Senin, 05 Maret 2012
MEMAHAMI KRIMINALISASI NIKAH SIRI
Oleh: Imam Mustofa
(Dosen Jurusan Syariah, Sekretaris Wakil Ketua STAIN Jurai Siwo Metro)
Pemerintah telah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan (RUUHMPAP) kepada DPR untuk dibahas dan di sahkan menjadi Undang-Undang. Ada beberapa poin dalam materi RUU ini mengandung pro-kontra, lantaran di dalamnya terdapat beberapa poin materi yang dianggap oleh sebagian kalangan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan hukum Islam, yaitu kriminalisasi pelaku poligami, nikah siri, kawin kontrak, perceraian di luar pengadilan dan menjadi wali nikah padahal tidak berhak.
Salah satu materi yang kini sedang hangat diperdebatkan adalah kriminalisasi atau pemidanaan pelaku nikah siri. Nikah sirii adalah pernikahan yang dilaksanakan hanya berdasarkan hukum agama atau adat dan tidak mengikuti aturan hukum Negara. Atau dengan kata lain pernikahan yang tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama (bagi orang Islam) atau Kantor Catatan Sipil (bagi orang non-Islam) untuk mendapat pengakuan keabsahannya dari Negara.
Aturan hukum yang menjamin kepastian hukum bahwa pernikahan harus dilakukan berdasarkan ketentuan Negara dalam hal ini adalah ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974, pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksana UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 5 dan 6 Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang kesemuanya mensyaratkan pencatatan dalam perkawinan. Meskipun mensyaratkan adanya pencatatan pernikahan, namun aturan-aturan hukum ini belum mengatur masalah pemidanaan atau sanksi bagi yang tidak melaksanakan pencatatan perkawinan.
Bagi yang pro RUU di atas beralasan bahwa kriminalisasi atau pemidanaan pelaku nikah siri adalah upaya untuk menjamin dan melindungi hak pihak-pihak yang terkait dengan pernikahan tersebut. Melindungi hak juga dituntut dan bahkan menjadi tujuan dari hukum Islam.
Sementara yang kontra menilai bahwa pemidaaan pelaku nikah siri tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan hukum Islam. Mereka berpandangan bahwa tidak ada aturan hukum Islam yang menjadikan pencatatan perkawinan oleh Negara sebagai syarat atau rukum sebuah akad nikah. Dalam Literatur-literatur hukum Islam (fikih), pendapat ulama dan praktik-praktik yang telah berlangsung dari zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang tidak ada yang mensyaratkan pencatatan oleh pemerintah atau Negara. Pernikahan sudah sah apabila sudah memenuhi syarat rukun yang ditetapkan hukum Islam atau ketentuan fikih.
Kriminalisasi nikah siri sebagai langkah antisipatif
RUUHMPAP yang diajukan pemerintah yang memuat ketentuan pidana adalh Pasal 143-153. Ancaman hukuman untuk tindak pidana yang di atur dalam RUU tersebut bukan hanya untuk praktik nikah siri. Ancaman pidana juga berlaku untuk perkawinan mut'ah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat poligami), serta perceraian yang dilakukan di luar pengadilan, melakukan perzinaan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal tidak berhak. Anacaman pidana untuk praktik-praktik pernikahan tersebut bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Kalau kita cermati dari perspektif tujuan hukum, pada dasarnya pengaturan ancaman pemidanaan praktik nikah siri adalah untuk menjamin dan melindungi semua pihak yang terkait dengan pernikahan tersebut. Dalam hal ini yang sering diklaim menjadi korban adalah pihak istri dan anak. Meskipun sebenarnya pihak suami juga bisa juga yang dirugikan, ditinggalkan oleh sang istri misalnya.
Pernikahan dilakukan secara siri atau tidak dicatatkan pada KUA atau Kantor Catatan Sipil, apabila suatu ketika terjadi perceraian maka tidak bisa diproses melalui pengadilan. Karena tidak diproses melalui pengadilan, suami bisa saja meninggalkan pihak istri dan anaknya tanpa tanggung jawab, seolah tidak ada ikatan hukum. Dengan demikian hak-hak mereka (istri dan anak) nafkah, biaya asuh anak dan sebagainya akan terabaikan. Begitu juga apabila salah satu anggota keluarga dari pernikahan siri ada yang mati, maka proses pembagian harta warisnya juga tidak bisa diproses di Pengadilan, sehingga memungkinkan sekali terjadinya pelanggaran hak dan kesewenang-wenangan.
Kalau kita perhatikan, alasan pemidanaan itu dibangun atas asumsi atau prasangka yang sifatnya antisipatif. Asumsi atau prasangka ditakutkan nanti kalau pernikahan tidak dicatatkan makan akan terjadi pelanggaran hak dan kesewenang-wenangan terhadap pihak yang lemah. Bahkan alasan yang berdasarkan prasangka ini mengalahkan hukum agama yang jelas-jelas membolehkan pernikahan tanpa adanya pencatatan.
Menurut 'Izzuddin bin Abdussalam dalam bukunya Qawa'idul Ahkam fi Mashalihil Anam (1999, II/18) menegakkan atau menjaga kamashlatahan berdasrkan asumsi atau prasangka yang kuat dibenarkan dalam hukum Islam. Karena apada dasarnya hukum yang berlaku merupakan hasil penafsiran dan ijtihad yang dibangun atas asumsi-asumsi dan pemahaman terhadap dalil atau nash.
Kriminalisasi nikah siri sesuai dengan hukum Islam?
Pernikahan siri tidak melanggar hukum agama (fikih). Pemidanaan terhadap pelaku pernikahan siri juga tidak melanggar fikih, bahkan alasan ini lebih kuat, karena pemidanaan itu demi kepastian hukum yang bertujuan untuk menjamin dan melindungi hak semua pihak yang terikat dalam sebuah akad pernikahan. Karena pada dasarnya tujuan syariat termasuk hukum diantaranya adalah untuk menjamin dan melindungi hak-hak manusia yang merupakan kemashlahatan universal yang dibutuhkan oleh stiap orang.
Tujuan syariat Islam adalah untuk menegakkan kemashlahatan (kemanfaatan) dan menghilangkan kemadharatan (suatu yang membahayakan atau mengancam). Asyatiby dalam karya monumentalnya al-Muwafaqat (2003, II/7-9) membagi mashlahat ini secara garis besar menjadi tiga tingkatan, dharuriyah (primer), hajiyah (skunder) dan tahsiniyah (tersier). Mashlahat menurut Syatiby tidak jauh berbeda dengan apa yang dirumuskan oleh Al-Ghazali, yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Ancaman pemidanaan terhadap pelaku pernikahan siri pada dasarnya adalah dalam rangka untuk mewujudkan lima pokok mashlahah di atas, khususnya menjaga jiwa, akal, keturunan dan harta. Ancamana pemidanaan ini adalah demi terjaminnya hak yang berkaitan dengan empat hal pokok tersebut yang juga menjadi tujuan syariat Islam.
Jadi pada dasarnya, baik pernikahan siri maupun pemidanaan terhadap pelakunya tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam. Keduanya merupakan pendapat atau pandangan yang berdasarkan pemikiran atau ijtihad. Dua-duanya adalah fikih. Namun, demi menegakkan kemashlahatan yang menjadi tujuan hukum, alangkah baiknya diambil kemanfaatan yang lebih besar, kepastian hukum, terjamin dan terlindunginya hak setiap orang.
Salah satu materi yang kini sedang hangat diperdebatkan adalah kriminalisasi atau pemidanaan pelaku nikah siri. Nikah sirii adalah pernikahan yang dilaksanakan hanya berdasarkan hukum agama atau adat dan tidak mengikuti aturan hukum Negara. Atau dengan kata lain pernikahan yang tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama (bagi orang Islam) atau Kantor Catatan Sipil (bagi orang non-Islam) untuk mendapat pengakuan keabsahannya dari Negara.
Aturan hukum yang menjamin kepastian hukum bahwa pernikahan harus dilakukan berdasarkan ketentuan Negara dalam hal ini adalah ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974, pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksana UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 5 dan 6 Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang kesemuanya mensyaratkan pencatatan dalam perkawinan. Meskipun mensyaratkan adanya pencatatan pernikahan, namun aturan-aturan hukum ini belum mengatur masalah pemidanaan atau sanksi bagi yang tidak melaksanakan pencatatan perkawinan.
Bagi yang pro RUU di atas beralasan bahwa kriminalisasi atau pemidanaan pelaku nikah siri adalah upaya untuk menjamin dan melindungi hak pihak-pihak yang terkait dengan pernikahan tersebut. Melindungi hak juga dituntut dan bahkan menjadi tujuan dari hukum Islam.
Sementara yang kontra menilai bahwa pemidaaan pelaku nikah siri tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan hukum Islam. Mereka berpandangan bahwa tidak ada aturan hukum Islam yang menjadikan pencatatan perkawinan oleh Negara sebagai syarat atau rukum sebuah akad nikah. Dalam Literatur-literatur hukum Islam (fikih), pendapat ulama dan praktik-praktik yang telah berlangsung dari zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang tidak ada yang mensyaratkan pencatatan oleh pemerintah atau Negara. Pernikahan sudah sah apabila sudah memenuhi syarat rukun yang ditetapkan hukum Islam atau ketentuan fikih.
Kriminalisasi nikah siri sebagai langkah antisipatif
RUUHMPAP yang diajukan pemerintah yang memuat ketentuan pidana adalh Pasal 143-153. Ancaman hukuman untuk tindak pidana yang di atur dalam RUU tersebut bukan hanya untuk praktik nikah siri. Ancaman pidana juga berlaku untuk perkawinan mut'ah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat poligami), serta perceraian yang dilakukan di luar pengadilan, melakukan perzinaan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal tidak berhak. Anacaman pidana untuk praktik-praktik pernikahan tersebut bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Kalau kita cermati dari perspektif tujuan hukum, pada dasarnya pengaturan ancaman pemidanaan praktik nikah siri adalah untuk menjamin dan melindungi semua pihak yang terkait dengan pernikahan tersebut. Dalam hal ini yang sering diklaim menjadi korban adalah pihak istri dan anak. Meskipun sebenarnya pihak suami juga bisa juga yang dirugikan, ditinggalkan oleh sang istri misalnya.
Pernikahan dilakukan secara siri atau tidak dicatatkan pada KUA atau Kantor Catatan Sipil, apabila suatu ketika terjadi perceraian maka tidak bisa diproses melalui pengadilan. Karena tidak diproses melalui pengadilan, suami bisa saja meninggalkan pihak istri dan anaknya tanpa tanggung jawab, seolah tidak ada ikatan hukum. Dengan demikian hak-hak mereka (istri dan anak) nafkah, biaya asuh anak dan sebagainya akan terabaikan. Begitu juga apabila salah satu anggota keluarga dari pernikahan siri ada yang mati, maka proses pembagian harta warisnya juga tidak bisa diproses di Pengadilan, sehingga memungkinkan sekali terjadinya pelanggaran hak dan kesewenang-wenangan.
Kalau kita perhatikan, alasan pemidanaan itu dibangun atas asumsi atau prasangka yang sifatnya antisipatif. Asumsi atau prasangka ditakutkan nanti kalau pernikahan tidak dicatatkan makan akan terjadi pelanggaran hak dan kesewenang-wenangan terhadap pihak yang lemah. Bahkan alasan yang berdasarkan prasangka ini mengalahkan hukum agama yang jelas-jelas membolehkan pernikahan tanpa adanya pencatatan.
Menurut 'Izzuddin bin Abdussalam dalam bukunya Qawa'idul Ahkam fi Mashalihil Anam (1999, II/18) menegakkan atau menjaga kamashlatahan berdasrkan asumsi atau prasangka yang kuat dibenarkan dalam hukum Islam. Karena apada dasarnya hukum yang berlaku merupakan hasil penafsiran dan ijtihad yang dibangun atas asumsi-asumsi dan pemahaman terhadap dalil atau nash.
Kriminalisasi nikah siri sesuai dengan hukum Islam?
Pernikahan siri tidak melanggar hukum agama (fikih). Pemidanaan terhadap pelaku pernikahan siri juga tidak melanggar fikih, bahkan alasan ini lebih kuat, karena pemidanaan itu demi kepastian hukum yang bertujuan untuk menjamin dan melindungi hak semua pihak yang terikat dalam sebuah akad pernikahan. Karena pada dasarnya tujuan syariat termasuk hukum diantaranya adalah untuk menjamin dan melindungi hak-hak manusia yang merupakan kemashlahatan universal yang dibutuhkan oleh stiap orang.
Tujuan syariat Islam adalah untuk menegakkan kemashlahatan (kemanfaatan) dan menghilangkan kemadharatan (suatu yang membahayakan atau mengancam). Asyatiby dalam karya monumentalnya al-Muwafaqat (2003, II/7-9) membagi mashlahat ini secara garis besar menjadi tiga tingkatan, dharuriyah (primer), hajiyah (skunder) dan tahsiniyah (tersier). Mashlahat menurut Syatiby tidak jauh berbeda dengan apa yang dirumuskan oleh Al-Ghazali, yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Ancaman pemidanaan terhadap pelaku pernikahan siri pada dasarnya adalah dalam rangka untuk mewujudkan lima pokok mashlahah di atas, khususnya menjaga jiwa, akal, keturunan dan harta. Ancamana pemidanaan ini adalah demi terjaminnya hak yang berkaitan dengan empat hal pokok tersebut yang juga menjadi tujuan syariat Islam.
Jadi pada dasarnya, baik pernikahan siri maupun pemidanaan terhadap pelakunya tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam. Keduanya merupakan pendapat atau pandangan yang berdasarkan pemikiran atau ijtihad. Dua-duanya adalah fikih. Namun, demi menegakkan kemashlahatan yang menjadi tujuan hukum, alangkah baiknya diambil kemanfaatan yang lebih besar, kepastian hukum, terjamin dan terlindunginya hak setiap orang.
Artikel ini telah diterbitkan Surat Kabar Harian Lampung Post tanggal 19 februari 2010
Label:
ARTIKEL ILMIAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar