Senin, 05 Maret 2012
URGENSI UU KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Oleh: Imam Mustofa
Mantan Peneliti di Center for Local Law Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jogjakarta
Mensikapi maraknya kekerasan dan konflik yang berlatar belakang agama, komisi VIII DPR RI yang membidangi masalah agama akan segera membentuk Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (UUKUB). Bahkan, rencana penyusunan undang-undang tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2011. Undang-Undang ini dirasa memang sangat urgen, meskipun kebebasan beragama telah dijamin dan dilindungi konstitusi.
Memilih, memeluk agama dan memegang teguh sebuah keyakinan merupakan Hak Asasi Manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan sebagaimana tertuang dalam piagam PBB tentang HAM. Di Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan di dijamin dan dilindungi konstitusi, yaitu pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945.
Lalu mengapa perlindungan konstitusional tersebut seolah tidak berfungsi ketika melihat banyaknya konflik dan kekerasan yang berlatar belakang agama? Apakah karena sistem jaminan dan perlindungan tersebut tidak berjalan? Artinya Aparat penegak hukum kurang sigap dalam mengatisipasi dan mengatasi konflik tersebut. Atau bahkan ada interest dan konflik batin dan psikologis yang dialami aparat penegak hukum saat mengatasi konflik tersebut.
Pada dasarnya sanksi dan hukuman terhadap tindakan penganiayaan, pembunuhan dan teror fisik telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun demikian, melihat begitu krusialnya hubungan antarumat beragama, maka perlu sebuah undang-undang khusus yang mengatur dan menjadi acuan perlindungan hak-hak umat beragama di Indonesia. Di dalamnya juga mengatur mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh umat beragama demi terjamin dan terlindunginya hak-hak masing-masing. Undang-undang ini tentunya mengacu pada pasal 29 UUD 1945 yang menjamin dan melindungi kebebasan berkeyakinan dan beragama.
Memang, nampaknya terasa janggal, mengapa umat beragama sebagai umat yang idealnya hidup teratur dan bermoral memerlukan sebuah undang-undang yang mengatur kerukunan mereka. Bukankah agama sendiri telah megajarkan dan mengatur bagaimana mereka harus berinteraksi dan bersosialisai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Apakah sejatinya agama telah gagal menjadikan umatnya sebagai umat yang lemah lembut dan dapat menghargai perbedaan dan menghormati sesama umat manusia yang berbeda keyakinan? Selain itu, bukankah agama adalah masalah keyakinan yang juga masalah rasa yang tidak dapat diatur oleh siapa pun termasuk oleh negara melalui undang-undang?
Perlu diketahui bahwa agama memang magnet untuk menyatukan perbedaan. Ia dapat menjadi pemersatu umat manusia. Namun demikian di satu sisi ia juga dapat menjadi pemicu perselisihan, gesekan, perpecahan atau bahkan konflik horizontal.
Agama secara sosiologis memang sangat sensitif terhadap konflik. Hal ini karena adanya solidaritas dan ikatan emosional yang kuat sesama umat beragama. Merujuk pada teori Emile Durkheim (1912), bahwa dalam hubungan antar umat beragama dan emosi keagamaan, akan terbentuk ikatan dan solidaritas yang kuat. Hal ini terjadi mengingat emosi keagamaan merupakan dasar ikatan primer dalam komunitas masyarakat dan menjadi sumber dari sentimen kemasyarakatan, dimana kesadaran tentang hubungan tersebut menjadi ikatan paling kuat dan paling mudah disinggung dan dilukai. Inilah yang menyebabkan umat beragama mudah tersulut dan akhirnya menimbulkan konflik yang mengatasnamakan agama.
Mengenai agama sebagai keyakinan, beragama memang masalah keyakinan, namun demikian, keyakinan tersebut diaktualisasikan oleh pemeluknya. Dalam aktualisasi sepiritualitas agama inilah tidak jarang terjadi pelanggaran terhadap hak dan kebebasan umat agama lain. Seperti penyampaian khutbah yang menyinggung umat lain atau ajakan terhadap orang yang sudah memeluk sebuah agama atau dalam hal pendirian tempat ibadah.
Nilai-nilai moral etik agama memang bersifat inklusif universal. Semua agama mengajarkan dan menganjurkan keadilan perdamaian, persatuan, persaudaraan dan sebagainya. Namun demikian, simbol-simbol yang menjadi tempat bersemayamnya nilai-nilai tersebut bersifat eksklusif, seperti ritual ritual dan kegiatan keagamaan dan tempat ibadah.
Berdasarkan pemaparan di atas, jadi yang menjadi obyek aturan undang-undang kerukunan umat beragama bukanlah keyakinan, akan tetapi ekspresi dan perilaku umat beragama dalam mengaktualisasikan keyakinan tersebut dalam berinteraksi dengan umat agama lain. Karena ekspresi keyakinan inilah yang sering menimbulkan gesekan atau bahkan konflik fisik.
Lalu apakah tokoh agama telah gagal membina kerukunan atarumatnya sehingga perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur kerukunan umat beragama? Perlu diketahui bahwa keyakinan seseorang terhadap sebuah kebenaran atau agama akan dapat mempengaruhi obyektifitas dalam mengatasi sebuah masalah. Oleh karena itu, perlu pihak berwenang, dalam hal ini negara melalui pemerintah, dalam hal ini tentunya memerlukan payung hukum, yaitu undang-undang.
Selain itu, tidak jarang demi kepentingan politis, tokoh agama menjadikan agama sebagai alat. Kepentingan politis ini tidak jarang menjadi penyulut konflik. Karena terjebak kepentingan politis, mereka tidak mampu menebarkan dan menyebarkan aura dan pemahaman agama yang moderat, agama perdamaian, agama ketertiban yang menghormati semua umat manusia, dan tidak memperbolehkan pembunuhan sesama umat manusia. Mereka malah menampakkan kekakuan beragama dan bertindak beringas terhadap pemeluk agama lain. Tindakan ini tentunya malah bertentangan dengan visi dan misi agama dalam menciptakan perdamaian, keteraturan dan ketenteraman dalam kehidupan manusia.
Apa pun nama undang-undangnya, yang jelas kehidupan umat beragama di Indonesia memerlukan sebuah undang-undang yang mengatur dan menjamin serta melindungi hak kebebasan beragama. Hal ini untuk menciptakan kerukunan interumat beragama dan antarumat beragama, terlebih di Indonesia hidup multi keyakinan dan agama. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan tidak ada lagi konflik berlatar belakang agama atau setidaknya ia dapat diminimalisir.
Memilih, memeluk agama dan memegang teguh sebuah keyakinan merupakan Hak Asasi Manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan sebagaimana tertuang dalam piagam PBB tentang HAM. Di Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan di dijamin dan dilindungi konstitusi, yaitu pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945.
Lalu mengapa perlindungan konstitusional tersebut seolah tidak berfungsi ketika melihat banyaknya konflik dan kekerasan yang berlatar belakang agama? Apakah karena sistem jaminan dan perlindungan tersebut tidak berjalan? Artinya Aparat penegak hukum kurang sigap dalam mengatisipasi dan mengatasi konflik tersebut. Atau bahkan ada interest dan konflik batin dan psikologis yang dialami aparat penegak hukum saat mengatasi konflik tersebut.
Pada dasarnya sanksi dan hukuman terhadap tindakan penganiayaan, pembunuhan dan teror fisik telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun demikian, melihat begitu krusialnya hubungan antarumat beragama, maka perlu sebuah undang-undang khusus yang mengatur dan menjadi acuan perlindungan hak-hak umat beragama di Indonesia. Di dalamnya juga mengatur mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh umat beragama demi terjamin dan terlindunginya hak-hak masing-masing. Undang-undang ini tentunya mengacu pada pasal 29 UUD 1945 yang menjamin dan melindungi kebebasan berkeyakinan dan beragama.
Memang, nampaknya terasa janggal, mengapa umat beragama sebagai umat yang idealnya hidup teratur dan bermoral memerlukan sebuah undang-undang yang mengatur kerukunan mereka. Bukankah agama sendiri telah megajarkan dan mengatur bagaimana mereka harus berinteraksi dan bersosialisai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Apakah sejatinya agama telah gagal menjadikan umatnya sebagai umat yang lemah lembut dan dapat menghargai perbedaan dan menghormati sesama umat manusia yang berbeda keyakinan? Selain itu, bukankah agama adalah masalah keyakinan yang juga masalah rasa yang tidak dapat diatur oleh siapa pun termasuk oleh negara melalui undang-undang?
Perlu diketahui bahwa agama memang magnet untuk menyatukan perbedaan. Ia dapat menjadi pemersatu umat manusia. Namun demikian di satu sisi ia juga dapat menjadi pemicu perselisihan, gesekan, perpecahan atau bahkan konflik horizontal.
Agama secara sosiologis memang sangat sensitif terhadap konflik. Hal ini karena adanya solidaritas dan ikatan emosional yang kuat sesama umat beragama. Merujuk pada teori Emile Durkheim (1912), bahwa dalam hubungan antar umat beragama dan emosi keagamaan, akan terbentuk ikatan dan solidaritas yang kuat. Hal ini terjadi mengingat emosi keagamaan merupakan dasar ikatan primer dalam komunitas masyarakat dan menjadi sumber dari sentimen kemasyarakatan, dimana kesadaran tentang hubungan tersebut menjadi ikatan paling kuat dan paling mudah disinggung dan dilukai. Inilah yang menyebabkan umat beragama mudah tersulut dan akhirnya menimbulkan konflik yang mengatasnamakan agama.
Mengenai agama sebagai keyakinan, beragama memang masalah keyakinan, namun demikian, keyakinan tersebut diaktualisasikan oleh pemeluknya. Dalam aktualisasi sepiritualitas agama inilah tidak jarang terjadi pelanggaran terhadap hak dan kebebasan umat agama lain. Seperti penyampaian khutbah yang menyinggung umat lain atau ajakan terhadap orang yang sudah memeluk sebuah agama atau dalam hal pendirian tempat ibadah.
Nilai-nilai moral etik agama memang bersifat inklusif universal. Semua agama mengajarkan dan menganjurkan keadilan perdamaian, persatuan, persaudaraan dan sebagainya. Namun demikian, simbol-simbol yang menjadi tempat bersemayamnya nilai-nilai tersebut bersifat eksklusif, seperti ritual ritual dan kegiatan keagamaan dan tempat ibadah.
Berdasarkan pemaparan di atas, jadi yang menjadi obyek aturan undang-undang kerukunan umat beragama bukanlah keyakinan, akan tetapi ekspresi dan perilaku umat beragama dalam mengaktualisasikan keyakinan tersebut dalam berinteraksi dengan umat agama lain. Karena ekspresi keyakinan inilah yang sering menimbulkan gesekan atau bahkan konflik fisik.
Lalu apakah tokoh agama telah gagal membina kerukunan atarumatnya sehingga perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur kerukunan umat beragama? Perlu diketahui bahwa keyakinan seseorang terhadap sebuah kebenaran atau agama akan dapat mempengaruhi obyektifitas dalam mengatasi sebuah masalah. Oleh karena itu, perlu pihak berwenang, dalam hal ini negara melalui pemerintah, dalam hal ini tentunya memerlukan payung hukum, yaitu undang-undang.
Selain itu, tidak jarang demi kepentingan politis, tokoh agama menjadikan agama sebagai alat. Kepentingan politis ini tidak jarang menjadi penyulut konflik. Karena terjebak kepentingan politis, mereka tidak mampu menebarkan dan menyebarkan aura dan pemahaman agama yang moderat, agama perdamaian, agama ketertiban yang menghormati semua umat manusia, dan tidak memperbolehkan pembunuhan sesama umat manusia. Mereka malah menampakkan kekakuan beragama dan bertindak beringas terhadap pemeluk agama lain. Tindakan ini tentunya malah bertentangan dengan visi dan misi agama dalam menciptakan perdamaian, keteraturan dan ketenteraman dalam kehidupan manusia.
Apa pun nama undang-undangnya, yang jelas kehidupan umat beragama di Indonesia memerlukan sebuah undang-undang yang mengatur dan menjamin serta melindungi hak kebebasan beragama. Hal ini untuk menciptakan kerukunan interumat beragama dan antarumat beragama, terlebih di Indonesia hidup multi keyakinan dan agama. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan tidak ada lagi konflik berlatar belakang agama atau setidaknya ia dapat diminimalisir.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post, Jumat, Februari 2011
Label:
AGAMA,
ARTIKEL ILMIAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar