Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rabu, 29 Februari 2012

Etika Politik dan Demokrasi


Oleh: Imam Mustofa
(Sekretaris wakil Ketua STAIN Jurai Siwo Metro)

Akhir-akhir ini kita sering dikagetkan dengan berita tentang tingkah laku salah seorang anggota Panitia Khusus (Pansus) skandal bank Century yang dinilai arogan. Anggota pansus, yang nota bene juga anggota DPR tersebut beberapa kali mengucapkan kata yang kurang pantas diungkapkan sebagai anggota dewan terhormat. Ucapan-ucapan yang juga "menghangatkan" suasana di arena sidang pansus. Terakhir adalah panggilan yang dinilai bersifat rasis dan menyinggung anggota pansus lainnya, yaitu panggilan "Daeng" yang ditujukan kepada Yusuf Kalla yang merupakan mantan Wakil Presiden yang berasal dari Makassar Sulawesi Selatan.
Fenomena seperti ini mengingatkan penulis pada sebuah adagium yang berbunyi "Ethics has no place in politics". Tidak ada ruang bagi etika dalam kehidupan politik. Realitas perilaku politik elit kita nampaknya sedikit menggambarkan kebenaran adagium di atas.
Ketika etika dipahami sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang salah, maka etika sangat diperlukan dalam aktivitas politik dalam bingkai demokrasi. Kebebasan mengemukan pendapat dalam Negara yang menganut sistem demokrasi tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan etika dalam berpolitik.
Menurut Paul Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara karena menyangkut tindakan kolektif (Ramadhany: 2008).
Etika dalam berpolitik merupakan perwujudan sikap dan perilaku siapa saja yang terlibat dalam kancah politik. Dalam arti yang demikian, politisi yang beretika adalah ia yang menjalankan etika dalam berpolitik dan mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Keutamaan moral ini dapat dilihat dari sikap jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima perbedaan dan pluralitas, memiliki komitmen yang tinggi dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Seorang Filosof Jerman, Immanuel Kant pernah menggambarkan sifat orang-orang yang terjun dalam dunia politik dengan dua watak binatang, yaitu merpati dan ular. Merpati digunakan sebagai gambaran politisi yang memiliki watak dan sikap yang lembut serta penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Sedangkan ular merupakan gambaran bagi politisi yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Tidak jarang dua watak ini berada dalam satu ruang watak satu orang politisi. Dalam keadaan seperti ini yang sering menonjol adalah watak ular. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitas watak poltisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang (M Alfan Alfian: 2008).
Harus kita akui, memang dalam politik seolah yang ada hanyalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Para aktivis politik, khususnya elit politik mempunyai kecenderungan untuk melakukan tabrakan kepentingan, saling menghalalkan segala cara dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Hal ini menjadikan para elit politik yang sudah mempunyai jaringan yang luas dan pengalaman yang cukup akan semakin kuat dan mendominasi. Sementara yang lemah terperosok di sudut-sudut ruang politik. Kondisi seperti inilah yang sering membuat mereka terlepas dari koridor moral atau bahkan menerjang aturan hukum. Dalam memperjuangkan eksistesi dan kepentingannya tidak jarang seorang politisi kehilangan control (lost control) dalam bertingkah laku atau bertutur kata.
Hampir semua kalangan sepakat bahwa penerapan etika moral dalam kehidupan berpolitik merupakan sebuah keharusan. Namun demikian, pada dasarnya, penerapan prinsip-prinsip moral merupakan sebuah pilihan. Karena moral lebih merupakan etika politik dibandingkan suatu keharusan dalam penerapannya (mandatory). Etika politik lebih bersifat konvensi yang berupa aturan-aturan moral yang tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Selain itu, etika mempunyai cakupan yang luas dan bersifat "elastis". Apalagi dalam konteks Indonesia dengan keragaman budaya dan adat serta logat dan bahasa, batasan etis dan tidak etis dalam bertingkah laku dan bertutur kata sangat kabur. Akibatnya, seringkali keberadaan etika dalam berpolitik mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah.
Lalu bagaimana prinsip-prinsip etika ini akan berjalan efektif pada kehidupan politik yang demokratis di Indonesia? padahal ia tidak mengandung sanksi yang jelas. Apakah penerapan etika dalam politik tidak bertentangan dengan kebebasan berekspresi, berpendapat dan bersuara dalam iklim demokrasi?
Sistem demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat sering dijadikan alasan untuk mendepak etika dan moral dari area politik. Dalam berpolitik, etika dan moral nampaknya sudah tidak menjadi pertimbangan. Padahal kebebasan yang dijamin oleh sistem demokrasi bukanlah kebebasan yang mengabaikan etika atau moral, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan tetap menghargai harkat martabat pihak atau kelompok lain, serta menghormati sesama anggota masyarakat.
Sebagai upaya untuk "memagari" para politisi, khususnya yang menjadi anggota DPR agar dalam berpolitik tetap berada dalam bingkai etika serta mempertimbangkan moral, dibentuklah Badan Kehormatan DPR. Badan Kehormatan ini bertujuan untuk menjaga kehormatan DPR, baik secara kelembagaan maupun anggota-anggota yang ada di dalamnya. Dengan adanya Badan ini, maka apabila ada anggota DPR yang dinilai melanggar aturan, norma atau bertingkah laku yang seharusnya tidak layak dilakukan oleh wakil rakyat, maka dia akan diproses dan diberi sanksi, bahkan bisa dipecat dari keanggotannya di DPR.
Masalahnya, politisi bukan hanya yang menjadi anggota DPR saja, hanya sebagian kecil insan politik yang berhasil menjadi anggota DPR. Bagaimana agar para politisi yang tidak menjadi anggota DPR berperiaku politik yang etis. Dalam keadaan yang demikian, maka menurut penulis yang harus dipegangi adalah norma-norma yang ada dan hidup dalam masyarakat, baik norma susila, norma agama atau pun norma hukum.
Bagaimana pun caranya menerapkan disiplin moral agar para politisi tetap berperilaku etis dalam aktivitas politiknya, bergaul dan menyampaikan pendapatnya, yang jelas rakyat sangat merindukan politisi yang bermoral tinggi. Jujur, sopan, santun, lembut dalam bertingkah laku dan bertutur kata, menghargai dan menghormati sesama serta mempunyai integritas yang tinggi dan komitmen yang kuat untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat yang diwakilinya.


Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post Tanggal 20 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar