Rabu, 29 Februari 2012
KEMANAKAH SUPREMASI HUKUM?
Oleh: Imam Mustofa
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Kaburnya mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin ke Singapura dan tidak tersentuhnya Miranda S Goeltom dan Nunun Nurbaeti oleh hukum menimbulkanpertanyaan besar. Benarkah ada kekuatan besar yang melindungi mereka? Kalau memang ada kekuatan besar itu, lalu kemanakah perginya supremasi hukum? Apakah dia telah tersesat di lorong-lorong kepentingan, hilang di tengah belantara kepentingan politik atau ditelan arus kekuatan mafia dan uang?
Supremasi hukum berarti memposisikan hukum sebagai "panglima besar" yang harus ditaati. Tidak ada satu kekuatan apa pun yang boleh melangkahi kekuatan hukum, karena hukum sebagai perangkat penegak keadilan dan kebenaran dalam bernegara dan berbangsa. Dan inilah sebagai konsekuensi negara Indonesia sebagai negara hukum. Dalam negara hukum ada tiga prinsip dasar yang harus dihormati, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum. Kesemuanya harus dijalankan dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum itu sendiri (due process of law).
Penegakan Hukum Transaksional
Meskipun proses hukum yang melibatkan para penegak hukum untuk menemukan sebuah keadilan dan kebenaran telah berjalan dengan berbagai dinamika yang ada, namun keadilan tidak selamanya tercapai. Terlebih apabila proses tersebut telah bersinggungan dengan para mafia keadilan, berbaur dengan politik dan rekayasa yang berlumur berbagai kepentingan yang mengarah pada penegakan hukum transaksional. Inilah yang menyebabkan krisis keadilan di negara hukum Indonesia. Tujuan hukum telah tereduksi oleh perilaku sebagian penegaknya. Maka wajar bila Robert Seidman dan William J. Chambliss menyatakan bahwa hukum adalah mitos yang setiap hari dibuktikan kebohongannya.
Menurut Suparman Marzuki (2008), penegakan hukum tidak mewujudkan pencerahan, rasa aman dan melindungi, tetapi justru sangat menekan, membuat sumpek sekaligus tidak memberi harapan. Kekuasaan kehakiman menjadi "kekuasaan alienatif" yang kuat mencerminkan rekayasa struktur yang menghasilkan kepatuhan karena tekanan. Kekuasaan moral yang dibangun di atas dasar konsensus normatif dan dipatuhi secara moral dengan sendirinya telah sirna.
Hukum dan keadilan tidak jarang tersandera dan terpenjara di dalam bilik-bilik kepentingan perorangan atau kelompok. Penegakan hukum dijadikan bargaining untuk mempertahankan atau memperoleh keuntungan pragmatis, jabatan, kekuasaan dan materi. Penegakan hukum semacam itu –meminjam istilah Vinogradoff- terlibat dalam "give and take" atau logika jual beli. Hukum dan keadilan menjadi komoditas.
Paradigma tersebut menjadikan penegakan hukum tidak obyektif lagi. Ia menggunakan logika tebang pilih. Penegak hukum tegas dan garang kala berhadapan dengan pihak yang tidak mampu memberikan atau memenuhi kepentingan penegaknya. Sebaliknya, ia akan lentur dan tumpul ketika berhadapan dengan pihak yang dapat memenuhi kepentingan pragmatis mereka. Maka tidak salah apa yang digambarkan oleh Marc Glanter dalam Marzuki (2008) bahwa pedang Dewi Themsis jarang diasah, kalaupun diasah hanya satu sisi. Jika berhadapan dengan obyek yang berkuasa atau berkantong tebal maka akan digunakannya sisi yang tumpul, sebaliknya, jika objeknya lemah dan papa, ditebasnya dengan sisi yang tumpul.
Reformasi mental penegak hukum
Lawrence Meir Friedman menyatakan, setidaknya ada tiga faktor yang mempngaruhi penegakan hukum yaitu hukum itu sendiri (legal substance), struktur hukum/pranata hukum (structure) dan kebudayaan (culture). Sementara menurut Soerjono Soekanto (1983) setidaknya ada lima faktor dalam proses penegakan hukum, yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukumnya, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan.
Kedua teori di atas sama-sama memasukkan faktor kebudayaan (culture) sebagai suatu yang mempengaruhi penegakan hukum. Kebudayan sangat mempengaruhi penegakan hukum karena pada dasarnya kultur akan membentuk sikap mental. Begitu juga sebaliknya mentalitas seseorang akan berpengaruh pada kultur lingkungannya. Inilah yang menjadi permasalahan dalam penegakan hukum.
Mentalitas penegak hukum di Indonesia telah terjangkiti virus pragmatisme. Virus ini akan menimbulkan penyakit turunan judicial corruption. Virus pragmatis-koruptif mengakibatkan pengidapnya menjalankan tugas hanya berdasarkan kepentingan diri, kelompok atau golongannya. Landasan yang menjadi acuan penegakan hukum bukanlah keadilan dan kebenaran melainkan terpenuhi atau tidaknya kepentingannya.
Menurut Moh. Mahfud MD (2008), para penegak hukum bukan lagi mencari kebenaran, melainkan bagaimana mencapai kemenangan riil sesuai dengan yang diinginkan dirinya maupun klien yang memesannya. Penyelesaian kasus-kasus hukum di pengadilanpun tidak lagi mengandalkan kekuatan argumen yang murni hukum, melainkan melalui lobi-lobi politik dan negosiasi tentang cara penyelesaian atau materi putusan yang dapat dinilai dengan harga uang tertentu.
Apabila kebudayaan yang dibangun di lingkungan lembaga penegak hukum adalah kebudayan yang menjunjung tinggi nali-nilai kejujuran, kebenaran dan obyektif, maka mental penegaknya juga akan menunjukkan nilai-nilai demikian pula. Bila kultur tersebut yang dibangun, maka mental penegak hukum akan dapat diandalkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada para penegak hukum melalui penegakkan keadilan secara konsisten dan kontinyu. Penegakan hukum yang berusaha menciptakan keadilan substantif dan bukan hanya keadilan prosedural yang dapat ditransaksikan. Kalau ini yang dilakukan, maka supremasi hukum akan benar-benar ada.
Supremasi hukum berarti memposisikan hukum sebagai "panglima besar" yang harus ditaati. Tidak ada satu kekuatan apa pun yang boleh melangkahi kekuatan hukum, karena hukum sebagai perangkat penegak keadilan dan kebenaran dalam bernegara dan berbangsa. Dan inilah sebagai konsekuensi negara Indonesia sebagai negara hukum. Dalam negara hukum ada tiga prinsip dasar yang harus dihormati, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum. Kesemuanya harus dijalankan dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum itu sendiri (due process of law).
Penegakan Hukum Transaksional
Meskipun proses hukum yang melibatkan para penegak hukum untuk menemukan sebuah keadilan dan kebenaran telah berjalan dengan berbagai dinamika yang ada, namun keadilan tidak selamanya tercapai. Terlebih apabila proses tersebut telah bersinggungan dengan para mafia keadilan, berbaur dengan politik dan rekayasa yang berlumur berbagai kepentingan yang mengarah pada penegakan hukum transaksional. Inilah yang menyebabkan krisis keadilan di negara hukum Indonesia. Tujuan hukum telah tereduksi oleh perilaku sebagian penegaknya. Maka wajar bila Robert Seidman dan William J. Chambliss menyatakan bahwa hukum adalah mitos yang setiap hari dibuktikan kebohongannya.
Menurut Suparman Marzuki (2008), penegakan hukum tidak mewujudkan pencerahan, rasa aman dan melindungi, tetapi justru sangat menekan, membuat sumpek sekaligus tidak memberi harapan. Kekuasaan kehakiman menjadi "kekuasaan alienatif" yang kuat mencerminkan rekayasa struktur yang menghasilkan kepatuhan karena tekanan. Kekuasaan moral yang dibangun di atas dasar konsensus normatif dan dipatuhi secara moral dengan sendirinya telah sirna.
Hukum dan keadilan tidak jarang tersandera dan terpenjara di dalam bilik-bilik kepentingan perorangan atau kelompok. Penegakan hukum dijadikan bargaining untuk mempertahankan atau memperoleh keuntungan pragmatis, jabatan, kekuasaan dan materi. Penegakan hukum semacam itu –meminjam istilah Vinogradoff- terlibat dalam "give and take" atau logika jual beli. Hukum dan keadilan menjadi komoditas.
Paradigma tersebut menjadikan penegakan hukum tidak obyektif lagi. Ia menggunakan logika tebang pilih. Penegak hukum tegas dan garang kala berhadapan dengan pihak yang tidak mampu memberikan atau memenuhi kepentingan penegaknya. Sebaliknya, ia akan lentur dan tumpul ketika berhadapan dengan pihak yang dapat memenuhi kepentingan pragmatis mereka. Maka tidak salah apa yang digambarkan oleh Marc Glanter dalam Marzuki (2008) bahwa pedang Dewi Themsis jarang diasah, kalaupun diasah hanya satu sisi. Jika berhadapan dengan obyek yang berkuasa atau berkantong tebal maka akan digunakannya sisi yang tumpul, sebaliknya, jika objeknya lemah dan papa, ditebasnya dengan sisi yang tumpul.
Reformasi mental penegak hukum
Lawrence Meir Friedman menyatakan, setidaknya ada tiga faktor yang mempngaruhi penegakan hukum yaitu hukum itu sendiri (legal substance), struktur hukum/pranata hukum (structure) dan kebudayaan (culture). Sementara menurut Soerjono Soekanto (1983) setidaknya ada lima faktor dalam proses penegakan hukum, yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukumnya, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan.
Kedua teori di atas sama-sama memasukkan faktor kebudayaan (culture) sebagai suatu yang mempengaruhi penegakan hukum. Kebudayan sangat mempengaruhi penegakan hukum karena pada dasarnya kultur akan membentuk sikap mental. Begitu juga sebaliknya mentalitas seseorang akan berpengaruh pada kultur lingkungannya. Inilah yang menjadi permasalahan dalam penegakan hukum.
Mentalitas penegak hukum di Indonesia telah terjangkiti virus pragmatisme. Virus ini akan menimbulkan penyakit turunan judicial corruption. Virus pragmatis-koruptif mengakibatkan pengidapnya menjalankan tugas hanya berdasarkan kepentingan diri, kelompok atau golongannya. Landasan yang menjadi acuan penegakan hukum bukanlah keadilan dan kebenaran melainkan terpenuhi atau tidaknya kepentingannya.
Menurut Moh. Mahfud MD (2008), para penegak hukum bukan lagi mencari kebenaran, melainkan bagaimana mencapai kemenangan riil sesuai dengan yang diinginkan dirinya maupun klien yang memesannya. Penyelesaian kasus-kasus hukum di pengadilanpun tidak lagi mengandalkan kekuatan argumen yang murni hukum, melainkan melalui lobi-lobi politik dan negosiasi tentang cara penyelesaian atau materi putusan yang dapat dinilai dengan harga uang tertentu.
Apabila kebudayaan yang dibangun di lingkungan lembaga penegak hukum adalah kebudayan yang menjunjung tinggi nali-nilai kejujuran, kebenaran dan obyektif, maka mental penegaknya juga akan menunjukkan nilai-nilai demikian pula. Bila kultur tersebut yang dibangun, maka mental penegak hukum akan dapat diandalkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada para penegak hukum melalui penegakkan keadilan secara konsisten dan kontinyu. Penegakan hukum yang berusaha menciptakan keadilan substantif dan bukan hanya keadilan prosedural yang dapat ditransaksikan. Kalau ini yang dilakukan, maka supremasi hukum akan benar-benar ada.
Artikel ini telah diterbitkan Surat Kabar Harian Lampung Post, Kamis, 23 Juni 2011
Label:
ARTIKEL ILMIAH,
HUKUM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar