Senin, 05 Maret 2012
TOLERANSI ANTAR PERADABAN
Oleh: Imam Mustofa
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia
Tregedi runtuhnya menara kembar WTC seolah menjadi peristiwa yang membenarkan tesis Samuel P. Huntington tentang benturan peradaban (clash of civilization). Menurut murid Bernard Lewis ini pasca terjadinya perang dingin maka yang akan terjadi adalah perang antarperadaban.
Peradaban yang dimaksud dalam tesis Huntington adalah entitas kultural atau pengelompokan kultural tertinggi, dengan unsur-unsur obyektifnya memiliki kesamaan seperti bahasa, sejarah, agama, adat, institusi dan subyektifitas identifikasi diri masyarakat. Suatu peradaban bisa mencakup beberapa negara bangsa atau satu negara-bangsa saja. Di antara peradaban besar itu adalah peradaban Barat, Islam, Amerika Latin, Cina dan Jepang.
Rivalitas Antarperadaban
Peradaban yang tumbuh dan menjadi identitas budaya tidak jarang menimbulkan saling curiga, rivalitas, ketegangan dan bahkan sampai menimbulkan konflik peradaban. Konflik tersbut bisa saja bersumber dari perbedaan ideologi dan persepsi terhadap iptek.
Menurut Huntington, sebagaimana dinukil Hamid Fahmi Zarkasyi (2007) di antara berbagai peradaban besar yang masih eksis hingga kini, hanya Islamlah satu-satunya peradaban yang berpotensi besar dan menggoncang peradaban Barat sebagaimana dibuktikan dalam sejarah. Ia melihat Islam sebagai tantangan Barat terpenting dan karena itu ia menyarankan persatuan dan kesatuan antara Amerika dan Eropa ditingkatkan untuk menghadapi Islam. Persatuan bukan hanya dalam bentuk militer dan ekonomi, namun juga moralitas dan nilai-nilai Barat. Amerika dan bangsa-bangsa Barat lainnya, hendaknya menyebarkan nilai-nilai tersebut kepada peradaban lain. Huntington mengarahkan Barat untuk memberikan perhatian khusus kepada Islam.
Pada dasarnya masyarakat dunia sampai saat ini, khususnya Barat memahami Islam sebagai sebuah peradaban yang kaya akan konsep-konsep keilmuan, alam semesta, manusia, jiwa, kebahagiaan dan sebagainya. Namun, apa substansi ajaran Islam dan apa pentingnya bagi peradaban manusia nampaknya ditutup-tutupi oleh kebanyakan orang Barat. Barat lebih melihat Islam sebagai agama yang mengancam peradaban Barat. Bahkan, sebagaimana diungkapkan Fawaz A. Gerges (2002), Islam dilihat oleh banyak orang Amerika sebagai budaya yang bermusuhan dan merupakan ancaman bagi kepentingan dan nilai-nilai budaya mereka.
Namun demikian, ada sebagian tokoh dan intelektual Barat, seperti John L Esposito, Noam Chomsky dan Robert W Hefner yang cukup memahami Islam. Begitu juga kalangan Islam moderat memahami pola pikir Barat, khusunya dalam politik internasional. Oleh karena itu, dialog dalam rangka menumbuhkembangkan toleransi antara peradaban menjadi suatu yang sangat urgen. Hal ini demi untuk saling memahami dan menerima kebudayaan satu sama lain, sehingga benturan peradaban yang dikemukakan oleh Huntington tidak menjadi kenyataan.
Dialog sebagai Kunci Toleransi Antarperadaban
Dialog antarperadaban adalah proses komunikasi dua arah dari dua atau lebih peradaban yang berbeda yang dilakukan oleh aktor dalam berbagai lapisan pemerintahan dan civil society dengan tujuan utama adalah timbulnya saling pengertian dan kerja sama, sehingga tercipta sikap toleran antarperadaban. Dialog dipahami sebagai conversation of cultures, yang berlangsung dalam ruang masyarakat internasional yang memiliki kesamaan komitmen dan berdasarkan penghargaan yang lain sebagai sejajar. Percakapan ini menuntut perenungan dan empati. Perbedaan peradaban mengharuskan, meminjam Habermas, suatu aksi komunikatif (communicative action) dalam ruang publik.
Dialog antarperadaban sebagai upaya untuk mencari titik temu (coomon platform) yang dalam bahasa al-Quran kalimatun sawa. Titik temu ini bisa berupa upaya untuk menghadapi dan menyelesaikan tantangan bersama (common challenges) seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan, penegakan HAM, terorisme, korupsi dan masalah-masalah lainnya. Bukan hanya itu, dialog perlu dilakukan sebagai upaya untuk saling memahami dan menghargai atas berbagai perbedaan persepsi terhadap isu-isu tertentu.
Hal ini semakin urgen untuk dilakukan setelah mencuatnya isu terorisme yang diseret ke arah sentimen agama. Bahkan akhir-akhir ini banyak aksi yang dilakukan sebagian kalangan yang sangat tidak toleran dan menyinggung perasaan penganut agama tertentu, khususnya Islam. sebagai contoh publikasi karikatur Nabi Muhammad saw. oleh Surat kabar Jyllands Posten, pembuatan film Fitna oleh Gertz Wilder, dan yang terbaru adalah pembakaran al-Quran oleh dua orang pendukung Pendeta Terry Jones (Pendeta sebuah gereja kecil di Florida AS), Pendeta Bob Old dan Pendeta Danny Allen. Pembakaran al-Quran tersebut dilakukan pada acara peringatan tragedi runtuhnya doble WTC 11 September 2010 yang lalu.
Dialog dilakukan karena disadari ada perbedaan atau bahkan konflik, karena dunia berkarakter plural. Pluralisme peradaban merupakan perbedaan perspektif dalam memahami dunia. Pluralisme peradaban agak berbeda dengan pluralisme jenis-jenis lain seperti gender, ras, agama, dan suku. Pluralisme peradaban juga agak berbeda dengan multikulturalisme yang diartikan sebagai kemajemukan budaya dalam sebuah komunitas negara-bangsa.
Manusia sebagai kholifah Allah berkewajiban membangun peradaban di muka bumi ini. Peradaban yang dibangun harus didasari nilai-nilai moral agar tercipta sikap yang saling memahami dan menghargai meskipun terjadi perbedaan. Hal ini sangat perlu demi terciptanya toleransi antarperadaban untuk mencapai masyarakat dunia yang penuh keadilan, aman, tenteram dalam bingkai multikultur, budaya dan peradaban.
Peradaban yang dimaksud dalam tesis Huntington adalah entitas kultural atau pengelompokan kultural tertinggi, dengan unsur-unsur obyektifnya memiliki kesamaan seperti bahasa, sejarah, agama, adat, institusi dan subyektifitas identifikasi diri masyarakat. Suatu peradaban bisa mencakup beberapa negara bangsa atau satu negara-bangsa saja. Di antara peradaban besar itu adalah peradaban Barat, Islam, Amerika Latin, Cina dan Jepang.
Rivalitas Antarperadaban
Peradaban yang tumbuh dan menjadi identitas budaya tidak jarang menimbulkan saling curiga, rivalitas, ketegangan dan bahkan sampai menimbulkan konflik peradaban. Konflik tersbut bisa saja bersumber dari perbedaan ideologi dan persepsi terhadap iptek.
Menurut Huntington, sebagaimana dinukil Hamid Fahmi Zarkasyi (2007) di antara berbagai peradaban besar yang masih eksis hingga kini, hanya Islamlah satu-satunya peradaban yang berpotensi besar dan menggoncang peradaban Barat sebagaimana dibuktikan dalam sejarah. Ia melihat Islam sebagai tantangan Barat terpenting dan karena itu ia menyarankan persatuan dan kesatuan antara Amerika dan Eropa ditingkatkan untuk menghadapi Islam. Persatuan bukan hanya dalam bentuk militer dan ekonomi, namun juga moralitas dan nilai-nilai Barat. Amerika dan bangsa-bangsa Barat lainnya, hendaknya menyebarkan nilai-nilai tersebut kepada peradaban lain. Huntington mengarahkan Barat untuk memberikan perhatian khusus kepada Islam.
Pada dasarnya masyarakat dunia sampai saat ini, khususnya Barat memahami Islam sebagai sebuah peradaban yang kaya akan konsep-konsep keilmuan, alam semesta, manusia, jiwa, kebahagiaan dan sebagainya. Namun, apa substansi ajaran Islam dan apa pentingnya bagi peradaban manusia nampaknya ditutup-tutupi oleh kebanyakan orang Barat. Barat lebih melihat Islam sebagai agama yang mengancam peradaban Barat. Bahkan, sebagaimana diungkapkan Fawaz A. Gerges (2002), Islam dilihat oleh banyak orang Amerika sebagai budaya yang bermusuhan dan merupakan ancaman bagi kepentingan dan nilai-nilai budaya mereka.
Namun demikian, ada sebagian tokoh dan intelektual Barat, seperti John L Esposito, Noam Chomsky dan Robert W Hefner yang cukup memahami Islam. Begitu juga kalangan Islam moderat memahami pola pikir Barat, khusunya dalam politik internasional. Oleh karena itu, dialog dalam rangka menumbuhkembangkan toleransi antara peradaban menjadi suatu yang sangat urgen. Hal ini demi untuk saling memahami dan menerima kebudayaan satu sama lain, sehingga benturan peradaban yang dikemukakan oleh Huntington tidak menjadi kenyataan.
Dialog sebagai Kunci Toleransi Antarperadaban
Dialog antarperadaban adalah proses komunikasi dua arah dari dua atau lebih peradaban yang berbeda yang dilakukan oleh aktor dalam berbagai lapisan pemerintahan dan civil society dengan tujuan utama adalah timbulnya saling pengertian dan kerja sama, sehingga tercipta sikap toleran antarperadaban. Dialog dipahami sebagai conversation of cultures, yang berlangsung dalam ruang masyarakat internasional yang memiliki kesamaan komitmen dan berdasarkan penghargaan yang lain sebagai sejajar. Percakapan ini menuntut perenungan dan empati. Perbedaan peradaban mengharuskan, meminjam Habermas, suatu aksi komunikatif (communicative action) dalam ruang publik.
Dialog antarperadaban sebagai upaya untuk mencari titik temu (coomon platform) yang dalam bahasa al-Quran kalimatun sawa. Titik temu ini bisa berupa upaya untuk menghadapi dan menyelesaikan tantangan bersama (common challenges) seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan, penegakan HAM, terorisme, korupsi dan masalah-masalah lainnya. Bukan hanya itu, dialog perlu dilakukan sebagai upaya untuk saling memahami dan menghargai atas berbagai perbedaan persepsi terhadap isu-isu tertentu.
Hal ini semakin urgen untuk dilakukan setelah mencuatnya isu terorisme yang diseret ke arah sentimen agama. Bahkan akhir-akhir ini banyak aksi yang dilakukan sebagian kalangan yang sangat tidak toleran dan menyinggung perasaan penganut agama tertentu, khususnya Islam. sebagai contoh publikasi karikatur Nabi Muhammad saw. oleh Surat kabar Jyllands Posten, pembuatan film Fitna oleh Gertz Wilder, dan yang terbaru adalah pembakaran al-Quran oleh dua orang pendukung Pendeta Terry Jones (Pendeta sebuah gereja kecil di Florida AS), Pendeta Bob Old dan Pendeta Danny Allen. Pembakaran al-Quran tersebut dilakukan pada acara peringatan tragedi runtuhnya doble WTC 11 September 2010 yang lalu.
Dialog dilakukan karena disadari ada perbedaan atau bahkan konflik, karena dunia berkarakter plural. Pluralisme peradaban merupakan perbedaan perspektif dalam memahami dunia. Pluralisme peradaban agak berbeda dengan pluralisme jenis-jenis lain seperti gender, ras, agama, dan suku. Pluralisme peradaban juga agak berbeda dengan multikulturalisme yang diartikan sebagai kemajemukan budaya dalam sebuah komunitas negara-bangsa.
Manusia sebagai kholifah Allah berkewajiban membangun peradaban di muka bumi ini. Peradaban yang dibangun harus didasari nilai-nilai moral agar tercipta sikap yang saling memahami dan menghargai meskipun terjadi perbedaan. Hal ini sangat perlu demi terciptanya toleransi antarperadaban untuk mencapai masyarakat dunia yang penuh keadilan, aman, tenteram dalam bingkai multikultur, budaya dan peradaban.
Artikel Ini telah diterbitkan Republika, 16 Desember 2010
Label:
ARTIKEL ILMIAH,
Sosial
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar