Rabu, 29 Februari 2012
MENJADIKAN AGAMA SEBAGAI PEMBELA
Oleh: Imam Mustofa*
Membela agama sebagai ideologi yang diyakini (believed ideology) sudah lumrah dan memang menjadi kewajiban bagi setiap pemeluknya. Bahkan dalam Islam ada konsep jihad dengan berbagai varian praktiknya sebagai upaya untuk membela agama. Konsep tujuan syariat Islam, mashlahah juga bermuara pada pemeliharaan lima hal pokok, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam hal ini, apabila terjadi benturan antara menjaga jiwa dan agama, maka yang didahulukan adalah menjaga atau mempertahankan agama. Inilah yang dipraktikkan oleh Rasulullah berjihad dengan berkorban segalanya, nyawapun menjadi taruhan. Semua dilakukan dalam rangka membela dan menjaga agama Islam.
Agama memang wajib dibela dan dipelihara dengan segala upaya dan cara yang tentunya disesuaikan dengan kapasitas pemeluknya, konteks zaman dan keadaan. Dan pada dasarnya umat beragama bukan hanya berkewajiban membela agama yang diyakininya, akan tetapi lebih dari itu, mereka juga wajib menjadikan agama tersebut sebagai pembela dan pemilhara bagi individu dan masyarakat, peradaban, bahkan alam semesta.
Menjadikan agama sebagai pembela berarti melaksanakan ajaran agama dengan mengimplementasikan dan mentransformasikan nilai-nilai etik (ethic values) yang terkandung di dalam syariat agama. Ajaran agama yang mengandung nilai keadilan (justice), perdamaian (peace), persamaan (equality), kebersamaan (togetherness), persaudaraan (brotherhood), persatuan (unity), toleransi (tolerance), dan lain sebagainya yang intinya mengupayakan kesejahteraan (prosperous) dan kebahagiaan (happiness) dunia dan akhirat bagi umat manusia.
Ibadah shalat misalnya, di dalamnya setidaknya mengandung nilai kebersihan, kejujuran, kedisiplinan, persamaan, kebersamaan, persatuan, kasih sayang dan sebagainya. Nilai-nilai ini sifatnya masih abstrak, karena masih tersimpan dalam hati dan pikiran pelaksananya atau bahkan belum terserap olehnya dan masih tersimpan di dalam gerakan-gerakan sholat itu sendiri. Apabila nilai-nilai ini diejawantahkan dalam kehidupan individu maupun sosial masyarakat, maka ia akan membela dan menjaga pemeluknya.
Keberlangsungan umat beragama khususnya, dan umat manusia dengan hasil karyanya itu tergantung pada komitmennya memegang dan melaksanakan nilai moral etik yang sebagian besar terkandung di dalam ajaran agama. Kalau moralitas agama ini ditanamkan dalam hati secara mendalam, kemudian ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun sebagai anggota sosial masyarakat, maka ia akan menopang keberlangsungan hidup dan kehidupan serta peradaban manusia. Karena ia adalah pilar eksistensi sebuah bangsa dan perdabannya. Tetapi apabila agama hanya dijadikan dogma dan ideologi yang hanya diyakini, ritual-ritual rutin tanpa implementasi nilainya, maka ia hanya menjadi identitas belaka. Bahkan ia hanya menjadi penyekat dan menjadi batas dikotomi antara umat manusia yang satu dengan yang lain.
Paradigma Beragama
Penulis mempunyai pemahaman bahwa setidaknya ada dua paradigma dalam beragama. Pertama, paradigma beagama demi manusia untuk Tuhan dan kedua, beragama demi Tuhan untuk kemanusiaan. Dua paradigma ini mempunyai implikasi dan konsekuensi masing-masing.
Paradigma beragama demi manusia untuk Tuhan berarti beragama adalah melayani Tuhan. Ritual-ritual keagamaan yang diajarkan oleh para Nabi adalah dalam rangka melayani Tuhan. Umat beragama yang berpegang pada paradigma ini berharap dengan melayani Tuhan di dunia, maka di akhirat kelak Tuhan akan memberikan pelayanan kepada mereka dengan pelayanan yang sebaik mungkin.
Klausul "demi manusia" dalam paradigma ini berarti bahwa beragama ini tidak dilandasi niat yang tulus untuk menggapai ridho dan rahmat Tuhan, akan tetapi hanya karena manusia. Ritual atau ibadah yang dilakukan hanya karena tidak enak atau malu, karena riya' atau sum'ah dengan sesama manusia.
Pemahaman beragama seperti ini hanya berorientasi untuk mencari keselamatn di akhirat. Agama seolah tidak mengandung unsur kemanusiaan. Beragama hanya menjalin hubungan vertikal (vertical relationship) dengan Tuhan tanpa ada usaha untuk menjalin hubungan harmonis dan konstruktif horizontal antara manusia dengan lainnya dan manusia dengan alam semesta.
Secara tidak langsung paradigma ini menganggap bahwa Tuhan minta untuk disembah oleh hamba-Nya. Tuhan membutuhkan ritual-ritual dari hamba-Nya. Seoalah Tuhan mengajak transaksi, bahwa apabila engkau sebagai hamba mau menyembah, maka akan Aku beri imbalan, tapi apabila tidak mau menyembah, maka akan aku siksa. Seolah-olah Tuhan membutuhkan ibadah dari hamba-Nya. Padahal sama sekali Tuhan tidak membutuhkan apa pun dari hamba-Nya. Bahkan seandainya seluruh makhluk di langit dan bumi dan di kolong antara langit dan bumi ini ingkar dan tidak menyembah Tuhan, sedikit pun tidak akan mengurangi keagungan-Nya. Sebaliknya, seandainya mereka semua menyembah dan taat kepada Tuhan, sedikit pun tidak akan menambah keagungan-Nya. Tuhan menurunkan syariat melalui para nabi dengan tanpa tendensi dan pretensi kecuali demi keharmonisan sesama umat manusia dan antara manusia dengan makhluk hidup dan alam semesta serta demi kesejahteraan dan kebahagiaan mereka.
Paradigma kedua adalah paradigma beragama demi Tuhan untuk kemanusiaan. Beragama demi Tuhan untuk kemanusiaan berangkat dari pemahaman bahwa Tuhan menurunkan agama adalah untuk kepentingan manusia. Visi dan misi agama adalah untuk manusia. Agama adalah untuk manusia, Tuhan tidak mempunyai kepentingan apa pun dengan menurunkan agama ke muka bumi ini.
Ibadah yang disyariatkan untuk hambanya pada dasarnya adalah untuk manusia itu sendiri. Artinya dengan melaksanakan ritual atau ibadah itu diharapkan manusia dapat menangkap pesan moral dan nilai-nilai etik (ethic values) yang terkandung di dalamanya dan kemudian mentransformasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian umat beragama tidak cenderng bersikap dan bertindak amoral terhadap sesama manusia dan juga tidak bertindak destruktif terhadap alam semesta. Pemahaman dan aksi seperti ini, diharapkan dapat mendorong manusia untuk menjalin hubungan yang harmonis, konstruktif dan saling membahu dan membantu sesama lainnya, baik sesama pemeluk agama maupun dengan pemeluk agama lain dan kasih sayang dengan seluruh makhluk.
Paradigma ini mendasari semua aktifitas ritual keagamaan dan transformasi nilai etiknya pada Tuhan. Artinya, semuanya dilakukan tulus dan ikhlas demi Tuhan, demi menggapai rahmat dan ridha-Nya (la maqshuda wa la ghayata illa li ibtighoi mardhotillah wa rahmatihi), dan untuk kemanusiaan, untuk kebaikan sesama manusia khususnya, dan alam semesta pada umumnya. Adapun surga dan neraka adalah konsekuensi logis, dan bukan tujuan dari beragama. Dengan berpegang pada paradigma ini maka umat beragama diharapkan dapat menjadikan agama sebagai pemelihara dan pembela bagi kelangsungan eksistensi dirinya dan peradabannya serta alam semesta.
Jadi beragama bukan hanya berorientasi pada mencari keselamatan di akhirat. beragama tidak hanya menjalin hubungan vertirtikal (vertical relationship) dengan Tuhan tanpa ada usaha untuk menjalin hubungan harmonis dan konstruktif horizontal antara manusia dengan lainnya dan manusia dengan alam semesta.
Beragama berarti membumikan sifat jamaliyah (aesthetic) atau keindahan Tuhan. Umat beragama harus mampu menafsirkan dan menjabarkan keindahan Tuhannya dengan sifat, sikap, dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, baik individu maupun dalam kehidupan sosial berasyarakat lebih-lebih dalam berperilaku dengan seluruh makhluk.
Sebagai kholifah, manusia bertugas membumikan nilai-nilai keindahan yang sudah terkandung dan tergambarkan di dalam nama dan sifat Tuhan. Kalau umat beragama mampu memproyeksikan dan membumikan keindahan, ke rahmahan Tuhan dalam dirinya dan mentransformasikannya dalam kehidupannya, berarti dia telah menjadikan agama sebagai pemelihara dan pembela.
Agama memang wajib dibela dan dipelihara dengan segala upaya dan cara yang tentunya disesuaikan dengan kapasitas pemeluknya, konteks zaman dan keadaan. Dan pada dasarnya umat beragama bukan hanya berkewajiban membela agama yang diyakininya, akan tetapi lebih dari itu, mereka juga wajib menjadikan agama tersebut sebagai pembela dan pemilhara bagi individu dan masyarakat, peradaban, bahkan alam semesta.
Menjadikan agama sebagai pembela berarti melaksanakan ajaran agama dengan mengimplementasikan dan mentransformasikan nilai-nilai etik (ethic values) yang terkandung di dalam syariat agama. Ajaran agama yang mengandung nilai keadilan (justice), perdamaian (peace), persamaan (equality), kebersamaan (togetherness), persaudaraan (brotherhood), persatuan (unity), toleransi (tolerance), dan lain sebagainya yang intinya mengupayakan kesejahteraan (prosperous) dan kebahagiaan (happiness) dunia dan akhirat bagi umat manusia.
Ibadah shalat misalnya, di dalamnya setidaknya mengandung nilai kebersihan, kejujuran, kedisiplinan, persamaan, kebersamaan, persatuan, kasih sayang dan sebagainya. Nilai-nilai ini sifatnya masih abstrak, karena masih tersimpan dalam hati dan pikiran pelaksananya atau bahkan belum terserap olehnya dan masih tersimpan di dalam gerakan-gerakan sholat itu sendiri. Apabila nilai-nilai ini diejawantahkan dalam kehidupan individu maupun sosial masyarakat, maka ia akan membela dan menjaga pemeluknya.
Keberlangsungan umat beragama khususnya, dan umat manusia dengan hasil karyanya itu tergantung pada komitmennya memegang dan melaksanakan nilai moral etik yang sebagian besar terkandung di dalam ajaran agama. Kalau moralitas agama ini ditanamkan dalam hati secara mendalam, kemudian ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun sebagai anggota sosial masyarakat, maka ia akan menopang keberlangsungan hidup dan kehidupan serta peradaban manusia. Karena ia adalah pilar eksistensi sebuah bangsa dan perdabannya. Tetapi apabila agama hanya dijadikan dogma dan ideologi yang hanya diyakini, ritual-ritual rutin tanpa implementasi nilainya, maka ia hanya menjadi identitas belaka. Bahkan ia hanya menjadi penyekat dan menjadi batas dikotomi antara umat manusia yang satu dengan yang lain.
Paradigma Beragama
Penulis mempunyai pemahaman bahwa setidaknya ada dua paradigma dalam beragama. Pertama, paradigma beagama demi manusia untuk Tuhan dan kedua, beragama demi Tuhan untuk kemanusiaan. Dua paradigma ini mempunyai implikasi dan konsekuensi masing-masing.
Paradigma beragama demi manusia untuk Tuhan berarti beragama adalah melayani Tuhan. Ritual-ritual keagamaan yang diajarkan oleh para Nabi adalah dalam rangka melayani Tuhan. Umat beragama yang berpegang pada paradigma ini berharap dengan melayani Tuhan di dunia, maka di akhirat kelak Tuhan akan memberikan pelayanan kepada mereka dengan pelayanan yang sebaik mungkin.
Klausul "demi manusia" dalam paradigma ini berarti bahwa beragama ini tidak dilandasi niat yang tulus untuk menggapai ridho dan rahmat Tuhan, akan tetapi hanya karena manusia. Ritual atau ibadah yang dilakukan hanya karena tidak enak atau malu, karena riya' atau sum'ah dengan sesama manusia.
Pemahaman beragama seperti ini hanya berorientasi untuk mencari keselamatn di akhirat. Agama seolah tidak mengandung unsur kemanusiaan. Beragama hanya menjalin hubungan vertikal (vertical relationship) dengan Tuhan tanpa ada usaha untuk menjalin hubungan harmonis dan konstruktif horizontal antara manusia dengan lainnya dan manusia dengan alam semesta.
Secara tidak langsung paradigma ini menganggap bahwa Tuhan minta untuk disembah oleh hamba-Nya. Tuhan membutuhkan ritual-ritual dari hamba-Nya. Seoalah Tuhan mengajak transaksi, bahwa apabila engkau sebagai hamba mau menyembah, maka akan Aku beri imbalan, tapi apabila tidak mau menyembah, maka akan aku siksa. Seolah-olah Tuhan membutuhkan ibadah dari hamba-Nya. Padahal sama sekali Tuhan tidak membutuhkan apa pun dari hamba-Nya. Bahkan seandainya seluruh makhluk di langit dan bumi dan di kolong antara langit dan bumi ini ingkar dan tidak menyembah Tuhan, sedikit pun tidak akan mengurangi keagungan-Nya. Sebaliknya, seandainya mereka semua menyembah dan taat kepada Tuhan, sedikit pun tidak akan menambah keagungan-Nya. Tuhan menurunkan syariat melalui para nabi dengan tanpa tendensi dan pretensi kecuali demi keharmonisan sesama umat manusia dan antara manusia dengan makhluk hidup dan alam semesta serta demi kesejahteraan dan kebahagiaan mereka.
Paradigma kedua adalah paradigma beragama demi Tuhan untuk kemanusiaan. Beragama demi Tuhan untuk kemanusiaan berangkat dari pemahaman bahwa Tuhan menurunkan agama adalah untuk kepentingan manusia. Visi dan misi agama adalah untuk manusia. Agama adalah untuk manusia, Tuhan tidak mempunyai kepentingan apa pun dengan menurunkan agama ke muka bumi ini.
Ibadah yang disyariatkan untuk hambanya pada dasarnya adalah untuk manusia itu sendiri. Artinya dengan melaksanakan ritual atau ibadah itu diharapkan manusia dapat menangkap pesan moral dan nilai-nilai etik (ethic values) yang terkandung di dalamanya dan kemudian mentransformasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian umat beragama tidak cenderng bersikap dan bertindak amoral terhadap sesama manusia dan juga tidak bertindak destruktif terhadap alam semesta. Pemahaman dan aksi seperti ini, diharapkan dapat mendorong manusia untuk menjalin hubungan yang harmonis, konstruktif dan saling membahu dan membantu sesama lainnya, baik sesama pemeluk agama maupun dengan pemeluk agama lain dan kasih sayang dengan seluruh makhluk.
Paradigma ini mendasari semua aktifitas ritual keagamaan dan transformasi nilai etiknya pada Tuhan. Artinya, semuanya dilakukan tulus dan ikhlas demi Tuhan, demi menggapai rahmat dan ridha-Nya (la maqshuda wa la ghayata illa li ibtighoi mardhotillah wa rahmatihi), dan untuk kemanusiaan, untuk kebaikan sesama manusia khususnya, dan alam semesta pada umumnya. Adapun surga dan neraka adalah konsekuensi logis, dan bukan tujuan dari beragama. Dengan berpegang pada paradigma ini maka umat beragama diharapkan dapat menjadikan agama sebagai pemelihara dan pembela bagi kelangsungan eksistensi dirinya dan peradabannya serta alam semesta.
Jadi beragama bukan hanya berorientasi pada mencari keselamatan di akhirat. beragama tidak hanya menjalin hubungan vertirtikal (vertical relationship) dengan Tuhan tanpa ada usaha untuk menjalin hubungan harmonis dan konstruktif horizontal antara manusia dengan lainnya dan manusia dengan alam semesta.
Beragama berarti membumikan sifat jamaliyah (aesthetic) atau keindahan Tuhan. Umat beragama harus mampu menafsirkan dan menjabarkan keindahan Tuhannya dengan sifat, sikap, dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, baik individu maupun dalam kehidupan sosial berasyarakat lebih-lebih dalam berperilaku dengan seluruh makhluk.
Sebagai kholifah, manusia bertugas membumikan nilai-nilai keindahan yang sudah terkandung dan tergambarkan di dalam nama dan sifat Tuhan. Kalau umat beragama mampu memproyeksikan dan membumikan keindahan, ke rahmahan Tuhan dalam dirinya dan mentransformasikannya dalam kehidupannya, berarti dia telah menjadikan agama sebagai pemelihara dan pembela.
*Alumni Ponpes UII
Label:
AGAMA,
ARTIKEL ILMIAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar