Senin, 20 Februari 2012
IDENTITAS ISLAM KAMPUS
(Dosen STAIN Jurai Siwo Metro)
Perguruan Tinggi selain sebagai lembaga pendidikan formal juga menjadi arena sosialisasi dan interaksi para civitas akademikanya. Di sini menjadi tempat bergaul generasi-generasi muda dari berbagai latar belakang suku, ekonomi, pendidikan, agama dan bahkan pemahaman keagamaan, khususnya Islam.
Secara garis besar, setidaknya ada dua "kelompok" besar Islam di kampus. Pertama, kelompok Islam inklusif, dan kedua, kelompok Islam eksklusif. Pengelompokkan ini sama sekali tidak bermaksud mendikotomi atau mengkotak-kotakkan Islam dalam penjara kelompok. Selain itu, sebenarnya penyebutan inklusif dan eksklusif ini terasa terlalu ekstrim. Pegelompokkan tersebut hanya untuk memudahkan klasifikasi.
Kalangan inklusif pada umumnya lebih banyak di kampus-kampus atau fakultas yang berbasis agama. Mereka juga mempunyai basic pengetahuan agama sebelum masuk ke dunia kampus atau Perguruan Tinggi. Bahkan tidak sedikit yang berasal dari dunia pesantren yang notabene lembaga pendidikan agama.
Kalangan Islam inklusif tidak terlalu sibuk dengan menonjolkan identitas atau simbol-sombol keagamaan (Islam), baik dalam pergaulan di dalam maupun di luar kampus. Penampilan dan gaya hidup (life style) mereka pun lebih "santai" dan luwes dengan lingkungan dan arus budaya. Maka sangat wajar jika ada yang menilai bahwa ghirah (semangat) dakwah kalangan ini tidak begitu tampak atau membara.
Pada umumnya kalangan Islam inklusif lebih terbuka, logis dan lebih berpijak pada realitas dan bukan teks-teks agama. Kelompok ini lebih mudah untuk menerima pluralitas dan perbadaan kultur di dunia kampus. Selain itu, kelompok ini juga lebih mudah menyesuikan diri dengan lingkungan dan mudah bergaul dengan pribadi atau kelompok mana pun dari berbagai latar belakang (multi background).
Kalangan Islam Inklusif umumnya lebih terbuka dan jujur dalam perkembangan pemikiran keislaman. Mereka lebih berani dalam menghadapi tantangan modernitas dengan ide pencerahan Islam jika dibandingkan dengan kalangan atau kelompok Islam lainnya. Mereka jug mempunyai pemikiran yang lebih progresif, moderat dan terbuka dengan mengusung dan mengembangakan wacana Islam yang lebih inklusif, humanis dan membumi.
Sementara kelompok kedua, yaitu kelompok Islam eksklusif lebih banyak tumbuh dan berkembang di fakultas atau Perguruan Tinggi umum. Umumnya back ground pendidikan mereka juga berbasis pengetahuan umum, jurursan-jurusan eksakta atau sekolahan-sekolahan umum. Pelajaran agama secara komprehensif umumnya tidak mereka dapatkan dari kecil. Perkenalan dan pembahasan masalah agama dan keislaman secara intens mereka lakukan setelah pertemuan mereka dengan para murabby yang lebih banyak "beroperasi" di kampus atau sekolah-sekolah umum.
Kalangan ini lebih semangat dalam menonjolkan simbol-simbol agama dan keberagamaan. Kehidupan, pergaulan dan penampilan mereka juga lebih kental dengan simbol-simbol agama tersebut. Ghirah atau semangat untuk memeluk dan menjalankan Islam secara "kaafah" juga tampak begitu tinggi.
Mereka memahami agama lebih tekstual jika dibanding dengan kelompok pertama. Dalam menghadapi realitas kehidupan dan lingkungan, umumnya mereka lebih berpijak pada teks agama. Karena mereka memegang semangat untuk kembali ke Al-Quran dan Hadis (sunnah) yang merupakan teks pokok agama.
Dalam hal pemikiran keislaman dan wacana kekinian, mereka lebih hati-hatai, atau bahkan cenderung eksklusif. Bahkan dalam pergaulan dengan masyarakat umum, mereka cenderung kaku, kecuali dalam hal dan tujuan tertentu. Selain itu, nampak tradisi Arab dalam kehidupan mereka, bahkan tidak jarang dari mereka menggunakan bahasa Arab dalam berkomunikasi dan bergaul sesam mereka.
Keragaman Islam di kampus merupakan sebuah realitas dan (sunnah) yang harus mampu dimanage secara profesional dan proporsional. Jangan sampai terjadi rivalitas dan kompetisi yang tidak sehat di dalam dunia kampus. Keragaman tersebut merupakan aset sosial kampus yang dapat mempengaruhi identitas kampus, setidaknya fakultas atau jurusan tertentu.
Kedua kelompok di atas mempunyai ciri dan karakteristik masing-masing yang apabila dapat disinergikan, maka akan menjadikekuatan tangguh dalam pembangunan karakter generasi bangsa. Karena pada dasarnya kewajiban kampus bukan hanya mensukseskan pendidikan intelektual, akan tetapi juga pendidikan spiritual, moral dan sosial civitas akademikanya. Sinergitas antara kedua kelompok di atas dapat dijadikan modal kuat untuk membangun kecerdasan intelektual, spiritual dan moral civitas akademika kampus. Dengan demikian maka akan memperlancar pembangunan generasi bangsa yang mempunyai integritas yang kuat dan karakter yang tangguh. Wallahu A'lam Bishshawab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar