Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rabu, 29 Februari 2012

EFEKTIFITAS FATWA HARAM BBM SUBSIDI


Oleh: Imam Mustofa
(Sekretaris P3M STAIN Jurai Siwo Metro)


Saat sebagian masyarakat kesulitan untuk mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya bensin premium, Majelis Ulama Indonesia (MUI) berencana mengeluarkan fatwa tentang haramnya BBM bersubsidi bagi kalangan menengah ke atas atau orang kaya. Fatwa ini bertujuan menegakkan kemashlahatan, yaitu agar subsidi bagi masyarakat yang kurang mampu benar-benar dapat mereka nikmati secara utuh tanpa terganggu oleh orang kaya. Karena, dalam rapat antara Kementerian ESDM dengan DPR terungkap bahwa 85 persen BBM bersubsidi seperti Premium dinikmati orang kaya, sementara yang sampai ke tangan orang miskin hanyalah 15 persen. Namun demikian, fatwa tersebut mengundang reaksi beragam dari masyarakat.
Fatwa adalah nasihat resmi dari suatu otoritas baik pribadi maupun lembaga mengenai pendirian hukum atau dogma Islam. Fatwa diberikan sebagai respon terhadap suatu masalah (Hooker, 2003: 13). Secara definitif pada dasarnya tidak ada perbedaan antara fatwa dan keputusan. Itu hanya persoalan terminologi semata. Kedua-duanya dalam konteks ini sama-sama merupakan hasil ijtihad perseorangan atau lembaga keagamaan. Jadi fatwa merupakan hasil ijtihad seseorang, lembaga atau sekelompok ulama yang mempunyai kapasitas untuk mengiterpretasikan teks sesuai dengan denyut nadi perkembangan zaman. Hal ini tentunya dengan mempertimbangkan kondisi sosio-kultural dan sosiologis masyarakat. Keluarnya fatwa merupakan sebagai respon terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang membutuhkan penyelesaian dari perspektif moral dan hukum.
Secara umum, landasan fatwa adalah dalam rangka menciptakan atau mendapatkan kemashlahatan (istishlah). Pola Istislahi adalah suatu metode penalaran hukum yang mengumpulkan ayat-ayat umum guna menciptakan prinsip (universal) untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Karena pada dasarnya esensi dari penetapan syariat adalah bertujuan untuk mendatangkan kemaslahatan (Al-Syatibi, 1999: I/261 dan Ibnul Qoyyim al-Jauziyah: III/11).
Teori kemaslahatan (istishlah) yang sering digunakan dalam ijtihad pada era sekarang kalau dikembalikan pada konsep yang dikemukakan Ramadlan al-Buthi (1986: 142) harus memenuhi lima kriteria. Memprioritaskan tujuan syara’; Tidak bertantangan dengan Al-Quran; Tidak bertentangan dengan As-Sunnah; Tidak bertentangan dengan prinsip qiyas; dan memperhatikan kemaslahatan yang lebih penting (besar).
MUI dalam mengeluarkan fatwa haram BBM bersubsidi bagi orang kaya adalah demi untuk menciptakan kemashlahatan bagi masyarakat miskin, demi untuk melindungi hak-hak mereka agar tidak terampas oleh orang kaya. MUI melandaskan langkah tersebut pada sebuah kaidah ushuliyah "Tasharruful imam 'alarra'iyyah manuthun bil mashlahah" (kebijakan imam atau pemerintah dalam menjalankan pemerintahan harus berlandaskan pada kemshlahatan umat atau rakyatnya)
Menurut Atho Mudzhar, produk fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tidak murni terlepas dari faktor-faktor sosio politik yang berkembang di wilayah sekitarnya, serta melahirkan respon dari masyarakat (1993). Menurut Abd. Fatah, bahwa diantara penyimpangan yang terjadi dalam fatwa kontemporer adalah kesalahan dalam memahami nash atau sengaja menyimpangkan interpretasi dan pengertiannya, karena mengikuti hawa nafsu.
Berbicara masalah efektifitas fatwa haram subsidi BBM bagi orang kaya, menurut penulis, fatwa tersebut kurang dan bahkan tidak akan efektif. Ada fatwa haram atau tidak, tidak akan merubah perilaku konsumsi BBM masyarakat kaya. Hal ini terjadi karena fatwa memang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, karena ia hanya lebih berupa himbauan moral. Fatwa tidak mempunyai sanksi yang menimbulkan efek jera. Sanksi fatwa hanya bersifat sanksi moral yang sangat abstrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan seseorang, yaitu dosa dan tidak dosa. Sedangkan kita mengetahui bahwa aturan atau norma yang mempunyai kekuatan hukum dengan sanksi yang jelas saja kurang efektif menanggualngi tindakan-tindakan yang merugikan masyrakat. Korupsi yang secara hukum positif dilarang dan diancam dengan berbagai sanksi, baik denda maupun penjara serta diharamkan secara hukum agama saja malah menjadi kultur masyarakat birokrat, apalagi hanya sekedar fatwa?
Fatwa pada hakekatnya tak lebih dari sebuah pendapat dan pemikiran belaka, dari individu ulama atau institusi keulamaan, yang boleh diikuti atau justru diabaikan sama sekali. Fatwa bersifat ghair mulzim (tidak mengikat). Suatu fatwa tidak bisa dijadikan sebagai sumber ketetapan hukum. Fatwa hanya merupakan suatu pilihan hukum yang bisa diikuti dan bisa saja dikritisi karena produk hukum hasil fatwa tidak ubahnya seperti produk hasil ijtihad lainnya yang tidak memiliki nilai kebenaran mutlak dan nilai kekuatan untuk mengikat.
Fungsi MUI antara lain memberi nasihat, karena MUI tidak dibolehkan melakukan program praktis. Dalam anggaran dasar MUI dapat dilihat bahwa Majelis diharapkan melaksanakan tugasnya dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun kepada kaum muslimin mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keagamaan khususnya dan semua masalah yang dihadapi bangsa umumnya.
Sanksi moral fatwa tidak akan efektif. Memang secara kuantitatif masyarakat Indonesia merupakan umat beragama, khususnya Islam. Namun demikian, harus digarisbawahi bahwa umat beragama di era modern sekarang ini seolah melepaskan agama dari substansinya, yaitu ajaran moral ketuhanan. Bahkan umat beragama dewasa ini tidak takut dan gentar dengan neraka dan tidak tergiur dengan surga. Agama tidak jarang hanya sekadar formalitas. Ia hanya sebagai identitas sosial yang kering dari nilai-nilai spiritualitas dan moralitas. Inilah yang mengakibatkan suara ulama tidak mempunyai gaung sebagai pewaris nabi, ia hanya angin lalu.
Selain alasan di atas, ketidakefektifan fatwa haram BBM bersubsidi bagi orang kaya antara lain adalah bahwa masyarakat ekonomi menengah lebih berpikir pragmatis daripada hanya mentaati sebuah fatwa. Faktor ekonomis dan murah akan tetap penjadi alasan bagi orang kaya untuk tetap menggunakan premium bersubsidi.
Secara politis, fatwa MUI malah hanya akan menjadi tameng bagi kebijakan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam bagi rakyatnya. MUI seolah hanya menjadi lembaga yang dapat diperalat demi menutupi ketidakmampuan pemerintah dalam mengawal subsidi agar sampai ke tangan orang miskin.
Terlepas dari hal di atas, sebagai lembaga ulama, MUI juga wajib ikut serta dalam menjaga kemashlahatan umat, termasuk melindungi hak-hak orang miskin. Hal ini dilakukan secara inisiatif dan independen tanpa harus ada campur tangan atau diminta oleh pemerintah terlebih dahulu. Langkah yang lebih diperlukan adalah mengeluarkan aturan yang lebih ketat dan tindakan yang lebih tegas demi menjamin terpenuhinya hak orang miskin. Implementasi ketentuan atau aturan penggunaan BBM bersubsidi akan lebih efektif dalam meminimalisir penyimpangan daripada hanya sebuah fatwa.

Artikel ini telah diterbitkan Radar Lampung, Rabu, 6 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar