Senin, 05 Maret 2012
SYAWAL, BULAN PENINGKATAN
Oleh : Imam Mustofa
(Dosen STAIN Jurai Siwo Metro)
Tamu agung, bulan Ramadhan telah pergi. Ia telah berlalu. Tiada yang sanggup menghentikannya, karena hakikatnya ia adalah sepenggal waktu yang penuh dengan pesona keberkahan dan kilauan kasih sayang, sarat dengan aura kerahmatan dan lautan ampunan.
Secara filosofis, puasa Ramadhan bertujuan membentuk karakter yang bertaqwa, baik taqwa lahiriyah maupun bathiniyah. Ketika bulan Ramadhan telah berlalu, ada pertanyaan besar yang harus dijawab seorang mukmin. Sudahkah tujuan puasa tersebut telah tercapai? Apakah bulan Ramadhan telah dimaksimalkan sebagai wahana memperdalam keimanan dan mampu membentuk pribadi yang berkarakater taqwa? Mampukah momen Ramadhan meningkatkan kadar ketaqwaan?
Tidak mudah menjawab pertanyaan di atas. Namun demikian, setidaknya ada indikasi yang dapat dijadikan landasan untuk melakukan evaluasi diri seorang mukmin, apakah puasanya telah berhasil atau tidak. Keberhasilan puasa dapat dilihat dari perilaku sosialnya. Pribadi bertaqwa akan mencerminkan nilai spiritualitas yang tertransformasikan dalam bentuk perilaku yang sholih. Perilaku sholih berupa sikap, sifat, tutur kata dan tindakan yang tidak merugikan orang lain atau bahkan perilaku yang menyenangkan dan menenangkan. Perilaku ini harus dipegangi baik sebagai pribadi maupun dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Bulan Ramadhan merupakan wahana peningkatan kualitas spiritual, sementara bulan Syawal merupakan bulan pendakian. Seorang mukmin harus mampu memanfaatkan syawal sebagai arena untuk melanjutkan pengembaraan spitualitasnya setelah melewati lautan rahmat dan padang ampunan di bulan Ramadhan.
Ramadahan adalah sebagai moment untuk membuat (master plan) spiritualitas dan jalinan sosial seorang mukmin. Master plan ini direalisasikan pada sebelas bulan berikutnya. Sementara area untuk tinggal landas (landing) mengimplementasikan masterplan spiritulitas tersebut adalah bulan syawal. Bulan pendakian untuk meningkatkan kualitas beragama yang lebih berorientasi kemanusiaan yang mengedepankan aspek teologis-humanis. Transformasi nilai-nilai spiritualitas agama pada ranah empirik dalam kehidupan bermasyarakat.
Ibadah pada bulan Ramadhan lebih pada peningkatan spiritualitas dengan lebih mengedepankan pembangunan dan memperkuat konstruksi relasi vertikal seorang hamba dengan Tuhannya. Sementara pada bulan Syawal harus mampu mentransformasikan nilai-nilai spiritualitas yang telah didapatkan selama Ramadhan. Transformasi ini direalisasikan dengan mengedepankan pembangunan dan memperkuat konstruksi relasi horizontal sesama manusia dan lebih luas dengan sekalian alam.
Bulan Syawal merupakan momen untuk memperkuat persaudaraan sesama muslim dalam bingkai agama (ukhuwah islamiyah), persaudaraan sesama anak bangsa (ukhuwah wathoniyah), persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah) dan lebih luas lagi adalah persaudaraan dengan sesama makhluk (ukhuwah basyariyah). Hal ini dilakukan dengan melakukan sillaturrahmi, saling mengunjungi, saling memaafkan sesama muslim, baik dilakukan secara langsung (face to face) maupun melalui media perantara.
Syawal sebagai bulan pendakian seharusnya dijadikan arena untuk mengejawantahakan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas yang sudah didapatkan selama bulan Ramadhan. Pengejawantahan spiritualitas dan moralitas tersebut merupakan bagian dari tuntunan syariat Islam yang menghendaki relasi ketuhanan (hablun minallah) dan relasi sesama manusia (hablun minannas) atas nama moral ketuhanan dan kemanusiaan.
Apabila perilaku seseorang telah mencerminkan ketaqwaan dan spiritualitas puasa, maka bisa menjadi pertanda bahwa ia telah berhasil memperoleh berkah bulan Ramdhan. Tahap berikutnya adalah melakukan pendakian dan peningkatan di bulan Syawal. Mendaki pada tingkatan spiritualitas dan moralitas yang lebih tinggi menuju kepada yang Maha Tinggi.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post, Jumat, 9 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar