Rabu, 29 Februari 2012
KEMENAG, JANGAN LAGI TERKORUP
(Refeleksi HAB Kemenag ke-66)
Oleh: Imam Mustofa
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Beberapa waktu lalu, Survei integritas 2011 yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut Kementerian Agama sebagai lembaga paling korup di Indonesia. Statemen tersebut menimbulkan efek psikologis bagi keluarga besar kemenag. Bahkan, menteri Agama, Surya Dharma Ali mendatangi KPK untuk meminta klarifikasi terkait statemen terkorup tersebut.
Tolok ukur yang digunakan untuk menyimpulkan bahwa kemenag terkorup adalah sejumlah pelayanan di Kemenag, seperti perpanjangan ONH Plus, izin-izin haji, penyelenggaraan umroh khusus, dan bimbingan ibadah haji serta mengenai administrasi pernikahan di KUA (Kantor Urusan Agama). Pada titik-titik tersebut memang rawan terjadi tindak pidana korupsi, terutama suap. Namun demikian, setidaknya kurang bijak menilai kinerja sebuah kementerian yang satuan kerjanya sangat luas dengan hanya berlandaskan tolok ukur di atas.
Tulisan ini tidak bermaksud menepis atau menjawab statemen lembaga survei tersebut. Terlepas dari benar tidaknya serta ke-validan survei tersebut, kemenag sebagai instansi yang berlabel agama harus menjadikan survei tersebut sebagai pijakan untuk introspeksi diri dan perbaikan. Tanpa harus mencari-cari perbandingan dengan instansi lain, kemenag sebagai instansi yang terisi kalangan beragama harus tampil dan membuktikan diri bahwa mereka adalah lembaga yang paling bersih dan mempunyai kinerja yang terbaik di Indonesia.
Memang naif rasanya untuk menjadikan lembaga terbersih hanya mengandalkan bahwa keluarga besar kemenag berasal dari kalangan beragama. Karena fakta membuktikan bahwa agama “telah gagal” membentengi umatnya dari tindakan korupsi. Para pelaku korupsi di Indonesia sebagian besar adalah umat beragama, bahkan tidak jarang yang bergelar haji. Kegagalan yang dimaksud bukan pada agamanya, akan tetapi kegagalan umat beragama menangkap pesan moral agama dan mentransfiormasikan dalam kehidupan seharai-hari, termasuk dalam kehidupan birokrasi dan bernegara.
Membumikan Jargon Ikhlas Beramal
Hari Amal Bhakti (HAB) yang ke-66 ini harus menjadi landasan kemenag untuk mejadi kementerian yang lebih baik, jauh dari bau korupsi dan menjadi kementerian yang memberikan pelayanan publik yang prima. Langkah ini tentunya membutuhkan komitmen tinggi dari seluruh pegawai, terutama unsur pimpinan.
Kemenag harus mampu menunjukkan integritas yang tinggi untuk menjadi pelayan publik yang sesuai dengan semboyan kemenag “ikhklas beramal”. Ikhlas dalam arti menjadikan pekerjaan sebagai wahana untuk mengabdikan dan mendedikasikan diri kepada negara serta menjadi pelayan masyarakat. Ikhlas dalam arti bekerja dengan tidak menjadikan gaji sebagai tujuan, akan tetapi hanya sekadar konsekuensi logis dari sebuah pekerjaan dan dedikasi tinggi seorang pelayan masyarakat. Jangan sampai pegawai kemenag bekerja dengan orientasi gaji, apalagi sambil mencari penghasilan tambahan dengan cara-cara nudis seperti suap dan korupsi yang akan menghancurkan pilar-pilar eksistensi kemenag dan meruntuhkan benteng martabat kemenag di tengah-tengah instansi lain yang tidak berlebel agama.
Semboyan ikhlas beramal jangan sampai hanya bertengger di atas langit, akan tetapi harus menjadi jargon yang membumi. Menjadi pegangan yang tertanam dalam hati setiap pegawai kemenag dan dapat terimplementasikan dalam bekerja melayani masyarakat.
Pegawai kemenag yang notabene adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) jangan sampai memegangi paradigma bahwa pegawai sebagai pejabat yang harus dihromati dan dilayani. Pegawai kemenag harus memegang paradigma bahwa PNS adalah sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat. Sebagai instansi yang berlabel agama, kemenag harus lebih agamis dan bermoral dari instansi lain. Kemenag harus bisa menjadi percontohan bagi instansi lain.
Semoga Hari Amal Bhakti ke-66 bisa menjadi landasan pacu untuk berbenah agar menjadi lembaga yang lebih baik dan lebih bersih. Tidak ada lagi bau anyir korupsi di lingkungan kemenag, apalgi sampai dinyatakan sebagailembaga terkorup di Indonesia. Pekerjaan yang dilakukan benar-benar sebagai wujud integritas abdi negara, sebagai pelayanan yang berangkat dari keikhlasan seorang pelayan publik yang bernaung di bawah lembaga yang mempunyia semboyan “ikhlas beramal”. Selamat Hari Amal Bhakti yang ke-66.
Tolok ukur yang digunakan untuk menyimpulkan bahwa kemenag terkorup adalah sejumlah pelayanan di Kemenag, seperti perpanjangan ONH Plus, izin-izin haji, penyelenggaraan umroh khusus, dan bimbingan ibadah haji serta mengenai administrasi pernikahan di KUA (Kantor Urusan Agama). Pada titik-titik tersebut memang rawan terjadi tindak pidana korupsi, terutama suap. Namun demikian, setidaknya kurang bijak menilai kinerja sebuah kementerian yang satuan kerjanya sangat luas dengan hanya berlandaskan tolok ukur di atas.
Tulisan ini tidak bermaksud menepis atau menjawab statemen lembaga survei tersebut. Terlepas dari benar tidaknya serta ke-validan survei tersebut, kemenag sebagai instansi yang berlabel agama harus menjadikan survei tersebut sebagai pijakan untuk introspeksi diri dan perbaikan. Tanpa harus mencari-cari perbandingan dengan instansi lain, kemenag sebagai instansi yang terisi kalangan beragama harus tampil dan membuktikan diri bahwa mereka adalah lembaga yang paling bersih dan mempunyai kinerja yang terbaik di Indonesia.
Memang naif rasanya untuk menjadikan lembaga terbersih hanya mengandalkan bahwa keluarga besar kemenag berasal dari kalangan beragama. Karena fakta membuktikan bahwa agama “telah gagal” membentengi umatnya dari tindakan korupsi. Para pelaku korupsi di Indonesia sebagian besar adalah umat beragama, bahkan tidak jarang yang bergelar haji. Kegagalan yang dimaksud bukan pada agamanya, akan tetapi kegagalan umat beragama menangkap pesan moral agama dan mentransfiormasikan dalam kehidupan seharai-hari, termasuk dalam kehidupan birokrasi dan bernegara.
Membumikan Jargon Ikhlas Beramal
Hari Amal Bhakti (HAB) yang ke-66 ini harus menjadi landasan kemenag untuk mejadi kementerian yang lebih baik, jauh dari bau korupsi dan menjadi kementerian yang memberikan pelayanan publik yang prima. Langkah ini tentunya membutuhkan komitmen tinggi dari seluruh pegawai, terutama unsur pimpinan.
Kemenag harus mampu menunjukkan integritas yang tinggi untuk menjadi pelayan publik yang sesuai dengan semboyan kemenag “ikhklas beramal”. Ikhlas dalam arti menjadikan pekerjaan sebagai wahana untuk mengabdikan dan mendedikasikan diri kepada negara serta menjadi pelayan masyarakat. Ikhlas dalam arti bekerja dengan tidak menjadikan gaji sebagai tujuan, akan tetapi hanya sekadar konsekuensi logis dari sebuah pekerjaan dan dedikasi tinggi seorang pelayan masyarakat. Jangan sampai pegawai kemenag bekerja dengan orientasi gaji, apalagi sambil mencari penghasilan tambahan dengan cara-cara nudis seperti suap dan korupsi yang akan menghancurkan pilar-pilar eksistensi kemenag dan meruntuhkan benteng martabat kemenag di tengah-tengah instansi lain yang tidak berlebel agama.
Semboyan ikhlas beramal jangan sampai hanya bertengger di atas langit, akan tetapi harus menjadi jargon yang membumi. Menjadi pegangan yang tertanam dalam hati setiap pegawai kemenag dan dapat terimplementasikan dalam bekerja melayani masyarakat.
Pegawai kemenag yang notabene adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) jangan sampai memegangi paradigma bahwa pegawai sebagai pejabat yang harus dihromati dan dilayani. Pegawai kemenag harus memegang paradigma bahwa PNS adalah sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat. Sebagai instansi yang berlabel agama, kemenag harus lebih agamis dan bermoral dari instansi lain. Kemenag harus bisa menjadi percontohan bagi instansi lain.
Semoga Hari Amal Bhakti ke-66 bisa menjadi landasan pacu untuk berbenah agar menjadi lembaga yang lebih baik dan lebih bersih. Tidak ada lagi bau anyir korupsi di lingkungan kemenag, apalgi sampai dinyatakan sebagailembaga terkorup di Indonesia. Pekerjaan yang dilakukan benar-benar sebagai wujud integritas abdi negara, sebagai pelayanan yang berangkat dari keikhlasan seorang pelayan publik yang bernaung di bawah lembaga yang mempunyia semboyan “ikhlas beramal”. Selamat Hari Amal Bhakti yang ke-66.
Artikel ini telah diterbitkan Surat Kabar Harian Lampung Post, Selasa, 3 Januari 2012
Label:
ARTIKEL ILMIAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar