Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 05 Maret 2012

PARADOKS NEGARA HUKUM


Oleh: Imam Mustofa
(Dosen STAIN Jurai Siwo Metro-Lampung)

Penanganan kasus-kasus besar yang berujung pada ketidakjelasan dan tidak tercapainya keadilan menjadi paradoks di Negara hukum Indonesia. Sekedar contoh, kasus penggelapan dana BLBI, kasus korupsi di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), skandal Bank Century, kasus rekening jumbo sebagian perwira polisi dan kasus-kasus lain yang semakin hari semakin redup dan akhirnya lenyap tanpa jejak. Kasus-kasus hukum tersebut berakhir tanpa tercapainya tujuan penegakan hukum, yaitu terwujudnya keadilan.
Kejadian terbaru yang menjadi paradoks di Negara hukum dan menginjak-injak lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia adalah proses penanganan kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Halomoan Partanahan Tambunan. Meskpiun Gayus telah ditetapkan menjadi tersangka dan menjalani penahanan, namun dengan kekuatan uang dan jaringan mafia yang dimilikinya, dengan mudah ia melenggang keluar tahanan, kapan dan kemana dia mau. Bahkan dengan mudah Gayus bisa plesir ke luar negeri. Bukan hanya itu, kasus joki narapidana yang terjadi di Lapas Bonjonegoro, Jawa Timur menguatkan bahwa betapa uang dapat menumbangkan kekuasaan dan kekuatan hukum sebagai panglima di Negara hukum. Hukum dan segala perangkat penegakannya memang ada, tetapi kekuasaan dan kekuatan tertinggi masih di tangan pemilik uang.
Negara hukum simbolik
Idealnya, sebagai Negara hukum, sudah seharusnya hukumlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi (supremacy of law) dan bukan ditentukan oleh uang (supremacy of money). Selain itu, sebagai warga Negara, tanpa memandang jabatan, kekuasaan dan materi yang dimiliki, masyarakat harus sadar dan taat hukum. Semua mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Penegak hukum harus menjadi panutan masyarakat dalam hal kesadaran dan ketaatan terhadap hukum. Dan hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
Nampaknya supremasi dan kedudukan yang sama di hadapan hukum hanya sekedar slogan tanpa substansi. Negara hukum hanya sekedar simbol yang menunjukkan bahwa di Indonesia memang ada perangkat hukum (legal framework) yang jelas, ada aturan hukum, ada lembaga hukum dan aparat penegak hukum. Akan tetapi keadilan tidak selalu ada, kebenaran tidak selalu menang.
Apa yang tercatat hanyalah teori di atas kertas dan idealitas yang seolah hanya sekedar angan. Realitas berbicara lain. Telah banyak oknum penegak hukum dan aparatur negara malah menjadi "Guru Besar" pelanggaran dan penghianatan terhadap hukum dan keadilan. Lembaga-lembaga penegak hukum malah seolah menjadi sarang mafia hukum, menjadi "grosir" keadilan. Hukum dan keadilan dijadikan komoditi yang dapat diperjualbelikan. Penanganan kasus besar dijadikan daya tawar (bargaining) untuk mendapatkan keuntungan materi jabatan dan kekuasaan tertentu dengan mengabaikan kepentingan dan tanpa mempedulikan kerugian Negara. Hal ini dilakukan secara santai tanpa mempedulikan kredibilitas lembaga dan martabat bangsa.
Oknum penegak hukum dapat dengan mudah melakukan transaksi nudis dan simbisosis mutualistis dengan para pelanggar hukum. Hal ini demi kebebasan pelaku kejahatan dan demi keuntungan pragmatis matereal oknum penegak hukum. Hukum selaksa bersimpuh dihadapan uang, ia luluh lunglai berhadapan dengan kekuasaan. Sebagian oknum penegak hukum bak kerbau dicocok hidung, menuruti apa saja yang menjadi keinginan terdakwa, tersangka bahkan terpidana yang mempunyai pundi-pundi uang.
Rekayasa dan pemalsuan cukup mudah dilakukan, dan semua bisa dipalsukan. Tuntutan bisa palsu, terpidana bisa palsu, Ijazah bisa palsu, sertifikat palsu, paspor palsu, janji palsu dan kepalsuan-kepalsuan yang menunjukkan paradoks dan ironi predikat Negara hukum Indonesia.
Episode-episode penegakan hukum dengan praktik konyol yang penuh trik dan intrik tidaklah terjadi dengan kebetulan (accidental) tetapi memang disengaja (by design). Sekenario dan setting telah dibuat oleh sang sutradara bersama kru mafia yang sudah menggurita. Tidak hanya melibatkan penegak hukum, akan tetapi oknum-oknum dari berbagai instansi yang bernafsu mendapatkan materi secara instan.
Lembaga pengawas hakim telah dibentuk, satgas pemberantasan mafia hukum telah bekerja, evaluasi dan retorika-retorika perbaikan telah sering disampaikan, sering ditulis dan dibahas dalam berbagai diskusi dan pertemuan ilmiah. Namun mental dan perilaku penegak hukum serta kultur birokrasi yang koruptif seolah sudah melekat, sehingga perbaikan belum begitu tampak dan berdampak signifikan. Hukum belum sepenuhnya membela kebenaran, dan keadilan belum selalu tercapai. Negara hukum belum sepenuhnya membumi. Mau dibawa kemana bangsa ini?

Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post Senin, 17 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar