Rabu, 29 Februari 2012
BERSAMA MENJADI AHLUSUNNAH WAL JAMAAH
Oleh: Imam Mustofa
(Dosen Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo Metro)
(Dosen Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo Metro)
Status dan predikat ahlusunnah wal jamaah sepanjang sejarah selalu menjadi suatu yang diperebutkan oleh firqah golongan umat Islam, khususnya dalam pemahaman tentang ilmu ketuhanan (teologi). Perebutan ini sangat beralasan karena status ini dalam Islam secara teologis dianggap sangat mulia dan istimewa.
Kelompok atau golongan ahlussunnah wal jamaah diidentikkan sebagai kelompok yang selalu mengikuti syariat dan sunnah Rasulullah dan para sahabat, baik dalam hal akidah, beribadah maupun dalam berperilaku sehari-hari. Kelompok ini adalah satu-satunya kelompok yang akan selamat dan masuk surga. Sementara kelompok lain yang tidak masuk dalam kategori ahlussunnah wal jamaah disebut dengan kelompok pengikut hawa nafsu yang sesat (ahlulahwa adhalah) dan tidak ada tempat yang layak bagi mereka kecuali neraka.
Perebutan status ahlusnnuha wal jamaah ini beraawal dari pemahaman hadis yang menyatakan bahwa umat Muhammad akan terpecah ke dalam 73 golongan yang kesemuanya akan masuk neraka, kecuali ahlussunnah wal jamaah. Terlepas dari kontoversi keshahihan dan kualitas hadis tersebut, yang jelas pada kenyataannya secara doktrinal hadis tersebut berpengaruh pada sejarah perkembangan aliran-aliran teologi dalam Islam. Dan secara sosiologis telah mendikotomi dan menjadikan umat Islam terkotak-kotak. Bukan hanya pada tataran pemahaman teologis saja, akan tetapi telah merembet pada wilayah furu', fikih dan cara keberagamaan umat Islam, bahkan kelompok dan ormas-ormas keagamaan.
Secara historis, perebutan status ahlussunnah wal jamaah berada pada ranah teologi, namun seiring dengan perjalanan waktu dia telah bergeser pada wilayah politik. Dalam sejarah umat Islam, tidak jarang terminologi ahlusunnah wal jamaah disabotase dan diniterpretasikan secara politis dan dibajak oleh kelompok tertetu yang sedang berkuasa untuk menjustikfikasi golongan atau kelompoknya sebagai satu-satunya kelompok yang sesuai dengan ajaran Rasulullah. Bukan hanya itu, interpretasi tersebut juga dijadikan legitimasi dan justifikasi untuk mendeskriditkan atau bahkan memberangus kelompok lain yang menjadi lawan politik. Sebagai contoh adalah Dinasti Bani Umayyah. Para khalifah Dinasti ini telah menjadi pendukung utama dari kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam perjalanannya para penguasa Dinasti Bani Umayyah melakukan strategi kekerasan dalam menumpas pengikut Ali, lawan politik Bani Umayyah-secara fisik.
Teminologi ahlusunnah dipenjara dalam sekat golongan demi eksistensi dan tujuan politik tertentu. Sejarah membuktikan perebutan klaim ahlusunnah sering menimbulkan ketegangan, perpecahan, peperangan dan bahkan menghalalkan darah sesama umat Islam. Sampai saat ini status ini masih sering dipolitisasi untuk kepentingan tertentu, termasuk untuk politik adu domba. Kita bisa lihat di Irak misalnya, sampai sekarang masih sering terjadi ketegangan bahkan pertikaian akaibat dua kelompok, sunni (yang mengkalim diri sebagai ahlusunnah wal jamaah) dengan syi'ah yang dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam.
Berangkat dari kenyataan di atas, kita bisa melihat bahwa interpretasi dan klaim ahlusunnah wal jamaah telah mengorbankan persatuan umat Islam. Pemahaman sempit secara doktrinal-teologis terhadap status ahlusunnah wal jamaah telah mereduksi ajaran-ajaran dalam faham ahlusunnah wal jamaah yang diajarkan oleh Rasulullah itu sendiri.
Umat Islam harus mampu keluar dari penjara dan belenggu doktrin ahlusunnah wal jamaah sebagai pemahaman teologis-politis kearah paradigma baru yang mengedepankan pemahaman dan interpretasi teologis-humanis. Hasan Hanafi, seorang intelektual Muslim asal Mesir menggunakan istilah rekonstrukis teologi (teosentris) yang lebih menitikberatkan membela Tuhan menuju teologi antroposentris yang mengedepankan membela kepentingan manusia dan kemanusiaan.
Ahlusunnah wal jamaah hendaknya dipahami sebagai teologi pencerahan, pembebasan dan kebebasan sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah. Rasulullah datang dengan teologi Islam yang mencerahkan dan mebebaskan. Mencerahkan umat manusia dari kejahiliyahan (kebodohan), membebaskan dari kemiskinan, keterbelakangan, dekadensi moral, korupsi dan berbagai penyakit dan permasalahan sosial lainnya. Ahlusunnah wal jamaah harus diartikan dan diartikulasikan dengan tindakan dan aksi sosial yang nyata dan kontekstual sesuai dengan perkembangan zaman.
Predikat Ahlussunnah wal jamaah harus diartikan secara linier dengan visi dan misi kerasulan Muhammad dan perjuangan para sahabat. Penyandang predikat ini harus mencerminkan kelompok revolutif, liberatif, progresif, dan emansipatif.
Siapa pun dan kelompok mana pun boleh mengklaim dirinya sebagai ahlusunnah wal jamaah, asal tidak untuk kepentingan politis sebagai justifikasi kelompoknya untuk menyesatkan golongan atau kelompok lain. Mereka harus mampu melakukan perubahan diskursus teologi Islam dari yang hanya doktrin tentang Tuhan (teosentris) menuju teologi humanis universal (antroposentris) yang terkait dengan persoalan-persoalan kemanusiaan. Lebih dari itu konsekuensi logis dari predikat ahlussunnah wal jamaah adalah harus mampu berpartisipasi dalam memecahkan berbagai problem kemanusiaan saat ini. seorang atau kelompok yang mengaku ahlussunnah wal jamaah harus peka terhadap isu-isu kemanusiaan kontemporer universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan dan pemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Dengan demikian, Islam akan lebih mampu berperan aktif membangun peradaban manusia di dunia modern.
Tanpa harus melihat latar belakang dari kelompok, golongan madzhab dan organisasi mana pun, umat Islam harus bersatu menyatu dalam satu bingkai persatuan sebagai golongan Ahlussunnah wal jamaah. Menjadi khoiru ummah, menjadi ummatan wasathan (umat yang moderat). Umat yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai teologis ketuhanan dalam kehidupan masyarakat, sebagai proses refleksi memahami wahyu paling dalam, the depth hermeneutic. Proses ini harus berjalan secara dialogis agar menghasilkan aksi.
Tujuan akhir dari pemahaman doktrin teologis ini adalah mengejawantahkannya dalam praksis sosial dalam kehidupan masyarakat, baik dalam bidang pendidikan, sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya agar tercipta masyarakat yang aman, tentram, sa’idun fil dunya wal akhirah. Dengan demikian predikat ahlussunnah menjadi maestro dan menjadi contoh bagi umat lain. Menjadi golongan manusia yang aktif dalam membangun moral dan peradaban umat manusia di muka bumi. Inilah yang menjadi visi dan misi kenabian Muhammad saw.
Kelompok atau golongan ahlussunnah wal jamaah diidentikkan sebagai kelompok yang selalu mengikuti syariat dan sunnah Rasulullah dan para sahabat, baik dalam hal akidah, beribadah maupun dalam berperilaku sehari-hari. Kelompok ini adalah satu-satunya kelompok yang akan selamat dan masuk surga. Sementara kelompok lain yang tidak masuk dalam kategori ahlussunnah wal jamaah disebut dengan kelompok pengikut hawa nafsu yang sesat (ahlulahwa adhalah) dan tidak ada tempat yang layak bagi mereka kecuali neraka.
Perebutan status ahlusnnuha wal jamaah ini beraawal dari pemahaman hadis yang menyatakan bahwa umat Muhammad akan terpecah ke dalam 73 golongan yang kesemuanya akan masuk neraka, kecuali ahlussunnah wal jamaah. Terlepas dari kontoversi keshahihan dan kualitas hadis tersebut, yang jelas pada kenyataannya secara doktrinal hadis tersebut berpengaruh pada sejarah perkembangan aliran-aliran teologi dalam Islam. Dan secara sosiologis telah mendikotomi dan menjadikan umat Islam terkotak-kotak. Bukan hanya pada tataran pemahaman teologis saja, akan tetapi telah merembet pada wilayah furu', fikih dan cara keberagamaan umat Islam, bahkan kelompok dan ormas-ormas keagamaan.
Secara historis, perebutan status ahlussunnah wal jamaah berada pada ranah teologi, namun seiring dengan perjalanan waktu dia telah bergeser pada wilayah politik. Dalam sejarah umat Islam, tidak jarang terminologi ahlusunnah wal jamaah disabotase dan diniterpretasikan secara politis dan dibajak oleh kelompok tertetu yang sedang berkuasa untuk menjustikfikasi golongan atau kelompoknya sebagai satu-satunya kelompok yang sesuai dengan ajaran Rasulullah. Bukan hanya itu, interpretasi tersebut juga dijadikan legitimasi dan justifikasi untuk mendeskriditkan atau bahkan memberangus kelompok lain yang menjadi lawan politik. Sebagai contoh adalah Dinasti Bani Umayyah. Para khalifah Dinasti ini telah menjadi pendukung utama dari kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam perjalanannya para penguasa Dinasti Bani Umayyah melakukan strategi kekerasan dalam menumpas pengikut Ali, lawan politik Bani Umayyah-secara fisik.
Teminologi ahlusunnah dipenjara dalam sekat golongan demi eksistensi dan tujuan politik tertentu. Sejarah membuktikan perebutan klaim ahlusunnah sering menimbulkan ketegangan, perpecahan, peperangan dan bahkan menghalalkan darah sesama umat Islam. Sampai saat ini status ini masih sering dipolitisasi untuk kepentingan tertentu, termasuk untuk politik adu domba. Kita bisa lihat di Irak misalnya, sampai sekarang masih sering terjadi ketegangan bahkan pertikaian akaibat dua kelompok, sunni (yang mengkalim diri sebagai ahlusunnah wal jamaah) dengan syi'ah yang dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam.
Berangkat dari kenyataan di atas, kita bisa melihat bahwa interpretasi dan klaim ahlusunnah wal jamaah telah mengorbankan persatuan umat Islam. Pemahaman sempit secara doktrinal-teologis terhadap status ahlusunnah wal jamaah telah mereduksi ajaran-ajaran dalam faham ahlusunnah wal jamaah yang diajarkan oleh Rasulullah itu sendiri.
Umat Islam harus mampu keluar dari penjara dan belenggu doktrin ahlusunnah wal jamaah sebagai pemahaman teologis-politis kearah paradigma baru yang mengedepankan pemahaman dan interpretasi teologis-humanis. Hasan Hanafi, seorang intelektual Muslim asal Mesir menggunakan istilah rekonstrukis teologi (teosentris) yang lebih menitikberatkan membela Tuhan menuju teologi antroposentris yang mengedepankan membela kepentingan manusia dan kemanusiaan.
Ahlusunnah wal jamaah hendaknya dipahami sebagai teologi pencerahan, pembebasan dan kebebasan sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah. Rasulullah datang dengan teologi Islam yang mencerahkan dan mebebaskan. Mencerahkan umat manusia dari kejahiliyahan (kebodohan), membebaskan dari kemiskinan, keterbelakangan, dekadensi moral, korupsi dan berbagai penyakit dan permasalahan sosial lainnya. Ahlusunnah wal jamaah harus diartikan dan diartikulasikan dengan tindakan dan aksi sosial yang nyata dan kontekstual sesuai dengan perkembangan zaman.
Predikat Ahlussunnah wal jamaah harus diartikan secara linier dengan visi dan misi kerasulan Muhammad dan perjuangan para sahabat. Penyandang predikat ini harus mencerminkan kelompok revolutif, liberatif, progresif, dan emansipatif.
Siapa pun dan kelompok mana pun boleh mengklaim dirinya sebagai ahlusunnah wal jamaah, asal tidak untuk kepentingan politis sebagai justifikasi kelompoknya untuk menyesatkan golongan atau kelompok lain. Mereka harus mampu melakukan perubahan diskursus teologi Islam dari yang hanya doktrin tentang Tuhan (teosentris) menuju teologi humanis universal (antroposentris) yang terkait dengan persoalan-persoalan kemanusiaan. Lebih dari itu konsekuensi logis dari predikat ahlussunnah wal jamaah adalah harus mampu berpartisipasi dalam memecahkan berbagai problem kemanusiaan saat ini. seorang atau kelompok yang mengaku ahlussunnah wal jamaah harus peka terhadap isu-isu kemanusiaan kontemporer universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan dan pemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Dengan demikian, Islam akan lebih mampu berperan aktif membangun peradaban manusia di dunia modern.
Tanpa harus melihat latar belakang dari kelompok, golongan madzhab dan organisasi mana pun, umat Islam harus bersatu menyatu dalam satu bingkai persatuan sebagai golongan Ahlussunnah wal jamaah. Menjadi khoiru ummah, menjadi ummatan wasathan (umat yang moderat). Umat yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai teologis ketuhanan dalam kehidupan masyarakat, sebagai proses refleksi memahami wahyu paling dalam, the depth hermeneutic. Proses ini harus berjalan secara dialogis agar menghasilkan aksi.
Tujuan akhir dari pemahaman doktrin teologis ini adalah mengejawantahkannya dalam praksis sosial dalam kehidupan masyarakat, baik dalam bidang pendidikan, sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya agar tercipta masyarakat yang aman, tentram, sa’idun fil dunya wal akhirah. Dengan demikian predikat ahlussunnah menjadi maestro dan menjadi contoh bagi umat lain. Menjadi golongan manusia yang aktif dalam membangun moral dan peradaban umat manusia di muka bumi. Inilah yang menjadi visi dan misi kenabian Muhammad saw.
Artikel ini telah diterbitkan Radar Lampung Jumat, 9 April 2010
Label:
ARTIKEL ILMIAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar