Senin, 05 Maret 2012
MENEGAKKAN ETIKA PENEGAK HUKUM
Oleh: Imam Mustofa
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (IKAPPUII)
Beberapa tahun terakhir, banyak kasus yang melibatkan aparat penegak hukum terungkap. Sebagai contoh, kasus suap yang melibatkan Jaksa Urip Tri Gunawan; kasus mafia hukum dan mafia kasus yang melibatkan oknum dari kepolisian, dugaan rekening jumbo dari perwira polisi, dan yang terbaru adalah kasus dugaan suap yang melibatkan hakim Mahkamah Konstitusi MK.
Berbagai kasus tersebut sangat menghentak masyarakat. Bagaimana tidak, seorang aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi contoh bagi masayarakat dalam hal kesadaran dan ketaatan hukum malah melakukan praktik pemerasan, suap, jual beli kasus dan hal lain yang mereduksi tujuan hukum, yaitu terwujudnya keadilan. Bukan hanya itu, kejahatan aparat penegak hukum tersebut juga menghempaskan kepercayaan masyarakat kepada mereka dan lembaga penegak hukum.
Reformasi birokrasi yang didengung-dengungkan setiap pergantian pemerintahan atau pejabat laksana irama tanpa tarian. Setiap ada kasus yang menerpa aparat lembaga penegak hukum tertentu atau pergantian pejabat tinggi di lembaga pemerintah selalau menjadi ajang untuk mengucapkan sumpah jabatan dan janji perbaikan.
Tapi sumpah hanya sekedar sumpah, janji hanyan sekedar janji. Pergantian dan sumpah jabatan seorang pejabat hanya sebuah seremonial belaka yang tanpa makna dan perubahan. Ia dibiarkan berlalu begitu saja. Jargon reformasi birokrasi hanya nyanyain pejabat baru tanpa ada follow up yang berdampak signifikan pada mental dan pola kerja mereka, khususnya aparat penegak hukum. Bahkan aroma korupsi dan suap selalu tercium hampir di setiap birokrasi, dari pusat sampai daerah.
Standar etika dan moral para penegak hukum bahkan cenderung menurun. Mereka menjadi kurang responsif terhadap berbagai permasalahan bangsa dan penyait sosial yang kian hari semakin menjadi. Korupsi yang seharunya diproses secara hukum demi mewujudkan keadilan tidak jarang malah melahirkan kejahatan baru berupa pemerasan, penyuapan dan jual beli kasus. Kesadaran dan ketatan hukum penegak hukum nampaknya semakin memudar.
Seorang penegak hukum seharusnya sadar dan taat terhadap hukum, karena mereka pada hakikatnya adalah pendekar yang harus menegakkan pilar-pilar penopang keadilan dalam kehidupan masyarakat. Bukan hanya itu, selain harus taat hukum, seorang penegak hukum harus memegang etika profesinya sebagai penegak hukum. Semua ini dilakukan demi menjaga integritasnya sebagai penegak hukum dan demi kredibilitas lembaganya. Apabila ini terpenuhi, maka secara otomatis akan menumbuhkembangkan kepercataan masyarakat. Dengan demikian, maka akan memudahkan penegakan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Etika dalam konteks penegak hukum adalah seperangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang salah, apa yang pantas dan tidak untuk dilakukan oleh seorang penegak hukum. Etika ini harus menjadi pegangan, baik dikala ia menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum maupun saat melaksanakan aktifitas sehari-hari sebagai warga masyarakat.
Seseorang tidak selayaknya menjadi penegak hukum kalau untuk menjaga dirinya saja ia tidak mampu. Profesionalitas saja tidak cukup untuk menegakakan hukum dan keadilan, ia membutuhkan etika yang harus dipegangi.
Pada suatu hari khalifah Abu Ja'far al-Mansur (754 – 775 M), khalifah kedua dari dinasti Abbasiyah mengutus beberapa orang untuk menemui Imam Malik bin Anas dan memintanya menjadi hakim Negara. Ketika utusan tersebut menyampaikan pesan dari Abu Ja'far, Imam Malik menjawab: "aku tidak pantas untuk itu (menjadi hakim), karena aku orang yang terbatas". Abu Ja'far juga pernah meminta Imam Abu Hanifah untuk menjadi hakim, beliaupun menjawab: "Aku tidak bisa memperbaiki, karena aku adalah seorang hamba. Manusia tidak akan bisa menjadi hakim kecuali dia dimuliakan oleh kaumnya. (Ali Fikri 2003).
Penggalan dua kisah diatas mengandung pelajaran betapa seorang penegak hukum harus mempunyai kapasitas, prosfesionalitas, integritas dan keanggunan moral. Bagaimana ia akan dimuliakan dan dijadikan panutan bila ia tidak menjaga perilaku dan moralnya? Bagaimana ia akan menegakkan hukum kalau dia sendiri tidak taat hukum? Keterlibatan oknum-oknum penegak hukum dalam kasus seperti mafia hukum, suap, korupsi dan kejahatan jabatan lainnya akan menjadikan penegakan hukum di negara kita tercinta ini menjadi susah, laksana menegakkan benang yang basah.
Untuk menegakkan hukum dan membumikan keadian dalam kehidupan masyarakat, seorang penegak hukum harus terlebih dahulu taat hukum dan berpegang pada nilai-nilai moral etik dalam berperilaku. Ia harus mampu menegakkan keduanya, menegakkan etika dalam dirinya dan menegakkan hukum dalam kehidupan masyarakat. Kalau kedua hal ini terpenuhi, maka diharapkan keadilan akan tegak dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Berbagai kasus tersebut sangat menghentak masyarakat. Bagaimana tidak, seorang aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi contoh bagi masayarakat dalam hal kesadaran dan ketaatan hukum malah melakukan praktik pemerasan, suap, jual beli kasus dan hal lain yang mereduksi tujuan hukum, yaitu terwujudnya keadilan. Bukan hanya itu, kejahatan aparat penegak hukum tersebut juga menghempaskan kepercayaan masyarakat kepada mereka dan lembaga penegak hukum.
Reformasi birokrasi yang didengung-dengungkan setiap pergantian pemerintahan atau pejabat laksana irama tanpa tarian. Setiap ada kasus yang menerpa aparat lembaga penegak hukum tertentu atau pergantian pejabat tinggi di lembaga pemerintah selalau menjadi ajang untuk mengucapkan sumpah jabatan dan janji perbaikan.
Tapi sumpah hanya sekedar sumpah, janji hanyan sekedar janji. Pergantian dan sumpah jabatan seorang pejabat hanya sebuah seremonial belaka yang tanpa makna dan perubahan. Ia dibiarkan berlalu begitu saja. Jargon reformasi birokrasi hanya nyanyain pejabat baru tanpa ada follow up yang berdampak signifikan pada mental dan pola kerja mereka, khususnya aparat penegak hukum. Bahkan aroma korupsi dan suap selalu tercium hampir di setiap birokrasi, dari pusat sampai daerah.
Standar etika dan moral para penegak hukum bahkan cenderung menurun. Mereka menjadi kurang responsif terhadap berbagai permasalahan bangsa dan penyait sosial yang kian hari semakin menjadi. Korupsi yang seharunya diproses secara hukum demi mewujudkan keadilan tidak jarang malah melahirkan kejahatan baru berupa pemerasan, penyuapan dan jual beli kasus. Kesadaran dan ketatan hukum penegak hukum nampaknya semakin memudar.
Seorang penegak hukum seharusnya sadar dan taat terhadap hukum, karena mereka pada hakikatnya adalah pendekar yang harus menegakkan pilar-pilar penopang keadilan dalam kehidupan masyarakat. Bukan hanya itu, selain harus taat hukum, seorang penegak hukum harus memegang etika profesinya sebagai penegak hukum. Semua ini dilakukan demi menjaga integritasnya sebagai penegak hukum dan demi kredibilitas lembaganya. Apabila ini terpenuhi, maka secara otomatis akan menumbuhkembangkan kepercataan masyarakat. Dengan demikian, maka akan memudahkan penegakan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Etika dalam konteks penegak hukum adalah seperangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang salah, apa yang pantas dan tidak untuk dilakukan oleh seorang penegak hukum. Etika ini harus menjadi pegangan, baik dikala ia menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum maupun saat melaksanakan aktifitas sehari-hari sebagai warga masyarakat.
Seseorang tidak selayaknya menjadi penegak hukum kalau untuk menjaga dirinya saja ia tidak mampu. Profesionalitas saja tidak cukup untuk menegakakan hukum dan keadilan, ia membutuhkan etika yang harus dipegangi.
Pada suatu hari khalifah Abu Ja'far al-Mansur (754 – 775 M), khalifah kedua dari dinasti Abbasiyah mengutus beberapa orang untuk menemui Imam Malik bin Anas dan memintanya menjadi hakim Negara. Ketika utusan tersebut menyampaikan pesan dari Abu Ja'far, Imam Malik menjawab: "aku tidak pantas untuk itu (menjadi hakim), karena aku orang yang terbatas". Abu Ja'far juga pernah meminta Imam Abu Hanifah untuk menjadi hakim, beliaupun menjawab: "Aku tidak bisa memperbaiki, karena aku adalah seorang hamba. Manusia tidak akan bisa menjadi hakim kecuali dia dimuliakan oleh kaumnya. (Ali Fikri 2003).
Penggalan dua kisah diatas mengandung pelajaran betapa seorang penegak hukum harus mempunyai kapasitas, prosfesionalitas, integritas dan keanggunan moral. Bagaimana ia akan dimuliakan dan dijadikan panutan bila ia tidak menjaga perilaku dan moralnya? Bagaimana ia akan menegakkan hukum kalau dia sendiri tidak taat hukum? Keterlibatan oknum-oknum penegak hukum dalam kasus seperti mafia hukum, suap, korupsi dan kejahatan jabatan lainnya akan menjadikan penegakan hukum di negara kita tercinta ini menjadi susah, laksana menegakkan benang yang basah.
Untuk menegakkan hukum dan membumikan keadian dalam kehidupan masyarakat, seorang penegak hukum harus terlebih dahulu taat hukum dan berpegang pada nilai-nilai moral etik dalam berperilaku. Ia harus mampu menegakkan keduanya, menegakkan etika dalam dirinya dan menegakkan hukum dalam kehidupan masyarakat. Kalau kedua hal ini terpenuhi, maka diharapkan keadilan akan tegak dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Artikel ini telah diterbitkan Lmpung Post, Kamis, 6 Januari 2010
Label:
ARTIKEL ILMIAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar