Senin, 20 Februari 2012
Paradoks Kekerasan Atas Nama Agama
Oleh: Imam Mustofa
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia)
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia)
Tinta merah kekerasan yang mengatasnamakan agama masih saja tertoreh dalam lembar sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Teror atas nama agama dengan intimidasi, pengusiran dari tempat tinggal, pembakaran tempat ibadah atau tempat-tempat yang digunakan untuk aktifitas keagamaan bahkan sampai akasi pembunuhan semakin hari semakin sering terjadi. Kejadian terbaru antara lain pembakaran pondok Syiah yang dibakar di Dusun Nangkrenang Desa Karang Gayam Kecamatan Karang Penang, Sampang, Madura. Hal ini tentunya mengusik ketenteraman masyarakat dan sekaligus menjadi ujian berat bagi kebhinekaan ibu pertiwi dan pluralisme bangsa Indonesia.
Adanya tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama merupakan suatu paradoks. Sebagai ajaran suci, agama pada dasarnya membawa pesan dan mengajarkan perdamaian, persaudaran, keadilan, kebebasan, jaminan Hak Asasi Manusia dan ajaran kemashlatan lainnya. Hanya saja, egoisme dan fanatisme beragama dari sebagian umatnya sering memunculkan aksi-aksi yang justeru bertentangan dengan ajaran agama tersebut.
Munculnya paham dan aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama antara lain akibat adanya paradigma bahwa agama hanya sebagai media untuk membela Tuhan dan menegakkan kepentingan Tuhan. Akibat paradigma ini, maka bila ada umat agama lain atau satu agama melakukan aktifitas yang berbeda, maka dianggap telah melecehkan agama, melecehkan Tuhan, sesat dan harus di usir atau bahkan dibunuh.
Agar visi misi agama untuk pembentukan manusia bermoral dan beradab tercapai, maka pemahaman Agama harus menggunakan paradigma yang mengedepankan pemahaman dan interpretasi teologis-humanis. Hasan Hanafi, seorang intelektual Muslim asal Mesir menggunakan istilah rekonstrukis teologi (teosentris) yang lebih menitikberatkan membela Tuhan menuju teologi antroposentris yang mengedepankan membela kepentingan manusia dan kemanusiaan. Agama harus dipahami sebagai teologi pembebasan, pencerahan dan perdamaian yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Agama sebagai pesan perdamaian sarat dengan ajaran yang membela dan menjamin nilai-nilai kemanusiaan. Islam misalnya, Islam menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia. Bukan hanya itu, Islam juga menjamin kebebasan beragama. Sayyid Jawad Mustafavi (1987: 201), dalam Huqquq al Insan fi al-Islam (Hak-hak Manusia dalam Islam) menyebutkan bahwa Islam mengajarkan beberapa jenis kebebasan beragama. Kebebasan tersebut adalah Hurriyat Ikhtiyar al-Aqidah (Kebebasan memilih agama); Hurriyat Itinaq al-Aqidah (kebebasan memeluk agama); Hurriyat idhmar al-Aqidah (kebebasan menyembunyikan agama) dan Hurriyat izhar al-Aqidah (kebebasan menampakkan agama). Nilai dan kebebasan ini tidak jarang tertutup oleh fanatisme buta dan egoisme serta monopoli kebenaran interpretasi ajaran agama.
Selain menjadi paradoks ajaran agama, kekerasan yang terjadi di Indonesia merupakan paradoks di negeri yang dianugerahi kebhinakaan suku, adat, bahasa dan multikutur. Sebagai bangsa yang didiami warga negara dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan, para founding fathers negara merumuskan dasar dan konstitusi negara yang mengharagai dan menjamin kebebasan beragama. Konstitusi telah menjamin dan melindungi hak untuk memeluk agama dan termasuk untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan. Jaminan dan perlindungan ini telah terpatri dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945.
Berangkat pemaparan di atas, maka perlindungan dan jaminan kebebasan terhadap umat beragama menjadi kewajiban bersama penyelenggara negara dan umat beragama, terutama para tokoh agama. Mereka harus bekerjasama untuk menciptakan kerukunan umat dengan segala perangkat, termasuk membentuk undang-undang kerukunan umat beragama.
Pemerintah harus bisa mengantisipasi kemungkinan munculnya konflik atau kekerasan yang mengatasnamakan agama. Perangkat negara yang ada sebenarnya sudah cukup untuk melakukan hal itu, hanya saja, terkadang terkontaminasi dengan konflik kepentingan dan bahkan bahkan konflik keyakinan.
Tokoh agama sebagai simbol otoritas agama harus lebih optimal lagi untuk melakukan deradikalisasi agama untuk menghindari aksi kekeran yang mengatasnamakan agama. Para tokoh agama harus menebarkan dan menyebarkan aura dan pemahaman agama yang moderat, agama perdamaian, agama ketertiban yang menghormati semua umat manusia, dan tidak memperbolehkan pembunuhan sesama umat manusia. Tokoh agama berkewajiban ngemong umat agar selalu bertindak dan hidup dalam koridor spirit agama.
Agama dan konstitusi menjamin kebebasan berkeyakinan dan beragama. Keduanya juga berusaha mewujudkan perdamaian dan ketertiban dalam rajutan benang-benag cinta, perdamaian, persaudaraan dan kerukunan antarumat beragama dan umat manusia dalam bingkai multikeyakinan dan multikultur.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar