Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rabu, 29 Februari 2012

Mengeluarkan Moral Agama dari Simbol


Oleh: Imam Mustofa
(Kader Kultural NU Lampung)



Sebagaimana mafhum, bahwa suatu agama, termasuk Islam terdiri dari dua unsur, yaitu body and soul. Body (badan) disini berarti simbol-simbol yang terdapat di dalam agama, seperti ritual yang dilakukan secara rutin oleh para pemeluknya. Sementara soul (ruh) adalah nilai-nilai moral etis, nilai spiritual yang menjadi inti dari ajaran agama tersebut.
Kedua unsur ini harus terpenuhi dalam kehidupan umat beragama. Bila tidak, maka akan terjadi kecacatan dalam beragama. Body atau simbol-simbol yang berupa aktifitas ritual rutin tanpa adanya proyeksi dan implementasi nilai-nilai moral etis yang terdapat di dalamnya, maka laksana badan tanpa nyawa. Agama hanya berupa simbol identitas belaka tanpa makna.
Begitu juga bergama hanya menjalankan nilai-nilai moral etis tanpa mau melakukan aktifitas ritual keagamaan sebagaimana telah diatur suatu aturan yang biasa disebut syariat, maka juga dinilai cacat. Karena hakikat dalam beragam tidak bisa dilepaskan dari syariat sebagai body yang menjadi indikator bagi adanya esensi atau nilai-nilai moral etis yang ada di dalamnya. Jadi keduanya harus ditampilkan secar bersamaan.
Berangkat dari pemaparan di atas, penulis mempunyai pemahaman bahwa yang menjadi inti ajaran agama (baca Islam) adalah nilai-nilai moral etis yang terdapat dalam simbol (syariat). Tujuan dari diturunkannya agama adalah untuk menegakkan nilai-nilai moral etis tersebut melalui syariat yang membungkusnya.
Pemahaman di atas penulis dasarkan pada sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang artinya kurang lebih "sesungguhnya aku diutus untuk menyenpurnakan akhlaq”. Nabi Muhammad, termasuk nabi-nabi sebelumnya diutus oleh Allah ke muka bumi ini adalah untuk menegakkan tiang moral yang terdapat dalam syariat. Moral etis dalam syariat agama adalah sebagai penyangga keberlangsungan peradaban manusia. Karena tanpa adanya moral, maka peradaban yang dibangun dengan segala upaya akan tergerogoti oleh tiindakan yang amoral-destruktif.
Untuk memperlancar tugas suci ini Allah memberikan tuntunan melalui wahyu yang kemudian disebut dengan kitab suci. Nabi Muhammad, sebagai nabi terakhir dituntun dan dibantu dengan panduan Al-Quran yang dalam konteks ini adalah sebagai data base atau kitab pokok tuntunan moral. Al-Quran dan bukanlah karya ilmiah, bukan juga ia sekedar kitab hukum, tidak juga kitab politik, pun juga bukan kitab ekonomi dan lain sebagainya. Adapun ada sebagian kecil ayat yang membicarakan masalah-masalah di atas, ia hanyalah prinsip-prinsip dasar yang sesungguhnya pesan dasarnya adalah bahwa semua kegiatan di atas harus dilakukan sesuai dengan pesan moral dan nilai-nilai etis agama yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut.

Ironi kerusakan moral masyarakat religius
Suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia terkenal dengan masyarakat yang remah tamah, sopan dan religius. Bukan hanya itu Negara Indonesia juga mengklaim dirinya sebagai Negara hukum. Kalau kita mendengar klaim dan predikat di atas, maka yang akan terlintas difikiran kita adalah di situ hiudplah masyarakat yang taat hukum, melaksanakan dan menjunjung nilai-nilai moral, etika dan norma serta ajaran-ajaran agama. Namun, apa yang terlintas dalam pikiran kita itu tidak sepenuhnya benar. Berbagai kerusakan moral terjadi hampir di semua lapisan masyarakat.
Akhir-akhir ini kerusakan alam sekitar kita sebagai umat beragama semakin parah. Kerusakan yang terjadi bukan hanya kerusakan lahir, akan tetapi lebih dari itu, ada kerusakan yang lebih parah, yaitu kerusakan batin atau kerusakan moral.
Kerusakan lahir seperti kerusakan lingkungan, penebangan hutan secara illegar (illegal loging), pembakaran hutan, penambangan liar, pembuangan sampah sembarangan dan sebagainya yang mengakibatkan kerusakan seperti timbulnya bencana, seperti banjir, tanah longsor. Lebih dari itu, perusakan dankerusakan lingkungan juga berimbas pada pemanasan global yang efeknya luar biasa dan dirasakan oleh umat manusia sedunia yang mengakibatkan berubahnya tatanan musim, cuaca dan iklim.
Kerusakan paling parah adalah terjadi pada kerusakan moral masyarakat yang merugikan banyak orang, seperti korupsi kolusi suap, jual beli keadilan, kekuasaan jabatan dan sebagainya. Selain itu, banyak terjadi tindak kekerasan, tindakan amoral yang terjadi antarsesama anggota masyarakat atau bahkan sesama anggota keluarga. Hampir setiap hari kita disuguhi berita-berita tentang pencurian, perampokan, penipuan, pergaulan bebas, pencabulan, seks bebas, aborsi, penggunaan obat-obatan terlarang dan lain sebagainya.
Kalau kita telisik lebih jauh, kita akan menemukan ironi bahwa kejahatan dan tindakan destruktif yang merusak infrastruktur sosial masyarakat dan infrastrukur Negara tersebut dilakukan oleh orang-orang beragama. Lebih ironis lagi banyak dari mereka yang taat beragama, rajin shalat, puasa, baca Al-Quran dan ritual keagamaan lainnya. Banyak yang bergelar haji atau bahkan ustadz yang notabene mempunyai pemahaman agama dan menjalankan syariat agama lebih giat daripada orang awam. Kalau kita perhatikan, jarang sekali terdakwa kasus korupsi di negeri religius ini yang tidak bergelar haji.

Kegagalan transformasi moral agama
Hal di atas terjadi karena para pelaku perusakan atau kejahatan tersebut tidak menangkap pesan moral terdapat dalam ritual ibadah yang dilakukannya setiap hari. Atau mereka sebenarnya menangkap pesan-pesan tersebut hanya saja menjadikannya sebagai bahan kajian, sebagai mata pelajaran yang diberikan di lembaga-lembaga pendidikan dan setelah itu dibiarkan mengendap di dalam otak tanpa ditransformasikan dalam perilaku kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Perlu penulis tegaskan bahwa terjadinya kerusakan moral yang akut di tengah-tengah masyarakat yang taat menjalankan ritual keagamaan bukan karena kegagalan agama dalam membentuk masyarakat bermoral. Kerusakan yang terjadi adalah karena kegagalan memahami pesan moral agama yang menjadi solul atau ruh dari syariat atau ritual-ritual ibadah yang setiap hari dijalankan. Bukan hanya itu, kesalahan yang paling fatal adalah kegagalan mentransformasikan nilai moral etis tersebut dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Agama dengan ritualnya hanya dipahami sebagai aturan-aturan legal formal yang hanya menyidiakan pahala dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan neraka. Padahal, selain mengandung aturan legal formal, agama mempunyai ajaran moral yang merupakan inti, sebagai ruh, sebagai perangkat untuk menciptakan masyarakat bermoral. Sudah saatnya umat beragama mengeluarkan nilai-nilai moral etis (soul) yang terdapat dalam simbol-simbol ritual keagamaan (body). Mengeluarkan nilai-nilai moral etis ini dilakukan dengan memproyeksikannya dalam kehidupan sehari-hari demi terciptanya masyarakat yang beradab, berperadaban ideal, aman, tenteram, tertib, bahagia di dunia dan akhirat.

Artikel Ini Telah Dimuat di Rubrik Opini Surat Kabar Harian Radar Lampung Tanggal 17 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar