Rabu, 29 Februari 2012
KRITIK TOKOH AGAMA
Oleh: Imam Mustofa
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Mahasiswa Unggulan
Universitas Islam Indonesia)
Universitas Islam Indonesia)
Munculnya kritik dari tokoh lintas agama terhadap pemerintah saat ini menunjukkan betapa perhatian mereka terhadap permasalahan bangsa. Terlepas dari motif dan tendensi yang berada di balik kritik dan gerakan mereka, yang jelas, semua pihak berhak mengemukakan pendapat dan kritik terhadap pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Karena kebebasan berpendapat memang mendapat jaminan dan perlindungan dari konstitusi negara. Terlebih jika terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan negara.
Ada pihak yang menyatakan bahwa para tokoh agama telah menyeret umat pada pusaran arus politik. Pernyataan ini menurut penulis kurang tepat. Walau bagaimana pun apa yang dilakukan oleh para tokoh agama adalah menyambung lidah rakyat. Apa yang mereka sampaikan adalah demi tegaknya kemashlahatan umat dan negara, demi kesejahteraan rakyat.
Lalu mengapa para tokoh lintas agama sampai turun gunung menyampaikan kritik terhadap pemerintah? Karena diakui atau tidak, wakil mereka di parlemen yang seharusnya menjadi tumpuan harapan, selama ini kurang memperhatikan kehendak dan aspirasi mereka. Selain itu, bukankah kita tahu dan paham bahwa rakyat Indonesia adalah umat beragama, yang selain mempinyai pemimpin formal, mereka juga mempunyai pemimpin non formal. Mereka adalah warga negara dan sekaligus umat beragama. Jadi wajar apabila pemimpin nonformal mereka melakukan pembelaan ketika aspirasi dan hak mereka kurang diperhatikan oleh pemimpin formal, yaitu presiden sebagai kepala pemerintahan.
Tokoh agama merupakan pemimpin nonformal yang pengaruhnya bisa jadi melebihi pemimpin formal seperti presiden. Terlebih kepemimpinan presiden telah menyimpang dari janji dan amanah konstitusi serta menyayat rasa keadilan dalam luka-luka nurani rakyat yang telah lama mendambakan kesejahteraan. Rakyat telah jenuh dan bahkan frustasi dengan problem-problem dan krisis multidimensi, khusunya krisis moral yang melanda sebagian besar penyelenggara negara.
Memang harus diakui bahwa agama berada dan "beroperasi" pada wilayah sakral, pada ranah moral spirit berbangsa dan bernegara. Namun demikian, ketika muncul kemungkaran bangsa secara masif dan terorganisir dengan barisan mafia perusak negara yang merasuk ke seluruh persendian negara, maka tokoh agama sebagai penjaga moral bangsa harus turun gunung untuk memberikan sumbangan pencerahan kepada para pemegang amanat rakyat, para penyelenggara negara. Kita tidak perlu curiga bahwa wacana, kritik dan gerakan mereka bertujuan politis, apalagi sampai menurunkan paksa pemerintahan yang sah, kecuali memang terpaksa harus dilakukan karena kebandelannya.
Sampai saat ini wakil rakyat banyak yang tidak berdaya menghadapi tekanan dan tarik ulur kepentingan. Selain itu, tidak sedikit dari mereka yang lebih mengutamakan kesejahteraan diri, keluarga, kelompok dan partai. Karena pada kenyataannya mereka lebih merepresentasikan perwakilan partai daripada perwakilan rakyat. Lebih dari itu, chek and balances antara lembaga eksekutif dan yudikatif yang bersifat formal politis tidak jarang malah menjadi celah untuk melakukan transaksi politik demi keamanan dan keselamatan jabatan masing-masing.
Ketika hukum sebagai jaring terluar pengawal moral bangsa tidak dapat membendung kemungkaran dan penyelewengan penyelenggaraan negara dan pengembanan amanah rakyat, maka pertahanan terakhir, pertahanan tertinggi, pengawal moral, tokoh agama harus turun tangan. Karena pada dasarnya, agama dan negara mempunyai tujuan yang sama. Kedunya mengiramakan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hanya saja terkadang tarian di pelataran tidak sesuai dengan kedua irama tersebut.
Agama dan negara bertujuan menggiring umat manusia menuju padang kesejukan dan kemakmuran, arena kesejahteraan. Hanya saja kesejahteraan yang menjadi tujuan agama bukan saja kesejahteraan kehidupan di dunia. Lebih dari itu agama juga menuntun umatnya untuk menggapai kehidupan di akhirat kelak.
Meskipun mempunyai tujuan yang sama, agama dan negara mempunyai wilayah dan domain perjuangan yang berbeda. Agama berada pada rahan spirit, wilyah yang tak dapat tersentuh oleh indera, yaitu wilayah hati yang menjadi penggerak dan menentukan perilaku manusia dalam menjalani kehidupan, baik secara individu maupun bermasyarakat termasuk bernegara. Sementara negara bergerak pada wilayah profan, wilayah kekuasaan yang bersentuhan dengan berbagai aspek, terutama aspek politik. Apabila pemerintah atau penyelenggara negara menginginkan tercapainya kesejahteraan rakyat, maka dalam menjalankan roda pemerintahan negara, mereka harus berpegang teguh pada nilai moral agama yang pada dasarnya sudah tercermin dalam dasar dan ideologi negara pancasila.
Kita hanya berharap, semoga dalam menjalankan kritik terhadap pemerintah, para tokoh agama sebagai penjaga gerbang pertahanan moral umat manusia jangan sampai terkooptasi dan tergoda oleh kepentingan pragmatis politis. Kalau sampai hal ini terjadi, kepada siapa lagi masyarakat akan berharap dan melabuhkan harapan mereka untuk mendapat kesejateraan?
Ada pihak yang menyatakan bahwa para tokoh agama telah menyeret umat pada pusaran arus politik. Pernyataan ini menurut penulis kurang tepat. Walau bagaimana pun apa yang dilakukan oleh para tokoh agama adalah menyambung lidah rakyat. Apa yang mereka sampaikan adalah demi tegaknya kemashlahatan umat dan negara, demi kesejahteraan rakyat.
Lalu mengapa para tokoh lintas agama sampai turun gunung menyampaikan kritik terhadap pemerintah? Karena diakui atau tidak, wakil mereka di parlemen yang seharusnya menjadi tumpuan harapan, selama ini kurang memperhatikan kehendak dan aspirasi mereka. Selain itu, bukankah kita tahu dan paham bahwa rakyat Indonesia adalah umat beragama, yang selain mempinyai pemimpin formal, mereka juga mempunyai pemimpin non formal. Mereka adalah warga negara dan sekaligus umat beragama. Jadi wajar apabila pemimpin nonformal mereka melakukan pembelaan ketika aspirasi dan hak mereka kurang diperhatikan oleh pemimpin formal, yaitu presiden sebagai kepala pemerintahan.
Tokoh agama merupakan pemimpin nonformal yang pengaruhnya bisa jadi melebihi pemimpin formal seperti presiden. Terlebih kepemimpinan presiden telah menyimpang dari janji dan amanah konstitusi serta menyayat rasa keadilan dalam luka-luka nurani rakyat yang telah lama mendambakan kesejahteraan. Rakyat telah jenuh dan bahkan frustasi dengan problem-problem dan krisis multidimensi, khusunya krisis moral yang melanda sebagian besar penyelenggara negara.
Memang harus diakui bahwa agama berada dan "beroperasi" pada wilayah sakral, pada ranah moral spirit berbangsa dan bernegara. Namun demikian, ketika muncul kemungkaran bangsa secara masif dan terorganisir dengan barisan mafia perusak negara yang merasuk ke seluruh persendian negara, maka tokoh agama sebagai penjaga moral bangsa harus turun gunung untuk memberikan sumbangan pencerahan kepada para pemegang amanat rakyat, para penyelenggara negara. Kita tidak perlu curiga bahwa wacana, kritik dan gerakan mereka bertujuan politis, apalagi sampai menurunkan paksa pemerintahan yang sah, kecuali memang terpaksa harus dilakukan karena kebandelannya.
Sampai saat ini wakil rakyat banyak yang tidak berdaya menghadapi tekanan dan tarik ulur kepentingan. Selain itu, tidak sedikit dari mereka yang lebih mengutamakan kesejahteraan diri, keluarga, kelompok dan partai. Karena pada kenyataannya mereka lebih merepresentasikan perwakilan partai daripada perwakilan rakyat. Lebih dari itu, chek and balances antara lembaga eksekutif dan yudikatif yang bersifat formal politis tidak jarang malah menjadi celah untuk melakukan transaksi politik demi keamanan dan keselamatan jabatan masing-masing.
Ketika hukum sebagai jaring terluar pengawal moral bangsa tidak dapat membendung kemungkaran dan penyelewengan penyelenggaraan negara dan pengembanan amanah rakyat, maka pertahanan terakhir, pertahanan tertinggi, pengawal moral, tokoh agama harus turun tangan. Karena pada dasarnya, agama dan negara mempunyai tujuan yang sama. Kedunya mengiramakan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hanya saja terkadang tarian di pelataran tidak sesuai dengan kedua irama tersebut.
Agama dan negara bertujuan menggiring umat manusia menuju padang kesejukan dan kemakmuran, arena kesejahteraan. Hanya saja kesejahteraan yang menjadi tujuan agama bukan saja kesejahteraan kehidupan di dunia. Lebih dari itu agama juga menuntun umatnya untuk menggapai kehidupan di akhirat kelak.
Meskipun mempunyai tujuan yang sama, agama dan negara mempunyai wilayah dan domain perjuangan yang berbeda. Agama berada pada rahan spirit, wilyah yang tak dapat tersentuh oleh indera, yaitu wilayah hati yang menjadi penggerak dan menentukan perilaku manusia dalam menjalani kehidupan, baik secara individu maupun bermasyarakat termasuk bernegara. Sementara negara bergerak pada wilayah profan, wilayah kekuasaan yang bersentuhan dengan berbagai aspek, terutama aspek politik. Apabila pemerintah atau penyelenggara negara menginginkan tercapainya kesejahteraan rakyat, maka dalam menjalankan roda pemerintahan negara, mereka harus berpegang teguh pada nilai moral agama yang pada dasarnya sudah tercermin dalam dasar dan ideologi negara pancasila.
Kita hanya berharap, semoga dalam menjalankan kritik terhadap pemerintah, para tokoh agama sebagai penjaga gerbang pertahanan moral umat manusia jangan sampai terkooptasi dan tergoda oleh kepentingan pragmatis politis. Kalau sampai hal ini terjadi, kepada siapa lagi masyarakat akan berharap dan melabuhkan harapan mereka untuk mendapat kesejateraan?
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post, 27 Januari 2011
Label:
AGAMA,
ARTIKEL ILMIAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar