ulil juga memberikan tanggapan terhadap pemikiran-pemikiran yang diusung oleh JIL adalah KH. Salahuddin Wahid yang menyatakan bahwa JIL- yang kebanyakan dipelopori oleh anak-anak muda NU- jauh liberal dari Nurcholish Madjid.
Setidaknya ada dua alasan mendasar mereka kurang diterima atau tidak mendapatkan tempat di di kalangan jamaah NU. Pertama, ide-ide yang mereka usung telah dianggap keluar dali doktrin dan faham akidah alussunnah wal jamaah yang selama ini menjadi landasan NU secara jam'iyah dan jamaahnya dalam kehidupan beragama.
Paham-paham seperti pluralism, inklusivisme dan humanisme dengan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya dinilai telah melenceng dari pakem yang dipegangi NU selama ini. Pluralisme telah menyimpang karena dianggap menyamakan semua agama di muka bumi ini. Padahal sebenarnya yang terjadi adalah perbedaan perspektif dalam mengartikan pluralism.
Kedua, pemikiran liberal NU yang juga merupakan naka-anak didik Gus Dur terkesan elitis dan asing di kalangan NU yang nota bene mayoritas dari pedesaan. Isu-isu dan wacana demokrasi, penegakan HAM, pluralisme, inklusivisme, dan humanism merupakan hal yang masih agak atau bahkan sangat asing di kalangan NU, khususnya jamaah kalangan grass root.
Para tokoh dan Kyai NU sangat khawatir NU akan keluar dari frame doktrin ahlussunnah waljamaah yang telah ditanmkan para founding fathers NU yang sudah turun temurun menjadi pegangan dalam perjuangan dakwah Islamiyah.
Sementara pemikiran Gus Dur yang malah mejadi sumber inspirasi kalangan liberal NU seolah biasa dan tetap bisa diterima. Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal, antara lain, pertama, kharisma Gus Dur. Hal ini di karenakan beliau merupakan keturunan "darah biru" dari hadharatusysyaikh KH. Hasyim Asy'arie. Dengan adanya kharisma ini, meskipun ide-ide dan pemikiran beliau dianggap liberal dan sering keluar dari frame dan mind set kalangan tokoh dan para Kyai NU, sedikitpun tidak menggoyahkan kekuatan beliau di hati para jamaah NU, termasuk ide dangagasannya.
Kedua, faktor kedekatan Gus Dur dengan kalangan bawah. Dengan sikap yang apa adanya, bergaul dengan sapa saja, tidak elitis membuatnya menjadi milik setiap golongan,terutama kalangan akar rumput. Hal inilah yang menjadikan pemikiran liberal beliau tidak terkesan elitis.
Nampaknya perbedaan perspektif dalam menyikapi pemikiran liberal di kalangan NU karena perbedaan pandangan terhadap pengusung dan pengembang gagasannya. Meskipun gagasan liberal Islam di kalangan jamaah NU lahir dari Gus Dur, namun ketika ia dikembangkan oleh anak-anak didik beliau, maka ada semacam resistensi di kalangan jamaah NU.
Apa pun bentuk pemikiran dan bagaimana pun reaksi masyarakat, penulis hanya bisa berharap, semoga pemikiran-pemikiran yang telah dibangun oleh mendiang Gus Dur almaghfur lah dapat menjadi amal jariyah yang dapat memberikan siraman air ketenangan dan kebehagaiaan di alam sana. Amiin ya Robbal ‘alamiin.
Artikel ini telah diterbitkan Radar Lampung, Rabu, 4 Januari 2012
Label:
ARTIKEL ILMIAH
Etika Politik dan Demokrasi
Oleh: Imam Mustofa
(Sekretaris wakil Ketua STAIN Jurai Siwo Metro)
(Sekretaris wakil Ketua STAIN Jurai Siwo Metro)
Akhir-akhir ini kita sering dikagetkan dengan berita tentang tingkah laku salah seorang anggota Panitia Khusus (Pansus) skandal bank Century yang dinilai arogan. Anggota pansus, yang nota bene juga anggota DPR tersebut beberapa kali mengucapkan kata yang kurang pantas diungkapkan sebagai anggota dewan terhormat. Ucapan-ucapan yang juga "menghangatkan" suasana di arena sidang pansus. Terakhir adalah panggilan yang dinilai bersifat rasis dan menyinggung anggota pansus lainnya, yaitu panggilan "Daeng" yang ditujukan kepada Yusuf Kalla yang merupakan mantan Wakil Presiden yang berasal dari Makassar Sulawesi Selatan.
Fenomena seperti ini mengingatkan penulis pada sebuah adagium yang berbunyi "Ethics has no place in politics". Tidak ada ruang bagi etika dalam kehidupan politik. Realitas perilaku politik elit kita nampaknya sedikit menggambarkan kebenaran adagium di atas.
Ketika etika dipahami sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang salah, maka etika sangat diperlukan dalam aktivitas politik dalam bingkai demokrasi. Kebebasan mengemukan pendapat dalam Negara yang menganut sistem demokrasi tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan etika dalam berpolitik.
Menurut Paul Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara karena menyangkut tindakan kolektif (Ramadhany: 2008).
Etika dalam berpolitik merupakan perwujudan sikap dan perilaku siapa saja yang terlibat dalam kancah politik. Dalam arti yang demikian, politisi yang beretika adalah ia yang menjalankan etika dalam berpolitik dan mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Keutamaan moral ini dapat dilihat dari sikap jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima perbedaan dan pluralitas, memiliki komitmen yang tinggi dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Seorang Filosof Jerman, Immanuel Kant pernah menggambarkan sifat orang-orang yang terjun dalam dunia politik dengan dua watak binatang, yaitu merpati dan ular. Merpati digunakan sebagai gambaran politisi yang memiliki watak dan sikap yang lembut serta penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Sedangkan ular merupakan gambaran bagi politisi yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Tidak jarang dua watak ini berada dalam satu ruang watak satu orang politisi. Dalam keadaan seperti ini yang sering menonjol adalah watak ular. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitas watak poltisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang (M Alfan Alfian: 2008).
Harus kita akui, memang dalam politik seolah yang ada hanyalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Para aktivis politik, khususnya elit politik mempunyai kecenderungan untuk melakukan tabrakan kepentingan, saling menghalalkan segala cara dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Hal ini menjadikan para elit politik yang sudah mempunyai jaringan yang luas dan pengalaman yang cukup akan semakin kuat dan mendominasi. Sementara yang lemah terperosok di sudut-sudut ruang politik. Kondisi seperti inilah yang sering membuat mereka terlepas dari koridor moral atau bahkan menerjang aturan hukum. Dalam memperjuangkan eksistesi dan kepentingannya tidak jarang seorang politisi kehilangan control (lost control) dalam bertingkah laku atau bertutur kata.
Hampir semua kalangan sepakat bahwa penerapan etika moral dalam kehidupan berpolitik merupakan sebuah keharusan. Namun demikian, pada dasarnya, penerapan prinsip-prinsip moral merupakan sebuah pilihan. Karena moral lebih merupakan etika politik dibandingkan suatu keharusan dalam penerapannya (mandatory). Etika politik lebih bersifat konvensi yang berupa aturan-aturan moral yang tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Selain itu, etika mempunyai cakupan yang luas dan bersifat "elastis". Apalagi dalam konteks Indonesia dengan keragaman budaya dan adat serta logat dan bahasa, batasan etis dan tidak etis dalam bertingkah laku dan bertutur kata sangat kabur. Akibatnya, seringkali keberadaan etika dalam berpolitik mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah.
Lalu bagaimana prinsip-prinsip etika ini akan berjalan efektif pada kehidupan politik yang demokratis di Indonesia? padahal ia tidak mengandung sanksi yang jelas. Apakah penerapan etika dalam politik tidak bertentangan dengan kebebasan berekspresi, berpendapat dan bersuara dalam iklim demokrasi?
Sistem demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat sering dijadikan alasan untuk mendepak etika dan moral dari area politik. Dalam berpolitik, etika dan moral nampaknya sudah tidak menjadi pertimbangan. Padahal kebebasan yang dijamin oleh sistem demokrasi bukanlah kebebasan yang mengabaikan etika atau moral, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan tetap menghargai harkat martabat pihak atau kelompok lain, serta menghormati sesama anggota masyarakat.
Sebagai upaya untuk "memagari" para politisi, khususnya yang menjadi anggota DPR agar dalam berpolitik tetap berada dalam bingkai etika serta mempertimbangkan moral, dibentuklah Badan Kehormatan DPR. Badan Kehormatan ini bertujuan untuk menjaga kehormatan DPR, baik secara kelembagaan maupun anggota-anggota yang ada di dalamnya. Dengan adanya Badan ini, maka apabila ada anggota DPR yang dinilai melanggar aturan, norma atau bertingkah laku yang seharusnya tidak layak dilakukan oleh wakil rakyat, maka dia akan diproses dan diberi sanksi, bahkan bisa dipecat dari keanggotannya di DPR.
Masalahnya, politisi bukan hanya yang menjadi anggota DPR saja, hanya sebagian kecil insan politik yang berhasil menjadi anggota DPR. Bagaimana agar para politisi yang tidak menjadi anggota DPR berperiaku politik yang etis. Dalam keadaan yang demikian, maka menurut penulis yang harus dipegangi adalah norma-norma yang ada dan hidup dalam masyarakat, baik norma susila, norma agama atau pun norma hukum.
Bagaimana pun caranya menerapkan disiplin moral agar para politisi tetap berperilaku etis dalam aktivitas politiknya, bergaul dan menyampaikan pendapatnya, yang jelas rakyat sangat merindukan politisi yang bermoral tinggi. Jujur, sopan, santun, lembut dalam bertingkah laku dan bertutur kata, menghargai dan menghormati sesama serta mempunyai integritas yang tinggi dan komitmen yang kuat untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat yang diwakilinya.
Fenomena seperti ini mengingatkan penulis pada sebuah adagium yang berbunyi "Ethics has no place in politics". Tidak ada ruang bagi etika dalam kehidupan politik. Realitas perilaku politik elit kita nampaknya sedikit menggambarkan kebenaran adagium di atas.
Ketika etika dipahami sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang salah, maka etika sangat diperlukan dalam aktivitas politik dalam bingkai demokrasi. Kebebasan mengemukan pendapat dalam Negara yang menganut sistem demokrasi tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan etika dalam berpolitik.
Menurut Paul Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara karena menyangkut tindakan kolektif (Ramadhany: 2008).
Etika dalam berpolitik merupakan perwujudan sikap dan perilaku siapa saja yang terlibat dalam kancah politik. Dalam arti yang demikian, politisi yang beretika adalah ia yang menjalankan etika dalam berpolitik dan mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Keutamaan moral ini dapat dilihat dari sikap jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima perbedaan dan pluralitas, memiliki komitmen yang tinggi dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Seorang Filosof Jerman, Immanuel Kant pernah menggambarkan sifat orang-orang yang terjun dalam dunia politik dengan dua watak binatang, yaitu merpati dan ular. Merpati digunakan sebagai gambaran politisi yang memiliki watak dan sikap yang lembut serta penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Sedangkan ular merupakan gambaran bagi politisi yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Tidak jarang dua watak ini berada dalam satu ruang watak satu orang politisi. Dalam keadaan seperti ini yang sering menonjol adalah watak ular. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitas watak poltisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang (M Alfan Alfian: 2008).
Harus kita akui, memang dalam politik seolah yang ada hanyalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Para aktivis politik, khususnya elit politik mempunyai kecenderungan untuk melakukan tabrakan kepentingan, saling menghalalkan segala cara dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Hal ini menjadikan para elit politik yang sudah mempunyai jaringan yang luas dan pengalaman yang cukup akan semakin kuat dan mendominasi. Sementara yang lemah terperosok di sudut-sudut ruang politik. Kondisi seperti inilah yang sering membuat mereka terlepas dari koridor moral atau bahkan menerjang aturan hukum. Dalam memperjuangkan eksistesi dan kepentingannya tidak jarang seorang politisi kehilangan control (lost control) dalam bertingkah laku atau bertutur kata.
Hampir semua kalangan sepakat bahwa penerapan etika moral dalam kehidupan berpolitik merupakan sebuah keharusan. Namun demikian, pada dasarnya, penerapan prinsip-prinsip moral merupakan sebuah pilihan. Karena moral lebih merupakan etika politik dibandingkan suatu keharusan dalam penerapannya (mandatory). Etika politik lebih bersifat konvensi yang berupa aturan-aturan moral yang tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Selain itu, etika mempunyai cakupan yang luas dan bersifat "elastis". Apalagi dalam konteks Indonesia dengan keragaman budaya dan adat serta logat dan bahasa, batasan etis dan tidak etis dalam bertingkah laku dan bertutur kata sangat kabur. Akibatnya, seringkali keberadaan etika dalam berpolitik mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah.
Lalu bagaimana prinsip-prinsip etika ini akan berjalan efektif pada kehidupan politik yang demokratis di Indonesia? padahal ia tidak mengandung sanksi yang jelas. Apakah penerapan etika dalam politik tidak bertentangan dengan kebebasan berekspresi, berpendapat dan bersuara dalam iklim demokrasi?
Sistem demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat sering dijadikan alasan untuk mendepak etika dan moral dari area politik. Dalam berpolitik, etika dan moral nampaknya sudah tidak menjadi pertimbangan. Padahal kebebasan yang dijamin oleh sistem demokrasi bukanlah kebebasan yang mengabaikan etika atau moral, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan tetap menghargai harkat martabat pihak atau kelompok lain, serta menghormati sesama anggota masyarakat.
Sebagai upaya untuk "memagari" para politisi, khususnya yang menjadi anggota DPR agar dalam berpolitik tetap berada dalam bingkai etika serta mempertimbangkan moral, dibentuklah Badan Kehormatan DPR. Badan Kehormatan ini bertujuan untuk menjaga kehormatan DPR, baik secara kelembagaan maupun anggota-anggota yang ada di dalamnya. Dengan adanya Badan ini, maka apabila ada anggota DPR yang dinilai melanggar aturan, norma atau bertingkah laku yang seharusnya tidak layak dilakukan oleh wakil rakyat, maka dia akan diproses dan diberi sanksi, bahkan bisa dipecat dari keanggotannya di DPR.
Masalahnya, politisi bukan hanya yang menjadi anggota DPR saja, hanya sebagian kecil insan politik yang berhasil menjadi anggota DPR. Bagaimana agar para politisi yang tidak menjadi anggota DPR berperiaku politik yang etis. Dalam keadaan yang demikian, maka menurut penulis yang harus dipegangi adalah norma-norma yang ada dan hidup dalam masyarakat, baik norma susila, norma agama atau pun norma hukum.
Bagaimana pun caranya menerapkan disiplin moral agar para politisi tetap berperilaku etis dalam aktivitas politiknya, bergaul dan menyampaikan pendapatnya, yang jelas rakyat sangat merindukan politisi yang bermoral tinggi. Jujur, sopan, santun, lembut dalam bertingkah laku dan bertutur kata, menghargai dan menghormati sesama serta mempunyai integritas yang tinggi dan komitmen yang kuat untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat yang diwakilinya.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post Tanggal 20 Januari 2010
Label:
ARTIKEL ILMIAH
EFEKTIFKAH PAKTA INTEGRITAS PEJABAT?
Oleh: Imam Mustofa
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Mahasiswa Unggulan Universitas Islam Indonesia)
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Mahasiswa Unggulan Universitas Islam Indonesia)
Pada tanggal 19 Desember gubernur seluruh Indonesia menandatangani pakta integritas tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi. Pakta integritas ini juga akan diberlakukan bagi kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Lebih dari itu, Pakta Integritas juga akan diterapkan bagi seluruh PNS. Mengenai aturannya, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN dan RB) menerbitkan Peraturan Menteri No. 49 tentang Pedoman Umum Pakta Integritas di lingkungan Pemerintah Daerah.
Pemerintah Daerah Propinsi Lampung melaksanakan pakta integritas yang ditandatangani bupati dan wali kota pada tanggal 2 Februari 2011. Isi pakta integritas tersebut intinya kepala daerah harus dapat melaksanakan pemerintahan daerah secara jujrur dan bersih, menghindari konflik kepentingan serta harus ikut aktif melakukan mencegahan dan pemberantasan korupsi.
Pakta Integritas pada dasarnya hanya sebuah surat pernyataan berisi ikrar. Ikrar untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab sebagai pelaksana negara yang jujur dan bersih dari KKN. Pakta integritas hanya sebuah janji terhadap diri sendiri, dan tidak ada aturan sanksi hukumnya.
Sebagai langkah pencegahan, adanya aturan dan pelaksanaan pakta integritas perlu diapresiasi. Namun demikian, masyarakat harus tetap berperan aktif mengawasi pelaksanaan pemerintahan agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsi pemerintahan yang baik dan bersih (good governance). Adanya pakta integritas tidak akan efektif untuk mencegah adanya praktik korupsi tanpa adanya pengawasan dari outsider pemerintrahan, dalam hal ini yang paling efektif adalah pengawasan media dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kekuatan masyarakat sipil.
Bukankah semua pejabat negara telah mengucapkan Sumpah Jabatan sebelum mereka melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Namun demikian, sampai saat ini jumlah pejabat yang melaksanakan birokrasi koruptif masih saja ada. Banyak pejabat dari pusat hingga daerah yang terbelit kasus korupsi. Selain itu, bukankah kita juga sudah punya segudang undang-undang terkait pemberantasan korupsi?
Aturan hukum yang jelas dan mempunyai sanksi yang tegas saja masih dilanggar, apalagi hanya sebuah ikrar yang notabene sumpah terhadap diri sendiri yang tidak ada sanksinya? Pakta integritas hanya akan menjadi seremonial belaka, sebagaimana sumpah jabatan yang diucapkan para calon pejabat.
Penanggulangan korupsi memang tidak boleh fokus pada pemberantasan, akan tetapi juga pencegahan. Namun langkah pencegahan harus benar-benar mempertimbangkan efektifitas. Jangan hanya sekadar formalitas dan basa-basi birokrasi. Karena hal itu hanya akan dicibirkan oleh masyarakat.
Selain itu, pencegahan korupsi jangan hanya dilakukan secara sporadis. Perang melawan korupsi merupakan perang abadi. Karena korupsi merupakan musuh bersama semua bangsa dan agama yang bersifat abadi.
Perlu waktu lama untuk melepaskan bangsa ini dari pasungan belenggu budaya korupsi. Penanggulangan melalui pencegahan juga harus mempunyai master plan jangka panjang. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah pendidikan karakter yang di dalamnya tidak hanya untuk mencerdaskan anak bangsa, akan tetapi juga membentuk anak bangsa yang bermoral agama dan moral Pancasila. Karena mereka yang kelak melanjutkan menjalankan roda bangsa.
Pendidikan antikorupsi melalui pendidikan moral bangsa akan sangat efektif untuk mempersiapkan generasi bangsa yang jujur, berdedikasi dan mempunyai integritas dalam menjalankan tugas. Pendidikan antikorupsi adalah sebagai langkah pencegahan jangka panjang.
Pakta integritas sebagai salah satu langkah pencegahan korupsi perlu kita apresiasi, namun demikian, kita perlu tinjau efektifitasnya, karna pakta integritas tidak mempunyai sanksi yang tegas. Pencegahan korupsi perlu komitmen tinggi yang bukanhanya sekadar formalitas satau seremonial belaka atau hanya sekadar iklan. Ia pelu langkah nyata dan bukan hanya basa-basi.
Pemerintah Daerah Propinsi Lampung melaksanakan pakta integritas yang ditandatangani bupati dan wali kota pada tanggal 2 Februari 2011. Isi pakta integritas tersebut intinya kepala daerah harus dapat melaksanakan pemerintahan daerah secara jujrur dan bersih, menghindari konflik kepentingan serta harus ikut aktif melakukan mencegahan dan pemberantasan korupsi.
Pakta Integritas pada dasarnya hanya sebuah surat pernyataan berisi ikrar. Ikrar untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab sebagai pelaksana negara yang jujur dan bersih dari KKN. Pakta integritas hanya sebuah janji terhadap diri sendiri, dan tidak ada aturan sanksi hukumnya.
Sebagai langkah pencegahan, adanya aturan dan pelaksanaan pakta integritas perlu diapresiasi. Namun demikian, masyarakat harus tetap berperan aktif mengawasi pelaksanaan pemerintahan agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsi pemerintahan yang baik dan bersih (good governance). Adanya pakta integritas tidak akan efektif untuk mencegah adanya praktik korupsi tanpa adanya pengawasan dari outsider pemerintrahan, dalam hal ini yang paling efektif adalah pengawasan media dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kekuatan masyarakat sipil.
Bukankah semua pejabat negara telah mengucapkan Sumpah Jabatan sebelum mereka melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Namun demikian, sampai saat ini jumlah pejabat yang melaksanakan birokrasi koruptif masih saja ada. Banyak pejabat dari pusat hingga daerah yang terbelit kasus korupsi. Selain itu, bukankah kita juga sudah punya segudang undang-undang terkait pemberantasan korupsi?
Aturan hukum yang jelas dan mempunyai sanksi yang tegas saja masih dilanggar, apalagi hanya sebuah ikrar yang notabene sumpah terhadap diri sendiri yang tidak ada sanksinya? Pakta integritas hanya akan menjadi seremonial belaka, sebagaimana sumpah jabatan yang diucapkan para calon pejabat.
Penanggulangan korupsi memang tidak boleh fokus pada pemberantasan, akan tetapi juga pencegahan. Namun langkah pencegahan harus benar-benar mempertimbangkan efektifitas. Jangan hanya sekadar formalitas dan basa-basi birokrasi. Karena hal itu hanya akan dicibirkan oleh masyarakat.
Selain itu, pencegahan korupsi jangan hanya dilakukan secara sporadis. Perang melawan korupsi merupakan perang abadi. Karena korupsi merupakan musuh bersama semua bangsa dan agama yang bersifat abadi.
Perlu waktu lama untuk melepaskan bangsa ini dari pasungan belenggu budaya korupsi. Penanggulangan melalui pencegahan juga harus mempunyai master plan jangka panjang. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah pendidikan karakter yang di dalamnya tidak hanya untuk mencerdaskan anak bangsa, akan tetapi juga membentuk anak bangsa yang bermoral agama dan moral Pancasila. Karena mereka yang kelak melanjutkan menjalankan roda bangsa.
Pendidikan antikorupsi melalui pendidikan moral bangsa akan sangat efektif untuk mempersiapkan generasi bangsa yang jujur, berdedikasi dan mempunyai integritas dalam menjalankan tugas. Pendidikan antikorupsi adalah sebagai langkah pencegahan jangka panjang.
Pakta integritas sebagai salah satu langkah pencegahan korupsi perlu kita apresiasi, namun demikian, kita perlu tinjau efektifitasnya, karna pakta integritas tidak mempunyai sanksi yang tegas. Pencegahan korupsi perlu komitmen tinggi yang bukanhanya sekadar formalitas satau seremonial belaka atau hanya sekadar iklan. Ia pelu langkah nyata dan bukan hanya basa-basi.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post, Rabu, 8 Pebruari 2012
Label:
ARTIKEL ILMIAH
EFEKTIFITAS FATWA HARAM BBM SUBSIDI
Oleh: Imam Mustofa
(Sekretaris P3M STAIN Jurai Siwo Metro)
(Sekretaris P3M STAIN Jurai Siwo Metro)
Saat sebagian masyarakat kesulitan untuk mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya bensin premium, Majelis Ulama Indonesia (MUI) berencana mengeluarkan fatwa tentang haramnya BBM bersubsidi bagi kalangan menengah ke atas atau orang kaya. Fatwa ini bertujuan menegakkan kemashlahatan, yaitu agar subsidi bagi masyarakat yang kurang mampu benar-benar dapat mereka nikmati secara utuh tanpa terganggu oleh orang kaya. Karena, dalam rapat antara Kementerian ESDM dengan DPR terungkap bahwa 85 persen BBM bersubsidi seperti Premium dinikmati orang kaya, sementara yang sampai ke tangan orang miskin hanyalah 15 persen. Namun demikian, fatwa tersebut mengundang reaksi beragam dari masyarakat.
Fatwa adalah nasihat resmi dari suatu otoritas baik pribadi maupun lembaga mengenai pendirian hukum atau dogma Islam. Fatwa diberikan sebagai respon terhadap suatu masalah (Hooker, 2003: 13). Secara definitif pada dasarnya tidak ada perbedaan antara fatwa dan keputusan. Itu hanya persoalan terminologi semata. Kedua-duanya dalam konteks ini sama-sama merupakan hasil ijtihad perseorangan atau lembaga keagamaan. Jadi fatwa merupakan hasil ijtihad seseorang, lembaga atau sekelompok ulama yang mempunyai kapasitas untuk mengiterpretasikan teks sesuai dengan denyut nadi perkembangan zaman. Hal ini tentunya dengan mempertimbangkan kondisi sosio-kultural dan sosiologis masyarakat. Keluarnya fatwa merupakan sebagai respon terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang membutuhkan penyelesaian dari perspektif moral dan hukum.
Secara umum, landasan fatwa adalah dalam rangka menciptakan atau mendapatkan kemashlahatan (istishlah). Pola Istislahi adalah suatu metode penalaran hukum yang mengumpulkan ayat-ayat umum guna menciptakan prinsip (universal) untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Karena pada dasarnya esensi dari penetapan syariat adalah bertujuan untuk mendatangkan kemaslahatan (Al-Syatibi, 1999: I/261 dan Ibnul Qoyyim al-Jauziyah: III/11).
Teori kemaslahatan (istishlah) yang sering digunakan dalam ijtihad pada era sekarang kalau dikembalikan pada konsep yang dikemukakan Ramadlan al-Buthi (1986: 142) harus memenuhi lima kriteria. Memprioritaskan tujuan syara’; Tidak bertantangan dengan Al-Quran; Tidak bertentangan dengan As-Sunnah; Tidak bertentangan dengan prinsip qiyas; dan memperhatikan kemaslahatan yang lebih penting (besar).
MUI dalam mengeluarkan fatwa haram BBM bersubsidi bagi orang kaya adalah demi untuk menciptakan kemashlahatan bagi masyarakat miskin, demi untuk melindungi hak-hak mereka agar tidak terampas oleh orang kaya. MUI melandaskan langkah tersebut pada sebuah kaidah ushuliyah "Tasharruful imam 'alarra'iyyah manuthun bil mashlahah" (kebijakan imam atau pemerintah dalam menjalankan pemerintahan harus berlandaskan pada kemshlahatan umat atau rakyatnya)
Menurut Atho Mudzhar, produk fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tidak murni terlepas dari faktor-faktor sosio politik yang berkembang di wilayah sekitarnya, serta melahirkan respon dari masyarakat (1993). Menurut Abd. Fatah, bahwa diantara penyimpangan yang terjadi dalam fatwa kontemporer adalah kesalahan dalam memahami nash atau sengaja menyimpangkan interpretasi dan pengertiannya, karena mengikuti hawa nafsu.
Berbicara masalah efektifitas fatwa haram subsidi BBM bagi orang kaya, menurut penulis, fatwa tersebut kurang dan bahkan tidak akan efektif. Ada fatwa haram atau tidak, tidak akan merubah perilaku konsumsi BBM masyarakat kaya. Hal ini terjadi karena fatwa memang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, karena ia hanya lebih berupa himbauan moral. Fatwa tidak mempunyai sanksi yang menimbulkan efek jera. Sanksi fatwa hanya bersifat sanksi moral yang sangat abstrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan seseorang, yaitu dosa dan tidak dosa. Sedangkan kita mengetahui bahwa aturan atau norma yang mempunyai kekuatan hukum dengan sanksi yang jelas saja kurang efektif menanggualngi tindakan-tindakan yang merugikan masyrakat. Korupsi yang secara hukum positif dilarang dan diancam dengan berbagai sanksi, baik denda maupun penjara serta diharamkan secara hukum agama saja malah menjadi kultur masyarakat birokrat, apalagi hanya sekedar fatwa?
Fatwa pada hakekatnya tak lebih dari sebuah pendapat dan pemikiran belaka, dari individu ulama atau institusi keulamaan, yang boleh diikuti atau justru diabaikan sama sekali. Fatwa bersifat ghair mulzim (tidak mengikat). Suatu fatwa tidak bisa dijadikan sebagai sumber ketetapan hukum. Fatwa hanya merupakan suatu pilihan hukum yang bisa diikuti dan bisa saja dikritisi karena produk hukum hasil fatwa tidak ubahnya seperti produk hasil ijtihad lainnya yang tidak memiliki nilai kebenaran mutlak dan nilai kekuatan untuk mengikat.
Fungsi MUI antara lain memberi nasihat, karena MUI tidak dibolehkan melakukan program praktis. Dalam anggaran dasar MUI dapat dilihat bahwa Majelis diharapkan melaksanakan tugasnya dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun kepada kaum muslimin mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keagamaan khususnya dan semua masalah yang dihadapi bangsa umumnya.
Sanksi moral fatwa tidak akan efektif. Memang secara kuantitatif masyarakat Indonesia merupakan umat beragama, khususnya Islam. Namun demikian, harus digarisbawahi bahwa umat beragama di era modern sekarang ini seolah melepaskan agama dari substansinya, yaitu ajaran moral ketuhanan. Bahkan umat beragama dewasa ini tidak takut dan gentar dengan neraka dan tidak tergiur dengan surga. Agama tidak jarang hanya sekadar formalitas. Ia hanya sebagai identitas sosial yang kering dari nilai-nilai spiritualitas dan moralitas. Inilah yang mengakibatkan suara ulama tidak mempunyai gaung sebagai pewaris nabi, ia hanya angin lalu.
Selain alasan di atas, ketidakefektifan fatwa haram BBM bersubsidi bagi orang kaya antara lain adalah bahwa masyarakat ekonomi menengah lebih berpikir pragmatis daripada hanya mentaati sebuah fatwa. Faktor ekonomis dan murah akan tetap penjadi alasan bagi orang kaya untuk tetap menggunakan premium bersubsidi.
Secara politis, fatwa MUI malah hanya akan menjadi tameng bagi kebijakan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam bagi rakyatnya. MUI seolah hanya menjadi lembaga yang dapat diperalat demi menutupi ketidakmampuan pemerintah dalam mengawal subsidi agar sampai ke tangan orang miskin.
Terlepas dari hal di atas, sebagai lembaga ulama, MUI juga wajib ikut serta dalam menjaga kemashlahatan umat, termasuk melindungi hak-hak orang miskin. Hal ini dilakukan secara inisiatif dan independen tanpa harus ada campur tangan atau diminta oleh pemerintah terlebih dahulu. Langkah yang lebih diperlukan adalah mengeluarkan aturan yang lebih ketat dan tindakan yang lebih tegas demi menjamin terpenuhinya hak orang miskin. Implementasi ketentuan atau aturan penggunaan BBM bersubsidi akan lebih efektif dalam meminimalisir penyimpangan daripada hanya sebuah fatwa.
Fatwa adalah nasihat resmi dari suatu otoritas baik pribadi maupun lembaga mengenai pendirian hukum atau dogma Islam. Fatwa diberikan sebagai respon terhadap suatu masalah (Hooker, 2003: 13). Secara definitif pada dasarnya tidak ada perbedaan antara fatwa dan keputusan. Itu hanya persoalan terminologi semata. Kedua-duanya dalam konteks ini sama-sama merupakan hasil ijtihad perseorangan atau lembaga keagamaan. Jadi fatwa merupakan hasil ijtihad seseorang, lembaga atau sekelompok ulama yang mempunyai kapasitas untuk mengiterpretasikan teks sesuai dengan denyut nadi perkembangan zaman. Hal ini tentunya dengan mempertimbangkan kondisi sosio-kultural dan sosiologis masyarakat. Keluarnya fatwa merupakan sebagai respon terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang membutuhkan penyelesaian dari perspektif moral dan hukum.
Secara umum, landasan fatwa adalah dalam rangka menciptakan atau mendapatkan kemashlahatan (istishlah). Pola Istislahi adalah suatu metode penalaran hukum yang mengumpulkan ayat-ayat umum guna menciptakan prinsip (universal) untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Karena pada dasarnya esensi dari penetapan syariat adalah bertujuan untuk mendatangkan kemaslahatan (Al-Syatibi, 1999: I/261 dan Ibnul Qoyyim al-Jauziyah: III/11).
Teori kemaslahatan (istishlah) yang sering digunakan dalam ijtihad pada era sekarang kalau dikembalikan pada konsep yang dikemukakan Ramadlan al-Buthi (1986: 142) harus memenuhi lima kriteria. Memprioritaskan tujuan syara’; Tidak bertantangan dengan Al-Quran; Tidak bertentangan dengan As-Sunnah; Tidak bertentangan dengan prinsip qiyas; dan memperhatikan kemaslahatan yang lebih penting (besar).
MUI dalam mengeluarkan fatwa haram BBM bersubsidi bagi orang kaya adalah demi untuk menciptakan kemashlahatan bagi masyarakat miskin, demi untuk melindungi hak-hak mereka agar tidak terampas oleh orang kaya. MUI melandaskan langkah tersebut pada sebuah kaidah ushuliyah "Tasharruful imam 'alarra'iyyah manuthun bil mashlahah" (kebijakan imam atau pemerintah dalam menjalankan pemerintahan harus berlandaskan pada kemshlahatan umat atau rakyatnya)
Menurut Atho Mudzhar, produk fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tidak murni terlepas dari faktor-faktor sosio politik yang berkembang di wilayah sekitarnya, serta melahirkan respon dari masyarakat (1993). Menurut Abd. Fatah, bahwa diantara penyimpangan yang terjadi dalam fatwa kontemporer adalah kesalahan dalam memahami nash atau sengaja menyimpangkan interpretasi dan pengertiannya, karena mengikuti hawa nafsu.
Berbicara masalah efektifitas fatwa haram subsidi BBM bagi orang kaya, menurut penulis, fatwa tersebut kurang dan bahkan tidak akan efektif. Ada fatwa haram atau tidak, tidak akan merubah perilaku konsumsi BBM masyarakat kaya. Hal ini terjadi karena fatwa memang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, karena ia hanya lebih berupa himbauan moral. Fatwa tidak mempunyai sanksi yang menimbulkan efek jera. Sanksi fatwa hanya bersifat sanksi moral yang sangat abstrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan seseorang, yaitu dosa dan tidak dosa. Sedangkan kita mengetahui bahwa aturan atau norma yang mempunyai kekuatan hukum dengan sanksi yang jelas saja kurang efektif menanggualngi tindakan-tindakan yang merugikan masyrakat. Korupsi yang secara hukum positif dilarang dan diancam dengan berbagai sanksi, baik denda maupun penjara serta diharamkan secara hukum agama saja malah menjadi kultur masyarakat birokrat, apalagi hanya sekedar fatwa?
Fatwa pada hakekatnya tak lebih dari sebuah pendapat dan pemikiran belaka, dari individu ulama atau institusi keulamaan, yang boleh diikuti atau justru diabaikan sama sekali. Fatwa bersifat ghair mulzim (tidak mengikat). Suatu fatwa tidak bisa dijadikan sebagai sumber ketetapan hukum. Fatwa hanya merupakan suatu pilihan hukum yang bisa diikuti dan bisa saja dikritisi karena produk hukum hasil fatwa tidak ubahnya seperti produk hasil ijtihad lainnya yang tidak memiliki nilai kebenaran mutlak dan nilai kekuatan untuk mengikat.
Fungsi MUI antara lain memberi nasihat, karena MUI tidak dibolehkan melakukan program praktis. Dalam anggaran dasar MUI dapat dilihat bahwa Majelis diharapkan melaksanakan tugasnya dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun kepada kaum muslimin mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keagamaan khususnya dan semua masalah yang dihadapi bangsa umumnya.
Sanksi moral fatwa tidak akan efektif. Memang secara kuantitatif masyarakat Indonesia merupakan umat beragama, khususnya Islam. Namun demikian, harus digarisbawahi bahwa umat beragama di era modern sekarang ini seolah melepaskan agama dari substansinya, yaitu ajaran moral ketuhanan. Bahkan umat beragama dewasa ini tidak takut dan gentar dengan neraka dan tidak tergiur dengan surga. Agama tidak jarang hanya sekadar formalitas. Ia hanya sebagai identitas sosial yang kering dari nilai-nilai spiritualitas dan moralitas. Inilah yang mengakibatkan suara ulama tidak mempunyai gaung sebagai pewaris nabi, ia hanya angin lalu.
Selain alasan di atas, ketidakefektifan fatwa haram BBM bersubsidi bagi orang kaya antara lain adalah bahwa masyarakat ekonomi menengah lebih berpikir pragmatis daripada hanya mentaati sebuah fatwa. Faktor ekonomis dan murah akan tetap penjadi alasan bagi orang kaya untuk tetap menggunakan premium bersubsidi.
Secara politis, fatwa MUI malah hanya akan menjadi tameng bagi kebijakan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam bagi rakyatnya. MUI seolah hanya menjadi lembaga yang dapat diperalat demi menutupi ketidakmampuan pemerintah dalam mengawal subsidi agar sampai ke tangan orang miskin.
Terlepas dari hal di atas, sebagai lembaga ulama, MUI juga wajib ikut serta dalam menjaga kemashlahatan umat, termasuk melindungi hak-hak orang miskin. Hal ini dilakukan secara inisiatif dan independen tanpa harus ada campur tangan atau diminta oleh pemerintah terlebih dahulu. Langkah yang lebih diperlukan adalah mengeluarkan aturan yang lebih ketat dan tindakan yang lebih tegas demi menjamin terpenuhinya hak orang miskin. Implementasi ketentuan atau aturan penggunaan BBM bersubsidi akan lebih efektif dalam meminimalisir penyimpangan daripada hanya sebuah fatwa.
Artikel ini telah diterbitkan Radar Lampung, Rabu, 6 Juli 2011
Label:
ARTIKEL ILMIAH
DINASTI POLITIK DI DAERAH
Oleh: Imam Mustofa
(ALUMNI FIAI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA)
(ALUMNI FIAI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA)
"…. even in democratic organizations, the leadership, once elected, would entrench itself in power, undermining the democratic principle of a level playing field" (Michels: 1999)
Saat ini tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) telah bersiap melaksanakan pemilihan kepala daerah yang akan dihelat tanggal 28 September mendatang. Tiga daerah tersebut adalah Kabupaten Pringsewu, Kabupaten Mesuji dan Kabupaten Tulangbawang Barat. Moment pilkada ini tidak lepas dari pengaruh dan penguatan struktur dinasti politik yang akhir-akhir ini memang sedang menjadi trend politik di Indonesia.
Bukti nyata dari penguatan dinasti politik adalah pencalonan Handitya Narapati sebagai wakil bupati pringsewu berpasangan dengan Sujadi Sadad. Handitya Narapati merupakan putra bungsu dari Gubernur Lampung Sjachroedin ZP. Sebelumnya, pada masa pilkada tahun 2010, putra sulung Sjachroedin, Rycko Menoza telah berhasil terpilih menjadi bupati Lampung Selatan.
Selain dinasti Sjachruddin, dinasti lain yang berupaya memperkuat jaringan dan cengkraman politiknya adalah Abdurrachman Sarbini. Sarbini mencalonkan Farns Agung untuk menjadi Bupati Tulangbawang Barat. Sebelumnya Sarbini telah berhasil menancapkan dinasti politiknya di kabupaten Pesawaran dengan terpilihnya Aries Sandi menjadi kepala daerah tersebut.
Pembangunan dinasti politik di daerah tersebut sangat wajar, karena politik mempunyai daya jangkau pandangan yang cukup jauh ke depan, meskipun kondisinya tidak bisa diprediksi (unpredictable). Pembangunan dinasti politik tidak lain hanyalah untuk mempertahankan dan bahkan melanggengkan kekuasaan politik dan jabatan struktual di lembaga pemerintahan. Adanya politik dinasti di daerah dipastikan akan dijadikan sebagai langkah untuk menguatkan konstruksi politik untuk mencapai bangunan politik yang lebih besar dan mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, misalnya dari bupati mejadi gubernur atau setidaknya jabatan gubernur atau bupati/wali kota akan tetap dipegang oleh anak keturunan, kerabat atau anak asuh politik penguasa dan pejabat atau kepala daerah.
"Penempatan" Rycko Menoza sebagai Kepala Daerah Lampung Selatan bisa jadi sebagai persiapan untuk menggantikan posisi ayahnya, Sjachroedin ZP menjadi Gubernur Lampung periode 2013-2018. Sjachroedin tidak dapat mencalonkan diri lagi karena telah menjabat selama dua periode. Oleh karena itu perlu perpanjangan melalui keturunannya, baik anak secara bilogis maupun politis. Perlu penguatan dinasti untuk mencapai tujuan tersebut, termasuk pencalonan anak kandung dan anak asuh politik menjadi bupati di berbagai kabupaten di propinsi lampung.
Dinasti-dinasti politik di daerah lain juga terjadi demikian. Di beberapa daerah, sang anak "mewarisi" jabatan sang ayah menjadi kepala daerah melalui penguatan dinasti politik. Sebagai contoh adalah Bupati Kutai Kartanegara, Kaltim, Rita Widyasari menggantikan Syaukani Hasan Rais, dan Wali Kota Cilegon, Banten, Tubagus Imam Ariyadi menggantikan Tubagus Aat Syafaat.
Politik dinasti sangat wajar terjadi. Menurut Mosca (1966) sebagaimana dikutip Ernesto Dal Bó (2008) pada dasarnya setiap kelas memiliki kecenderungan menghendaki kelanggengan melalui kekuasaan turun-menurun, baik secara dejure maupun defacto. Bahkan untuk mempertahankan jabatan atau posisi politik yang bersifat terbuka. Karena sebuah hubungan kekerabatan dengan incumbent memang dapat mendatangkan berbagai manfaat, khususnya secara politis.
Politik dinasti dan demokrasi
Sistem demokrasi menjamin dan melindungi hak politik setiap warga negara. Setiap warga negara berhak memilih dan dipilih dalam Pemilu, termasuk dipilih menjadi kepala daerah. Bila berpegang pada kredo ini, tentunya politik dinasti secara prosedural tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Oleh karen itu tidak ada alasan untuk melarang politik dinasti, baik di daerah maupun sampai ke tingkat pusat. Namun demikian setidaknya ada beberapa catatan untuk politik dinasti.
Politik dinasti daerah pada dasarnya menghambat demokratisasi di daerah dan tidak sejalan dengan substansi, semangat dan nilai demokrasi. Karena politik dinasti daerah menghambat atau bahkan menutup kemungkinan kalangan luar dinasti untuk menjadi pemimpin daerah. Kader-kader di luar lingkaran dinasti akan terhambat dari sisi popularitas dan elektabilitas. Hal ini disebabkan, dinasti politik yang sedang berkuasa secara terencana dan sistematis telah memanfaatkan kesempatan untuk menjaga atau bahkan menaikkan popularitas dan elektabilitas kerabat atau kader di lingkarang dinasti. Posisi incambent dalam hal ini berperan cukup signifikan. Hal ini bisa dilakukan dengan pemanfaatan otoritas dalam mengeluarkan kebijakan dan pemanfaatan fasilitas penguasa incumbent.
Selain itu, menurut penasehat Indonesian Institute, Abd Rohim Ghazali (2011) politik dinasti juga bisa merusak sistem kaderisasi partai politik. Penguatan institusionalisasi politik kepartaian menjadi terhambat karena peluang kader-kader terbaik partai diambil alih para kerabat yang baik dari segi kuantitas kaderisasi maupun kualitas sebenarnya belum memenuhi persyaratan.
Politik dinasti merupakan sebuah konsekuensi logis dari pilkada langsung oleh rakyat. Ia tidak bisa dilarang, karena memang tidak ada aturan hukum yang melarangnya. Namun demikian, sebagai media distribusi kekuatan politik, jangan sampai politik dinasti mereduksi nilai-nilai dan semangat demokrasi. Tujuan dan harapan kesejahteraan rakyat jangan sampai tenggelam oleh arus kekuatan dinasti politik, terabaikan karena urusan dinasti politik.
Saat ini tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) telah bersiap melaksanakan pemilihan kepala daerah yang akan dihelat tanggal 28 September mendatang. Tiga daerah tersebut adalah Kabupaten Pringsewu, Kabupaten Mesuji dan Kabupaten Tulangbawang Barat. Moment pilkada ini tidak lepas dari pengaruh dan penguatan struktur dinasti politik yang akhir-akhir ini memang sedang menjadi trend politik di Indonesia.
Bukti nyata dari penguatan dinasti politik adalah pencalonan Handitya Narapati sebagai wakil bupati pringsewu berpasangan dengan Sujadi Sadad. Handitya Narapati merupakan putra bungsu dari Gubernur Lampung Sjachroedin ZP. Sebelumnya, pada masa pilkada tahun 2010, putra sulung Sjachroedin, Rycko Menoza telah berhasil terpilih menjadi bupati Lampung Selatan.
Selain dinasti Sjachruddin, dinasti lain yang berupaya memperkuat jaringan dan cengkraman politiknya adalah Abdurrachman Sarbini. Sarbini mencalonkan Farns Agung untuk menjadi Bupati Tulangbawang Barat. Sebelumnya Sarbini telah berhasil menancapkan dinasti politiknya di kabupaten Pesawaran dengan terpilihnya Aries Sandi menjadi kepala daerah tersebut.
Pembangunan dinasti politik di daerah tersebut sangat wajar, karena politik mempunyai daya jangkau pandangan yang cukup jauh ke depan, meskipun kondisinya tidak bisa diprediksi (unpredictable). Pembangunan dinasti politik tidak lain hanyalah untuk mempertahankan dan bahkan melanggengkan kekuasaan politik dan jabatan struktual di lembaga pemerintahan. Adanya politik dinasti di daerah dipastikan akan dijadikan sebagai langkah untuk menguatkan konstruksi politik untuk mencapai bangunan politik yang lebih besar dan mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, misalnya dari bupati mejadi gubernur atau setidaknya jabatan gubernur atau bupati/wali kota akan tetap dipegang oleh anak keturunan, kerabat atau anak asuh politik penguasa dan pejabat atau kepala daerah.
"Penempatan" Rycko Menoza sebagai Kepala Daerah Lampung Selatan bisa jadi sebagai persiapan untuk menggantikan posisi ayahnya, Sjachroedin ZP menjadi Gubernur Lampung periode 2013-2018. Sjachroedin tidak dapat mencalonkan diri lagi karena telah menjabat selama dua periode. Oleh karena itu perlu perpanjangan melalui keturunannya, baik anak secara bilogis maupun politis. Perlu penguatan dinasti untuk mencapai tujuan tersebut, termasuk pencalonan anak kandung dan anak asuh politik menjadi bupati di berbagai kabupaten di propinsi lampung.
Dinasti-dinasti politik di daerah lain juga terjadi demikian. Di beberapa daerah, sang anak "mewarisi" jabatan sang ayah menjadi kepala daerah melalui penguatan dinasti politik. Sebagai contoh adalah Bupati Kutai Kartanegara, Kaltim, Rita Widyasari menggantikan Syaukani Hasan Rais, dan Wali Kota Cilegon, Banten, Tubagus Imam Ariyadi menggantikan Tubagus Aat Syafaat.
Politik dinasti sangat wajar terjadi. Menurut Mosca (1966) sebagaimana dikutip Ernesto Dal Bó (2008) pada dasarnya setiap kelas memiliki kecenderungan menghendaki kelanggengan melalui kekuasaan turun-menurun, baik secara dejure maupun defacto. Bahkan untuk mempertahankan jabatan atau posisi politik yang bersifat terbuka. Karena sebuah hubungan kekerabatan dengan incumbent memang dapat mendatangkan berbagai manfaat, khususnya secara politis.
Politik dinasti dan demokrasi
Sistem demokrasi menjamin dan melindungi hak politik setiap warga negara. Setiap warga negara berhak memilih dan dipilih dalam Pemilu, termasuk dipilih menjadi kepala daerah. Bila berpegang pada kredo ini, tentunya politik dinasti secara prosedural tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Oleh karen itu tidak ada alasan untuk melarang politik dinasti, baik di daerah maupun sampai ke tingkat pusat. Namun demikian setidaknya ada beberapa catatan untuk politik dinasti.
Politik dinasti daerah pada dasarnya menghambat demokratisasi di daerah dan tidak sejalan dengan substansi, semangat dan nilai demokrasi. Karena politik dinasti daerah menghambat atau bahkan menutup kemungkinan kalangan luar dinasti untuk menjadi pemimpin daerah. Kader-kader di luar lingkaran dinasti akan terhambat dari sisi popularitas dan elektabilitas. Hal ini disebabkan, dinasti politik yang sedang berkuasa secara terencana dan sistematis telah memanfaatkan kesempatan untuk menjaga atau bahkan menaikkan popularitas dan elektabilitas kerabat atau kader di lingkarang dinasti. Posisi incambent dalam hal ini berperan cukup signifikan. Hal ini bisa dilakukan dengan pemanfaatan otoritas dalam mengeluarkan kebijakan dan pemanfaatan fasilitas penguasa incumbent.
Selain itu, menurut penasehat Indonesian Institute, Abd Rohim Ghazali (2011) politik dinasti juga bisa merusak sistem kaderisasi partai politik. Penguatan institusionalisasi politik kepartaian menjadi terhambat karena peluang kader-kader terbaik partai diambil alih para kerabat yang baik dari segi kuantitas kaderisasi maupun kualitas sebenarnya belum memenuhi persyaratan.
Politik dinasti merupakan sebuah konsekuensi logis dari pilkada langsung oleh rakyat. Ia tidak bisa dilarang, karena memang tidak ada aturan hukum yang melarangnya. Namun demikian, sebagai media distribusi kekuatan politik, jangan sampai politik dinasti mereduksi nilai-nilai dan semangat demokrasi. Tujuan dan harapan kesejahteraan rakyat jangan sampai tenggelam oleh arus kekuatan dinasti politik, terabaikan karena urusan dinasti politik.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post, Senin, 19 September 2011
Label:
ARTIKEL ILMIAH
Langganan:
Postingan (Atom)