Senin, 05 Maret 2012
PENEGAKKAN HUKUM DI NEGRI MAFIA
Oleh: Imam Mustofa
Dosen Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo Metro
Dosen Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo Metro
Indonesia adalah negara hukum. Predikat ini sudah melekat dalam pikiran dan lazim digunakan masyarakat. Secara formal memang demikian. Negara kita mempunyai sistem hukum yang jelas dilengkapi dengan aparat penegak hukum dengan berbagai lembaga hukum yang ada. Namun demikian, keadilan yang merupakan salah satu tujuan hukum belum bisa tegak dan memihak kelompok yang lemah secara ekonomi maupun status sosial. Menegakkan hukum di Negara hukum laksana mengakkan benang yang basah. Hal ini akibat ulah para oknum penegak hukum yang menjadi mafia yang memperjualbelikan keadilan.
Predikat negara hukum menggambarkan bahwa segala sesuatuu berjalan menurut aturan yang jelas; masyarakat yang merupakan warga negara hidup dalam ketertiban, ketenangan, keamanan dan tentunya keadilan. Karena hukum dibuat memang untuk menciptakan kondisi demikian, khususnya keadilan. Namun, dengan sistem hukum, perangkat dan lembaga hukum yang ada, apakah kita sudah melihat tujuan hukum ini tercipta? Maybe yes maybe no!. Yes untuk segelintir orang yang berkuasa dan dapat membeli keadilan; dan no untuk rakyat kecil dan tidak mempunyai uang atau jabatan untuk membelinya.
Menurut Ismail Sunny, sebagaimana dinukil oleh Amir Faisol (2006), Salah satu konsekuensi negara Indonesia sebagai negara hukum maka ada tiga prinsip dasar yang harus dihormati, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum. Kesemuanya harus dijalankan dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum itu sendiri (due process of law). Kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum merupakan menjadi hal yang sangat penting. Namun apabila kita lihat kenyataan di lapangan tidak demikian adanya.
Aparat penegak hukum begitu tegas ketika berhadapan dengan rakyat jelata. Masyarakat kecil yang mencari keadilan sejati, keadilan hakiki yang berangkat dari hati nurani. Akan tetapi ketika mereka berhadapan dengan pihak yang bergelimang harta, atau pejabat tinggi internal instansi maupun instansi lain, mereka seolah lunglai tak berdaya. Mereka mengikuti apa yang dimau oleh pencari selamat dari jeratan hukum tersebut asalkan ada komisi.
Para pelanggar hukum sering bekerja sama dengan penegak hukum untuk lepas dari hukuman atas pelanggaran yang mereka lakukan. Para pengemplang pajak dengan nilai yang cukup tinggi, dengan kekayaan yang dimilikanya dapat dengan mudah lepas dari hukuman atas pelanggaran yang dilakukannya. Para pelaku korupsi dengan hasil korupsinya dapat membeli keadilan dari para mafia hukum atau mafia peradilan. Dengan demikian mereka dengan mudah mereka dapat lolos dari dakwaan dan jeratan hukum serta hukuman yang seharusnya mereka terima atas kejahatan atau pelanggaran yang mereka lakukan. Inilah yang menyebabkan penegakan hukum di Negara kita menjadi sulit.
Kerjasama untuk memperjualbelikan keadilan antara pelanggar hukum dan oknum aparat penegak hukum merupakan simbiosis mutualisme yang nudis yang melukai hati rakyat. Kasus Gayus Tambunan yang meilbatkan beberapa pihak seperti Syahril Djohan dan beberapa lembaga penegak hukum seperti kepolisisan, kejaksaan dan bakan konsultan merupakan bukti nyata akan adanya simbiosis mutualisme yang nudis ini. Kasus ini juga menguak adanya praktik jual beli hukum dan keadilan yang dilakukan para mafia. Kasus ini semakin menghempaskan kepercayaan masyarakat kepada lembaga penegak hukum.
Akibat ulah para mafia hukum atau makelar kasus, dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum menjadi begitu sulit dan kompleks. Ia akan menjadi mudah kalau ada uang. Keadilan menjadi sesuatu yang langka dan sulit ditemukan. Kalaulah ada harus dibeli dengan harga yang cukup mahal. Maka tidak heran yang dapat menikmati keadilan hanyalah segelintir orang di negara hukum ini, yaitu orang-orang yang mempunyai cukup uang untuk membelinya.
Bagaimana para aparat penegak hukum yang merupakan panglima penegak keadilan malah menggerogoti pilar-pilar penopang dan penegak keadilan. Siapa lagi yang dapat dipercaya untuk mengemban amanah suci menegakkan keadilan yang merupakan nilai universal dambaan setiap insan di muka bumi ini.
Kepercayaan masyarakat kepada lembaga-lembaga penegak hukum seolah sudah hilang. Bahkan nampaknya pemerintah sendiri juga sudah tidak percaya. Maka sangat wajar apabila dibentuk Komisi Yudisial yang bertugas mengawasi dan menindak hakim-hakim nakal. Selain itu juga dibentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Satgas bentukan pemerintahan SBY ini diharapkan dapat memberantas praktek mafia peradilan yang bercokol di lembaga-lembaga penegak hukum. Kalau ini berhasil dilakukan, maka akan merupakan prestasi besar pemerintahan SBY dan akan memberikan secercah harapan bagi masyarakat untuk dapat mencari keadilan dengan mudah. Selain itu juga akan menjadi lembaran baru bagi proses penegakan hukum di Indonesia.
Penegakan hukum yang sering juga disebut law enforcement, tidak hanya proses prosedural semata. Keadilan yang dikehendaki dalam proses penegakan hukum bukanhanya keadilan procedural (procedural justice) akan tetapi juga keadilan substansial (substantial justice). Keadilan substansial ini bisa tercipta kalau dalam proses penegakkan hukum melibatkan moral yang merupakan bagian integral di hukum itu sendiri.
Menurut Soerjono Soekanto (1983) setidaknya ada lima faktor dalam proses penegakanhuku, yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukumnya, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan. Kelima faktor ini saling berkaitan.
Dari kelima faktor di atas, menurut penulis, faktor yang paling berpengaruh adalah faktor kebudayaan (culture). Kalau budaya yang dibangun di lembaga penegak hukum adalah budaya kejujuran, budaya mengikuti nurani dan menjunjung nilai-nilai moral yang menjadi ruh dari aturan hukum, maka keadilan akan mudah ditegakkan. Akan tetapi kalu budaya yang di bangun adalah budaya untuk mencari keuntungan materi semata tanpa mau mendengarkan nurani dan menafikan nilai moral hukum, maka keadilan menjadi barang yang langka. Proses penegakkan hukum hanya akan mereduksi nilai-nilai moral hukum.
Predikat negara hukum menggambarkan bahwa segala sesuatuu berjalan menurut aturan yang jelas; masyarakat yang merupakan warga negara hidup dalam ketertiban, ketenangan, keamanan dan tentunya keadilan. Karena hukum dibuat memang untuk menciptakan kondisi demikian, khususnya keadilan. Namun, dengan sistem hukum, perangkat dan lembaga hukum yang ada, apakah kita sudah melihat tujuan hukum ini tercipta? Maybe yes maybe no!. Yes untuk segelintir orang yang berkuasa dan dapat membeli keadilan; dan no untuk rakyat kecil dan tidak mempunyai uang atau jabatan untuk membelinya.
Menurut Ismail Sunny, sebagaimana dinukil oleh Amir Faisol (2006), Salah satu konsekuensi negara Indonesia sebagai negara hukum maka ada tiga prinsip dasar yang harus dihormati, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum. Kesemuanya harus dijalankan dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum itu sendiri (due process of law). Kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum merupakan menjadi hal yang sangat penting. Namun apabila kita lihat kenyataan di lapangan tidak demikian adanya.
Aparat penegak hukum begitu tegas ketika berhadapan dengan rakyat jelata. Masyarakat kecil yang mencari keadilan sejati, keadilan hakiki yang berangkat dari hati nurani. Akan tetapi ketika mereka berhadapan dengan pihak yang bergelimang harta, atau pejabat tinggi internal instansi maupun instansi lain, mereka seolah lunglai tak berdaya. Mereka mengikuti apa yang dimau oleh pencari selamat dari jeratan hukum tersebut asalkan ada komisi.
Para pelanggar hukum sering bekerja sama dengan penegak hukum untuk lepas dari hukuman atas pelanggaran yang mereka lakukan. Para pengemplang pajak dengan nilai yang cukup tinggi, dengan kekayaan yang dimilikanya dapat dengan mudah lepas dari hukuman atas pelanggaran yang dilakukannya. Para pelaku korupsi dengan hasil korupsinya dapat membeli keadilan dari para mafia hukum atau mafia peradilan. Dengan demikian mereka dengan mudah mereka dapat lolos dari dakwaan dan jeratan hukum serta hukuman yang seharusnya mereka terima atas kejahatan atau pelanggaran yang mereka lakukan. Inilah yang menyebabkan penegakan hukum di Negara kita menjadi sulit.
Kerjasama untuk memperjualbelikan keadilan antara pelanggar hukum dan oknum aparat penegak hukum merupakan simbiosis mutualisme yang nudis yang melukai hati rakyat. Kasus Gayus Tambunan yang meilbatkan beberapa pihak seperti Syahril Djohan dan beberapa lembaga penegak hukum seperti kepolisisan, kejaksaan dan bakan konsultan merupakan bukti nyata akan adanya simbiosis mutualisme yang nudis ini. Kasus ini juga menguak adanya praktik jual beli hukum dan keadilan yang dilakukan para mafia. Kasus ini semakin menghempaskan kepercayaan masyarakat kepada lembaga penegak hukum.
Akibat ulah para mafia hukum atau makelar kasus, dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum menjadi begitu sulit dan kompleks. Ia akan menjadi mudah kalau ada uang. Keadilan menjadi sesuatu yang langka dan sulit ditemukan. Kalaulah ada harus dibeli dengan harga yang cukup mahal. Maka tidak heran yang dapat menikmati keadilan hanyalah segelintir orang di negara hukum ini, yaitu orang-orang yang mempunyai cukup uang untuk membelinya.
Bagaimana para aparat penegak hukum yang merupakan panglima penegak keadilan malah menggerogoti pilar-pilar penopang dan penegak keadilan. Siapa lagi yang dapat dipercaya untuk mengemban amanah suci menegakkan keadilan yang merupakan nilai universal dambaan setiap insan di muka bumi ini.
Kepercayaan masyarakat kepada lembaga-lembaga penegak hukum seolah sudah hilang. Bahkan nampaknya pemerintah sendiri juga sudah tidak percaya. Maka sangat wajar apabila dibentuk Komisi Yudisial yang bertugas mengawasi dan menindak hakim-hakim nakal. Selain itu juga dibentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Satgas bentukan pemerintahan SBY ini diharapkan dapat memberantas praktek mafia peradilan yang bercokol di lembaga-lembaga penegak hukum. Kalau ini berhasil dilakukan, maka akan merupakan prestasi besar pemerintahan SBY dan akan memberikan secercah harapan bagi masyarakat untuk dapat mencari keadilan dengan mudah. Selain itu juga akan menjadi lembaran baru bagi proses penegakan hukum di Indonesia.
Penegakan hukum yang sering juga disebut law enforcement, tidak hanya proses prosedural semata. Keadilan yang dikehendaki dalam proses penegakan hukum bukanhanya keadilan procedural (procedural justice) akan tetapi juga keadilan substansial (substantial justice). Keadilan substansial ini bisa tercipta kalau dalam proses penegakkan hukum melibatkan moral yang merupakan bagian integral di hukum itu sendiri.
Menurut Soerjono Soekanto (1983) setidaknya ada lima faktor dalam proses penegakanhuku, yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukumnya, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan. Kelima faktor ini saling berkaitan.
Dari kelima faktor di atas, menurut penulis, faktor yang paling berpengaruh adalah faktor kebudayaan (culture). Kalau budaya yang dibangun di lembaga penegak hukum adalah budaya kejujuran, budaya mengikuti nurani dan menjunjung nilai-nilai moral yang menjadi ruh dari aturan hukum, maka keadilan akan mudah ditegakkan. Akan tetapi kalu budaya yang di bangun adalah budaya untuk mencari keuntungan materi semata tanpa mau mendengarkan nurani dan menafikan nilai moral hukum, maka keadilan menjadi barang yang langka. Proses penegakkan hukum hanya akan mereduksi nilai-nilai moral hukum.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post Selasa, 20 April 2010
Label:
ARTIKEL ILMIAH,
HUKUM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar