Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 05 Maret 2012

TERORISME DAN TOLERANSI ANTARPERADABAN


Oleh: Imam Mustofa
(Sekretaris P3M STAIN Jurai Siwo Metro)


Isu terorisme telah menjadi lahan subur bagi tumbuhnya kecurigaan, ketegangan bahkan konflik antarperadaban. Peradaban Islam dan Barat yang merupakan dua peradaban besar dunia saat ini terjerembab dalam lubang konflik secara psikis dan bahkan fisik. Terorisme yang diasumsikan sebagian kalangan sebagai konflik antarperadaban ini seolah membenarkan tesis Samuel P Huntington tentang benturan peradaban (clash of civilization).
Umat muslim dan ajaran Islam telah menjadi korban atas munculnya isu terorisme. Terorisme yang menjadi isu sentral masyarakat dunia saat ini seolah di-setting dan diarahkan untuk mendeskriditkan umat Islam dan ajaran Islam. Padahal terorisme tidak selalu muncul dari umat Islam.
Kejadian terbaru yang menunjukkan fakta bahwa terorisme juga lahir dari hasrat ideologis Kristen adalah peledakan bom di gedung pemerintahan Norwegia di Oslo pada Jumat, 23 Juli 2011 lalu. Bukan hanya itu, tidak lama setelah ledakan bom tersebut terjadi pembantaian di pulau Utoya. Dua teror yang menewaskan sekitar 93 orang tersebut dilakukan oleh Anders Behring Breivik, seorang Kristen fundamentalis yang mengaku sebagai tentara perang Salib. Ia berkeyakinan bahwa teror tersebut demi menjalankan misi untuk menyelamatkan orang-orang Kristen Eropa dari gelombang pengaruh Islam.
Terlepas dari kejadian di atas, pada dasarnya terorisme yang dituduhkan kepada umat Islam tidaklah muncul di ruang hampa. Ia hanya sebagai reaksi atas ketidakadilan global dan standar ganda Negara-negara Barat terhadap Negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Palestina, Afghanistan, Irak, Iran dan lainnya.
Setahun setelah tragedi runtuhnya World Trade Center, Perdana Menteri Canada saat itu menyatakan bahwa kerakusan dan arogansi dunia Barat merupakan faktor utama penyerangan para teroris terhadap Amerika Serikat. Secara terang-terangan ia berkata "You can not exercise your powers to the point of humiliation for the others (Engkau tak boleh menggunakan kekuasaanmu hingga mencapai titik penghinaan terhadap pihak lain)." (Alwi Shihab 2004:7).
Kekerasan struktural dan ketidak-adilan global yang merugikan umat Islam inilah yang menjadi pendorong lahirnya radikalisme. Dalam buku Islam: Continuity and Change in the Modern World, John Obert Voll (1982), menyebutkan bahwa gerakan militan Islam tercipta dari dominasi negara-negara maju terhadap negara taklukan.
Terorisme merupakan bentuk kejahatan yang tidak mengenal batas-batas agama, ras, bangsa dan geografis. Isu terorisme ini telah menjadi ujian berat umat Islam dan nilai-nilai universal yang digaungkan oleh dunia Barat. Keharmonisan antarperadaban seolah lenyap pasca mencuatnya isu terorisme, khususnya pasca tragedi "Balck September" dan berganti dengan "perang dingin" antarperadaban.
Untuk merajut kembali serakan benang-benang persudaraan, menegakkan kembali puing-puing kesalingpercayaan, saling menghargai dan menghormati antara Islam dan Barat maka perlu dialog antarperadaban. Dialog antarperadaban dilakukan secara intens untuk mencari titik temu dan meluruskan kesalahpahaman (misunderstanding) dan kesalahan persepsi (misperception) antara kedua peradaban. Lebih dari itu, dialog antar peradaban untuk menemukan common platform untuk menjalin hubungan yang lebih harmonis dan konstruktif untuk membangun peradaban yang sejahtera berlandaskan keadilan.
Harus diakui hubungan antagonis Islam dan Barat bahkan konfrontatif setidaknya disebabkan tiga faktor utama, yaitu faktor ketidaktahuan, faktor historis dan faktor media massa (Alwi Shihab: 2011). Islam dan Barat hidup dalam kecurigaan karena antara satu dengan yang lain belum memahami secara komprehensif tentang epistemologi dan ajaran masing-masing. Dari perspektif historis, rekam sejarah kolonialisme Islam terhadap sebagian wilayah Kristen atau sebagian Eropa serta sejarah kolonialisme Barat-Eropa terhadap Negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim telah memicu konfrontasi Islam dan Barat. Selain itu, media massa yang memainkan opini publik secara tidak obyektif tanpa mendalami permasalah secara komprehensif juga berperan besar dalam menciptakan jurang ketidakharmonisan tersebut.
Meskipun secara umum pandangan kalangan Barat terhadap Islam dan umatnya tidak begitu bersahabat atau bahkan negatif, namun demikian ada kalangan yang masih mau memandang persoalan secara obyektif dan dengan kepala dingin. Ada sebagian tokoh dan intelektual Barat, seperti Karen Amstrong, John L Esposito, Noam Chomsky dan Robert W Hefner yang cukup memahami Islam. Begitu juga kalangan Islam moderat memahami pola pikir Barat, khusunya dalam politik internasional. Oleh karena itu, dialog dalam rangka menumbuhkembangkan toleransi antara peradaban menjadi suatu yang sangat urgen. Hal ini demi untuk saling memahami dan menerima kebudayaan satu sama lain, sehingga benturan peradaban yang dikemukakan oleh Huntington tidak menjadi kenyataan.
Bila komunkasi antara Islam dan Barat dapat dilakukan secara intens, maka akan ada sikap saling terbuka dan obyektif untuk menilai satu sama lain, dengan demikian akan menimbulkan sikap toleran antara satu dengan lainnya. Dialog antarperadaban harus mempunyai landasan kuat dalam rangka menciptakan toleransi antarperadaban demi untuk membangun peradaban manusia dan kesejahteraan yang berkeadilan. Karena keragaman adalah keniscayaan, dan manusialah yang harus mampu me-manage keragaman dan perbedaan tersebut agar dapat hidup berdampingan dalam suasana damai, aman dan tenteram.

Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post, Rabu, 27 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar