Senin, 05 Maret 2012
Pondok Pesantren dan Godaan Politik Pilkada
Oleh: Imam Mustofa
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (IKAPPUII)
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (IKAPPUII)
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mempunyai nilai historis terhadap gerakan sosial keagamaan. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pondok pesantren lahir karena adanya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, karena pada zaman dahulu belum ada lembaga pendidikan formal yang mengajarkan pendidikan agama.
Pondok pesantren bukan hanya sekedar lembaga pendidikan. Pesantren juga merupakan medium budaya dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan oleh mendiang KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), jarang sekali orang yang berpandangan demikian. Pondok pesantren bukan hanya lembaga pendidikan intelektual, akan tetapi juga, pendikan spiritual, pendidikan moral, dan sebagai lembaga pendidikan sosial kemsyarakatan. Di sisni pesantren mendidik masyarakat kehidupan praktis di masyarakat dan bagaimana seorang santri menjalankan peran sosial (social role) dalam masyarakat.
Sebagai lembaga pendidikan dan medium kebudayaan masyarakat, pondok pesantren dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat termasuk peran politik. Pesantren mempunyai aset yang cukup handal dan tidak bisa diremehkan, termasuk aset kekuatan politik. Aset-aset ini bisa diarahkan untuk memacu kemajuannya, akan tetapi apabila ada salah langkah dalam pengelolan aset dan memainkan perannya maka tidak mustahil yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan ditinggalkan oleh simpatisan dan civitas akademikanya.
Aset politik yang terkandung dalam pondok pesantren yang besar menjadikannya sering kali menjadi rebutan partai politik dan para kandidat kepala daerah, anggota legislatif dan bahkan calon presiden. Aset politik inilah yang mendatangkan godaan politik yang cukup mempesona bagi pesantren. Karir di ranah politik bagi santri atau Kyainya, atau bantuan material yang terkadang berlimpah dari siapa atau partai yang telah berhasil didukungnya.
Pada Momen-momen menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah seperti yang terjadi di Lampung sekarang ini, para calon kepala daerah rajin bersilaturahmi dengan para tokoh masyarakat, termasuk Kyai yang mengasuh pondok pesantren. Kunjungan dan sillaturrahmi ini tentunya dengan tendensi dan tujuan tertentu yang tidak lepas dari kepentingan pencalonannya. Pada umumnya bahasa yang dikemukakan kepada Kyai adalah mohon doa restu agar lancar dalam pencalonannya dan bisa amanah andai terpilih nantinya. Namun sudah mafhum, bahwa kunjungan mereka hanya pada saat menjelang pemilihan saja, karena tertarik dengan aset politik yang dimiliki sang Kyai, yaitu "Suara" santri.
Aset politik yang berupa kharisma Kyai dan "suara" santri ini menuntut pesantren untuk memilih salah satu dari dua sikap yang sama-sama membawa konsekuensi dan mengandung risiko baik internal maupun eksternal. Pesantren bebas menentukan pilihannya. Pertama, pesantren atau Kyai pengasuhnya ikut terjun ke dunia politik praktis dengan mendukung partai politik atau calon tertentu. Dengan ikut mendukung calon atau partai tertentu ini biasanya pesantren akan mendapat reward dari partai atau tokoh yang didukung. Bantuan biasanya diberikan untuk membangun sarana dan prasarana untuk menunjang proses pendidikan di pesantren.
Namun demikian ada sisi negatif apabila pesantren ikut politik yaitu akan terjadi kesenggangan dengan masyarakat atau pesantren lain yang netral atau mendukung partai atau tokoh politik yang berbeda dengan pesantren tersebut. Bahkan, dengan kedewasaan berdemokrasi, tidak jarang para santri di suatu pesantren berbeda pandangan dengan Kyai yang mendukung partai atau politik tertentu meninggalkan pesantren tersebut.
Kedua, pesantren bersikap netral dan independen, tidak terjun langsung ke medan politik praktis. Pesantren berkonsentrasi penuh pada bidangnya, yaitu mendidik masyarakat mencerdaskan dan membentuk masyarakat yang shalih secara spiritual dan sosial tanpa bersinggungan langsung dengan politik praktis. Konsekuensi dari sikap netral ini mungkin hanya tidak mendapatkan bantuan yang biasanya dijanjikan atau diberikan oleh para kandidat yang bertarung dalam pemilihan kepala daerah, calon Gubernur, Bupati atau Walikota.
Dalam menjalankan peran sosial masyarakat, khususnya peran politik, menurut penulis, pondok pesantren hendaknya tidak terjun langsung ke ranah yang dianggap profan dan sering menimbulkan "fitnah" ini. Pesantren dituntut netral dan independen tidak terlibat dalam politik praktis dan mendukung partai politik terntentu, atau mem back up tokoh politik tertentu. Sebab sebagaimana dipahami bahwa politik sarat dengan fragmentasi kepentingan sesaat, sedangkan pesantren merupakan kawah condro dimuko yang membawa misi ketuhanan yang berlaku dalam jangka waktu yang tak terbatas.
Moralitas dan misi keagamaan dalam tradisi pesantren sangatlah berbeda dengan moralitas dan misi politik. Moralitas dan misi pesantren bersandar pada citra ilahi yang mengandaikan totalitas pengabdian dan keihlasan yang terkait dengan dimensi esoterik yang bersifat metafisik sedangkan politik bercorak profan, sekuler dan terkait dengan posisi kuasa. Oleh karen itu untuk menjaga pamor dan kharisma yang melekat pada dirinya, pesantren beserta seluruh civitas akademiknya diharapkan menjaga jarak dengan ranah politik ini.
Terlepas dari dua konsekuensi sebagaimana dipaparkan di atas, alangkah lebih elegannya apabila Kyai dengan pondok pesantrennya bersikap netral. Kepentingan politik hanya terbatas baik ruang dan waktunya. Hendaknya berfikir lebih jernih bahwa politik hanya melandaskan langkahnya kepada kepentingan sesaat, padahal pesantren sebagai institusi pendidikan yang hidup dan berpijak dalam masyarakat luas. Institusi pendidikan akan lebih elegan apabila memprioritaskan mashlahat yang lebih luas dan jangka yang tak terbatas oleh kepentingan, tempat dan waktu, yaitu perjuangan untuk membangun kecerdasan emosional, intelektual, spiritual dan sosial umat dan bangsa.
Pondok pesantren bukan hanya sekedar lembaga pendidikan. Pesantren juga merupakan medium budaya dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan oleh mendiang KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), jarang sekali orang yang berpandangan demikian. Pondok pesantren bukan hanya lembaga pendidikan intelektual, akan tetapi juga, pendikan spiritual, pendidikan moral, dan sebagai lembaga pendidikan sosial kemsyarakatan. Di sisni pesantren mendidik masyarakat kehidupan praktis di masyarakat dan bagaimana seorang santri menjalankan peran sosial (social role) dalam masyarakat.
Sebagai lembaga pendidikan dan medium kebudayaan masyarakat, pondok pesantren dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat termasuk peran politik. Pesantren mempunyai aset yang cukup handal dan tidak bisa diremehkan, termasuk aset kekuatan politik. Aset-aset ini bisa diarahkan untuk memacu kemajuannya, akan tetapi apabila ada salah langkah dalam pengelolan aset dan memainkan perannya maka tidak mustahil yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan ditinggalkan oleh simpatisan dan civitas akademikanya.
Aset politik yang terkandung dalam pondok pesantren yang besar menjadikannya sering kali menjadi rebutan partai politik dan para kandidat kepala daerah, anggota legislatif dan bahkan calon presiden. Aset politik inilah yang mendatangkan godaan politik yang cukup mempesona bagi pesantren. Karir di ranah politik bagi santri atau Kyainya, atau bantuan material yang terkadang berlimpah dari siapa atau partai yang telah berhasil didukungnya.
Pada Momen-momen menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah seperti yang terjadi di Lampung sekarang ini, para calon kepala daerah rajin bersilaturahmi dengan para tokoh masyarakat, termasuk Kyai yang mengasuh pondok pesantren. Kunjungan dan sillaturrahmi ini tentunya dengan tendensi dan tujuan tertentu yang tidak lepas dari kepentingan pencalonannya. Pada umumnya bahasa yang dikemukakan kepada Kyai adalah mohon doa restu agar lancar dalam pencalonannya dan bisa amanah andai terpilih nantinya. Namun sudah mafhum, bahwa kunjungan mereka hanya pada saat menjelang pemilihan saja, karena tertarik dengan aset politik yang dimiliki sang Kyai, yaitu "Suara" santri.
Aset politik yang berupa kharisma Kyai dan "suara" santri ini menuntut pesantren untuk memilih salah satu dari dua sikap yang sama-sama membawa konsekuensi dan mengandung risiko baik internal maupun eksternal. Pesantren bebas menentukan pilihannya. Pertama, pesantren atau Kyai pengasuhnya ikut terjun ke dunia politik praktis dengan mendukung partai politik atau calon tertentu. Dengan ikut mendukung calon atau partai tertentu ini biasanya pesantren akan mendapat reward dari partai atau tokoh yang didukung. Bantuan biasanya diberikan untuk membangun sarana dan prasarana untuk menunjang proses pendidikan di pesantren.
Namun demikian ada sisi negatif apabila pesantren ikut politik yaitu akan terjadi kesenggangan dengan masyarakat atau pesantren lain yang netral atau mendukung partai atau tokoh politik yang berbeda dengan pesantren tersebut. Bahkan, dengan kedewasaan berdemokrasi, tidak jarang para santri di suatu pesantren berbeda pandangan dengan Kyai yang mendukung partai atau politik tertentu meninggalkan pesantren tersebut.
Kedua, pesantren bersikap netral dan independen, tidak terjun langsung ke medan politik praktis. Pesantren berkonsentrasi penuh pada bidangnya, yaitu mendidik masyarakat mencerdaskan dan membentuk masyarakat yang shalih secara spiritual dan sosial tanpa bersinggungan langsung dengan politik praktis. Konsekuensi dari sikap netral ini mungkin hanya tidak mendapatkan bantuan yang biasanya dijanjikan atau diberikan oleh para kandidat yang bertarung dalam pemilihan kepala daerah, calon Gubernur, Bupati atau Walikota.
Dalam menjalankan peran sosial masyarakat, khususnya peran politik, menurut penulis, pondok pesantren hendaknya tidak terjun langsung ke ranah yang dianggap profan dan sering menimbulkan "fitnah" ini. Pesantren dituntut netral dan independen tidak terlibat dalam politik praktis dan mendukung partai politik terntentu, atau mem back up tokoh politik tertentu. Sebab sebagaimana dipahami bahwa politik sarat dengan fragmentasi kepentingan sesaat, sedangkan pesantren merupakan kawah condro dimuko yang membawa misi ketuhanan yang berlaku dalam jangka waktu yang tak terbatas.
Moralitas dan misi keagamaan dalam tradisi pesantren sangatlah berbeda dengan moralitas dan misi politik. Moralitas dan misi pesantren bersandar pada citra ilahi yang mengandaikan totalitas pengabdian dan keihlasan yang terkait dengan dimensi esoterik yang bersifat metafisik sedangkan politik bercorak profan, sekuler dan terkait dengan posisi kuasa. Oleh karen itu untuk menjaga pamor dan kharisma yang melekat pada dirinya, pesantren beserta seluruh civitas akademiknya diharapkan menjaga jarak dengan ranah politik ini.
Terlepas dari dua konsekuensi sebagaimana dipaparkan di atas, alangkah lebih elegannya apabila Kyai dengan pondok pesantrennya bersikap netral. Kepentingan politik hanya terbatas baik ruang dan waktunya. Hendaknya berfikir lebih jernih bahwa politik hanya melandaskan langkahnya kepada kepentingan sesaat, padahal pesantren sebagai institusi pendidikan yang hidup dan berpijak dalam masyarakat luas. Institusi pendidikan akan lebih elegan apabila memprioritaskan mashlahat yang lebih luas dan jangka yang tak terbatas oleh kepentingan, tempat dan waktu, yaitu perjuangan untuk membangun kecerdasan emosional, intelektual, spiritual dan sosial umat dan bangsa.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post 12 pebruari 2010
Label:
ARTIKEL ILMIAH,
PESANTREN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar