Senin, 20 Februari 2012
URGENSI EKO-TEOLOGI
Oleh: Imam Mustofa
(Kader Kultural NU Lampung)
(Kader Kultural NU Lampung)
Kita sebagai manusia pada dasarnya sadar bahwa penebangan liar, eksploitasi dan penambangan sumber daya alam tanpa prosedur dan berlebihan akan berdampak negatif, yaitu rusaknya lingkungan. Akan tetapi kesadaran tersebut tereduksi oleh nafsu eksploitatif dan paradigma patriarkis yang berpandangan bahwa alam harus dimanfaatkan oleh manusia. Bahkan paradigma tersebut sudah mengakar, sehingga tidakan-tindakan yang merusak tersebut seolah benar dan malah tidak jarang dicarikan justifikasi dari berbagai sumber, termasuk agama.
Menurut Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim kesadaran masyarakat Indonesia cukup baik, kelembagaan kelestarian lingkungan sudah ada di tingkat pusat maupun daerah, peraturan tentang pelestarian lingkungan hidup sudah memadai. Namun harus diakui bahwa sampai sekarang kegiatan eksploitasi dan perusakan hutan masih berlangsung.
Pada umumnya umat beragama hanya memahami teologi sebagai ilmu yang menbicarakan tuhan dan ketuhanan. Ilmu yang hanya berbicara yang ghaib, berbicara tentang kehidupan "dunia seberang" atau akhirat yang meliputi surga dan neraka beserta segala isinya. Paradigma teologis teosentris yang mengedepankan pembelaan terhadap Tuhan semacam ini tentunya akan sulit untuk membumikan nilai-nilai teologis yang berbasis antroposentris, yaitu teologi yang menitikberatkan pembelaan manusia dan kemanusiaan. Padahal perlu pemahaman teologi yang aplikatif yang menyatu dalam diri manusia dalam berbagai situasi, kondisi, kapan pun dan di mana pun ia berada, termasuk dalam perlakuannya terhadap alam dan lingkungan.
Berdasarkan pemaparan di atas maka landasan teologis tentang relasi manusia dengan alam sangat urgen. Landasan tersebut menjadi pijakan manusia dalam memperlakukan alam dan lingkungan. Karena harus diakui, permasalah lingkungan bukan hanya persolana ekologi semata, akan tetapi sangat terkait erat dengan teologi.
Pemahaman teologi tentang ketuhanan harus dibarengi dengan teologi lingkungan atau eko-teologi. Manusia harus menghadirkan Tuhan dalam membangun relasi dengan alam, karena alam merupakan cipatan-Nya dan sekaligus menjadi tanda eksistensi-Nya.
Hasan Hanafi, seorang intelektual Muslim asal Mesir menggunakan istilah rekonstrukis teologi (teosentris) yang lebih menitikberatkan membela Tuhan menuju teologi antroposentris yang mengedepankan membela kepentingan manusia dan kemanusiaan.
Menurut Wardani (2009) eko-teologi memiliki dua pengertian yang saling menopang. Pertama, teologi yang berbasis (paradigma) lingkungan dalam pengertian rumusan-rumusan teologi dan metode-metode pengenalan Tuhan dibangun atas dasar bukti-bukti kealaman yang inderawi (sehingga mudah dipahami) dan mudah dinalar, seperti dalam beberapa contoh di atas. Konsep kosmologi al-Qur’an memiliki basis yang kuat dalam hal ini, misalnya QS. al-Waqi’ah [56] ayat 68: Apakah kamu pernah memikirkan tentang air yang kamu minum? Apakah kalian yang menurunkannya atau kamikah yang menurunkannya?, dan ayat-ayat lain yang serupa.
Kedua, persoalan bagaimana implikasi teologis dalam memandang alam secara positif, sebagaimana digali oleh tokoh Islam, Isma’il R. al-Faruqi dalam Tawhid: Its Implication for Thought and Life yang menjelaskan tentang implikasi tawhid dalam pemikiran dan kehidupan. Oleh karena itu, bukan hanya persoalan “sekularisasi” fenomena-femomena alam di satu sisi, melainkan juga kesadaran tentang alam sebagai mediator, sebagai “petanda” (ayat) kebesaran Tuhan.
Keyakinan akan keberadaan Tuhan harus dibarengi dengan ketundukan dan ketaatan terhadap-Nya, termasuk memelihara dan menjaga partner hidup manusia dan alam. Karena kebinasaan alam berarti juga berakhirnya hidup dan kehidupan manusia, sebab, manusia dan alam menyatu dan saling membutuhkan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya (biofeedback).
Mengingat kerusakan lingkungan sudah sangat parah dan memprihatinkan, padahal berbagai cara dan pendekatan sudah dilakukan, mulai dai penegakan hukum lingkungan, pendekatan kulural, budaya kearifan lokal. sudah saatnya mengembangkan pendekatan teologis yang mendasari bangunan relasi manusia dengan alam.Pembangunan dan pengembangan eko-teologi akan melahirkan paradigma konstruktif dan kekerabatan manusia dengan semua makhluk.
Eko-teologi dan paradigma tersebut mengarah pada saling ketergantungan dan hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, terutama hutan. Ketika dua landasan ini dikembangkan, maka diharapkan tidak ada lagi ”saling dendam” antara manusia dengan alam, yaitu apabila manusia mengeksploitasi lingkungannya, terutama hutan, maka alam akan bereaksi yang akan menimbulkan bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor.
Menurut Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim kesadaran masyarakat Indonesia cukup baik, kelembagaan kelestarian lingkungan sudah ada di tingkat pusat maupun daerah, peraturan tentang pelestarian lingkungan hidup sudah memadai. Namun harus diakui bahwa sampai sekarang kegiatan eksploitasi dan perusakan hutan masih berlangsung.
Pada umumnya umat beragama hanya memahami teologi sebagai ilmu yang menbicarakan tuhan dan ketuhanan. Ilmu yang hanya berbicara yang ghaib, berbicara tentang kehidupan "dunia seberang" atau akhirat yang meliputi surga dan neraka beserta segala isinya. Paradigma teologis teosentris yang mengedepankan pembelaan terhadap Tuhan semacam ini tentunya akan sulit untuk membumikan nilai-nilai teologis yang berbasis antroposentris, yaitu teologi yang menitikberatkan pembelaan manusia dan kemanusiaan. Padahal perlu pemahaman teologi yang aplikatif yang menyatu dalam diri manusia dalam berbagai situasi, kondisi, kapan pun dan di mana pun ia berada, termasuk dalam perlakuannya terhadap alam dan lingkungan.
Berdasarkan pemaparan di atas maka landasan teologis tentang relasi manusia dengan alam sangat urgen. Landasan tersebut menjadi pijakan manusia dalam memperlakukan alam dan lingkungan. Karena harus diakui, permasalah lingkungan bukan hanya persolana ekologi semata, akan tetapi sangat terkait erat dengan teologi.
Pemahaman teologi tentang ketuhanan harus dibarengi dengan teologi lingkungan atau eko-teologi. Manusia harus menghadirkan Tuhan dalam membangun relasi dengan alam, karena alam merupakan cipatan-Nya dan sekaligus menjadi tanda eksistensi-Nya.
Hasan Hanafi, seorang intelektual Muslim asal Mesir menggunakan istilah rekonstrukis teologi (teosentris) yang lebih menitikberatkan membela Tuhan menuju teologi antroposentris yang mengedepankan membela kepentingan manusia dan kemanusiaan.
Menurut Wardani (2009) eko-teologi memiliki dua pengertian yang saling menopang. Pertama, teologi yang berbasis (paradigma) lingkungan dalam pengertian rumusan-rumusan teologi dan metode-metode pengenalan Tuhan dibangun atas dasar bukti-bukti kealaman yang inderawi (sehingga mudah dipahami) dan mudah dinalar, seperti dalam beberapa contoh di atas. Konsep kosmologi al-Qur’an memiliki basis yang kuat dalam hal ini, misalnya QS. al-Waqi’ah [56] ayat 68: Apakah kamu pernah memikirkan tentang air yang kamu minum? Apakah kalian yang menurunkannya atau kamikah yang menurunkannya?, dan ayat-ayat lain yang serupa.
Kedua, persoalan bagaimana implikasi teologis dalam memandang alam secara positif, sebagaimana digali oleh tokoh Islam, Isma’il R. al-Faruqi dalam Tawhid: Its Implication for Thought and Life yang menjelaskan tentang implikasi tawhid dalam pemikiran dan kehidupan. Oleh karena itu, bukan hanya persoalan “sekularisasi” fenomena-femomena alam di satu sisi, melainkan juga kesadaran tentang alam sebagai mediator, sebagai “petanda” (ayat) kebesaran Tuhan.
Keyakinan akan keberadaan Tuhan harus dibarengi dengan ketundukan dan ketaatan terhadap-Nya, termasuk memelihara dan menjaga partner hidup manusia dan alam. Karena kebinasaan alam berarti juga berakhirnya hidup dan kehidupan manusia, sebab, manusia dan alam menyatu dan saling membutuhkan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya (biofeedback).
Mengingat kerusakan lingkungan sudah sangat parah dan memprihatinkan, padahal berbagai cara dan pendekatan sudah dilakukan, mulai dai penegakan hukum lingkungan, pendekatan kulural, budaya kearifan lokal. sudah saatnya mengembangkan pendekatan teologis yang mendasari bangunan relasi manusia dengan alam.Pembangunan dan pengembangan eko-teologi akan melahirkan paradigma konstruktif dan kekerabatan manusia dengan semua makhluk.
Eko-teologi dan paradigma tersebut mengarah pada saling ketergantungan dan hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, terutama hutan. Ketika dua landasan ini dikembangkan, maka diharapkan tidak ada lagi ”saling dendam” antara manusia dengan alam, yaitu apabila manusia mengeksploitasi lingkungannya, terutama hutan, maka alam akan bereaksi yang akan menimbulkan bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar