Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 20 Februari 2012

ERA DEMOKRASI KORUPTIF

Oleh: Imam Mustofa
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Mahasiswa Unggulan Universitas Islam Indonesia (IKAPPUII)

Berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan lahirnya era reformasi telah memberikan secercah harapan bagi rakyat Indonesia. Harapan adanya iklim demokratis dalam penyelenggaraaan negara, harapan adanya tatakelola pemerintahan yang baik dan bersih serta anti-KKN, harapan peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan dan harapan terangkatnya martabat dan bargaining negara dan bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional.
Reformasi yang diharapkan melahirkan pemerintahan demokratis menuju kesejahteraan rakyat ternyata juga jauh api dari pangganga. Demokrasi yang muncul lebih sekadar demokrasi formal yang tidak jarang jauh dari substansinya, yaitu sebagai wahana mensejahterakan rakyat.
Era reformasi yang diharapkan menjadi angin segar bagi penegakan hukum dan pemerataan kesejahteraan rakyat, menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih ( good and clean governance), pemerintahan yang antikorupsi, ternyata menjadi era demokrasi liar, menyebarkan dan menyuburkan korupsi di hampir semua lini dan lorong birokrasi. Munculnya era reformasi bukan malah menghapus atau meminimalisasi korupsi, akan tetapi malah menjadikannya sebagai kultur dan trend. Di era reformasi korupsi sering dilakukan secara berjamaah baik oleh eksekutif maupun legislatif. Sehingga era reformasi lebih mengarah pada era demokrasi koruptif.
Lebih tragisnya lagi, era reformasi telah berperan menciptakan bandit-bandit kekuasaan, para mafia. Mafia anggaran, mafia Pemilu, mafia hukum, mafia jabatan dan mafia-mafia lain yang membajak cita-cita reformasi negara dan bangsa Indonesia.
Di era reformasi saat ini, demokrasi yang seolah menjadi segala-galanya untuk mensejahterakan rakyat harus dibayar dengan biaya yang cukup mahal. Dengan alasan demokrasi, demi untuk mendapat dukungan agar terpilih menjadi anggota legislatif atau kepala daerah, seorang kandidat sering menempuh jalan pintas, yaitu melakukan politik uanga (money politic). Dengan demikian, maka bagi siapa yang mempunyai pundi-pundi uang, akan lebih mudah untuk mendapatkan tampuk kekuasaan. Kursi legislatif, anggota DPR-DPRD atau kepala daerah seolah telah "terbandrol" dengan harga tertentu.
Hal di atas menjadikan demokrasi bukan lagi berarti "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat", akan tetapi demokrasi adalah dari pemilik modal dan untuk pemilik modal. Sudah maklum, bahwa setidaknya seorang yang mencalonkan diri untuk menjadi legislator atau kepala daerah minimal memiliki dua modal utama, yaitu modal sosial, berupa popularitas dan dukungan masyarakat. Modal kedua adalah finansial. Tidak jarang calon yang kurang memiliki modal sosial akhirnya membelinya dengan kekuatan finansiala. Perilaku semacam ini menjadikan ongkos demokrasi untuk terpilih menjadi penguasa menjadi cukup mahal.
Tingginya ongkos demokrasi secara bersamaan akan menciptakan penguasa yang koruptif. Kebijakan yang diambil dalam menjalankan amanah kepemimpinana berlandaskan pada kepentingan diri, dengan paradigma pragmatisme-materialistis. Virus pragmatis-koruptif mengakibatkan pengidapnya menjalankan tugas hanya berdasarkan kepentingan diri, kelompok atau golongannya. Landasan yang menjadi acuan pengambilan kebijakan bukanlah kesejahteraan yang berkeadilan melainkan terpenuhi atau tidaknya kepentingannya.
Di era reformasi saat ini, lembaga-lembaga yang aktif menyuarakan pemberantasan korupsi malah dimusuhi, dikriminalsisasi atau bahkan diteror. Ketegangan hubungan antara Badan Anggaran (Banang) DPR dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah salah satu buktinya.
Kebijakan untuk mensejahterakan rakyat tidak jarang tersandera dan terpenjara di dalam bilik-bilik kepentingan perorangan atau kelompok. Politik balas budi seringkali mengalahkan kepentingan rakyat. Bargaining politik seseorang atau kelompok tertentu sering menutup mata penguasa untuk menjalankan amanah kepemimpinan sesuai amanah undang-undang, yaitu untuk mengangkat taraf hidup dan mensejahterakan rakyat. Kebijakan yang diambil penguasa menggunakan paradigma "give and take" atau logika jual beli. Siapa yang berjasa ia akan mendapatkan jabatan atau setidaknya mendapatkan jatah materi yang diambilkan dari uang rakyat.
Apabila seorang calon legislatif atau kepala daerah telah bersusah payah berkompetisi untuk menang denga pengorbanan finansial yang cukup banyak, maka sudah barang tentu mereka akan mencari cara untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Alternatif untuk pengembalian modal tersebut adalah mengotak-atik anggaran untuk pembangunan. Bahkan cara yang sering ditempuh adalah menjadi mafia anggaran. Mencari pengembalian melalui proyek-proyek pembangunan infrastruktur, dari pusat sampai daerah. Perilaku semacam inilah yang mempermudah penyebaran dan perluasan virus koruptif.
Reformasi harus tetap berjalan pada relnya. Jangan sampai ia terbajak oleh koruptor dan mafia perusak negara. Iklim demokrasi jangan sampai malah menjadi lahan subur bagi tumbuhnya penyelenggara negara yang koruptif. Perlu komitmen yang tinggi untuk meneggakkan hukum secara konsisten dan kontinyu sebagai alternatif solusi untuk menyelamatkan cita-cita reformasi dari virus korupsi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar