Senin, 20 Februari 2012
PESANTREN DAN DERADIKALISASI AGAMA
Oleh: Imam Mustofa
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Mahasiswa Unggulan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta)
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Mahasiswa Unggulan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta)
Perang melawan terorisme sudah satu dekade berlangsung, namun demikian, tinta merah aksi teror masih sering tertoreh dalam peradaban modern saat ini. Pada dasarnya berbagai cara telah dilakukan oleh berbagai negara untuk menanggulangi terorisme, termasuk Indonesia. Hal ini dilakukan melalui pembuatan payung hukum, pembentukan detasemen khusus 88 antiteror, sampai pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Kurang efektifnya langkah-langkah untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme diantaranya disebabkan oleh pendekatan yang cenderung militeristik yang mengedepankan proses hukum. Langkah ini pada dasarnya hanya memotong langkah dari tengah, belum menelisik jauh dan mengoptimalkan pendekatan lain, seperti pendekatan ekonomi, politik dan pendekatan agama.
Neil J. Smelser (2007: 12) menyatakan bahwa berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, politik, agama dan lain-lain memang dapat menimbuhkan gerakan terorganisir yang terlibat dalam terorisme, namun kondisi tersebut tidak lantas menjamin dilakukannya kekerasan. Untuk dapat terjadi kekerasan biasanya harus digabungkan dengan faktor-faktor lain, seperti doktrin ideologi yang ditanamkan oleh pemimpin karismatik, pengembangan sistem rekruitmen yang efektif, dan lain-lain. Terorisme bisa muncul akibat doktrin dan pemahaman agama secara radikal, meskipun pada dasarnya semua agama membawa misi kebaikan.
Memang harus harus diakui bahwa terorisme yang mucul di dunia modern saat ini juga dilatarbelkangi oleh faktor ideologi atau agama. Namun demikian, kesalahan tidak terletak pada ajaran atau teks-teks agama, akan tetapi lebih pada kekurangtepatan dalam menginterpretasikan teks dan mengaplikasikan ideologi dan ajaran agama.
Deradikalisasi agama dilakukan untuk menanggulangi radikalisme dan terorisme yang sering mengatasnamakan agama. Pendekatan agama ini sangat penting untuk memberikan pemahaman agama yang tepat, kontekstual dan menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama kepada masyarakat. Pemahaman kontekstual dan pembumian nilai humanitas agama akan melahirkan aksi atau implementasi beragama yang jauh dari aksi-aksi kekerasan, radikalisme dan terorisme.
Deradikalisasi agama bukan bertujuan untuk menghilangkan ajaran jihad dalam Islam, akan tetapi untuk memberikan interpretasi jihad yang kontekstual dan tidak bersifat destruktif. Jihad dalam arti membangun peradaban dan kehidupan yang sejahtera, penuh cinta, kasih sayang dan persaudaraan sesama manusia. Bukan jihad membunuh pihak lain atau mencari kematian dengan mengatasnmakan Tuhan.
Proses radikalisasi agama akan lebih efektif dan efisien bila dilakukan melalui ormas-ormas yang beraliran moderat, seperti NU, Muhammadiyah dan ormas lainnya serta melibatkan lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal. Salah satu lembaga yang dapat dijadikan sebagai sarana dan wahana deradikalisasi agama adalah Pondok Pesantren yang moderat, yang umumnya merupakan jaringan pendidikan yang terkait erat dengan NU.
Fakta sejarah telah membuktikan bahwa pondok pesantren merupakan institusi pendidikan agama Islam yang sangat fungsional. Pesantren mampu memberi jawaban terhadap berbagai permasalah yang dihadapi masyarakat, khususnya tingkat bawah. Pesantren juga mampu mempertahankan eksistensinya meskipun perubahan zaman berjalan dengan pesat.
Memang harus diakui, di saat isu terorisme mucul ke permukaan, pesantren sempat terseret isu tersebut. Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam dikaitkan dengan para pelaku teror, bahkan pesantren dituduh sebagai tempat persemaian bibit-bibit teroris. Tuduhan ini muncul karena ada beberapa pelaku teror yang tertangkap, diantaranya terlibat bom Bali yang merupakan alumni pesantren. Selain itu, ada sub-bab dalam pelajaran pesantren yang membahas tentang jihad. Penyalahartian jihad oleh beberapa alumni inilah yang sering mengarah pada tindakan teror.
Terlepas dari keterlibatan sebagian kecil civitas pesantren dengan aksi teror, pada dasarnya dunia pesantren secara umum tidak menghendaki tindakan yang mengarah pada radikalisasi ajaran agama, apalagi sampai menimbulkan kekerasan dan teror. Dunia pesantren lekat dengan kehidupan yang moderat dan toleran.
Dunia pesantren sangat kental dengan nilai, pemikiran dan kehidupan yang sederhana, kejujuran, toleran (tasamuh), moderat, (tawasuth), seimbang dengan faham inklusifitas (infitahiyyah) dan pluralitas (ta’addudiyyah). Nilai-nilai tersebut menempatkan pesantren menjadi ummatan wasathan (ummat yang moderat). Nilai dan pemikiran tersebut akan sangat membantu dalam proses deradikalisasi agama dalam rangka penanggulangan terorisme.
Deradikalisasi agama melalui pesantren tidak hanya dilakukan melalui kajian dan diskusi ilmiah agama. Akan tetapi juga melalui aksi nyata dengan memberikan keterampilan dan pemberian sarana untuk mengembangkan kreatifitas dalam rangka pengembangan ekonomi umat. Dengan kreatifitas dan adanya media untuk berkarya, maka akan menjauhkan anak bangsa dari tindakan-tindakan destruktif atas nama apa pun, termasuk atas nama agama.
Deradikalisasi melalui pesantren harus dilaksanakan dalam kerangka penguatan institusi untuk mengurangi celah-celah sosial, ekonomi dan politik yang memungkinkan memicu tumbuhnya paham radikal yang menjurus ke aksi teror. Peran aktif pihak-pihak terkait, terutama pemerintah dapat diarahkan untuk menguatkan peranan pondok pesantren dalam mengatasi permasalahan ekonomi, sosial dan lainnya yang menjadi lahan persemaian pemahaman radikal tersebut. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa deradikalisasi yang diarahkan pada pendekatan kurikulum pondok pesantren (Darmadji: 2011).
Pemerintah melalui BNPT sudah seharusnya memgoptimalkan lembaga-lembaga pendidikan agama yang moderat seperti pesantren dalam rangka melalukan deradikalisasi agama. Optimalisasi peran ormas Islam dan lembaga pendidikan untuk deradikalisasi agama akan mempercepat dan mempermudah upaya memutus mata rantai radikalisme dan terorisme.
Kurang efektifnya langkah-langkah untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme diantaranya disebabkan oleh pendekatan yang cenderung militeristik yang mengedepankan proses hukum. Langkah ini pada dasarnya hanya memotong langkah dari tengah, belum menelisik jauh dan mengoptimalkan pendekatan lain, seperti pendekatan ekonomi, politik dan pendekatan agama.
Neil J. Smelser (2007: 12) menyatakan bahwa berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, politik, agama dan lain-lain memang dapat menimbuhkan gerakan terorganisir yang terlibat dalam terorisme, namun kondisi tersebut tidak lantas menjamin dilakukannya kekerasan. Untuk dapat terjadi kekerasan biasanya harus digabungkan dengan faktor-faktor lain, seperti doktrin ideologi yang ditanamkan oleh pemimpin karismatik, pengembangan sistem rekruitmen yang efektif, dan lain-lain. Terorisme bisa muncul akibat doktrin dan pemahaman agama secara radikal, meskipun pada dasarnya semua agama membawa misi kebaikan.
Memang harus harus diakui bahwa terorisme yang mucul di dunia modern saat ini juga dilatarbelkangi oleh faktor ideologi atau agama. Namun demikian, kesalahan tidak terletak pada ajaran atau teks-teks agama, akan tetapi lebih pada kekurangtepatan dalam menginterpretasikan teks dan mengaplikasikan ideologi dan ajaran agama.
Deradikalisasi agama dilakukan untuk menanggulangi radikalisme dan terorisme yang sering mengatasnamakan agama. Pendekatan agama ini sangat penting untuk memberikan pemahaman agama yang tepat, kontekstual dan menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama kepada masyarakat. Pemahaman kontekstual dan pembumian nilai humanitas agama akan melahirkan aksi atau implementasi beragama yang jauh dari aksi-aksi kekerasan, radikalisme dan terorisme.
Deradikalisasi agama bukan bertujuan untuk menghilangkan ajaran jihad dalam Islam, akan tetapi untuk memberikan interpretasi jihad yang kontekstual dan tidak bersifat destruktif. Jihad dalam arti membangun peradaban dan kehidupan yang sejahtera, penuh cinta, kasih sayang dan persaudaraan sesama manusia. Bukan jihad membunuh pihak lain atau mencari kematian dengan mengatasnmakan Tuhan.
Proses radikalisasi agama akan lebih efektif dan efisien bila dilakukan melalui ormas-ormas yang beraliran moderat, seperti NU, Muhammadiyah dan ormas lainnya serta melibatkan lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal. Salah satu lembaga yang dapat dijadikan sebagai sarana dan wahana deradikalisasi agama adalah Pondok Pesantren yang moderat, yang umumnya merupakan jaringan pendidikan yang terkait erat dengan NU.
Fakta sejarah telah membuktikan bahwa pondok pesantren merupakan institusi pendidikan agama Islam yang sangat fungsional. Pesantren mampu memberi jawaban terhadap berbagai permasalah yang dihadapi masyarakat, khususnya tingkat bawah. Pesantren juga mampu mempertahankan eksistensinya meskipun perubahan zaman berjalan dengan pesat.
Memang harus diakui, di saat isu terorisme mucul ke permukaan, pesantren sempat terseret isu tersebut. Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam dikaitkan dengan para pelaku teror, bahkan pesantren dituduh sebagai tempat persemaian bibit-bibit teroris. Tuduhan ini muncul karena ada beberapa pelaku teror yang tertangkap, diantaranya terlibat bom Bali yang merupakan alumni pesantren. Selain itu, ada sub-bab dalam pelajaran pesantren yang membahas tentang jihad. Penyalahartian jihad oleh beberapa alumni inilah yang sering mengarah pada tindakan teror.
Terlepas dari keterlibatan sebagian kecil civitas pesantren dengan aksi teror, pada dasarnya dunia pesantren secara umum tidak menghendaki tindakan yang mengarah pada radikalisasi ajaran agama, apalagi sampai menimbulkan kekerasan dan teror. Dunia pesantren lekat dengan kehidupan yang moderat dan toleran.
Dunia pesantren sangat kental dengan nilai, pemikiran dan kehidupan yang sederhana, kejujuran, toleran (tasamuh), moderat, (tawasuth), seimbang dengan faham inklusifitas (infitahiyyah) dan pluralitas (ta’addudiyyah). Nilai-nilai tersebut menempatkan pesantren menjadi ummatan wasathan (ummat yang moderat). Nilai dan pemikiran tersebut akan sangat membantu dalam proses deradikalisasi agama dalam rangka penanggulangan terorisme.
Deradikalisasi agama melalui pesantren tidak hanya dilakukan melalui kajian dan diskusi ilmiah agama. Akan tetapi juga melalui aksi nyata dengan memberikan keterampilan dan pemberian sarana untuk mengembangkan kreatifitas dalam rangka pengembangan ekonomi umat. Dengan kreatifitas dan adanya media untuk berkarya, maka akan menjauhkan anak bangsa dari tindakan-tindakan destruktif atas nama apa pun, termasuk atas nama agama.
Deradikalisasi melalui pesantren harus dilaksanakan dalam kerangka penguatan institusi untuk mengurangi celah-celah sosial, ekonomi dan politik yang memungkinkan memicu tumbuhnya paham radikal yang menjurus ke aksi teror. Peran aktif pihak-pihak terkait, terutama pemerintah dapat diarahkan untuk menguatkan peranan pondok pesantren dalam mengatasi permasalahan ekonomi, sosial dan lainnya yang menjadi lahan persemaian pemahaman radikal tersebut. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa deradikalisasi yang diarahkan pada pendekatan kurikulum pondok pesantren (Darmadji: 2011).
Pemerintah melalui BNPT sudah seharusnya memgoptimalkan lembaga-lembaga pendidikan agama yang moderat seperti pesantren dalam rangka melalukan deradikalisasi agama. Optimalisasi peran ormas Islam dan lembaga pendidikan untuk deradikalisasi agama akan mempercepat dan mempermudah upaya memutus mata rantai radikalisme dan terorisme.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar