Senin, 05 Maret 2012
NU, PESANTREN DAN POLITIK KEBANGSAAN
Oleh: Imam Mustofa
(Kader NU, Alumni Ponpes Hidayatul Mubtadiin Adiluwih, Pringsewu)
(Kader NU, Alumni Ponpes Hidayatul Mubtadiin Adiluwih, Pringsewu)
"Islam itu agama yang besar. Indonesia negara yang Besar. NU bertugas menjaga, melestarikan dan memurnikan kebesaran Islam dan kebesaran Indonesia." Demikian ungkapan yang disampaikan Prof. Dr. KH. Sa'id Aqil Siradj saat menyampaikan taushiyah di Pondok Pesantren Daarus Salamah Braja Dewa Way Jepara, Lampung Timur tahun 2008 silam.
Bila kita cerna secara mendalam, ungkapan Profesor yang kini menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut kita akan menangkap pesan bahwa tugas NU, baik secara jam'iyyah (organisasi atau kelembagaan) maupun jamaah (personal) sangat besar dan berat. Tugas tersebut adalah mengawal dan mengembangkan kebesaran Islam di negara besar Indonesia.
NU bertugas membumikan Islam yang secara formal dipeluk oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tugas NU memproyeksikan dan mentransformasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Membumikan Islam dalam konteks dakwah perjuangan NU tanpa harus merelokasi atau bahkan menggerus nilai-nilai kultural yang tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Karena nilai-nilai kultural, kearifan (local wisdom), dan keunikan lokal (local genius) yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat banyak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, seperti tolong-menolong, gotong-royong, kebersamaan, bersedekah dengan berkumpul mengundang sanak saudara dan tetangga dan sebagainya. NU berkewajiban memasukkan nilai-nilai moral-spiritual Islam kedalam nilai kulutral masyarakat.
Perjuangan dalam mengembangkan dakwah Islamiyah, agar ia berjalan efektif, maksimal dan optimal tentunya membutuhkan strategi. Srategi ini ditempuh dan dikembangkan melalui berbagai lini, termasuk politik. Politik dalam konteks perjuangan NU adalah politik dakwah dan politik kebangsaan, bukan politik prkatis untuk mencari kemenangan dan kepuasan syahwat kekuasaan dan jabatan. Namun demikian, tidak jarang NU secara jam'iyah (terlebih dalam skala kecil seperti PCNU), apalagi jamaahnya terjebak dalam tarik ulur kepentingan politik, terjerembab dalam arus kepentingan demi kekuasaan, jabatan dan prestise.
Tidak jarang kader NU mendompleng NU demi untuk mendulang dukungan dan mengais simpati agar terpilih untuk menduduki jabatan tertentu. Menggunakan nama NU dan mengatasnamakan NU untuk kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok. Kader atau jamaah NU yang demikian sesungguhnya ia telah ber-NU untuk politik. Artinya, ia menggunakan institusi dan mengeksploitasi jamaah NU untuk memenuhi kepentingan politik pribadinya atau kelompok tertentu.
Tindakan di atas tentunya berlawanan dan mereduksi khittah politik NU yang menekankan pada politik dakwah dan kebangsaan. Bukan politik kelompok atau golongan tertentu, terlebih untuk individu. Politik kebangsaan lebih mengutamakan kepentingan bersama, menjaga kebersamaan dan kebesaran bangsa Indonesia dan Agama Islam. Politik kebangsaan yang menumbuhkembangkan kerukunan, perdamaian, keadilan, ketenteraman dan kesejahteraan dalam bingkai multikulturalisme dan multikeyakinan dengan prinsip kekeluargaan dan persaudaraan.
Politik kebangsaan yang dikembangkan NU tidak bisa dilepaskan dari dunia pesantren. Bahkan ketua umum PBNU, S'aid Aqil Siradj mempopulerkan jargon back to pesantren (kembali ke pesantren). Pesantren merupakan basic pertumbuhan dan perkembangan kultur NU, dan diakui atau tidak, pada dasarnya kebesaran NU lebih pada kekuatan kulturnya daripada strukturnya.
Back to pesantren berarti menumbuhkembangkan kembali pola fikir, pandangan dan cara hidup dunia pesantren yang kental dengan nilai-nilai spiritualitas, moralitas, kebersamaan, keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian penuh hikmah dan kebijaksanaan. Artinya, pola dakwah dan perjuangan NU harus memegangi spirit tersebut dan jangan terjebak dan terbawa arus globalisasi yang lekat dan sarat dengan nilai-nilai elitis, hedonis yang kental dengan budaya konsumerisme. Karena nampaknya ada pergeseran pola fikir dan gaya hidup sebagian jamaah NU kearah pola elitis, materealis dan jauh dari nilai-nilai kesederhanaan dan keikhlasan.
Pesantren-pesantren NU, melalui Kiyai, ulama dan santri telah sukses mensinergikan budaya dan agama. Ini terbukti dengan tersebarnya dakwah dan nilai perjuangan NU ke seluruh pelosok dan penjuru nusantara, bahkan mendunia. Pesantrenlah yang menjadi pilar penopang dakwah NU. Moralitas dan misi pesantren bersandar pada citra ilahi yang menekankan pengabdian dan keihlasan yang berorientasi pada dimensi esoterik yang bersifat metafisik. Inilah yang seharusnya terus dipegangi NU, baik jam'iyah maupun jamaah.
Dakwah dan politik kebangsaan NU tidak terbatas oleh kepentingan, tempat dan waktu. Dakwah untuk memperjuangkan dan membangun kecerdasan emosional, intelektual, spiritual dan sosial umat dan bangsa demi terciptanya masyarakat yang adil, damai, sejahtera dalam bingkai multikulturalisme Bangsa Indonesia.
Bila kita cerna secara mendalam, ungkapan Profesor yang kini menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut kita akan menangkap pesan bahwa tugas NU, baik secara jam'iyyah (organisasi atau kelembagaan) maupun jamaah (personal) sangat besar dan berat. Tugas tersebut adalah mengawal dan mengembangkan kebesaran Islam di negara besar Indonesia.
NU bertugas membumikan Islam yang secara formal dipeluk oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tugas NU memproyeksikan dan mentransformasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Membumikan Islam dalam konteks dakwah perjuangan NU tanpa harus merelokasi atau bahkan menggerus nilai-nilai kultural yang tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Karena nilai-nilai kultural, kearifan (local wisdom), dan keunikan lokal (local genius) yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat banyak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, seperti tolong-menolong, gotong-royong, kebersamaan, bersedekah dengan berkumpul mengundang sanak saudara dan tetangga dan sebagainya. NU berkewajiban memasukkan nilai-nilai moral-spiritual Islam kedalam nilai kulutral masyarakat.
Perjuangan dalam mengembangkan dakwah Islamiyah, agar ia berjalan efektif, maksimal dan optimal tentunya membutuhkan strategi. Srategi ini ditempuh dan dikembangkan melalui berbagai lini, termasuk politik. Politik dalam konteks perjuangan NU adalah politik dakwah dan politik kebangsaan, bukan politik prkatis untuk mencari kemenangan dan kepuasan syahwat kekuasaan dan jabatan. Namun demikian, tidak jarang NU secara jam'iyah (terlebih dalam skala kecil seperti PCNU), apalagi jamaahnya terjebak dalam tarik ulur kepentingan politik, terjerembab dalam arus kepentingan demi kekuasaan, jabatan dan prestise.
Tidak jarang kader NU mendompleng NU demi untuk mendulang dukungan dan mengais simpati agar terpilih untuk menduduki jabatan tertentu. Menggunakan nama NU dan mengatasnamakan NU untuk kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok. Kader atau jamaah NU yang demikian sesungguhnya ia telah ber-NU untuk politik. Artinya, ia menggunakan institusi dan mengeksploitasi jamaah NU untuk memenuhi kepentingan politik pribadinya atau kelompok tertentu.
Tindakan di atas tentunya berlawanan dan mereduksi khittah politik NU yang menekankan pada politik dakwah dan kebangsaan. Bukan politik kelompok atau golongan tertentu, terlebih untuk individu. Politik kebangsaan lebih mengutamakan kepentingan bersama, menjaga kebersamaan dan kebesaran bangsa Indonesia dan Agama Islam. Politik kebangsaan yang menumbuhkembangkan kerukunan, perdamaian, keadilan, ketenteraman dan kesejahteraan dalam bingkai multikulturalisme dan multikeyakinan dengan prinsip kekeluargaan dan persaudaraan.
Politik kebangsaan yang dikembangkan NU tidak bisa dilepaskan dari dunia pesantren. Bahkan ketua umum PBNU, S'aid Aqil Siradj mempopulerkan jargon back to pesantren (kembali ke pesantren). Pesantren merupakan basic pertumbuhan dan perkembangan kultur NU, dan diakui atau tidak, pada dasarnya kebesaran NU lebih pada kekuatan kulturnya daripada strukturnya.
Back to pesantren berarti menumbuhkembangkan kembali pola fikir, pandangan dan cara hidup dunia pesantren yang kental dengan nilai-nilai spiritualitas, moralitas, kebersamaan, keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian penuh hikmah dan kebijaksanaan. Artinya, pola dakwah dan perjuangan NU harus memegangi spirit tersebut dan jangan terjebak dan terbawa arus globalisasi yang lekat dan sarat dengan nilai-nilai elitis, hedonis yang kental dengan budaya konsumerisme. Karena nampaknya ada pergeseran pola fikir dan gaya hidup sebagian jamaah NU kearah pola elitis, materealis dan jauh dari nilai-nilai kesederhanaan dan keikhlasan.
Pesantren-pesantren NU, melalui Kiyai, ulama dan santri telah sukses mensinergikan budaya dan agama. Ini terbukti dengan tersebarnya dakwah dan nilai perjuangan NU ke seluruh pelosok dan penjuru nusantara, bahkan mendunia. Pesantrenlah yang menjadi pilar penopang dakwah NU. Moralitas dan misi pesantren bersandar pada citra ilahi yang menekankan pengabdian dan keihlasan yang berorientasi pada dimensi esoterik yang bersifat metafisik. Inilah yang seharusnya terus dipegangi NU, baik jam'iyah maupun jamaah.
Dakwah dan politik kebangsaan NU tidak terbatas oleh kepentingan, tempat dan waktu. Dakwah untuk memperjuangkan dan membangun kecerdasan emosional, intelektual, spiritual dan sosial umat dan bangsa demi terciptanya masyarakat yang adil, damai, sejahtera dalam bingkai multikulturalisme Bangsa Indonesia.
Artikel ini telah diterbitkan Radar Lampung Senin, Sabtu, 30 Juli 2011
Label:
ARTIKEL ILMIAH,
PESANTREN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar