Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 20 Februari 2012

PERANG SURVEI CAPRES


Oleh: Imam Mustofa
(Kader Kultural NU Lampung, Pernah Bekerja pada Lembaga Reform Institute)

Laga pertarungan untuk memperebutkan tahta RI-1 tiga tahun lagi akan berlangsung. Namun, genderang perang nampaknya sudah berbunyi liar. Hal ini ditunjukkan dengan perang survei antarlembaga survei. Dalam waktu kurang dari sebulan saja, sudah dua lembaga survei yang melakukan dan merilis hasil survei tentang capres dan cawapres 2014.
Jaringan Suara Indonesia (JSI) yang melakukan survei pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden, dari 13 calon presiden yang ditawarkan, merilis Megawati meraih suara terbanyak. Megawati mendapat 19,6 persen dan Prabowo 10,8 persen. Disusul Aburizal Bakrie 8,9 persen, Wiranto 7,3 persen, Sri Sultan Hamengku Buwono X sebesar 6,5 persen, Hidayat Nur Wahid 3,8 persen, dan Surya Paloh 2,3 persen (Tempointeraktif.com, 25/10/2011).
Sementara itu, lembaga survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) melakukan melakuan pada 3-8 Oktober 2011. Hasilnya menunjukkan 28 persen masyarakat memilih Prabowo sebagai calon presiden, sedangkan Mahfud sebesar 10,6 persen. Selain Prabowo dan Mahfud, beberapa calon lainnya yang dipilih masyarakat adalah Sri Mulyani dengan suara sebanyak 7,4 persen, Aburizal Bakrie 6,8 persen, Said Akil Siradj 6 persen, Din Syamsuddin 5,2 persen, Pramono Edhie Wibowo 4,2 persen, Jusuf Kalla 4,0 persen, Djoko Suyanto 3,2 persen, Hatta Rajasa 2,8 persen, dan Surya Paloh 2,5 persen (rimanews.com, 27/10/2011).
Terlepas dari hasil masing-masing lembaga survei yang nampaknya yang sengaja "mengunggulkan" tokoh tertentu, rilis hasil lembaga survei tersebut yang jelas bukanlah sesuatu yang lahir di ruang hampa. Rilis tersebut merupakan test case untuk menjajagi kemungkinan layak tidaknya seorang tokoh untuk dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden pada perhelatan demokrasi tahun 2014 nanti.
Setidaknya secara politis ada beberapa alasan maraknya lembaga survei yang merilis hasil survei tentang capres dan cawares. Pertama, untuk mengukur tingkat popularitas tokoh tertentu. Apabila sudah diketahui sampai dimana tingkat popularitasnya, tentunya akan menjadi pijakan dan pertimbangan untuk melakukan langkah-langkah yang harus ditempuh bila hendak melanjutkan pencalonan, terutama untuk menaikkan tingkat popularitas.
Kedua, untuk mengukur tingkat keterpilihan (elektabilitas) tokoh tertentu. Dengan melihat hasil survei, biasanya akan menjadi pertimbangan seorang yang hendak mencalonkan diri, apakah akan melanjutkan pencalonan atau tidak. Bila melanjutkan, hasil survei akan dijadikan dasar untuk mengambil langkah-langkah dalam meningkatkan elektabilitas.
Ketiga, untuk mempengaruhi masyarkat atau publik. Hasil survei secara tidak langsung akan membangun opini publik (public opinion) tentang tokoh tertentu. Survei yang dilakukan dengan motif ini merupakan sebagai upaya untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas. Dengan menempatkan tokoh tertentu pada posisi pertama sebagai sosok yang paling populer untuk capres atau cawapres, maka setidaknya akan memperngaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan nantinya.
Keempat, sebagai media perang psikologis (psycho war) antartokoh yang akan mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden. Dengan memosisikan diri pada tingkat teratas dari sisi popularitas dan elektabilitas, setidaknya akan mempunyai efek psikologis bagi calon tertentu. Bagi yang diposisikan teratas akan menambah kepercayaan diri dan sekaligus sebagai serangan tidak langsung terhadap calon lainnya. Selain melalui survei, psycho war politik biasanya dilakukan dengan saling klaim lewat iklan politik.
Biasanya survei semacam ini juga memberikan pertanyaan apa yang menjadi keinginan masyarakat terhadap presiden mendatang. Jawaban dari responden akan dijadikan isu untuk berkampanye. Inilah yang biasanya akan meningkatkan popularitas dan elektabilitas.
Terlepas dari perang survei, sebagai masyarakat yang akan menjadi penentu siapa yang akan menjadi presiden pada 2014 mendatang, marilah meningkatkan kesadaran dan kedewasaan berpolitik. Iklim demokrasi telah terbentuk di negara Indonesia dengan biaya yang mahal, baik secara finansial maupun biaya sosial. Marilah menentukan pemimpin masa mendatang dengan pertimbangan sematang mungkin. Pengalaman dari Pemilu-Pemilu yang telah lalu hendaknya menjadi pijakan dan pertimbangan untuk menentukan langkah demokrasi ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar