Senin, 05 Maret 2012
MEMBUMIKAN HUMANITAS AGAMA
Oleh: Imam Mustofa
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia)
Pada dasarnya semua agama membawa visi dan misi suci perdamaian, ketertiban dan keadilan demi ketenteraman hidup dan kehidupan umat manusia. Visi dan misi suci tersebut telah termaktub dalam kitab-kitab suci agama. Dalam Islam, pada umumnya teks-teks agama yang berisikan pesan-pesan moral pembawa visi dan misi suci tersebut bersifat global. Ia tidak tertulis secara rinci.
Teks-teks agama yang bersifat global dan mengandung nilai-nilai yang masih umum di satu sisi berdampak positif, akan tetapi tidak jarang ia juga berdampak negatif. Sisi positif universalitas teks adalah ia akan berlaku secara umum, tidaK terbatas oleh ruang dan waktu dan akan selalu kontekstual. Ia dapat dijadikan pedoman moral kapan pun dan di mana pun. Ia akan selalu fleksibel dengan perkembangan zaman dan perbedaan tempat.
Sementara dampak negatifnya adalah teks tersebut tidak jarang disabotase dan ditafsirkan secara subyektif dan membabi buta. Penafsiran yang sempit, atomistik dan bahkan cenderung mengabaikan teks-teks lain yang berada dalam satu misi, satu ruh dalam satu kitab. Penafsiran semacam ini bukan hanya mengurung teks dalam penjara kepentingan subyektif atau bahkan pragmatis, akan tetapi ia juga dapat mereduksi visi misi dan pesan suci agama.
Agama tidak jarang ditafsirkan oleh kelompok umat beragama sebagai pesan yang membawa kepentingan Tuhan. Teks agama yang diinterpretasikan semacam ini bisa jadi akan menimbulkan doktrin keras dan anti toleransi. Apa pun yang tidak sesuai dengan penafsiran subyktif tersebut, meskipun itu menjunjung nilai-nilai kemanusiaan maka dianggap salah, sesat dan harus dimusnahkan.
Pemahaman agama harus dengan mengembangkan paradigma baru yang mengedepankan pemahaman dan interpretasi teologis-humanis. Hasan Hanafi, seorang intelektual Muslim asal Mesir menggunakan istilah rekonstrukis teologi (teosentris) yang lebih menitikberatkan membela Tuhan menuju teologi antroposentris yang mengedepankan membela kepentingan manusia dan kemanusiaan. Agama harus dipahami sebagai teologi pembebasan, pencerahan dan perdamaian yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Agama adalah sebagai sarana untuk menciptakan kemashlahatan bagi manusia di muka bumi. Berkaitan dengan hal ini, Ibnul Qoyyim, dalam kitabnya I'lam al-Muwaqqi'iin (III/11) mengatakan bahwa sesungguhnya syariat itu berlandaskan atas asas hikmah dan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. Kemashlahatan ini antara lain berupa nilai-nilai universal syariat seperti keadilan, kasih sayang, persatuan, toleransi, perdamaian dan sebagainya.
Agama sebagai pesan perdamaian sarat dengan ajaran yang membela dan menjamin nilai-nilai kemanusiaan. Islam misalnya, Islam menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia. Bukan hanya itu, Islam juga menjamin kebebasan beragama. Sayyid Jawad Mustafavi (1987), dalam Huqquq al Insan fi al-Islam (Hak-hak Manusia dalam Islam) sebagaimana dikutip oleh Syamsul Hidayat menyebutkan bahwa Islam mengajarkan beberapa jenis kebebasan beragama. Kebebasan tersebut adalah Hurriyat Ikhtiyar al-Aqidah (Kebebasan memilih agama); Hurriyat Itinaq al-Aqidah (kebebasan memeluk agama); Hurriyat idhmar al-Aqidah (kebebasan menyembunyikan agama) dan Hurriyat izhar al-Aqidah (kebebasan menampakkan agama).
Untuk memahami pesan-pesan moral agama dan sekaligus ritual-ritualnya dibutuhkan pemikiran, ilmu yang mendalam dan wawasan yang luas serta berbagai pendekatan. Hal ini untuk menghindari subyektifitas penafasiran teks agama atau agama itu sendiri yang dapat mereduksi tujuan suci agama. Artinya, beragama tidak cukup dengan semangat juang atau jihad yang membara, akan tetapi juga membutuhkan keluasan dan keluesan berfikir dan wawasan.
Para intelektual dan tokoh agama seharusnya memahami hal ini. Ulama atau tokoh agama sebagai pihak yang dianggap mempunyai "otoritas" keagamaan seharusnya mampu membumikan dan mengembangkan penafsiran agama secara humanis. Lebih dari itu, mereka juga wajib menyebarkan pemahaman dan nilai-nilai humanitas agama kepada umat bergama.
Apabila agama dapat diinterpretasikan secara humanis dan diimplementasikan dalam kehidupan umat manusia, maka sisi humanitas agama akan dapat dirasakan bukan hanya oleh pemeluk agama pemilik teks tersebut, akan tetapi juga pihak lain yang memeluk keyakinan dan agama yang berbeda. Umat manusia akan hidup dalam kedamaian, ketenteraman dan ketertiban, karena dengan paradigma ini, maka nilai-nilai moral dan spirit agama akan mudah membumi.
Teks-teks agama yang bersifat global dan mengandung nilai-nilai yang masih umum di satu sisi berdampak positif, akan tetapi tidak jarang ia juga berdampak negatif. Sisi positif universalitas teks adalah ia akan berlaku secara umum, tidaK terbatas oleh ruang dan waktu dan akan selalu kontekstual. Ia dapat dijadikan pedoman moral kapan pun dan di mana pun. Ia akan selalu fleksibel dengan perkembangan zaman dan perbedaan tempat.
Sementara dampak negatifnya adalah teks tersebut tidak jarang disabotase dan ditafsirkan secara subyektif dan membabi buta. Penafsiran yang sempit, atomistik dan bahkan cenderung mengabaikan teks-teks lain yang berada dalam satu misi, satu ruh dalam satu kitab. Penafsiran semacam ini bukan hanya mengurung teks dalam penjara kepentingan subyektif atau bahkan pragmatis, akan tetapi ia juga dapat mereduksi visi misi dan pesan suci agama.
Agama tidak jarang ditafsirkan oleh kelompok umat beragama sebagai pesan yang membawa kepentingan Tuhan. Teks agama yang diinterpretasikan semacam ini bisa jadi akan menimbulkan doktrin keras dan anti toleransi. Apa pun yang tidak sesuai dengan penafsiran subyktif tersebut, meskipun itu menjunjung nilai-nilai kemanusiaan maka dianggap salah, sesat dan harus dimusnahkan.
Pemahaman agama harus dengan mengembangkan paradigma baru yang mengedepankan pemahaman dan interpretasi teologis-humanis. Hasan Hanafi, seorang intelektual Muslim asal Mesir menggunakan istilah rekonstrukis teologi (teosentris) yang lebih menitikberatkan membela Tuhan menuju teologi antroposentris yang mengedepankan membela kepentingan manusia dan kemanusiaan. Agama harus dipahami sebagai teologi pembebasan, pencerahan dan perdamaian yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Agama adalah sebagai sarana untuk menciptakan kemashlahatan bagi manusia di muka bumi. Berkaitan dengan hal ini, Ibnul Qoyyim, dalam kitabnya I'lam al-Muwaqqi'iin (III/11) mengatakan bahwa sesungguhnya syariat itu berlandaskan atas asas hikmah dan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. Kemashlahatan ini antara lain berupa nilai-nilai universal syariat seperti keadilan, kasih sayang, persatuan, toleransi, perdamaian dan sebagainya.
Agama sebagai pesan perdamaian sarat dengan ajaran yang membela dan menjamin nilai-nilai kemanusiaan. Islam misalnya, Islam menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia. Bukan hanya itu, Islam juga menjamin kebebasan beragama. Sayyid Jawad Mustafavi (1987), dalam Huqquq al Insan fi al-Islam (Hak-hak Manusia dalam Islam) sebagaimana dikutip oleh Syamsul Hidayat menyebutkan bahwa Islam mengajarkan beberapa jenis kebebasan beragama. Kebebasan tersebut adalah Hurriyat Ikhtiyar al-Aqidah (Kebebasan memilih agama); Hurriyat Itinaq al-Aqidah (kebebasan memeluk agama); Hurriyat idhmar al-Aqidah (kebebasan menyembunyikan agama) dan Hurriyat izhar al-Aqidah (kebebasan menampakkan agama).
Untuk memahami pesan-pesan moral agama dan sekaligus ritual-ritualnya dibutuhkan pemikiran, ilmu yang mendalam dan wawasan yang luas serta berbagai pendekatan. Hal ini untuk menghindari subyektifitas penafasiran teks agama atau agama itu sendiri yang dapat mereduksi tujuan suci agama. Artinya, beragama tidak cukup dengan semangat juang atau jihad yang membara, akan tetapi juga membutuhkan keluasan dan keluesan berfikir dan wawasan.
Para intelektual dan tokoh agama seharusnya memahami hal ini. Ulama atau tokoh agama sebagai pihak yang dianggap mempunyai "otoritas" keagamaan seharusnya mampu membumikan dan mengembangkan penafsiran agama secara humanis. Lebih dari itu, mereka juga wajib menyebarkan pemahaman dan nilai-nilai humanitas agama kepada umat bergama.
Apabila agama dapat diinterpretasikan secara humanis dan diimplementasikan dalam kehidupan umat manusia, maka sisi humanitas agama akan dapat dirasakan bukan hanya oleh pemeluk agama pemilik teks tersebut, akan tetapi juga pihak lain yang memeluk keyakinan dan agama yang berbeda. Umat manusia akan hidup dalam kedamaian, ketenteraman dan ketertiban, karena dengan paradigma ini, maka nilai-nilai moral dan spirit agama akan mudah membumi.
Artikel ini telah diterbitkan Lmpung Post, Jumat, 18 Februari 2011
Label:
ARTIKEL ILMIAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar