Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 05 Maret 2012

TEROR BOM BUNUH DIRI


Oleh: Imam Mustofa
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia)


Teror bom kembali terjadi di Indonesia. Pada Jumat 15 April 2011 yang lalu, Masjid Mapolresta Cirebon diguncang bom bunuh diri. Nampaknya para teoris sengaja mentarget polisi yang mereka anggap sebagai tentara thoghut yang menghalang-halangi dalam menebar teror yang dalam terminologi dan keyakinan mereka adalah jihad.
Polisi dianggap sebagai musuh karena terus memburu, menangkap, memproses dan mengeksekusi para teroris. Tindakan polisi dalam usaha menanggulangi terorisme setidaknya telah memperluas target para teroris dalam melakukan operasi. Semula hanya obyek-obyek vital yang "berbau Barat", atau person serta kelompok yang membiarkan atau bahkan mendukung kebijakan Negara-negara Barat yang mereka anggap sebagai musuh. Semangat mereka untuk melakukan "jihad terlarang" nampaknya begitu tinggi, mereka tidak peduli meskipun bom tersebut harus diledakkan di dalam masjid.
Bom bunuh diri membawa korban jiwa, korban material serta mencabik keamanan sebuah negara pada dasarnya tidak terkait dengan tujuan awal sang pelaku yaitu jihad. Meskipun para pelaku bermaksud membela saudara seiman mereka yang terjajah atau melakukan perlawanan terhadap penjajahan, akan tetapi ketika aksi tersebut dilakukan di daerah damai, bahkan di dalam rumah ibadah, maka akan menimbulkan suatu yang kontra produktif dengan semangat perlawanan tersebut, karena mengarah pada bentuk teror.
Dari berbagai sumber yang penulis telusuri, (diantaranya Nawaf Hayl al-Takrury: 1997 dan Yusuf al-Qaradhawi: 2010), ulama yang membolehkan aksi bom bunuh diri menekankan bahwa aksi tersebut dapat dikategorokan sebagai jihad apabila memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, bom bunuh yang bertujuan jihad ditujukan kepada musuh Islam atau orang kafir yang mendeklarasikan perang terhadap Islam kaum muslimin.
Kedua, bom bunuh diri dilakukan di wilayah kaum muslimin yang telah direbut dan dikuasai musuh. Bom bunuh diri dilakukan dengan tujuan untuk melakukan perlawanan dan merebut wilayah tersebut. Ketiga, bom bunuh diri harus dilakukan dengan perhitungan dan pertimbangan yang matang. Hal ini dilakukan agar bom bunuh diri benar-benar efektif dan mencapai sasaran membunuh musuh yang sedang menyerang dan tidak salah sasaran memakan korban rakyat sipil yang tidak terlibat perang.
Keempat, seorang yang hendak melakukan bom bunuh diri harus meminta arahan komando dari panglima perang. Bom bunuh diri tidak boleh dilakukan atas inisiatif sendiri dan harus dengan pertimbangan yang benar-benar matang. Karena tanpa adanya komando dan perintah hanya akan menimbulkan efek destruktif. Kelima, pelaku bom bunuh diri harus mendapatkan izin dari kedua orangtuanya. Keenam, bom bunuh diri dilakukan dengan ikhlas dan hanya bertujuan menggapai ridho Allah dan meneggakkan kalimat dan syariat-Nya dengan niat jihad.
Semua persyaratan di atas harus terpenuhi, apabila satu syarat pun ada yang tidak terpenuhi, maka bom bunuh diri dikategorikan sebagai teror yang diharamkan. Karena menimbulkan kemadharotan atau kerusakan yang dilarang Islam.
Apa pun alasan yang digunakan, bom bunuh diri yang dilakukan di di wilayah atau negara damai, maka secara hukum Islam tidak bisa dikategorikan sebagai jihad. Meskipun yang menjadi sasaran aksi tersebut adalah warga Negara yang sedang menjajah Negara Islam atau berpenduduk muslim. Karena Islam melindungi hidup dan kehidupan manusia secara mutlak. Tujuan utama syariat Islam adalah untuk menegakkan mashlahat atau kemaslahatan dan meninggalkan kemadhataran atau hal-hal yang membahayakan.
Berangkat dari konsep mashlahat di atas, dengan kewajiban menjaga agama jiwa, akal keturunan dan harta maka aksi bom bunuh diri tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan konsep mashlahat yang menjadi tujuan agama atau syariat Islam. Larangan membunuh sudah sangat jelas diterangkan oleh Allah swt dalam surat al-Maidah ayat 32.
Pehaman agama secara sempit, penafsiran teks agama secara atomistik, ahistoris tanpa komparasi dengan teks lain (baik ayat maupun sunnah) serta tanpa mempertimbangkan kondisi sosio-kultural masyarakat akan menimbulkan aksi yang kontraproduktif dengan tujuan agama. Oleh sebab itu, dalam upaya penunggalan aksi terorisme, berbagai pendekatan harus ditempuh, menggali motif dan faktor penyebabnya. Penanggulangan terorisme harus menyentuh akar masalah yang sesungguhnya menggali faktor-faktor yang melatarbelakanginya, faktor ideologi atau agama, faktor politik, ekonomi dan faktor-faktor lain.
Selain itu, pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait, khususnya kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga harus bekerjasama dengan lembaga-lembaga atau organisasi Islam yang moderat, seperti NU dan Muhammadiyah. Bila langkah ini dilakukan secara intens dan kontinyu tidak hanya bersifat sporadis dan reaktif nisacaya akan dapat berperan secara signifikan dalam menanggulangi radikalisme dan terorisme di Indonesia.



Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post, Selasa, 19 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar