Senin, 05 Maret 2012
PEMIMPIN BARU, HARAPAN BARU
Oleh: Imam Mustofa
(Sekretaris P3M STAIN Jurai Siwo Metro)
(Sekretaris P3M STAIN Jurai Siwo Metro)
Tiga Daerah Otonomi Baru (DOB), yakni Pringsewu, Tulang Bawang Barat dan Mesuji baru saja menghelat pesta demokrasi pemilihan kepala daerah. Pesta demokrasi yang diharapkan dapat melahirkan pemimpin baru yang demokratis, responsif, inovatif, kredibel dan mempunyai integritas yang tinggi untuk mengemban amanah rakyat.
Lahirnya pemimpin baru dari pesta demokrasi tersebut memunculkan secercah harapan bagi masyarakat di tiga DOB tersebut. Harapan perbaikan infrastruktur, harapan perbaikan pelayanan publik, harapan peningkatan taraf hidup dan harapan peningkatan kesejahteraan yang berkeadilan.
Munculnya harapan yang besar dari masyarakat kepada kepala daerah yang terpilih pada dasarnya tidak lahir di ruang hampa. Setidaknya ada dua alasan besar mengapa muncul harapan tersebut. Pertama, infrastruktur dan fasilitas publik, terutama jalan di tiga DOB tersebut masih kurang memadai. Terlebih kondisi jalan, padahal jalan merupakan sarana mobilitas masyarakat dalam kegiatan perekonomian. Kondisi jalan yang rusak tentunya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Kedua, adanya janji-janji dari para calon kepala daerah sewaktu melakukan kampanye. Janji untuk membangun jalan, janji untuk meng-gratiskna pengurusan surat-surat atau dokumen di kantor Pemerintah Daerah, janji untuk meningkatkan honor guru atau tenaga pendidikan non-formal, janji untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan janji-janji manis lainnya. Janji-janji tersebut meskipun sudah lumrah lebih untuk mengais dukungan dan mengemis simpati, akan tetapi ia telah menjadi landasan atau pertimbangan masyarakat untuk memilih calon tertentu.
Berakhirnya pesta demokrasi, pemilihan kepala daerah, berarti ditabuhnya genderang yang menandai dimulainya kerja keras. Kerja keras untuk mengemban amanah rakyat, kerja keras untuk memenuhi janji-janji sewaktu kampanye. Kerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Medan perjuangan para pemimpin daerah yang sebenarnya bukanlah ketika mereka bertarung dalam pemilihan, akan tetapi saat mereka ditetapkan menjadi kepala daerah. Saat itulah mereka memasuki arena perjuangan yang sesungguhnya. Perjuangan untuk melawan hawa nafsu dan sahwat kekuasaan agar tidak menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan demi kepentingan pribadi, keluarga, kerabat atau kelompok. Perjuangan untuk mendayagunakan segenap Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) daerah demi kemakmuran daerah. Perjuangan mendayagunakan segenap pikiran, tenaga dan waktu untuk bekerja keras demi kesejahteraan rakyat.
Jabatan sebagai Kesempatan dan Tantangan
Bagi para kepala daerah yang terpilih, pada dasarnya amanah kepemimpinan daerah yang mereka dapatkan dari proses demokrasi dengan segala dialektikanya menjadi kesempatan dan sekaligus tantangan. Kesempatan untuk membuktikan diri mereka bahwa mereka mampu memanaje dan mendayagunakan SDM dan SDA untuk kesejahteraan rakyat. Apabila kesempatan ini dapat mereka manfaatkan, niscaya secara otomatis akan menimbulkan rasa cinta dan rasa memiliki yang tinggi (sense of belonging) dari rakyat terhadap pemimpin. Dengan adanya rasa tersebut maka akan menjadi kesempatan baru bagi mereka untuk dipilih kembali pada pemilihan kepala daerah berikutnya. Atau setidaknya mereka mempunyai kans yang tinggi untuk terpilih kembali.
Sebagai tantangan, kepemimpinan daerah juga merupakan sebuah kewenangan di daerah untuk mengambil dan menentukan kebijakan. Tantangan dalam pembuatan kebijakan ini adalah adanya konflik kepentingan (conflict of interest) dengan kekuatan-kekuatan politik yang berada di sekitar kekuasaan daerah. Tantangan lain adalah, pembuktian diri bagi pemimpin daerah bahwa jabatan yang mereka emban tidak dijadikan sebagai sarana untuk mengembalikan modal dalam pencalonannya. Sebagaimana mafhum bahwa pilkada langsung memerlukan ongkos yang cukup tinggi. Tingginya ongkos demokrasi inilah yang terkadang membuat para kepala daerah berlomba-lomba menggunakan jabatannya untuk mencari pegembalian modal melalui proyek-proyek pembangunan daerah.
Setelah pesta demokrasi berakhir, setelah pemimpin terpilih, masyarakat hanya bisa berharap, semoga keberadaan dan eksistensi masyarakat benar-benar diakui setelah pilkada. Pengakuan keberadaan ini akan membuat para pemimpin daerah yang telah terpilih akan peduli terhadap nasib rakyat. Berharap, semoga para pemimpin ingat akan janjij-janji muluk untuk mensejahterakan rakyat.
Lahirnya pemimpin baru dari pesta demokrasi tersebut memunculkan secercah harapan bagi masyarakat di tiga DOB tersebut. Harapan perbaikan infrastruktur, harapan perbaikan pelayanan publik, harapan peningkatan taraf hidup dan harapan peningkatan kesejahteraan yang berkeadilan.
Munculnya harapan yang besar dari masyarakat kepada kepala daerah yang terpilih pada dasarnya tidak lahir di ruang hampa. Setidaknya ada dua alasan besar mengapa muncul harapan tersebut. Pertama, infrastruktur dan fasilitas publik, terutama jalan di tiga DOB tersebut masih kurang memadai. Terlebih kondisi jalan, padahal jalan merupakan sarana mobilitas masyarakat dalam kegiatan perekonomian. Kondisi jalan yang rusak tentunya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Kedua, adanya janji-janji dari para calon kepala daerah sewaktu melakukan kampanye. Janji untuk membangun jalan, janji untuk meng-gratiskna pengurusan surat-surat atau dokumen di kantor Pemerintah Daerah, janji untuk meningkatkan honor guru atau tenaga pendidikan non-formal, janji untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan janji-janji manis lainnya. Janji-janji tersebut meskipun sudah lumrah lebih untuk mengais dukungan dan mengemis simpati, akan tetapi ia telah menjadi landasan atau pertimbangan masyarakat untuk memilih calon tertentu.
Berakhirnya pesta demokrasi, pemilihan kepala daerah, berarti ditabuhnya genderang yang menandai dimulainya kerja keras. Kerja keras untuk mengemban amanah rakyat, kerja keras untuk memenuhi janji-janji sewaktu kampanye. Kerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Medan perjuangan para pemimpin daerah yang sebenarnya bukanlah ketika mereka bertarung dalam pemilihan, akan tetapi saat mereka ditetapkan menjadi kepala daerah. Saat itulah mereka memasuki arena perjuangan yang sesungguhnya. Perjuangan untuk melawan hawa nafsu dan sahwat kekuasaan agar tidak menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan demi kepentingan pribadi, keluarga, kerabat atau kelompok. Perjuangan untuk mendayagunakan segenap Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) daerah demi kemakmuran daerah. Perjuangan mendayagunakan segenap pikiran, tenaga dan waktu untuk bekerja keras demi kesejahteraan rakyat.
Jabatan sebagai Kesempatan dan Tantangan
Bagi para kepala daerah yang terpilih, pada dasarnya amanah kepemimpinan daerah yang mereka dapatkan dari proses demokrasi dengan segala dialektikanya menjadi kesempatan dan sekaligus tantangan. Kesempatan untuk membuktikan diri mereka bahwa mereka mampu memanaje dan mendayagunakan SDM dan SDA untuk kesejahteraan rakyat. Apabila kesempatan ini dapat mereka manfaatkan, niscaya secara otomatis akan menimbulkan rasa cinta dan rasa memiliki yang tinggi (sense of belonging) dari rakyat terhadap pemimpin. Dengan adanya rasa tersebut maka akan menjadi kesempatan baru bagi mereka untuk dipilih kembali pada pemilihan kepala daerah berikutnya. Atau setidaknya mereka mempunyai kans yang tinggi untuk terpilih kembali.
Sebagai tantangan, kepemimpinan daerah juga merupakan sebuah kewenangan di daerah untuk mengambil dan menentukan kebijakan. Tantangan dalam pembuatan kebijakan ini adalah adanya konflik kepentingan (conflict of interest) dengan kekuatan-kekuatan politik yang berada di sekitar kekuasaan daerah. Tantangan lain adalah, pembuktian diri bagi pemimpin daerah bahwa jabatan yang mereka emban tidak dijadikan sebagai sarana untuk mengembalikan modal dalam pencalonannya. Sebagaimana mafhum bahwa pilkada langsung memerlukan ongkos yang cukup tinggi. Tingginya ongkos demokrasi inilah yang terkadang membuat para kepala daerah berlomba-lomba menggunakan jabatannya untuk mencari pegembalian modal melalui proyek-proyek pembangunan daerah.
Setelah pesta demokrasi berakhir, setelah pemimpin terpilih, masyarakat hanya bisa berharap, semoga keberadaan dan eksistensi masyarakat benar-benar diakui setelah pilkada. Pengakuan keberadaan ini akan membuat para pemimpin daerah yang telah terpilih akan peduli terhadap nasib rakyat. Berharap, semoga para pemimpin ingat akan janjij-janji muluk untuk mensejahterakan rakyat.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post Sabtu, 8 Oktober 2011
Label:
ARTIKEL ILMIAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar