Rabu, 29 Februari 2012
KONTRATERORISME DAN DERADIKALISASI
Oleh: Imam Mustofa
(Dosen Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo Metro)
Tinta merah aksi teror nampaknya terus menerus tertoreh dalam lembaran sejarah bangsa Indonesia. Gerakan dan aksi teror bahkan dilakukan dengan modus baru, yaitu dengan melakukan perampokan guna menunjang kegiatan dan aksi teror berikutnya. Menurut Kapolri, Bambang Hendarso Danuri, Kasus perampokan Bank CIMB Niaga Medan yang terjadi pada 18 Agustus 2010 lalu bukan hanya kejahatan kriminal biasa, melainkan terkait dalam kasus terorisme. Lebih dari itu, aksi teror kelompok teroris semakin berani. Mereka berani menyerang Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara pada Rabu, 22 September 2010 lalu yang mengakibatkan tewasnya tiga orang polisi.
Harus diakui, memberantas terorisme memang tidak semudah membahasnya dalam teori. Ia tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan pemerintah Amerika Serikat yang merupakan Negara adidaya yang mendeklarasikan perang global melawan terorsme Global War on Terrorism (G-WOT) saja belum berhasil memberantas dan menumbangkan akasi teror dari muka bumi. Bahkan aksi teror cenderung meningkat. Padahal, sudah miliaran dolar dana, ratusan ribu tentara, tenaga dan pikiran telah dikerahkan dengan menggandeng Negara-negara Eropa serta berbagai organisasi dalam melakukan perang anti teror ini.
Dalam konteks Indonesia, sulitnya pemberantasan dan penanggulangan kejahatan terorisme karena sampai saat ini langkah yang dilakukan pemerintah masih bersifat represif dan reaktif seperti penangkapan, penembakan di tempat dan proses hukum sampai eksekusi. Langkah- langkah tersebut belum menyentuh akar masalah yang sesungguhnya. Hal ini juga diakui oleh Menkopolhukam, Marsekal Djoko Suyanto saat membuka acara Simposium Nasional Memutus Mata rantai Radikalisme dan Teorisme pada tanggal 27-28 Juli 2010 di Jakarta.
Cara represif dengan pendekatan militeristik dengan penangkapan dan bahkan penembakan pelaku teror merupakan langkah memotong aksi teror dari tengah. Hal ini memang dapat meminimalisir aksi teror, namun tidak memutus dan mencabutnya dari akar yang menjadi faktor dan pemicu dan pemacunya. Terorisme selaksa gunung es di tengah lautan, aksi hanyalah yang tampak dari permukaan, adapun di bawah permukaan masih banyak permasalahan faktor, pemicu dan pemacu munculnya aksi teror di bumi Indonesia tercinta.
Menurut Kabereskrim Mabes Polri Ito Sumardi, secara garis besar faktor munculnya aksi teror dapat dipetakan menjadi dua. Pertama, aksi teror yang muncul di daerah atau eks daerah konflik (conflict area). Aksi teror yang muncul di daerah semacam ini diantaranya dipicu oleh motif balas dendam, ketidakadilan hukum dan trauma psikologis. Kedua, terorisme yang terjadi di daerah normal (zero conflict). Pada umumnya teror di daerah aman dipicu oleh faktor ideologis, solidaritas kelompok, pencarian identitas dan situasi lingkungan internasional.
Melihat faktor yang menyangkut akar masalah munculnya terorisme di atas, seharusnya langkah penanganannya juga harus diarahkan dan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan faktor pemicunya. Sampai saat ini kesimpulan yang mendominasi mindset para pengkaji dan stakeholder pemicu utama aksi teror adalah faktor idelogi. Dengan demikian, maka langkah yang harus ditempuh adalah melakukan pendekatan ideologis keagamaan.
Memang harus diakui, bahwa ideologi agama bisa menimbulkan aksi radikalisme. Teks-teks agama yang ditafsirkan secara atomistik, parsial-monolitik (monolithic-partial) akan menimbulkan pandangan yang sempit dalam beragama. Kebenaran agama menjadi barang komoditi yang dapat dimonopoli. Ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan radikal dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi ini. Aksi radikalisme inilah yang sering mengarah kearah aksi teror. Oleh karena itu, kontra terorisme di Indonesia harus melalui proses pemutusan rantai radikalisme dengan melakukan deradikalisasi. Selama masih ada penyebaran paham dan interpretasi teks agama bahwa menyerang kepentingan Barat, atau fasilitas Negara yang mendukung atau setidaknya pro-kebijakan Negara-negara Barat dinggap jihad, dan pelakunya yang mati dinggap mati syahid, maka selama itu pula pemberantasan terorisme akan sulit, karena para pelaku teror memang mencari mati syahid.
Faktor ideologi keagamaan memang bukan satu-satunya faktor munculnya radikalisme dan terorisme di Indoneia, namun setidaknya, kesimpulan sementara faktor inilah yang dominan. Oleh karena itu, yang harus segera dilakukan adalah deradikalisasi.
Hal penting yang perlu dilakukan dalam rangka deradikalisasi yang menggunakan kedok agama untuk melakukan tinda kekerasan adalah dengan mengajak kelompok-kelompok radikal untuk berinteraksi, berkomunikasi, diskusi dan dialog secara intens. Selain itu, pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait, khususnya kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga harus bekerjasama dengan lembaga-lembaga atau organisasi Islam yang moderat, seperti NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi ini merupakan infrastruktur sosial besar yang dapat berperan signifikan dalam mengikis faham-faham dan pemikiran radikal di Indonesia. Kalau langkah ini dilakukan secara intens dan kontinyu tidak hanya bersifat sporadis dan reaktif nisacaya akan dapat berperan secara signifikan dalam menanggulangi radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Selama penanggulangan terorisme hanya mengandalkan aspek hukum, hanya memotongnya dari tengah, maka nampaknya ia akan terus membayangi dan mengancam. Belajar dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan pemberantasan terorisme yang telah lalu, pemerintah harus memperhatikan seluruh aspek dan faktor dan yang terkait.
Penanggulangan terorisme harus menyentuh akar masalah yang sesungguhnya, termasuk faktor politik, ekonomi, ideologi dan faktor-faktor lain. Kalau langkah-langkah tersebut dilakukan pemerintah dengan melibatkan instansi dan berbagai komponen masyarkat, termasuk ormas-ormas keagamaan, maka penaggulangan terorisme akan lebih efektif, sehingga aksi teror dapat dihilangkan dari Indonesia dan bahkan dari muka bumi.
Harus diakui, memberantas terorisme memang tidak semudah membahasnya dalam teori. Ia tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan pemerintah Amerika Serikat yang merupakan Negara adidaya yang mendeklarasikan perang global melawan terorsme Global War on Terrorism (G-WOT) saja belum berhasil memberantas dan menumbangkan akasi teror dari muka bumi. Bahkan aksi teror cenderung meningkat. Padahal, sudah miliaran dolar dana, ratusan ribu tentara, tenaga dan pikiran telah dikerahkan dengan menggandeng Negara-negara Eropa serta berbagai organisasi dalam melakukan perang anti teror ini.
Dalam konteks Indonesia, sulitnya pemberantasan dan penanggulangan kejahatan terorisme karena sampai saat ini langkah yang dilakukan pemerintah masih bersifat represif dan reaktif seperti penangkapan, penembakan di tempat dan proses hukum sampai eksekusi. Langkah- langkah tersebut belum menyentuh akar masalah yang sesungguhnya. Hal ini juga diakui oleh Menkopolhukam, Marsekal Djoko Suyanto saat membuka acara Simposium Nasional Memutus Mata rantai Radikalisme dan Teorisme pada tanggal 27-28 Juli 2010 di Jakarta.
Cara represif dengan pendekatan militeristik dengan penangkapan dan bahkan penembakan pelaku teror merupakan langkah memotong aksi teror dari tengah. Hal ini memang dapat meminimalisir aksi teror, namun tidak memutus dan mencabutnya dari akar yang menjadi faktor dan pemicu dan pemacunya. Terorisme selaksa gunung es di tengah lautan, aksi hanyalah yang tampak dari permukaan, adapun di bawah permukaan masih banyak permasalahan faktor, pemicu dan pemacu munculnya aksi teror di bumi Indonesia tercinta.
Menurut Kabereskrim Mabes Polri Ito Sumardi, secara garis besar faktor munculnya aksi teror dapat dipetakan menjadi dua. Pertama, aksi teror yang muncul di daerah atau eks daerah konflik (conflict area). Aksi teror yang muncul di daerah semacam ini diantaranya dipicu oleh motif balas dendam, ketidakadilan hukum dan trauma psikologis. Kedua, terorisme yang terjadi di daerah normal (zero conflict). Pada umumnya teror di daerah aman dipicu oleh faktor ideologis, solidaritas kelompok, pencarian identitas dan situasi lingkungan internasional.
Melihat faktor yang menyangkut akar masalah munculnya terorisme di atas, seharusnya langkah penanganannya juga harus diarahkan dan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan faktor pemicunya. Sampai saat ini kesimpulan yang mendominasi mindset para pengkaji dan stakeholder pemicu utama aksi teror adalah faktor idelogi. Dengan demikian, maka langkah yang harus ditempuh adalah melakukan pendekatan ideologis keagamaan.
Memang harus diakui, bahwa ideologi agama bisa menimbulkan aksi radikalisme. Teks-teks agama yang ditafsirkan secara atomistik, parsial-monolitik (monolithic-partial) akan menimbulkan pandangan yang sempit dalam beragama. Kebenaran agama menjadi barang komoditi yang dapat dimonopoli. Ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan radikal dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi ini. Aksi radikalisme inilah yang sering mengarah kearah aksi teror. Oleh karena itu, kontra terorisme di Indonesia harus melalui proses pemutusan rantai radikalisme dengan melakukan deradikalisasi. Selama masih ada penyebaran paham dan interpretasi teks agama bahwa menyerang kepentingan Barat, atau fasilitas Negara yang mendukung atau setidaknya pro-kebijakan Negara-negara Barat dinggap jihad, dan pelakunya yang mati dinggap mati syahid, maka selama itu pula pemberantasan terorisme akan sulit, karena para pelaku teror memang mencari mati syahid.
Faktor ideologi keagamaan memang bukan satu-satunya faktor munculnya radikalisme dan terorisme di Indoneia, namun setidaknya, kesimpulan sementara faktor inilah yang dominan. Oleh karena itu, yang harus segera dilakukan adalah deradikalisasi.
Hal penting yang perlu dilakukan dalam rangka deradikalisasi yang menggunakan kedok agama untuk melakukan tinda kekerasan adalah dengan mengajak kelompok-kelompok radikal untuk berinteraksi, berkomunikasi, diskusi dan dialog secara intens. Selain itu, pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait, khususnya kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga harus bekerjasama dengan lembaga-lembaga atau organisasi Islam yang moderat, seperti NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi ini merupakan infrastruktur sosial besar yang dapat berperan signifikan dalam mengikis faham-faham dan pemikiran radikal di Indonesia. Kalau langkah ini dilakukan secara intens dan kontinyu tidak hanya bersifat sporadis dan reaktif nisacaya akan dapat berperan secara signifikan dalam menanggulangi radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Selama penanggulangan terorisme hanya mengandalkan aspek hukum, hanya memotongnya dari tengah, maka nampaknya ia akan terus membayangi dan mengancam. Belajar dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan pemberantasan terorisme yang telah lalu, pemerintah harus memperhatikan seluruh aspek dan faktor dan yang terkait.
Penanggulangan terorisme harus menyentuh akar masalah yang sesungguhnya, termasuk faktor politik, ekonomi, ideologi dan faktor-faktor lain. Kalau langkah-langkah tersebut dilakukan pemerintah dengan melibatkan instansi dan berbagai komponen masyarkat, termasuk ormas-ormas keagamaan, maka penaggulangan terorisme akan lebih efektif, sehingga aksi teror dapat dihilangkan dari Indonesia dan bahkan dari muka bumi.
Artikel ini telah diterbitkan Surat Kabar Harian Lampung Post, Rabu, 29 September 2010
Label:
ARTIKEL ILMIAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar