Senin, 20 Februari 2012
TERORISME, UJIAN KERUKUNAN UMAT
Oleh: Imam Mustofa
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia)
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia)
Aksi teror bom kembali terjadi. Pada Minggu, 25 September 2011 terjadi ledakan bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, Jawa Tengah. Peristiwa ini tentunya mengusik ketenteraman masyarakat dan sekaligus menjadi ujian bagi kerukunan umat beragama, karena teror tersebut dilakukan di rumah ibadah.
Teror dalam bentuk apa pun ketika dilakukan di rumah ibadah atau masyarakat yang sedang menjalankan ritual keagamaan jelas bertentangan dengan konstitusi. Sebagai negara plural secara etnis dan ideologis, Indonesia menjamin dan melindungi hak untuk memeluk agama dan termasuk untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan. Jaminan dan perlindungan ini telah terpatri dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 sejak negara Indonesia masih baru lahir.
Selain bertentangan dengan konstitusi, teror terhadap rumah ibadah dan umat beragama juga bertentangan dengan ajaran agama. Agama (Islam) sebagai pembawa misi ketuhanan berusaha menciptakan mashlahah, perdamaian, persatuan, keadilan dan menumpas semua bentuk kezhaliman termasuk teror. Terlebih teror yang dilakukan membawa nama agama, mengatasnamakan agama, mengatasnamakan jihad, membela Tuhan dan embel-embel agama lainnya. Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin melindungi umat manusia secara mutlak, tanpa melihat latar belakang ideologi, etnis dan bangsa.
Ajaran-ajaran agama yang membawa pesan perdamaian, kerukunan, persatuan, keadilan memberikan dan menjamin HAM jangan sampai tereduksi oleh pemahaman fanatis dan picik terhadap teks-teks agama yang ahistoris. Pemahaman yang picik malah akan mereduksi tujuan, visi dan misi Islam sebagai agama cinta dan perdamaian. Jangan sampai egoisme beragama untuk mendapatkan predikat mujahid yang syahid, egoisme untuk mendapatkan surga mengorbankan perdamaian, mencabik rajutan persatuan dan kerukunan umat.
Teror bom bunuh diri di rumah ibadah seolah membenarkan teori David C. Rapoport yang menyatakan bahwa terorisme akhir-akhir ini lebih pada karena ajaran agama. Menurutnya sejak tahun 1979 sampai sekarang, gelombang terorisme terjadi karena motivasi agama. Meskipun teori ini tidak sepenuhnya benar, namun setidaknya hal ini bisa menjadi bahan pemikiran dan introspeksi umat beragama untuk lebih megedepankan nilai-nilai humanitas agama.
Teror yang diarahkan ke tempat ibadah atau umat beragama yang sedang melaksanakan peribadatan bisa jadi dipicu oleh motivasi agama. Namun demikian, hal ini terjadi bukan kesalahan ajaran agama, akan tetapi karena ketidaktepatan dalam menginterpretasikan teks-teks agama, misunderstanding terhadap teks agama yang berimplikasi pada kesalahan dalam melaksanakan ajaran agama.
Pemahaman seseorang secara sempit terhadap ajaran agama, selain menimbulkan anggapan dirinya paling benar, juga menimbukan asumsi bahwa pemahaman yang tidak sesuai dengan pemahaman mereka adalah salah dan sesat. Tidak berhenti di situ, keyakinan yang begitu kuat akan kebenaran diri dan kelompok juga bisa menimbulkan pemikiran penghalalan terhadap darah orang atau kelompok lain yang tidak sejalan. Inilah yang menggerogoti pilar-pilar bangunan kerukunan umat beragama yang telah susah payah dibangun dan dibina oleh bangsa Indonesia.
Tokoh agama sebagai simbol otoritas agama harus lebih optimal lagi untuk melakukan deradikalisasi agama untuk menghindari aksi teror yang mengatasnamakan agama. Para tokoh agama harus menebarkan dan menyebarkan aura dan pemahaman agama yang moderat, agama perdamaian, agama ketertiban yang menghormati semua umat manusia, dan tidak memperbolehkan pembunuhan sesama umat manusia. Menjalin dan menciptakan kerukunan umat beragama bukan hanya menjadi tugas pemerintah, akan tetapi juga menjadi kewajiban seluruh umat beragama, khususnya para tokoh agama. Tokoh agama berkewajiban ngemong umat agar selalu bertindak dan hidup dalam koridor spirit agama.
Jangan sampai aksi teror yang terjadi di rumah ibadah menjadi ganjalan dan menggoyahkan masyarakat dalam merajut benang-benang persaudaraan dan mengukir indahnya perdamaian. Agama pada sejatinya menghendaki kebaikan, hanya saja tidak jarang umat beragama salah menafsirkan dan mengimplementasikan ajaran dalam teks agama, sehingga bertentangan dengan tujuan agama. Jangan sampai peristiwa bom Solo menimbulkan kebencian terhadap agama tertentu. Agama dan konstitusi menjamin kebebasan beragama. Keduanya juga berusaha mewujudkan perdamaian dan ketertiban dalam rajutan benang-benag cinta dan kerukunan sesama umat beragama dan umat manusia dalam bingkai multikeyakinan dan multikultur.
Teror dalam bentuk apa pun ketika dilakukan di rumah ibadah atau masyarakat yang sedang menjalankan ritual keagamaan jelas bertentangan dengan konstitusi. Sebagai negara plural secara etnis dan ideologis, Indonesia menjamin dan melindungi hak untuk memeluk agama dan termasuk untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan. Jaminan dan perlindungan ini telah terpatri dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 sejak negara Indonesia masih baru lahir.
Selain bertentangan dengan konstitusi, teror terhadap rumah ibadah dan umat beragama juga bertentangan dengan ajaran agama. Agama (Islam) sebagai pembawa misi ketuhanan berusaha menciptakan mashlahah, perdamaian, persatuan, keadilan dan menumpas semua bentuk kezhaliman termasuk teror. Terlebih teror yang dilakukan membawa nama agama, mengatasnamakan agama, mengatasnamakan jihad, membela Tuhan dan embel-embel agama lainnya. Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin melindungi umat manusia secara mutlak, tanpa melihat latar belakang ideologi, etnis dan bangsa.
Ajaran-ajaran agama yang membawa pesan perdamaian, kerukunan, persatuan, keadilan memberikan dan menjamin HAM jangan sampai tereduksi oleh pemahaman fanatis dan picik terhadap teks-teks agama yang ahistoris. Pemahaman yang picik malah akan mereduksi tujuan, visi dan misi Islam sebagai agama cinta dan perdamaian. Jangan sampai egoisme beragama untuk mendapatkan predikat mujahid yang syahid, egoisme untuk mendapatkan surga mengorbankan perdamaian, mencabik rajutan persatuan dan kerukunan umat.
Teror bom bunuh diri di rumah ibadah seolah membenarkan teori David C. Rapoport yang menyatakan bahwa terorisme akhir-akhir ini lebih pada karena ajaran agama. Menurutnya sejak tahun 1979 sampai sekarang, gelombang terorisme terjadi karena motivasi agama. Meskipun teori ini tidak sepenuhnya benar, namun setidaknya hal ini bisa menjadi bahan pemikiran dan introspeksi umat beragama untuk lebih megedepankan nilai-nilai humanitas agama.
Teror yang diarahkan ke tempat ibadah atau umat beragama yang sedang melaksanakan peribadatan bisa jadi dipicu oleh motivasi agama. Namun demikian, hal ini terjadi bukan kesalahan ajaran agama, akan tetapi karena ketidaktepatan dalam menginterpretasikan teks-teks agama, misunderstanding terhadap teks agama yang berimplikasi pada kesalahan dalam melaksanakan ajaran agama.
Pemahaman seseorang secara sempit terhadap ajaran agama, selain menimbulkan anggapan dirinya paling benar, juga menimbukan asumsi bahwa pemahaman yang tidak sesuai dengan pemahaman mereka adalah salah dan sesat. Tidak berhenti di situ, keyakinan yang begitu kuat akan kebenaran diri dan kelompok juga bisa menimbulkan pemikiran penghalalan terhadap darah orang atau kelompok lain yang tidak sejalan. Inilah yang menggerogoti pilar-pilar bangunan kerukunan umat beragama yang telah susah payah dibangun dan dibina oleh bangsa Indonesia.
Tokoh agama sebagai simbol otoritas agama harus lebih optimal lagi untuk melakukan deradikalisasi agama untuk menghindari aksi teror yang mengatasnamakan agama. Para tokoh agama harus menebarkan dan menyebarkan aura dan pemahaman agama yang moderat, agama perdamaian, agama ketertiban yang menghormati semua umat manusia, dan tidak memperbolehkan pembunuhan sesama umat manusia. Menjalin dan menciptakan kerukunan umat beragama bukan hanya menjadi tugas pemerintah, akan tetapi juga menjadi kewajiban seluruh umat beragama, khususnya para tokoh agama. Tokoh agama berkewajiban ngemong umat agar selalu bertindak dan hidup dalam koridor spirit agama.
Jangan sampai aksi teror yang terjadi di rumah ibadah menjadi ganjalan dan menggoyahkan masyarakat dalam merajut benang-benang persaudaraan dan mengukir indahnya perdamaian. Agama pada sejatinya menghendaki kebaikan, hanya saja tidak jarang umat beragama salah menafsirkan dan mengimplementasikan ajaran dalam teks agama, sehingga bertentangan dengan tujuan agama. Jangan sampai peristiwa bom Solo menimbulkan kebencian terhadap agama tertentu. Agama dan konstitusi menjamin kebebasan beragama. Keduanya juga berusaha mewujudkan perdamaian dan ketertiban dalam rajutan benang-benag cinta dan kerukunan sesama umat beragama dan umat manusia dalam bingkai multikeyakinan dan multikultur.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar