Senin, 05 Maret 2012
TERORISME NEGARA
Oleh: Imam Mustofa
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Secara garis besar, terorisme dapat diartikulasikan dalam tiga bentuk, terorisme yang bersifat personal, terorisme yang bersifat kolektif dan terorisme yang dilakukan negara. Pada dasarnya negara adalah suatu bentuk organisasi yang pilar pokonya adalah rakyat. Oleh karena itu negara berkewajiban menjamin kesejahteraan dan keamanan mereka. Namun demikian, ia bisa menjadi organisasi teror yang sangat membahayakan baik bagi bangsanya sendiri, maupun bagi bangsa atau lain, karena teror yang dilakukan oleh negara ada yang di arahkan kepada warga atau bangsanya sendiri dan ada yang diarahkan terhadap bangsa lain.
Terorisme negara ini termasuk istilah baru, yang biasanya disebut terorisme (oleh) negara (state terrorism). Penggagas istilah ini adalah Mahatir Muhammad, mantan Perdana Menteri Malaysia. Menurutnya, terorisme yang dikerahkan oleh negara, tidak kalah dahsyatnya dengan terorisme personal maupun kolektif. Kalau kedua bentuk teror yang pertama dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sedangkan terorisme negara dilakukan secara terang-terangan (Sunardi dan Abdul Wahid, 2004: 41). Satu-satunya negara yang telah menebarkan teror ke seluruh dunia adalah Amerika Serikat. Dan AS juga adalah satu-satunya negara di dunia yang dikritik oleh Pengadilan Internasional atas tindakan terorismenya.
Noam Cosmky, pakar linguistik pada the Massachussets Institute of Technology mengatakan "we should not forget that the US itself is a leading terrorist state". Dia juga menyatakan bahwa pengeboman atas Afghanistan oleh pasukan sekutu pimpinan AS adalah kejahatan lebih besar dari pada teror 11 September 2001, AS adalah terdakwa negara teroris. Edward S. Herman, guru besar di Universitas Penslyvania, dalam bukunya The Real Teror Network sebagaimana dinukil Adian Husaini (2005: 213) mengungkap fakta-fakta keganjilan kebijakan antiterorisme AS. selama ini AS merupakan pendukung rezim-rezim "teroris" Garcia di Gautamala, Pinochet di Chili dan rezim Apartheid di Afrika Selatan.
AS dan para sekutunya bertindak diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu sebagai bentuk ketidakadilan global yang terjadi di banyak Negara, khususnya Negara muslim. Yang paling nyata adalah invasi AS terhadap Afganistan dan Irak yang diwarnai oleh penyiksaan terhdap para tahanan; kekerasan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap para pejuang Palestina. Ketidakadilan dan standar ganda yang diterapkan oleh AS inilah yang memupuk rasa kebencian kalangan Islam Fundamentalis terhadap Barat, terutama Amerika.
Apa yang dilakukan Israel terhadap para pejuang Palestina jelas-jelas tindakan teror, namun AS, sebagai Negara yang mengaku panglima perang perlawanan terhadap terorisme, Negara yang mengaku penjung nilai-nilai HAM dan kebebasan malah bungkam seribu bahasa, bahkan AS mengamini tindak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh militer Israel.
Michael Barratt-Borown (1970), dalam bukunya After Imperialism mengatakan bahwa kekuatan Iperialisme AS dan sekutunya menekan Negara-negara lemah dalam bidang ekonomi dan politik. Michael Barratt-Brown mengatakan bahwa imperialisme tidak diragukan lagi masih merupakan kekuatan paling besar dalam kaitan ekonomi, politik, dan militer yang dengannya negeri-negeri yang secara ekonomi kurang berkembang tunduk pada mereka yang secara ekonomi lebih berkembang.
Kebrutalan ini sudah berjalan cukup lama. Selama bertahun tahun Amerika Serikat menjalankan politik aktif untuk melakukan intervensi langsung dan terbuka dalam permasalahan di Amerika Tengah dan Selatan: Kuba, Nikaragua, Panama, Chili, Guatamela, Salvador, Grenada telah merasakan bagaimana kedaulatan mereka diserang, mulai dari peperangan langsung hingga kudeta-kudeta dan tindakan-tindakan subversi yang diakui secara terbuka, dari usaha-usaha pembunuhan hingga pemberian bantuan keuangan untuk pasukan-pasukan 'kontra'. Di Asia Timur, Amerika terjun dalam beberapa perang besar, membiayai tindakan-tindakan militer massa yang menyebabkan beratus-ratus ribu orang meninggal di tangan pemerintahan Negara yang 'bersahabat' dengan mereka, menggulingkan pemerintahan (Edward W Said 1996: 377).
Dalam bidang Informasi dan pemberitaan, kebrutalan Barat, khusunya Amerika memang menjadi ancaman yang serius bagi kemerdekaan Negara-negara lemah dan berkembang di millennium ketiga ini. Anthomi Smith (1980:176) dalam Geopolitics of Information menyatakan bahwa ancaman terhadap kemerdekaan pada akhir abad kedua puluh dari ilmu elektronika baru dapat menjadi lebih besar daripada kolonialisme itu sendiri.
Dalam bidang militer, penguasaan terus dilakukan oleh AS meskipun perang dingin telah berakhir. Tahun 2003, hanya dalam beberapa hari saja, mereka sanggup mengganti penguasa di Irak yang sebelumnya mereka menggulingkan rezim Taliban dengan relatif mudah. Tentara Amerika merajalela di berbagai Negara.
Terorisme negara adalah bentuk teror yang paling membahayakan di era global. Sebuah negara dengan kekuatan teknologi, ekonomi dan militernya yang mumpuni dapat mengancam kebebasan rakyatnya sendiri atau bahkan keberlangsungan perdamaian dan peradaban umat manusia.
Terorisme negara ini termasuk istilah baru, yang biasanya disebut terorisme (oleh) negara (state terrorism). Penggagas istilah ini adalah Mahatir Muhammad, mantan Perdana Menteri Malaysia. Menurutnya, terorisme yang dikerahkan oleh negara, tidak kalah dahsyatnya dengan terorisme personal maupun kolektif. Kalau kedua bentuk teror yang pertama dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sedangkan terorisme negara dilakukan secara terang-terangan (Sunardi dan Abdul Wahid, 2004: 41). Satu-satunya negara yang telah menebarkan teror ke seluruh dunia adalah Amerika Serikat. Dan AS juga adalah satu-satunya negara di dunia yang dikritik oleh Pengadilan Internasional atas tindakan terorismenya.
Noam Cosmky, pakar linguistik pada the Massachussets Institute of Technology mengatakan "we should not forget that the US itself is a leading terrorist state". Dia juga menyatakan bahwa pengeboman atas Afghanistan oleh pasukan sekutu pimpinan AS adalah kejahatan lebih besar dari pada teror 11 September 2001, AS adalah terdakwa negara teroris. Edward S. Herman, guru besar di Universitas Penslyvania, dalam bukunya The Real Teror Network sebagaimana dinukil Adian Husaini (2005: 213) mengungkap fakta-fakta keganjilan kebijakan antiterorisme AS. selama ini AS merupakan pendukung rezim-rezim "teroris" Garcia di Gautamala, Pinochet di Chili dan rezim Apartheid di Afrika Selatan.
AS dan para sekutunya bertindak diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu sebagai bentuk ketidakadilan global yang terjadi di banyak Negara, khususnya Negara muslim. Yang paling nyata adalah invasi AS terhadap Afganistan dan Irak yang diwarnai oleh penyiksaan terhdap para tahanan; kekerasan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap para pejuang Palestina. Ketidakadilan dan standar ganda yang diterapkan oleh AS inilah yang memupuk rasa kebencian kalangan Islam Fundamentalis terhadap Barat, terutama Amerika.
Apa yang dilakukan Israel terhadap para pejuang Palestina jelas-jelas tindakan teror, namun AS, sebagai Negara yang mengaku panglima perang perlawanan terhadap terorisme, Negara yang mengaku penjung nilai-nilai HAM dan kebebasan malah bungkam seribu bahasa, bahkan AS mengamini tindak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh militer Israel.
Michael Barratt-Borown (1970), dalam bukunya After Imperialism mengatakan bahwa kekuatan Iperialisme AS dan sekutunya menekan Negara-negara lemah dalam bidang ekonomi dan politik. Michael Barratt-Brown mengatakan bahwa imperialisme tidak diragukan lagi masih merupakan kekuatan paling besar dalam kaitan ekonomi, politik, dan militer yang dengannya negeri-negeri yang secara ekonomi kurang berkembang tunduk pada mereka yang secara ekonomi lebih berkembang.
Kebrutalan ini sudah berjalan cukup lama. Selama bertahun tahun Amerika Serikat menjalankan politik aktif untuk melakukan intervensi langsung dan terbuka dalam permasalahan di Amerika Tengah dan Selatan: Kuba, Nikaragua, Panama, Chili, Guatamela, Salvador, Grenada telah merasakan bagaimana kedaulatan mereka diserang, mulai dari peperangan langsung hingga kudeta-kudeta dan tindakan-tindakan subversi yang diakui secara terbuka, dari usaha-usaha pembunuhan hingga pemberian bantuan keuangan untuk pasukan-pasukan 'kontra'. Di Asia Timur, Amerika terjun dalam beberapa perang besar, membiayai tindakan-tindakan militer massa yang menyebabkan beratus-ratus ribu orang meninggal di tangan pemerintahan Negara yang 'bersahabat' dengan mereka, menggulingkan pemerintahan (Edward W Said 1996: 377).
Dalam bidang Informasi dan pemberitaan, kebrutalan Barat, khusunya Amerika memang menjadi ancaman yang serius bagi kemerdekaan Negara-negara lemah dan berkembang di millennium ketiga ini. Anthomi Smith (1980:176) dalam Geopolitics of Information menyatakan bahwa ancaman terhadap kemerdekaan pada akhir abad kedua puluh dari ilmu elektronika baru dapat menjadi lebih besar daripada kolonialisme itu sendiri.
Dalam bidang militer, penguasaan terus dilakukan oleh AS meskipun perang dingin telah berakhir. Tahun 2003, hanya dalam beberapa hari saja, mereka sanggup mengganti penguasa di Irak yang sebelumnya mereka menggulingkan rezim Taliban dengan relatif mudah. Tentara Amerika merajalela di berbagai Negara.
Terorisme negara adalah bentuk teror yang paling membahayakan di era global. Sebuah negara dengan kekuatan teknologi, ekonomi dan militernya yang mumpuni dapat mengancam kebebasan rakyatnya sendiri atau bahkan keberlangsungan perdamaian dan peradaban umat manusia.
Artikel ini telah diterbitkan Radar Lampung, Jumat, 6 Mei 2011
Label:
ARTIKEL ILMIAH,
HUKUM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar