Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 20 Februari 2012

ALTRUISME DALAM ISLAM

Oleh: Imam Mustofa
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia)

Altruisme adalah sikap atau tindakan mendahulukan dan mengutamakan pihak lain yang lebih berhak atau lebih membutuhkan, dari pada kepentingan diri, keluarga, kelompok atau golongan. Altruisme merupakan sebuah dorongan untuk berkorban demi sebuah nilai yang lebih tinggi, tanpa memandang apakah nilai tersebut bersifat manusiawi atau ketuhanan. Kehendak altruis berfokus pada motivasi untuk menolong sesama atau niat melakukan sesuatu untuk orang lain tanpa pamrih.
Auguste Comte pernah menyatakan bahwa setiap individu memiliki kehendak moral untuk melayani kepentingan orang lain atau melakukan kebaikan kemanusiaan tertinggi ("greater good" of humanity). Kehendak hidup untuk sesama merupakan bentuk pasti moralitas manusia, yang memberi arah suci dalam rupa naluri untuk melayani yang lain, dan menjadi sumber kebahagiaan dan karya. Pernyataan Comte ini dikalim sebagai cikal bakal altruisme dalam dunia filsafat.
Altruisme akan terkait dengan tingkah laku prososial (prosocial behavior). Dalam prosocial behaviour terdapat motif prososial (prosocial motive) yang nantinya menjadi altruistik sebagai motif (altruistic as motive) dan altruistik sebagai perilaku (altruistic as behavior).
Dalam Islam altruisme disebut "al-Itsar". Altruisme tersurat secara jelas dalam surat al-Hasyr ayat 9: "Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung"
Terkait dengan ayat di atas, Ibnu Jarir al-Thabari dalam tafsir Al-Thabary menyebutkan riwayat Abu Hurairah bahwa pada suatu hari ada seorang lelaki datang bertamu kepada Rasulullah. Karena kala itu di rumah Rasulullah tidak tersedia makanan untuk menjamu, maka beliau bertanya kepada para sahabat, "Siapakah kiranya yang sudi menjamu tamuku ini?". Saat itu Abu Thalhah, salah seorang sahabat dari kalangan Anshor menyatakan kesediaannya. Lalu Thalhah mengajak tamu Rasulullah tersebut ke rumahnya. Padahal ketika itu di rumahnya juga tidak ada cukup makanan kecuali untuk anak-anaknya.
Untuk mensiasatinya, Thalhah memerintahkan isterinya untuk mengajak anaknya untuk bermain-main, dan ketika mereka minta makan malam, maka mereka diajak tidur. Ketika tamu tadi masuk ruang makan, Thalhah memerintahkan isterinya untuk mematikan lampu, agar sang tamu tidak mengetahui kalau sebenarnya makanan yang disediakan hanya cukup untuk dirinya. Thalhah dan isterinya menyertainya di ruang makan seolah sedang ikut makan. Mereka duduk bersama, sementara sang tamu makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan menahan lapar.
Ketika pagi datang Thalhah dan isterinya menemui Rasulullah, kemudian Beliau memberitahukan pujian Allah swt. kepada mereka. ”Sungguh Allah kagum dengan perbuatan kalian berdua terhadap tamu kalian).”(HR Muttafaq ‘alaih).
Kisah di atas merupakan sikap altruis yang dicontohkan oleh sebagian sahabat Rasulullah. Selain contoh tersebut, masih banyak sikap altruis yang diterapkan kaum Anshor di Madinah. Kaum Anshor telah merelakan harta dan tempat tinggal mereka diberikan untuk kaum Muhajirin . Padahal mereka sebenarnya masih membutuhkan (walau kana bihim khoshoshoh). Sikap altruis ini mereka lakukan atas dasar ikatan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah) dan sekaligus ikatan persaudaraan sesama muslim (ukhuwah islamiyah).
Para altruis adalah orang-orang yang dapat memosisikan diri di hadapan pihak lain. Tindakan seperti ini cukup berat dan jarang yang dapat melakukannya, maka sangat wajar bila Allah swt. memberikan pujian dan kabar gembira kepada para altruis bahwa apa yang mereka lakukan adalah tindakan terpuji dan mereka termasuk orang-orang yang beruntung.
Konsep filsafat Barat tidak membedakan dan membatasi antara altruisme dalam masalah ritual agama dengan altruisme dalam kehidupan sosial sehari-hari. Hal ini berbeda dengan konsep altruisme dalam Islam. Islam hanya menyarankan sikap altruis dalam kehidupan sosial yang bersifat keduniawian. Sementara hal-hal yang bersifat sakral yang berkaitan dengan ritual atau ibadah murni (mahdhah) tidak dianjurkan dalam Islam. Seperti mempersilahkan orang lain terlebih dahulu untuk mengisi barisan depan dalam shalat jamaah. Sikap altruis seperti ini makruh dilakukan.
Meskipun dalam ajaran filsafat dan agama menganjurkan untuk mengutamakan kepentingan orang lain, namun demikian, menurut Imam Sutomo (2008) altruisme ekstrim dalam konteks kehidupan masyarakat moral tidaklah selaras dengan tuntutan, harkat, eksistensi manusia. Oleh karena altruisme harus mengedepankan kesetaraan baik pada diri sendiri maupun orang lain dalam tindakan atau aturan. Pengorbanan yang dilakukan sebagai upaya saling membantu dalam kehidupan masyarakat plural tidaklah harus kehilangan jati diri, harkat, dan martabat kemanusiaanya. Artinya jangan sampai karena ada dorongan untuk mengutamakan kepentingan orang lain malah membawa kerugian atau kemadharatan bagi diri sendiri.
Altruisme tidak hanya memiliki nilai filosofis, tetapi juga mempunyai akar historis. Selain itu, altruisme juga mendapat legitimasi dalam Islam melalui Al-Quran dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial, kita hendaknya menanamkan sikap altruistik dalam hati dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Apabila hal ini kita lakukan, maka diharapkan akan mengikis sikap egois dan sifat mementingkan diri sendiri. Karena sikap mementingkan diri, kelompok atau golongan telah terbukti mengakibatkan kerusakan moral dalam kehidupan sosial, seperti tumbuhnya sikap koruptif, kolutif dan nepotis yang menyebabkan rusaknya Negara dan jatuhnya martabat bangsa.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Altruisme dalam beragama? saya rasa tidak ada. Agama mendorong perbuatan baik dan mulia dengan iming-2 pahala, surga atau ridha Allah.

Seorang menjadi altruis sejati ketika ia tidak lagi terperangkap dalam agama untuk berbuat baik sebagaimana para sufi yg mementingkan esesni hidup ini.

Altruisme dan Agama

Unknown mengatakan...

Iming iming pahala surga atau ridha Allah dlm agama dimaksudkan sebagai pembelajaran yang efeknya dapat menjadikan seorang altruis sejati.

Harun mengatakan...

Yang bisa disebut alat pembelajaran itu bila sifatnya sementara, setelah masa belajarnya selesai, ya alat itu tidak digunakan lagi.

Itu seperti baby stroller yang dipakai bayi untuk belajar berjalan, setelah bisa berjalan, tentu baby strollernya akan disingkirkan.

Surga, Neraka dan ridha Allah itu siftanya permanen dalam agama, tidak bisa disingkirkan. Jadi agama tidak mengajarkan altruisme (kebaikan tanpa pamrih) pada penganutnya.

Agama mendorong seseorang mengejar keuntungan pribadi dalam bentuk surga, bebas neraka dan mendapatkan rida Allah, melalui berbuat baik.

Unknown mengatakan...

Ittihad aql wa ma'qul.

Posting Komentar