Senin, 05 Maret 2012
MENJADI UMAT MODERAT
Oleh: Imam Mustofa
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia)
Kehidupan dan kerukunan umat beragama akhir-akhir ini mengalami permasalahan. Sikap-sikap intoleransi dan perilaku yang tidak menghargai persaan pemeluk agama ditunjukkan oleh sebagian kalangan yang juga mengaku sebagai pemeluk agama. Dalam konteks global, hal ini ditunjukkan dengan publikasi karikatur nabi Muhammad saw, pembuatan film Fitna oleh Gertz Wilder, dan yang terbaru adalah pemabakaran Al-Quran oleh dua orang pendukung Pendeta Terry Jones (Pendeta sebuah gereja kecil di Florida AS), Pendeta Bob Old dan Pendeta Danny Allen. Pembakaran Alquran tersebut dilakukan pada acara peringatan tragedi runtuhnya doble WTC 11 September 2010 yang lalu.
Fenomena kehidupan beragama di Indonesia saat ini juga nampaknya tidak jauh berbeda dengan hal di atas. Mulai dari tuntutan pembubaran jamaah ahmadiyah karena dianggap sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Peristiwa yang mengusik kerukunan hidup umat beragama yang terakhir adalah kasus penusukan jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Kampung Ciketing, Bekasi. Kasus ini menuai tanggapan dan reaksi dari berbagai kalangan sampai Presiden SBY juga angkat bicara sebagai antisipasi terhadap timbulnya konflik yang mengatasnamakan agama akibat peristiwa tersebut.
Agama secara sosiologis memang sangat sensitif terhadap konflik. Hal ini karena adanya solidaritas dan ikatan emosional yang kuat sesama umat beragama. Merujuk pada teori Emile Durkheim (1912), bahwa dalam hubungan antar umat beragama dan emosi keagamaan, akan terbentuk ikatan dan solidaritas yang kuat. Hal ini terjadi mengingat emosi keagamaan merupakan dasar ikatan primer dalam komunitas masyarakat dan menjadi sumber dari sentimen kemasyarakatan, dimana kesadaran tentang hubungan tersebut menjadi ikatan paling kuat dan paling mudah disinggung dan dilukai. Inilah yang menyebabkan umat beragama mudah tersulut dan akhirnya menimbulkan konflik yang mengatasnamakan agama.
Berbagai permasalahan terusiknya kehidupan dan kerukunan umat beragama di atas perlu disikapi dengan dewasa. Perlu sikap kedewasaan dalam beragama dan memahami fenomena sosiologis dinamika kehidupan umat beragama. Dalam hal ini pada dasarnya Alquran telah memberikan pelajaran dan ajaran tentang perlunya menjaga kerukunan umat beragama. Alquran mengajarkan toleransi, menjaga dan menjamin hak-hak umat beribadah umat beragama (QS, al-Kafirun: 6 dan Al-Baqarah: 256). Alquran menuntut umatnya untuk menjadi umat yang moderat (ummatan wasathan). Sikap moderat akan menimbulkan sikap toleransi dan menghargai antaraumat beragama.
Al-Quran sebagai kitab petunjuk telah memberikan predikat umat moderat, predikat yang cukup ideal kepada umat Nabi Muhammad saw. Predikat ini diungkapkan di dalam surat Al-Baqarah ayat 143: "Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu."
Konsep dan ajaran umat moderat dan toleran juga telah diajarkan dan diparktekkan langsung oleh nabi Muhammad saw dalam membangun piramida kerukunan umat masyarakat Madinah. Kehidupan kerukunan umat beragama dilindungi dengan sebuah konstitusi yang disebut dengan Piagam Madinah. Piagam ini memberikan perlindungan dan jaminan kebebasan beragama dalam konstruk politik heterogenitas umat beragama dan suku di Madinah saat itu.
Nabi Muhammad menyebut komunitas dengan berbagai latar belakang agama, suku dan darah tersebut dengan sebutan "ummah". Dengan sebutan ini maka akan mempererat rajutan benang persaudaran dalam konteks kemanusiaan (ukhuwah Insaniyah). Masyarakat yang bersatu, hidup dalam kedamaian dan kebersamaan tanpa memandang perbedaan latar belakang.
Setidaknya sikap moderat dan toleran, tidak bertindak keras dan juga tidak loyo dan menyerah dengan stigma negatif terhadap Islam telah ditunjukkan oleh umat Islam, saat ini. Munculnya isu terorisme telah menjadi pelajaran berharga untuk menumbuhkembangkan sikap ini. Ketika isu ini muncul dengan tegas dan lantang umat Islam dari berbagai latar belakang, terutama kaum intelektual muslim menjelaskan bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan, apalagi teror. Dengan sigap mereka mengajak kalangan yang menuduh Islam sebagai agama teror (khususnya ilmuan-ilmuan Barat) untuk berdiskusi dan mengadakan diaolog peradaban antara Islam dan Barat.
Isu terorisme, meskipun telah nyata sangat merugikan sebagian besar umat Islam tetap dihadapi dengan sikap bijaksana, tenang dan tetap rasional. Islam tidak keras dan arogan (QS Yunus 99), pun juga tidak loyo dan mudah menyerah (QS Al-Syu'ara': 30. Islam mengajarkan sikap moderat (QS Al-Baqarah: 256).
Ajaran al-Quran dan pengalaman historis masyarakat madinah yang hidup dalam kerukunan dan kebersamaan dalam bingkai konstitusi piagam madinah menjadi pelajaran untuk menumbuhkembangkan sikap moderat dalam rangka menjaga kehidupan umat yang toleran. Terlebih dengan adanya isu terorisme yang menimbulkan perilaku intoleran dari umat dan telah nyata-nyata mendeskriditkan umat Islam hendaknya dijadikan momentum untuk meningkatkan sikap moderat dan toleran. Namun demikian bukan berarti loyo dan diam ketika diperlakukan tidak adil. Moderat berarti tidak keras dan juga tidak loyo. Tidak tinggal diam dan tetap tegas dengan sikap yang rasional dan dewasa dalam menjalani kehidupan beragama dalam bingkai pluralitas.
Fenomena kehidupan beragama di Indonesia saat ini juga nampaknya tidak jauh berbeda dengan hal di atas. Mulai dari tuntutan pembubaran jamaah ahmadiyah karena dianggap sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Peristiwa yang mengusik kerukunan hidup umat beragama yang terakhir adalah kasus penusukan jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Kampung Ciketing, Bekasi. Kasus ini menuai tanggapan dan reaksi dari berbagai kalangan sampai Presiden SBY juga angkat bicara sebagai antisipasi terhadap timbulnya konflik yang mengatasnamakan agama akibat peristiwa tersebut.
Agama secara sosiologis memang sangat sensitif terhadap konflik. Hal ini karena adanya solidaritas dan ikatan emosional yang kuat sesama umat beragama. Merujuk pada teori Emile Durkheim (1912), bahwa dalam hubungan antar umat beragama dan emosi keagamaan, akan terbentuk ikatan dan solidaritas yang kuat. Hal ini terjadi mengingat emosi keagamaan merupakan dasar ikatan primer dalam komunitas masyarakat dan menjadi sumber dari sentimen kemasyarakatan, dimana kesadaran tentang hubungan tersebut menjadi ikatan paling kuat dan paling mudah disinggung dan dilukai. Inilah yang menyebabkan umat beragama mudah tersulut dan akhirnya menimbulkan konflik yang mengatasnamakan agama.
Berbagai permasalahan terusiknya kehidupan dan kerukunan umat beragama di atas perlu disikapi dengan dewasa. Perlu sikap kedewasaan dalam beragama dan memahami fenomena sosiologis dinamika kehidupan umat beragama. Dalam hal ini pada dasarnya Alquran telah memberikan pelajaran dan ajaran tentang perlunya menjaga kerukunan umat beragama. Alquran mengajarkan toleransi, menjaga dan menjamin hak-hak umat beribadah umat beragama (QS, al-Kafirun: 6 dan Al-Baqarah: 256). Alquran menuntut umatnya untuk menjadi umat yang moderat (ummatan wasathan). Sikap moderat akan menimbulkan sikap toleransi dan menghargai antaraumat beragama.
Al-Quran sebagai kitab petunjuk telah memberikan predikat umat moderat, predikat yang cukup ideal kepada umat Nabi Muhammad saw. Predikat ini diungkapkan di dalam surat Al-Baqarah ayat 143: "Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu."
Konsep dan ajaran umat moderat dan toleran juga telah diajarkan dan diparktekkan langsung oleh nabi Muhammad saw dalam membangun piramida kerukunan umat masyarakat Madinah. Kehidupan kerukunan umat beragama dilindungi dengan sebuah konstitusi yang disebut dengan Piagam Madinah. Piagam ini memberikan perlindungan dan jaminan kebebasan beragama dalam konstruk politik heterogenitas umat beragama dan suku di Madinah saat itu.
Nabi Muhammad menyebut komunitas dengan berbagai latar belakang agama, suku dan darah tersebut dengan sebutan "ummah". Dengan sebutan ini maka akan mempererat rajutan benang persaudaran dalam konteks kemanusiaan (ukhuwah Insaniyah). Masyarakat yang bersatu, hidup dalam kedamaian dan kebersamaan tanpa memandang perbedaan latar belakang.
Setidaknya sikap moderat dan toleran, tidak bertindak keras dan juga tidak loyo dan menyerah dengan stigma negatif terhadap Islam telah ditunjukkan oleh umat Islam, saat ini. Munculnya isu terorisme telah menjadi pelajaran berharga untuk menumbuhkembangkan sikap ini. Ketika isu ini muncul dengan tegas dan lantang umat Islam dari berbagai latar belakang, terutama kaum intelektual muslim menjelaskan bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan, apalagi teror. Dengan sigap mereka mengajak kalangan yang menuduh Islam sebagai agama teror (khususnya ilmuan-ilmuan Barat) untuk berdiskusi dan mengadakan diaolog peradaban antara Islam dan Barat.
Isu terorisme, meskipun telah nyata sangat merugikan sebagian besar umat Islam tetap dihadapi dengan sikap bijaksana, tenang dan tetap rasional. Islam tidak keras dan arogan (QS Yunus 99), pun juga tidak loyo dan mudah menyerah (QS Al-Syu'ara': 30. Islam mengajarkan sikap moderat (QS Al-Baqarah: 256).
Ajaran al-Quran dan pengalaman historis masyarakat madinah yang hidup dalam kerukunan dan kebersamaan dalam bingkai konstitusi piagam madinah menjadi pelajaran untuk menumbuhkembangkan sikap moderat dalam rangka menjaga kehidupan umat yang toleran. Terlebih dengan adanya isu terorisme yang menimbulkan perilaku intoleran dari umat dan telah nyata-nyata mendeskriditkan umat Islam hendaknya dijadikan momentum untuk meningkatkan sikap moderat dan toleran. Namun demikian bukan berarti loyo dan diam ketika diperlakukan tidak adil. Moderat berarti tidak keras dan juga tidak loyo. Tidak tinggal diam dan tetap tegas dengan sikap yang rasional dan dewasa dalam menjalani kehidupan beragama dalam bingkai pluralitas.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post Rabu, 22 September 2010
Label:
ARTIKEL ILMIAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar