Senin, 20 Februari 2012
FORMALITAS HUKUM DAN KEADILAN
Oleh: Imam Mustofa
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (IKPPUII)
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (IKPPUII)
Bulan ini nampaknya menjadi bulan baik bagi sebagian tersangka kasus korupsi. Bagaimana tidak, dalam waktu yang hampir bersamaan, beberapa tersangka kasus korupsi divonis bebas oleh Pengadilan.
Pada Senin, tanggal 10 Oktober 2011 engadilan Tipikor di Semarang, Jawa Tengah memvonis bebbas terdakwa kasus korupsi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Online Cilacap, Oei Sindhu Stefanus. Dua hari berselang, Rabu, 12 Oktober 2011 walikota Bekasi nonaktif, Mochtar Muhammad divonis bebas oleh hakim Pengadilan Tipikor Bandung. Kemudian disusul dikeluarkannya vonis bebas terhadap tersangka penyalahgunaan dana APBD pemerintah kabupaten Lampung Timur sebesar 119 miliar, Bupati nonaktif Satono pada Senin 17 Oktober. Dua hari kemudian, tepatnya Rabu, 19 Oktober 2011 Pengadilan tersebut membebaskan Andy Ahmad Sampurnajaya, mantan Bupati Lampung tengah yang didakwa korupsi penyimpanan dana APBD Lampung Tengah sebesar 28 miliar.
Bebasnya para tersangka korupsi tersebut tidak terlepas dari paradigma hukum dan keadilan yang dipegang oleh para hakim. Umumnya, paradigma hukum dan keadilan yang berlaku di pengadilan tindak pidana adalah keadilan legal formal. Bagaimanapun, Putusan yang dikeluarkan cukup mengacu pada penemuan keadilan secara formal, meskipun harus menutup mata dan mengesampingkan keadilan substantif, keadilan yang mempertimbangan etik-moral. Terlebih bila yang diputus adalah perkara pejabat atau mantan pejabat atau penguasa.
Hukum sebagai salah satu perangkat untuk menciptakan keadilan lebih berjalan pada proses. Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka proses harus berjalan secara maksimal pula. Sebagai perangkat untuk menciptakan keadilan, hukum, sebagaimana dinyatakan oleh H.L.A. Hart dalam bukunya General Theory of Law and State, (1965) harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan. Tiga hal tersebut harus terpenuhi dalam proses mencari keadilan hukum.
Formalitas keadilan hukum
Meskipun hukum, khususnya dalam perkara pidana di negara kita berusaha mengejar keadilan berdasarkan bukti materiil, namun dalam proses peradilan, yang menjadi tumpuan adalah hal-hal yang bersifat formil. Karena hakim cenderung positivistik atau melihat pada undang-undang semata. Padahal kebenaran tidak semata-mata hanya pada undang-undang tertulis, tapi juga dapat digali dari nilai-nilai di masyarakat.
Hukum memang hanya sebagai sarana atau perangkat untuk mewujudkan keadilan. Sebuah perangkat memang harus jelas dan dapat dinilai serta berlandaskan fakta yang empiris. Sebagai konsekuensinya, maka produk-produk yang dihasilkan oleh proses hukum adalah sesuatu yang jelas pula. Ukuran kebenaran yang menjadi landasan hukum sebagai perangkat formal juga hanya berdasarkan hal-hal yang empiris pula. Jadi keadilan yang dapat diwujudkan oleh hukum hanyalah keadilan formal, atau bahkan hanya kebenaran legal formal yang tidak jarang malah jauh dari nilai-nilai keadilan yang hakiki (Mustofa: 2007).
Berdasarkan hal di atas, maka tidak heran jika banyak koruptor, mafia hukum, mafia pemilu, mafia pajak kelas kakap atau penyuap ulung yang lolos dari hukuman. Ini terjadi karena meraka dapat merekayasa bukti dengan menghilangkan bukti yang memberatkan mereka dan menciptakan bukti yang dapat meringankan atau membebaskan, selain mereka bekerja sama dengan aparat penegak hukum yang hanya dapat dirasakan dan sulit untuk dibuktikan. Lalu bagaimana dengan tujuan akhir dari proses hukum, yaitu keadilan yang merupakan sesuatu yang abstrak, yaitu keadilan yang berkaitan dengan perasaan yang tidak dapat dibuktikan dengan data dan fakta empiris?
Perkembangan hukum di era global seperti sekarang, apabila hanya menggunakan cara pandang legal formal (positivistik) semata maka manusai akan mengalami sock, karena hukum yang bertugas menjaga ketertiban (order) malah menimbulkan kekacauan (disorder).
Menciptakan keadilan substantif
Proses pencarian keadilan yang berlandaskan legal formal hukum akan menghasilkan keadilan legal formal pula. Keadilan legal formal yang hanya berlandaskan hal-hal yang bersifat empiris sering tidak selaras (matching) atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai keadilan hakiki, keadilan ideal moral yang pada dasarnya keadilan substantif yang dikehendaki dan dirindukan para pencarinya. Keadilan yang sesuai dengan hati nurani, keadilan etik moral. Proses di pengadilan tidak selalu sampai pada keadilan ini. Oleh karena itu muncul pernyataan bahwa tidak jarang pengadilan hanya menyelesaikan perkara, tapi tidak menyelesaikan masalah.
Keadilan hakiki tidak dapat tercipta bila hanya mengandalkan sistem kerja perangkat legal formal hukum. Oleh karena itu, unsur moral harus benar-benar diterapkan dalam proses hukum. Karena pada dasarnya hukum adalah moral etik yang diformalkan. Moral adalah bagian integral dari hukum yang tidak dapat dipisahkan kecuali oleh orang yang menghianati suara hati.
Para penegak hukum seharusnya menjalankan fungsinya berdasarkan pada dua hal, yaitu aturan hukum yang berlaku dan berpegang teguh pada nilai-nilai moral. Pada dasarnya, apabila aturan hukum yang ada dapat diterapkan secara konsisten, sudah cukup untuk menciptakan keadilan, karena di dalamnya telah bersemayam nilai-nilai moral yang hidup dalam masyarakat. Apabila unsur moral ini dapat terpenuhi maka rasa keadilan yang hakiki akan mudah membumi, keadilan substantif akan dapat terwujud dalam kehidupan masyarakat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar