Senin, 20 Februari 2012
Pesantren dan Budaya Global
Oleh: Imam Mustofa
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Jogjakarta)
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Jogjakarta)
Arus globalisasi yang kian deras berdampak cukup signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan. Kebudayaan lokal dan nilai-nilai moral yang merupakan eksistensi sebuah masyarakat mendapat tantangan dan serangan yang cukup dahsyat. Dengan adanya tantangan ini, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan masyarakat yang kental dengan nilai-nilai religius (religious values), moral dan spiritual mempunyai tanggung jawab yang berat. Pesantren harus mampu menjaga agar nilai-nilai tersebut tetap bertahan dan eksis, bukan hanya di dalam lingkungan pesantren, tetapi juga dalam lingkungan kehidupan masyarakat.
Di akui atau tidak, secara tidak langsung globaliasi telah menjadikan kebudayaan Barat sebagai trend kebudayaan dunia. kebudayaan Barat yang didominasi budaya Amerika dan Eropa yang sarat dengan konsumerisme, hedonisme dan materialisme menjadi "kiblat" bagi kebudayaan-kebudayaan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Budaya global ini melanda dunia ditandai dengan hegemonisasi food (makanan), fun (hiburan), fashion (mode), dan thoght (pemikiran). Budaya-budaya ini terkadang dipaksakan masuk ke dalam budaya lain, sehingga tidak jarang terjadi “benturan-benturan” kebudayaan karena adanya perbedaan dan bahkan pertentangan nilai yang ada di dalamnya.
Pondok Pesantren sebagai institusi pendidikan agama bagi masyarakat, harus mampu mempertahankan dan meningkatkan perannya dalam menyelesaikan berbagi permasalahan yang muncul di masayarakat, terutama masalah dekadensi moral (moral decadence) yang semakin hari semakin parah. Di sini pesantren harus menjadi penyeimbang (balance) dan memberi warna kehidupan masyarakat dengan nilai-nilai religious (religious values), keindahan moral dan kedalaman spiritual.
Pondok Pesantren yang merupakan institusi pendidikan agama, di dalamnya sarat dan akrab dengan iklim kehidupan yang penuh kesederhanaan, kemandirian, keteguhan, kesabaran dan keuletan serta kental dengan nilai-nilai religious dan spiritual. Nilai-nilai inilah yang saat ini mulai hilang karena tergeser oleh nilai-nilai kebudayaan global (global culture). Civitas pondok pesantren harus mampu meningkatkan perannya dalam membentengi masyarakat dari kerusakan moral dengan mentransformasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat.
Santri Pesantren memang diberi pelajaran untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara yang elegan dan beradab. Santri dibekali ilmu dan pengetahuan (ma'rifah) untuk menjalankan dan mengembangkan dakwah dengan rahmah dan bukan dengan "marah". Pesantren selalu mengajarkan santrinya bagaimana membangun kesolehan spiritual yang diambil dari berbagai sumber, mulai dari klasik sampai kontemporer. Penanaman nilai moral spiritual ini yang ditransformasikan dalam masyarakat atau kesolehan sosial. Dengan demikian maka alumninya mempunyai tradisi klasik yang mungkin tidak didapatkan dari lembaga pendidikan lain. Inilah karakteristik unik yang selalu melekat pada pesantren dan civitas akademiknya.
Memang ada yang menilai bahwa pondok pesantren selama ini tampak dengan wajah yang terkesan tradisional, klasik serta apa adanya. Namun tidak dipungkiri, dengan citra wajah yang muncul seperti itu, justru tidak lapuk dimakan zaman, bahkan ditengah gempuran arus globalisasi yang kian menggila dan hedonisme masyarakat yang kian meningkat, pesantren tetap mampu memikat sebagai komunitas masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu. Bahkan menjadi lembaga pendidikan alternatif yang paling diminati.
Meskipun pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan produk zaman klasik, namun di era modern seperti sekarang ini ia tetap tegar dan eksis. Ini terjadi karena adaptasi terhadap lingkungan dan perkembangan zaman. Pondok pesantren terus menyesuaikan diri dam berkembang seiring dengan perputaran roda zaman.
Sebagai institusi pendidikan yang fungsional, pondok pesantren juga harus mampu memberi jawaban terhadap berbagai permasalah yang dihadapi masyarakat terkait masalah-masalah kekinian yang semakin hari semakin kompleks. Karena pondok pesantren memang bukan hanya sekedar lembaga pendidikan, akan tetapi juga merupakan medium budaya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Seluruh civitas akademik pondok pesantren, termasuk Kiyai yang menjadi pengasuh di dalamnya dituntut untuk berfikir dinamis dan kontekstual agar pondok pesantren berkembang dinamis, menyesuaikan diri seiring dengan perdaran denyut nadi waktu yang terus mengalir. Hal ini dilakukan agar pesantren tidak tertinggal oleh kemajuan dunia modern dan ikut berperan serta mewarnai kehidupan masyarakat.
Di era global ini pondok pesantren harus dapat membuktikan dirinya bahwa dia bukanlah institusi pendidikan “kelas dua” yang terpinggirkan, kumuh, kolot dan anti kemajuan. Pesantren harus dapat memaksimalkan potensi yang telah dimilikinya; menambah wawasan dan berinteraksi secara maksimal dengan kemajuan zaman; berperan lebih aktif dalam ranah sosial masyarakat secara maksimal; mengaktualisasikan diri dalam rangka membangun masyarakat yang cerdas secara intelektual dan shalih secara spiritual, moral dan sosial.
Di akui atau tidak, secara tidak langsung globaliasi telah menjadikan kebudayaan Barat sebagai trend kebudayaan dunia. kebudayaan Barat yang didominasi budaya Amerika dan Eropa yang sarat dengan konsumerisme, hedonisme dan materialisme menjadi "kiblat" bagi kebudayaan-kebudayaan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Budaya global ini melanda dunia ditandai dengan hegemonisasi food (makanan), fun (hiburan), fashion (mode), dan thoght (pemikiran). Budaya-budaya ini terkadang dipaksakan masuk ke dalam budaya lain, sehingga tidak jarang terjadi “benturan-benturan” kebudayaan karena adanya perbedaan dan bahkan pertentangan nilai yang ada di dalamnya.
Pondok Pesantren sebagai institusi pendidikan agama bagi masyarakat, harus mampu mempertahankan dan meningkatkan perannya dalam menyelesaikan berbagi permasalahan yang muncul di masayarakat, terutama masalah dekadensi moral (moral decadence) yang semakin hari semakin parah. Di sini pesantren harus menjadi penyeimbang (balance) dan memberi warna kehidupan masyarakat dengan nilai-nilai religious (religious values), keindahan moral dan kedalaman spiritual.
Pondok Pesantren yang merupakan institusi pendidikan agama, di dalamnya sarat dan akrab dengan iklim kehidupan yang penuh kesederhanaan, kemandirian, keteguhan, kesabaran dan keuletan serta kental dengan nilai-nilai religious dan spiritual. Nilai-nilai inilah yang saat ini mulai hilang karena tergeser oleh nilai-nilai kebudayaan global (global culture). Civitas pondok pesantren harus mampu meningkatkan perannya dalam membentengi masyarakat dari kerusakan moral dengan mentransformasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat.
Santri Pesantren memang diberi pelajaran untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara yang elegan dan beradab. Santri dibekali ilmu dan pengetahuan (ma'rifah) untuk menjalankan dan mengembangkan dakwah dengan rahmah dan bukan dengan "marah". Pesantren selalu mengajarkan santrinya bagaimana membangun kesolehan spiritual yang diambil dari berbagai sumber, mulai dari klasik sampai kontemporer. Penanaman nilai moral spiritual ini yang ditransformasikan dalam masyarakat atau kesolehan sosial. Dengan demikian maka alumninya mempunyai tradisi klasik yang mungkin tidak didapatkan dari lembaga pendidikan lain. Inilah karakteristik unik yang selalu melekat pada pesantren dan civitas akademiknya.
Memang ada yang menilai bahwa pondok pesantren selama ini tampak dengan wajah yang terkesan tradisional, klasik serta apa adanya. Namun tidak dipungkiri, dengan citra wajah yang muncul seperti itu, justru tidak lapuk dimakan zaman, bahkan ditengah gempuran arus globalisasi yang kian menggila dan hedonisme masyarakat yang kian meningkat, pesantren tetap mampu memikat sebagai komunitas masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu. Bahkan menjadi lembaga pendidikan alternatif yang paling diminati.
Meskipun pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan produk zaman klasik, namun di era modern seperti sekarang ini ia tetap tegar dan eksis. Ini terjadi karena adaptasi terhadap lingkungan dan perkembangan zaman. Pondok pesantren terus menyesuaikan diri dam berkembang seiring dengan perputaran roda zaman.
Sebagai institusi pendidikan yang fungsional, pondok pesantren juga harus mampu memberi jawaban terhadap berbagai permasalah yang dihadapi masyarakat terkait masalah-masalah kekinian yang semakin hari semakin kompleks. Karena pondok pesantren memang bukan hanya sekedar lembaga pendidikan, akan tetapi juga merupakan medium budaya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Seluruh civitas akademik pondok pesantren, termasuk Kiyai yang menjadi pengasuh di dalamnya dituntut untuk berfikir dinamis dan kontekstual agar pondok pesantren berkembang dinamis, menyesuaikan diri seiring dengan perdaran denyut nadi waktu yang terus mengalir. Hal ini dilakukan agar pesantren tidak tertinggal oleh kemajuan dunia modern dan ikut berperan serta mewarnai kehidupan masyarakat.
Di era global ini pondok pesantren harus dapat membuktikan dirinya bahwa dia bukanlah institusi pendidikan “kelas dua” yang terpinggirkan, kumuh, kolot dan anti kemajuan. Pesantren harus dapat memaksimalkan potensi yang telah dimilikinya; menambah wawasan dan berinteraksi secara maksimal dengan kemajuan zaman; berperan lebih aktif dalam ranah sosial masyarakat secara maksimal; mengaktualisasikan diri dalam rangka membangun masyarakat yang cerdas secara intelektual dan shalih secara spiritual, moral dan sosial.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar