Rabu, 29 Februari 2012
KULTUR PERBUDAKAN DAN NASIB
Oleh: Imam Mustofa
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Penyikasaan dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh sebagian Tenaga Kerja Indonesia yang sering muncul selama ini hanyalah sebagin kecil dari fakta yang terungkap dan tercium oleh media. Hal ini terjadi karena para majikan, khususnya di Arab Saudi sering mengisolir pembantu, khususnya wanita dari dunia luar. Perlakuan semacam ini karena adanya kultur patriarki masih tersisanya kultur perbudakan di masyarakat Arab.
Kultur Arab jahiliyah, atau sebelum datangnya Islam sangat merendahkan wanita. Wanita bisa diwariskan, bisa diperjualbelikan, bahkan mempunyai anak wanita merupakan aib di masyarakat Arab, sehingga apabila seorang bayi yang lahir wanita maka dikubur hidup-hidup.
Islam datang dengan ajaran yang mensejajarkan semua manusia di dalam kehidupan masyarakat. Islam berusaha mengangkat harkat dan martabat wanita, hanya saja ada kalangan yang menafsirkan teks-teks agama atau ajaran Islam, bahwa Islam memberi porsi dan domain yang berbeda antara pria dan wanita. Domain yang berbeda ini dipahami dan disalahgunakan untuk memperlakukan wanita tidak selayaknya. Pemahaman ini tidak jarang dijadikan legitimasi untuk melanjutkan budaya patriarki di masyarakat Arab. Inilah yang menjadi salah satu sulitnya menghapsukan kultur perbudakan di kalangan Bangsa Arab.
Hal di atas harus dimaklumi, karena suatu kultur atau budaya pada dasarnya adalah eksistensi dari sebuah masyarakat. Ia mengakar dan menyatu serta tumbuh dengan perkembangan masyaraat yang bersangkutan. Jadi, meskipun berbagai upaya dilakuan untuk menghilangkan sebuah kultur, masih saja ada sisa paradigma yang dipegangi oleh masyarakat tersebut. Begitu juga dengan kultur perbudakan di kalangan bangsa Arab, ia susah dihilangkan secara total, meskipun dengan ajaran rahmatan lil 'alamin yang dibawa Islam melalui Nabi Muhammad saw.
Bukan hanya Islam yang berusaha menghapuskan perbudakan dari muka bumi. Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organisasi bangsa-bangsa dimuka bumi ini juga membuat aturan yang melarang praktik perbudakan. Namun demikian, di dunia modern seperti sekarang ini, peraturan hanya sekedar peraturan, peraturan dan kesepakatan hanya di atas kertas. Pada parktiknya, tidak jarang para pekerja dan pembantu diperlakukan tidak manusiawi melebihi perlakuan terhadap budak.
Kultur patriarki dan perbudakan di atas berimplikasi terhadap perlakuan para majikan di Arab Saudi kepada para TKW. Para TKW sering menjadi korban penganiayaan, penyiksaan dan bahkan pembunuhan.
Pemerintah sebagai stake holder sampai saat ini juga belum mempunyai solusi konkret dan sistematis untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Pemerintahan dan pejabat silih berganti, menteri berganti menteri namun penyiksaan yang dialami oleh sebagian pahlawan divisa masih saja terus terjadi.
Presiden sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus kepala negara hanya selalu bereaksi setelah ada pristiwa yang memilukan yang menimpa warga negaranya yang menjadi TKI. Reaksi terbaru adalah dengan menawarkan solusi untuk membekali hand phone kepada para TKI yang akan berangkat ke luar negeri. Seharusnya ada upaya yang sifatnya antisipatif dan kontinyu agar tidak ada lagi penyiksaan terhadap warga Negara Indonesia yang mengadu nasib di luar negeri.
Salah satu faktor penting yang menyebabkan tindakan semena-mena kepada para TKI di luar negeri adalah posisi tawar Indoneisa yang sangat lemah di kancah pergaulan dan politik global. Harus diakui, di mata Malaysia saja Indonesia tidak terlalu diperhitungkan dan dihargai.
Oleh karena budaya patriarki dan perbudakan yang masih dipegangi oleh masyarakat modern, khususnya di Arab Saudi yang berimplikasi pada perlakuan tidak manusiawi terhadap TKW, maka harus ada langkah solutif dari para stake holder untuk mengatasinya. Harus ada upaya sistematis, praktis kontinyu dan bukan hanya sekedar wacana untuk menghapuskan perlakuan tidak manusiawi terhap TKI, khususnya TKW. Political will pemerintah untuk memperjuangkan nasib TKI harus direalisasikan dengan langkah nyata agar para pahlawan devisa dapat diperlakukan sebagai layaknya manusia, tidak ada lagi berita penyiksaan apa lagi pembunuhan terhadap TKI yang mengadu nasib di luar negeri.
Kultur Arab jahiliyah, atau sebelum datangnya Islam sangat merendahkan wanita. Wanita bisa diwariskan, bisa diperjualbelikan, bahkan mempunyai anak wanita merupakan aib di masyarakat Arab, sehingga apabila seorang bayi yang lahir wanita maka dikubur hidup-hidup.
Islam datang dengan ajaran yang mensejajarkan semua manusia di dalam kehidupan masyarakat. Islam berusaha mengangkat harkat dan martabat wanita, hanya saja ada kalangan yang menafsirkan teks-teks agama atau ajaran Islam, bahwa Islam memberi porsi dan domain yang berbeda antara pria dan wanita. Domain yang berbeda ini dipahami dan disalahgunakan untuk memperlakukan wanita tidak selayaknya. Pemahaman ini tidak jarang dijadikan legitimasi untuk melanjutkan budaya patriarki di masyarakat Arab. Inilah yang menjadi salah satu sulitnya menghapsukan kultur perbudakan di kalangan Bangsa Arab.
Hal di atas harus dimaklumi, karena suatu kultur atau budaya pada dasarnya adalah eksistensi dari sebuah masyarakat. Ia mengakar dan menyatu serta tumbuh dengan perkembangan masyaraat yang bersangkutan. Jadi, meskipun berbagai upaya dilakuan untuk menghilangkan sebuah kultur, masih saja ada sisa paradigma yang dipegangi oleh masyarakat tersebut. Begitu juga dengan kultur perbudakan di kalangan bangsa Arab, ia susah dihilangkan secara total, meskipun dengan ajaran rahmatan lil 'alamin yang dibawa Islam melalui Nabi Muhammad saw.
Bukan hanya Islam yang berusaha menghapuskan perbudakan dari muka bumi. Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organisasi bangsa-bangsa dimuka bumi ini juga membuat aturan yang melarang praktik perbudakan. Namun demikian, di dunia modern seperti sekarang ini, peraturan hanya sekedar peraturan, peraturan dan kesepakatan hanya di atas kertas. Pada parktiknya, tidak jarang para pekerja dan pembantu diperlakukan tidak manusiawi melebihi perlakuan terhadap budak.
Kultur patriarki dan perbudakan di atas berimplikasi terhadap perlakuan para majikan di Arab Saudi kepada para TKW. Para TKW sering menjadi korban penganiayaan, penyiksaan dan bahkan pembunuhan.
Pemerintah sebagai stake holder sampai saat ini juga belum mempunyai solusi konkret dan sistematis untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Pemerintahan dan pejabat silih berganti, menteri berganti menteri namun penyiksaan yang dialami oleh sebagian pahlawan divisa masih saja terus terjadi.
Presiden sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus kepala negara hanya selalu bereaksi setelah ada pristiwa yang memilukan yang menimpa warga negaranya yang menjadi TKI. Reaksi terbaru adalah dengan menawarkan solusi untuk membekali hand phone kepada para TKI yang akan berangkat ke luar negeri. Seharusnya ada upaya yang sifatnya antisipatif dan kontinyu agar tidak ada lagi penyiksaan terhadap warga Negara Indonesia yang mengadu nasib di luar negeri.
Salah satu faktor penting yang menyebabkan tindakan semena-mena kepada para TKI di luar negeri adalah posisi tawar Indoneisa yang sangat lemah di kancah pergaulan dan politik global. Harus diakui, di mata Malaysia saja Indonesia tidak terlalu diperhitungkan dan dihargai.
Oleh karena budaya patriarki dan perbudakan yang masih dipegangi oleh masyarakat modern, khususnya di Arab Saudi yang berimplikasi pada perlakuan tidak manusiawi terhadap TKW, maka harus ada langkah solutif dari para stake holder untuk mengatasinya. Harus ada upaya sistematis, praktis kontinyu dan bukan hanya sekedar wacana untuk menghapuskan perlakuan tidak manusiawi terhap TKI, khususnya TKW. Political will pemerintah untuk memperjuangkan nasib TKI harus direalisasikan dengan langkah nyata agar para pahlawan devisa dapat diperlakukan sebagai layaknya manusia, tidak ada lagi berita penyiksaan apa lagi pembunuhan terhadap TKI yang mengadu nasib di luar negeri.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post, 22 Nopember 2010
Label:
ARTIKEL ILMIAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar