Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 05 Maret 2012

SATU DEKADE KONTRATERORISME


Oleh: Imam Mustofa
(Kader Kultural NU Lampung)

Satu dekade sudah perang global melawan terorisme berlalu. Perang melawan terorisme tersebut dideklarasikan Presiden George W. Bush beberapa hari setelah tragedi Black September, runtuhnya menara kembar World Trade Center tahun 2001. Perang ini didukung oleh Negara-negara sekutu Amerika Serikat dengan dana dan kekuatan militer.
Peristiwa Black September telah banyak membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dunia. Konstelasi politik global berubah total. Sebab, Amerika melalui presiden George W. Bush mengeluarkan kebijakan yang cukup mengagetkan dunia. Ia mengatakan bahwa pihak-pihak yang tidak bergabung dengan Amerika untuk memerangi teroris, maka dia adalah teroris yang menjadi musuh Amerika. “Now for all nations of the world, there only two choices: either they join America, and if they don’t they join the terrorism.
Kebijakan Bush untuk melakukan perang global melawan terorisme berimbas sampai ke Indonesia. Diantara pejabat AS ada mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu sarang teroris. Semula pemerintah tidak menggubris anggapan AS ini, namun setelah terjadi ledakan Bom Bali I tahun 2002, akhirnya pemerintah bertindak. Bom Bali I menyadarkan pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan peraturan tentang penanggulangan terorisme. Pemerintah mengeluarkan Perpu No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 15 tahun 2003.

Terorisme: antara kolnialisme Barat dan fundamentalisme Islam
Pasca tragedi runtuhnya menara kembar WTC tahun 2001, fundamntalisme Islam menjadi wacana yang selalu disandingkan dengan isu terorisme. Islam fundamental atau bahkan Islam secara umum selalu diakitkan dengan tindakan radikal dan tindakan teror. Padahal terorisme merupakan fenomena yang sangat kompleks yang berujung pada isu sentral yaitu kolonialisme Negara Barat yang berimbas pada ketidakadilan global dan standar ganda yang mereka terapkan.
Robert Dreyfuss (2007) dalam bukunya "Devil’s Game; How the United States Helped Unleash Fundamentalist Islam" menyebutkan bahwa sebenarnya yang memunculkan terorisme di dunia adalah Amerika. Dreyfuss menyimpulkan bahwa kepentingan politik-ekonomi Amerika Serikat dan beberapa sekutunya ikut menumbuhsuburkan gerakan Islam radikal dan terorisme di seluruh penjuru dunia. Kebencian kaum radikalis Islam terhadap komunisme-ateis dimanfaatkan sedemikian rupa oleh Amerka Serikat untuk menghadang pengaruh Uni Soviet di gurun pasir Timur Tengah, termasuk juga negera-negara berhaluan sosialis marxis lainnya. Lebih dari itu, seperempat kekayaan minyak dunia yang tersimpan di kawasan tersebut menjadi faktor paling dominan skenario Clash of Cicilization yang didesain Amerika.
Isu terorisme menjadikan teori benturan peradaban (clash of civilization) seolah benar. Padahal yang terjadi bukanlah benturan peradaban, akan tetapi benturan kepentingan. Fundamentalisme Islam lahir sebagai respon terhadap kepentingan dan kolonialime Barat serta ketidakstabilan poliitik global. Selain itu, memang tidak dipungkiri bahwa idelogi agama tidak jarang menjadi faktor dan sekaligus justifikasi fundamentalisme. Namun demikian, faktor yang paling dominan adalah ketidakdilan global dan kolonialisme modern yang dimainkan oleh negara-negara Barat. Lebih tragisnya lagi kolonialisme dan kerakusan akan kekayaan alam, terutama migas, dijustifikasi dengan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB).
Esposito sebagaimana dikutip oleh Miftahuddin (2006) mengungkapkan bahwa ada beragam tipe jawaban dalam Islam atas terjadinya kolonialisme yang dapat dilihat sampai sekarang ini, yaitu ada yang mengadakan perlawanan dan peperangan, penarikan diri dan non-kooperasi, sekularisasi dan westernisasi, dan modernisasi Islam. Kelompok pertama dan kedua inilah yang terkadang menjadikan cap atas Islam sebagai “agama teroris”.

Berhasilkah kontraterorisme?
Sampai saat ini, satu dekade sudah perang global melawan terorisme berlangsung. Namun demikian, nampaknya aksi teror masih selalu terjadi dan menghantui masyarakat dunia. Bahkan tindak kekerasan dan teror dengan berbagai modus semakin sering terjadi, terutama dengan menggunakan bom bunuh diri. Selain itu, terorisme negara terhadap kelompok atau bahkan negara dan bangsa lain yang secara militer lemah, namun mempunyai sumber daya alam yang melimpah juga masih berlangsung.
Penanggulangan terorisme dalam konteks global lebih pada penindakan dan perlawanan dari pada menggunakan pencegahan. Tindak kekerasan sering dilawan dengan kekerasan pula.
Penanggulangan terorisme seharusnya lebih pada tindakan pencegahan. Paradigma terorisme juga harus dimaknai secara jernih dan obyektif. Jangan sampai perlawanan terhadap penjajahan ekonomi dan politik, upaya untuk mempertahankan HAM oleh sebuah bangsa, upaya untuk lepas dari cengkraman penjajah dimaknai sebagai terorisme sebagaimana teori David C. Raport yang menyatakan bahwa anti-kolonialisme sebagai terorisme. Siapa pun yang menciptakan rasa takut, mengganggu stabilitas politik, keamanan, bahkan ekonomi suatu masyarakat atau bangsa adalah teroris, baik dilakukan dalam skala kecil oleh individu, kelompok maupun oleh negara dengan kekuatan ekonomi dan militernya.
Seharusnya, penanggulangan terorisme lebih mengacu pada faktor yang melatarbelakanginya, yang secara garis besar berkutat pada faktor politik dan ekonomi. Kalau memang dunia menghendaki perdamaian dan rasa aman dari tindakan teror, maka sudah saatnya kolonialisme dan campur tangan negara-negara adikuasa dihentikan. Selain itu, upaya lain yang harus dilakukan adalah deradikalisasi ajaran agama. Upaya ini harus melibatkan semua komponen masyarakat, terutama oleh pemegang kebijakan, pemerintah, LSM, media, para tokoh agama dan ormas keagamaan.


Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post Jumat, 16 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar