Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 05 Maret 2012

TERORISME DAN NEGARA ISLAM



Oleh: Imam Mustofa
(Dosen Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo Metro)


Untuk sekian kalinya Densus 88 anti-teror Mabes Polri berhasil menyergap kelompok jaringan teroris. Pada Kamis, 13 Mei 2010 Densus 88 telah melakukan penggerebekan di tiga lokasi, Cawang (Jakarta Timur), Cikampek (Jawa Barat), dan Sukoharjo (Jawa Tengah). Dalam penyergapan tersebut Densus 88 berhasil menembak mati lima anggota teroris tewas dan menangkap satu orang. Dari tiga lokasi itu, polisi menemukan barang bukti M 16, AK-47, pistol jenis revolver, ribuan amunisi kaliber 9, 22 dan 45, jaket antipeluru, dan teropong (Lampost, 14/05/2010).
Kapolri Jendral Polisi Bambang Hendarso Danuri di Mabes Polri menjelaskan bahwa sasaran para anggota jaringan teroris tesebut adalah warga asing, terutama warga Amerika Serikat. Sasaran lain adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pejabat negara lainnya. Serangan rencananya akan dilancarkan pada tanggal 17 Agutus 2010, tepat pada perayaan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Sementara itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa kelompok teoris berkeiinginan mendirikan negara Islam.
Berbagai tanggapan muncul terkait penyergapan Teroris dan keterangan Kapolri terkait target serangan anggota teroris serta pernyataan presiden tersebut. Bagi sebagian kalangan penggerebekan teroris tersebut hanyalah aksi dagelan untuk menutupi dan mengalihkan perhatian publik dari kasus-kasus besar yang kini mulai muncul ke permukaan. Sebagaimana diketahui, perhatian publik saat ini tertuju pada kasus mafia pajak dan mafia kasus di lembaga-lembaga peradilan, kepolisian dan kejaksaan.
Diantara kasus yang menjadi pusat perhatian masyarakat adalah penahanan mantan kabereskrim Komjen Susno Djuaji. Susno diatahan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap PT Salma Arwana Lestari. Susno ditengarai menerima uang sebanyak Rp 500 juta sewaktu menangani kasus tersebut. Penahanan Susno ini memang menimbulkan kecaman terahadap Polri. Tindakan itu dinilai sebagai hal yag diskriminatif dan menafikan nilai keadilan.
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengecam aksi detasemen 88 yang menembak mati dan menangkap anggota teroris. Menurut Komnas HAM, tindakan tesebut telah melampaui nilai-nilai HAM. Hal yang hampir senada juga disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI Amidhan meminta agar pihak kepolisian tidak asal main tembak pada terduga teroris. Siapa pun mereka, apalagi masih terduga, dalam penangkapan, polisi harus berpegang dan mengikuti aturan dan standar yang berlaku.
Yang menjadi perhatian penulis adalah mengenai sinyalemen Presiden bahwa tujuan para pelaku teror di tanah air saat ini adalah untuk mendirikan Negara Islam. Kalau memang mereka bertujuan mendirikan Negara Islam, hal ini berarti mereka berusaha mengganti ideologi dan dasar Negara.
Secara logika, agaknya aneh kalau memang mereka betujuan mendiikan Negara Islam dengan hanya mengandalkan gerombolan bebrapa orang dengan dana, fasilitas dan peralatan yang sangat terbatas. Kekuatan dan peralatn mereka tentu sangat timpang dan tidak sebanding dengan fasilitas keamanan Negara Indonesia. Apakah mereka tidak belajar dari berbagai pengalaman usaha yang dilakukan kelompok-kelompok yang hendak mendirikan Negara Islam Indonesia. Dengan pengikut yang cukup banyak, bahkan melibatkan masyarakat dan didukung dengan persenjataan yang lumayan saja mereka gagal mencapai tujuan pendirian Negara Islam. Apalagi ahanya segerombolan orang yang diklaim sebagai anggota teroris yang hanya mengandalkan senjata senapan?
Selain itu, apakah para teoris tersebut tidak berpikir bahwa salah satu unsur mutlak sebuah Negara adalah rakyat. Meskipun misalnya mereka berhasil membunuh para pejabat Negara, mereka tidak secara otomatis berhasil mendirikan Negara Islam Indoensia, karena rakyat Indonesia yang secara ideologis dan agama sangat plural tentunya tidak akan menerima Negara Islam versi teroris.
Dukungan rakyat merupakan syarat mutlak pendirian sebuah Negara. Sejarah telah membuktikan bahwa usaha mendirikan Negara Islam telah mengalami kegagalan. Bahkan usaha ini telah ada sejak lahirnya Negara Indonesia, baik melalui jalan diplomasi, sampai usaha melalui konfrontasi senjata seperti yang dilakukan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dengan pasukannya Tentara Islam Indonesia (TII). Kartosoewirjo berusaha mendirikan Darul Islam. Namun usaha ini gagal karena dapat ditumpas oleh kekuatan militer. Selain itu, Kartosoewirjo tidak mendapat dukungan dari masyarakat secara signifikan.
Meskipun pada umumnya kalangan Islam fundamentalis yang sering menjadi pelaku teror berkeyakinan dengan konsep Negara Islam, namun rasanya gerakan terorisme di Indonesia tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk mendirikan sebuah Negara Islam Indonesia. Gerakan terorisme di Indonsia lebih merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap kepentingan Barat, khususnya Amerika yang dianggap sebagai the real terrorist.
Target utama kelompok teroris adalah obyek-obyek vital yang terkait dengan kepentingan Barat. Adapun ada seinyalemen bahwa target mereka adalah pejabat Negara, itu hanya karena mereka berpandangan bahwa selama ini pemerintah lebih memihak kepada kepentingan Barat, khususnya Amerika dan sekutunya yang dianggap sebagai biang keladi terorisme di muka bumi seperti peperangan, kekerasan dan pembunuhan di Negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, seperti Palestina, Irak dan Afghanistan.
Namun, apa pun motif , maksud dan tujuan kelompok teroris, yang jelas mereka mengancam dan bahkan mencabik-cabik rasa aman dan kenyamanan masyarakat dunia. Terorisme adalah musuh besama common enemy semua bangsa dan agama di muka bumi ini. Oleh karena itu, semua elemen masyarakat harus berusaha membantu pemerintah dengan berbagai cara dalam memberantas terorisme demi keamanan, kenyemanan dan ketenteraman hidup dan kehidupan dimuka bumi.

Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post Jumat, 21 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar