Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rabu, 29 Februari 2012

DINASTI POLITIK DI DAERAH



Oleh: Imam Mustofa
(ALUMNI FIAI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA)



"…. even in democratic organizations, the leadership, once elected, would entrench itself in power, undermining the democratic principle of a level playing field" (Michels: 1999)

Saat ini tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) telah bersiap melaksanakan pemilihan kepala daerah yang akan dihelat tanggal 28 September mendatang. Tiga daerah tersebut adalah Kabupaten Pringsewu, Kabupaten Mesuji dan Kabupaten Tulangbawang Barat. Moment pilkada ini tidak lepas dari pengaruh dan penguatan struktur dinasti politik yang akhir-akhir ini memang sedang menjadi trend politik di Indonesia.
Bukti nyata dari penguatan dinasti politik adalah pencalonan Handitya Narapati sebagai wakil bupati pringsewu berpasangan dengan Sujadi Sadad. Handitya Narapati merupakan putra bungsu dari Gubernur Lampung Sjachroedin ZP. Sebelumnya, pada masa pilkada tahun 2010, putra sulung Sjachroedin, Rycko Menoza telah berhasil terpilih menjadi bupati Lampung Selatan.
Selain dinasti Sjachruddin, dinasti lain yang berupaya memperkuat jaringan dan cengkraman politiknya adalah Abdurrachman Sarbini. Sarbini mencalonkan Farns Agung untuk menjadi Bupati Tulangbawang Barat. Sebelumnya Sarbini telah berhasil menancapkan dinasti politiknya di kabupaten Pesawaran dengan terpilihnya Aries Sandi menjadi kepala daerah tersebut.
Pembangunan dinasti politik di daerah tersebut sangat wajar, karena politik mempunyai daya jangkau pandangan yang cukup jauh ke depan, meskipun kondisinya tidak bisa diprediksi (unpredictable). Pembangunan dinasti politik tidak lain hanyalah untuk mempertahankan dan bahkan melanggengkan kekuasaan politik dan jabatan struktual di lembaga pemerintahan. Adanya politik dinasti di daerah dipastikan akan dijadikan sebagai langkah untuk menguatkan konstruksi politik untuk mencapai bangunan politik yang lebih besar dan mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, misalnya dari bupati mejadi gubernur atau setidaknya jabatan gubernur atau bupati/wali kota akan tetap dipegang oleh anak keturunan, kerabat atau anak asuh politik penguasa dan pejabat atau kepala daerah.
"Penempatan" Rycko Menoza sebagai Kepala Daerah Lampung Selatan bisa jadi sebagai persiapan untuk menggantikan posisi ayahnya, Sjachroedin ZP menjadi Gubernur Lampung periode 2013-2018. Sjachroedin tidak dapat mencalonkan diri lagi karena telah menjabat selama dua periode. Oleh karena itu perlu perpanjangan melalui keturunannya, baik anak secara bilogis maupun politis. Perlu penguatan dinasti untuk mencapai tujuan tersebut, termasuk pencalonan anak kandung dan anak asuh politik menjadi bupati di berbagai kabupaten di propinsi lampung.
Dinasti-dinasti politik di daerah lain juga terjadi demikian. Di beberapa daerah, sang anak "mewarisi" jabatan sang ayah menjadi kepala daerah melalui penguatan dinasti politik. Sebagai contoh adalah Bupati Kutai Kartanegara, Kaltim, Rita Widyasari menggantikan Syaukani Hasan Rais, dan Wali Kota Cilegon, Banten, Tubagus Imam Ariyadi menggantikan Tubagus Aat Syafaat.
Politik dinasti sangat wajar terjadi. Menurut Mosca (1966) sebagaimana dikutip Ernesto Dal Bó (2008) pada dasarnya setiap kelas memiliki kecenderungan menghendaki kelanggengan melalui kekuasaan turun-menurun, baik secara dejure maupun defacto. Bahkan untuk mempertahankan jabatan atau posisi politik yang bersifat terbuka. Karena sebuah hubungan kekerabatan dengan incumbent memang dapat mendatangkan berbagai manfaat, khususnya secara politis.

Politik dinasti dan demokrasi
Sistem demokrasi menjamin dan melindungi hak politik setiap warga negara. Setiap warga negara berhak memilih dan dipilih dalam Pemilu, termasuk dipilih menjadi kepala daerah. Bila berpegang pada kredo ini, tentunya politik dinasti secara prosedural tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Oleh karen itu tidak ada alasan untuk melarang politik dinasti, baik di daerah maupun sampai ke tingkat pusat. Namun demikian setidaknya ada beberapa catatan untuk politik dinasti.
Politik dinasti daerah pada dasarnya menghambat demokratisasi di daerah dan tidak sejalan dengan substansi, semangat dan nilai demokrasi. Karena politik dinasti daerah menghambat atau bahkan menutup kemungkinan kalangan luar dinasti untuk menjadi pemimpin daerah. Kader-kader di luar lingkaran dinasti akan terhambat dari sisi popularitas dan elektabilitas. Hal ini disebabkan, dinasti politik yang sedang berkuasa secara terencana dan sistematis telah memanfaatkan kesempatan untuk menjaga atau bahkan menaikkan popularitas dan elektabilitas kerabat atau kader di lingkarang dinasti. Posisi incambent dalam hal ini berperan cukup signifikan. Hal ini bisa dilakukan dengan pemanfaatan otoritas dalam mengeluarkan kebijakan dan pemanfaatan fasilitas penguasa incumbent.
Selain itu, menurut penasehat Indonesian Institute, Abd Rohim Ghazali (2011) politik dinasti juga bisa merusak sistem kaderisasi partai politik. Penguatan institusionalisasi politik kepartaian menjadi terhambat karena peluang kader-kader terbaik partai diambil alih para kerabat yang baik dari segi kuantitas kaderisasi maupun kualitas sebenarnya belum memenuhi persyaratan.
Politik dinasti merupakan sebuah konsekuensi logis dari pilkada langsung oleh rakyat. Ia tidak bisa dilarang, karena memang tidak ada aturan hukum yang melarangnya. Namun demikian, sebagai media distribusi kekuatan politik, jangan sampai politik dinasti mereduksi nilai-nilai dan semangat demokrasi. Tujuan dan harapan kesejahteraan rakyat jangan sampai tenggelam oleh arus kekuatan dinasti politik, terabaikan karena urusan dinasti politik.

Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post, Senin, 19 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar