Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rabu, 29 Februari 2012

GUS DUR DAN LIBERAL NU



Oleh: Imam Mustofa
(Kader Kultural NU Lampung)


Para intelektual muda NU Muslim Indonesia pada umumnya lebih terbuka dan jujur dalam perkembangan pemikiran keislaman. Tokoh muda NU seperti Ulil Abshar Abdalla, Abdul Moqsith Ghazali lebih berani dalam menghadapi tantangan modernitas dengan ide pencerahan Islam jika dibandingkan dengan kalangan tokoh NU atau kelompok-kelompok muslim lainnya. Tokoh muda NU yang mempunyai pemikiran yang lebih progresif, moderat dan terbuka dengan mengusung dan mengembangakan wacana demokrasi, penegakan HAM, pluralisme, inklusivisme, dan humanisme dengan membuka pintu ijtihad seluas mungkin dinilai sebagai jamaah Islam liberal.
Pada umumnya, di kalangan internal NU sendiri masih belum begitu bisa menerima pemikiran yang diusung oleh para kalangan muda NU tersebut. Padahal, apa yang mereka kembangkan adalah hasil dari gagasan dan pemikiran mendiang Gus Dur yang juga mantan Ketua Umum PBNU. Menurut Greg Barton, para pemikir yang menjadi pendukung Islam liberal di Indonesia antara lain: Nurchalis majid dengan gagasan Neo-Modernisme dan “sekularisasi Islam”, (meskipun Nurcholis sendiri tidak pernah menggunakan istilah Islam liberal untuk mengembangkan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tapi ia tidak menentang ide-ide Islam liberal), Abdurrahman Wahid dengan paham pribumisasi Islam, Djohan Effendy, dan Ahmad Wahib. (Greg Barton, 1999: 27-42).
Menurut Gus Dur guna mempertahankan tawaran pribumisasi Islam tesebut setidaknya ada dua alasan pokok. Pertama, alasan historis bahwa pribumisasi Islam merupakan bagian dari sejarah Islam, baik di negeri asalnya maupun di negeri lain, temasuk Indonesia. Kedua, proses pribumisasi Islam berkaitan erat antara fiqih dengan adat, menurutnya adat tidak mengubah nash, melainkan hanya mengubah atau mengembangkan implementasinya agar lebih fleksibel.
Meskipun pemikiran dan wacana yang diusung oleh kalangan liberal NU merupakan hasil ramuan dan pengembangan pemikiran-pemikiran Gus Dur, namun hal itu tidak menjadikannya langusng diterima oleh kalangan NU sendiri. Bahkan mereka mendapat penolakan. Lebih-lebih kalangan Kyia dan sesepuh NU. Dari PB-NU yang nota bene organisasi yang menaungi Ulil juga memberikan tanggapan terhadap pemikiran-pemikiran yang diusung oleh JIL adalah KH. Salahuddin Wahid yang menyatakan bahwa JIL- yang kebanyakan dipelopori oleh anak-anak muda NU- jauh liberal dari Nurcholish Madjid.
Setidaknya ada dua alasan mendasar mereka kurang diterima atau tidak mendapatkan tempat di di kalangan jamaah NU. Pertama, ide-ide yang mereka usung telah dianggap keluar dali doktrin dan faham akidah alussunnah wal jamaah yang selama ini menjadi landasan NU secara jam'iyah dan jamaahnya dalam kehidupan beragama.
Paham-paham seperti pluralism, inklusivisme dan humanisme dengan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya dinilai telah melenceng dari pakem yang dipegangi NU selama ini. Pluralisme telah menyimpang karena dianggap menyamakan semua agama di muka bumi ini. Padahal sebenarnya yang terjadi adalah perbedaan perspektif dalam mengartikan pluralism.
Kedua, pemikiran liberal NU yang juga merupakan naka-anak didik Gus Dur terkesan elitis dan asing di kalangan NU yang nota bene mayoritas dari pedesaan. Isu-isu dan wacana demokrasi, penegakan HAM, pluralisme, inklusivisme, dan humanism merupakan hal yang masih agak atau bahkan sangat asing di kalangan NU, khususnya jamaah kalangan grass root.
Para tokoh dan Kyai NU sangat khawatir NU akan keluar dari frame doktrin ahlussunnah waljamaah yang telah ditanmkan para founding fathers NU yang sudah turun temurun menjadi pegangan dalam perjuangan dakwah Islamiyah.
Sementara pemikiran Gus Dur yang malah mejadi sumber inspirasi kalangan liberal NU seolah biasa dan tetap bisa diterima. Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal, antara lain, pertama, kharisma Gus Dur. Hal ini di karenakan beliau merupakan keturunan "darah biru" dari hadharatusysyaikh KH. Hasyim Asy'arie. Dengan adanya kharisma ini, meskipun ide-ide dan pemikiran beliau dianggap liberal dan sering keluar dari frame dan mind set kalangan tokoh dan para Kyai NU, sedikitpun tidak menggoyahkan kekuatan beliau di hati para jamaah NU, termasuk ide dangagasannya.
Kedua, faktor kedekatan Gus Dur dengan kalangan bawah. Dengan sikap yang apa adanya, bergaul dengan sapa saja, tidak elitis membuatnya menjadi milik setiap golongan,terutama kalangan akar rumput. Hal inilah yang menjadikan pemikiran liberal beliau tidak terkesan elitis.
Nampaknya perbedaan perspektif dalam menyikapi pemikiran liberal di kalangan NU karena perbedaan pandangan terhadap pengusung dan pengembang gagasannya. Meskipun gagasan liberal Islam di kalangan jamaah NU lahir dari Gus Dur, namun ketika ia dikembangkan oleh anak-anak didik beliau, maka ada semacam resistensi di kalangan jamaah NU.
Apa pun bentuk pemikiran dan bagaimana pun reaksi masyarakat, penulis hanya bisa berharap, semoga pemikiran-pemikiran yang telah dibangun oleh mendiang Gus Dur almaghfur lah dapat menjadi amal jariyah yang dapat memberikan siraman air ketenangan dan kebehagaiaan di alam sana. Amiin ya Robbal ‘alamiin.


Artikel ini telah diterbitkan Radar Lampung, Rabu, 4 Januari 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar