Rabu, 29 Februari 2012
ALTRUISME BAGI PELAYAN RAKYAT
Oleh: Imam Mustofa
Sekretaris Wakil Ketua STAIN Jurai Siwo Metro
Sekretaris Wakil Ketua STAIN Jurai Siwo Metro
Tindakan pejabat Negara atau elit politik yang melanggar sense of moral atau bahkan hukum hampir tak terhitung. Hal ini menunjukkan ketiadaan empati terhadap keinginan, kondisi, dan kekurangan dan bahkan penderitaan rakyat. Rusaknya suprastuktur moral pejabat dan atau penyelenggara Negara akan berakibat pada rusaknya infrastruktur sosial dan infrastruktur sebuah Negara.
Adanya pejabat negara yang korup, kolusi dan nepotis pada dasarnya berawal dari sikap mental yang mementingkan diri sendiri, ingin memperkaya diri sendiri, keluarga, kelompok dan golongannya. Begitu juga "konflik" antarlembaga Negara yang mengesampingkan kepentingan rakyat pada dasarnya berawal dari sikap individualis-egois yang mengedepankan kepentingan korps dan menafikan kepentingan rakyat. Padahal lembaga Negara merupakan lembaga pelayan rakyat yang harus menjunjung tinggi dan mengedepankan kepenting mereka.
Sikap mementingkan dan mengutamakan diri sendiri dan kelompok adalah sikap individualis-egois dan merupakan salah satu ciri masyarakat modern. Menurut Talcott Parson ciri utamanya adalah netralitas efektif yaitu bersikap netral, bahkan dapat menuju sikap tidak memperhatikan orang lain dan atau lingkungan. Orientasi kehidupan masyarakat modern adalah orientasi diri yaitu lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri.
Salah satu upaya untuk meminimalisir sikap mementingkan diri sendiri dan golongan adalah dengan menanamkan kepada para pejabat atau pelayan rakyat. Tidak sampai di sini, nilai-nilai altruisme yang sudah tertanam harus dapat terimplementasikan dan tertransformasikan dalm kehidupan sehari-hari, terutama dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai pelayan rakyat.
Secara etimologi, altruisme berasal dari bahasa Perancis yang terdiri dari dua suku kata, yaitu autrui yang berarti "orang lain". Kata autrui merupakan turunan dari kata latin Alter yang artinya antara lain "loving others as oneself" (mencintai orang atau pihak lain sebagaimana mencintai diri sendiri. Altruisme termasuk sebuah dorongan untuk berkorban demi sebuah nilai yang lebih tinggi, tanpa memandang apakah nilai tersebut bersifat manusiawi atau ketuhanan. Kehendak altruis (orang yang mempunyai jiwa altruistik) berfokus pada motivasi untuk menolong sesama atau niat melakukan sesuatu untuk orang lain tanpa pamrih.
Auguste Comte dalam sebuah karya yang berjudul "Catechisme Positiviste" mengatakan bahwa setiap individu memiliki kehendak moral untuk melayani kepentingan orang lain atau melakukan kebaikan kemanusiaan tertinggi ("greater good" of humanity). Kehendak hidup untuk sesama merupakan bentuk pasti moralitas manusia, yang memberi arah suci dalam rupa naluri untuk melayani yang lain, dan menjadi sumber kebahagiaan dan karya. Pernyataan Comte ini dikalim sebagai cikal bakal altruism dalam filsafat. Filosuf lain, Sir Charles Erlington mengemukakan bahwa bekerja sama telah terbukti lebih berhasil dari pada berkompetisi dalam proses evolusi. Dalam hal ini, altruisme merupakan sebuah doktrin etis yang diidealkan dalam ajaran-ajaran agama yang mengarah pada pemahaman dan kesadaran bahwa Bahwa sesama manusia harus dikasihi.
Altruisme berarti lebih mengutamakan orang lain dari pada diri sendiri, dan bahkan harus menafikan diri demi mendahulukan orang lain. Jadi altruisme dimanifestasikan dengan melayani orang lain dengan menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Ciri utama moralitas altruistik adalah pengorbanan. Pengorbanan ini dengan memberikan bantuan kepada orang atau pihak lain, meskipun pada dasaranya diri sendiri membutuhkan, akan tetapi lebih mengutamakan orang lain.
Altruisme akan terkait dengan tingkah laku prososial (prosocial behavior). Dalam prosocial behaviour terdapat motif prososial (prosocial motive) yang nantinya menjadi altruistik sebagai motif (altruistic as motive) dan altruistik sebagai perilaku (altruistic as behavior). Altruistik sebagai motif berarti menolong orang lain betul-betul murni berasal dari dalam diri dengan tujuan agar orang lain puas dengan tanpa memperhitungkan atau memperdulikan apa pun. Sementara altruistik sebagi prilaku yaitu menolong orang lain atau berbuatan untuk orang lain dengan tujuan membuat orang lain senang didasarai oleh dua hal, eksosentris yaitu dorongan untuk menolong orang lain tanpa mempertimbangkan latar belakang dan tanpa pamrih dan endosentris yaitu dorongan untuk menolong orang lain tapi karena pamrih untuk mendapatkan keuntungan atau timbal balik dari yang ditolong. Namun demikian, menurut Imam Sutomo (2008) altruisme ekstrim dalam konteks kehidupan masyarakat moral tidaklah selaras dengan tuntutan, harkat, eksistensi manusia, maka altruisme harus mengedepankan kesetaraan baik pada diri sendiri maupun orang lain dalam tindakan atau aturan. Pengorbanan yang dilakukan sebagai upaya saling membantu dalam kehidupan masyarakat plural tidaklah harus kehilangan jati diri, harkat, dan martabat kemanusiaanya,
Berdasarkan pemaparan di atas maka bisa kita pahami altruisme merupakan kewajiban moral. Meskipun kewajiban, altruisme dilakukan tanpa ada tekanan dan tanpa mengharap imbalan. Jadi dalam konteks kapasitas seseorang sebagai pejabat Negara, apabila ia mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadinya, maka sebenarnya itu bukan altruisme. Karena kewajiban yang dilakukannya terkait dengan imbalan yang diterimanya. Dalam menjalankan tugas tersebut seorang pejabat digaji atau mendapatkan imbalan. Lalu bagaimana transformasi nilai altruisme oleh pejabat Negara, seperti DPR, Presiden, Menteri, Kepala Daerah, Hakim Jaksa, Polisi dan lain sebagainya yang notabene mereka mendapat imbalan dari apa yang dipebuat, meskipun sering mengabaikan kepentingan rakyat. Bahkan kewajiban moral para pejabat negara untuk mengedepankan kepentingan rakyat sering terabaikan. Dan lebih kewajiban yang harus dilaksanakan tersebut seringkali dikomersialkan lagi demi kepentingan pribadi.
Transformasidan implementasi kewajiban moral altruisme bagi pejabat Negara adalah dengan tidak menjadikan materi sebagi tujuan utama dalam menjalankan kewajiban. Materi atau gaji hendaknya dipandang sebagai konsekuensi logis. Tujuan utama menjalankan pekerjaan, tugas dan kewajiban adalah untuk menyenangkan dan memuaskan rakyat. Jangan sampai materi dijadikan sebagi tujuan utama, apalagi sampai bertujuan untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dalam rangka mencapai jabatan tertentu. Masalahnya, dalam menjalankan tugas, tanggung jawab dan kewajiban ini pejabat Negara tidak jarang mencari keuntungan lagi di luar gaji yang setiap bulan diterimanya. Akhirnya muncul suap menyuap, korupsi dan pelanggaran-pelanggaran yang mengorbankan kepantingan rakyat yang seharusnya diperjuangkan dan diutamakan. Oleh karena itu, tanamkanlah nilai-nilai altruistik dalan jiwa dan hati dan implementasikanlah nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam menjalankan tugas dankewaiban sebagai pelayan rakyat.
Adanya pejabat negara yang korup, kolusi dan nepotis pada dasarnya berawal dari sikap mental yang mementingkan diri sendiri, ingin memperkaya diri sendiri, keluarga, kelompok dan golongannya. Begitu juga "konflik" antarlembaga Negara yang mengesampingkan kepentingan rakyat pada dasarnya berawal dari sikap individualis-egois yang mengedepankan kepentingan korps dan menafikan kepentingan rakyat. Padahal lembaga Negara merupakan lembaga pelayan rakyat yang harus menjunjung tinggi dan mengedepankan kepenting mereka.
Sikap mementingkan dan mengutamakan diri sendiri dan kelompok adalah sikap individualis-egois dan merupakan salah satu ciri masyarakat modern. Menurut Talcott Parson ciri utamanya adalah netralitas efektif yaitu bersikap netral, bahkan dapat menuju sikap tidak memperhatikan orang lain dan atau lingkungan. Orientasi kehidupan masyarakat modern adalah orientasi diri yaitu lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri.
Salah satu upaya untuk meminimalisir sikap mementingkan diri sendiri dan golongan adalah dengan menanamkan kepada para pejabat atau pelayan rakyat. Tidak sampai di sini, nilai-nilai altruisme yang sudah tertanam harus dapat terimplementasikan dan tertransformasikan dalm kehidupan sehari-hari, terutama dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai pelayan rakyat.
Secara etimologi, altruisme berasal dari bahasa Perancis yang terdiri dari dua suku kata, yaitu autrui yang berarti "orang lain". Kata autrui merupakan turunan dari kata latin Alter yang artinya antara lain "loving others as oneself" (mencintai orang atau pihak lain sebagaimana mencintai diri sendiri. Altruisme termasuk sebuah dorongan untuk berkorban demi sebuah nilai yang lebih tinggi, tanpa memandang apakah nilai tersebut bersifat manusiawi atau ketuhanan. Kehendak altruis (orang yang mempunyai jiwa altruistik) berfokus pada motivasi untuk menolong sesama atau niat melakukan sesuatu untuk orang lain tanpa pamrih.
Auguste Comte dalam sebuah karya yang berjudul "Catechisme Positiviste" mengatakan bahwa setiap individu memiliki kehendak moral untuk melayani kepentingan orang lain atau melakukan kebaikan kemanusiaan tertinggi ("greater good" of humanity). Kehendak hidup untuk sesama merupakan bentuk pasti moralitas manusia, yang memberi arah suci dalam rupa naluri untuk melayani yang lain, dan menjadi sumber kebahagiaan dan karya. Pernyataan Comte ini dikalim sebagai cikal bakal altruism dalam filsafat. Filosuf lain, Sir Charles Erlington mengemukakan bahwa bekerja sama telah terbukti lebih berhasil dari pada berkompetisi dalam proses evolusi. Dalam hal ini, altruisme merupakan sebuah doktrin etis yang diidealkan dalam ajaran-ajaran agama yang mengarah pada pemahaman dan kesadaran bahwa Bahwa sesama manusia harus dikasihi.
Altruisme berarti lebih mengutamakan orang lain dari pada diri sendiri, dan bahkan harus menafikan diri demi mendahulukan orang lain. Jadi altruisme dimanifestasikan dengan melayani orang lain dengan menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Ciri utama moralitas altruistik adalah pengorbanan. Pengorbanan ini dengan memberikan bantuan kepada orang atau pihak lain, meskipun pada dasaranya diri sendiri membutuhkan, akan tetapi lebih mengutamakan orang lain.
Altruisme akan terkait dengan tingkah laku prososial (prosocial behavior). Dalam prosocial behaviour terdapat motif prososial (prosocial motive) yang nantinya menjadi altruistik sebagai motif (altruistic as motive) dan altruistik sebagai perilaku (altruistic as behavior). Altruistik sebagai motif berarti menolong orang lain betul-betul murni berasal dari dalam diri dengan tujuan agar orang lain puas dengan tanpa memperhitungkan atau memperdulikan apa pun. Sementara altruistik sebagi prilaku yaitu menolong orang lain atau berbuatan untuk orang lain dengan tujuan membuat orang lain senang didasarai oleh dua hal, eksosentris yaitu dorongan untuk menolong orang lain tanpa mempertimbangkan latar belakang dan tanpa pamrih dan endosentris yaitu dorongan untuk menolong orang lain tapi karena pamrih untuk mendapatkan keuntungan atau timbal balik dari yang ditolong. Namun demikian, menurut Imam Sutomo (2008) altruisme ekstrim dalam konteks kehidupan masyarakat moral tidaklah selaras dengan tuntutan, harkat, eksistensi manusia, maka altruisme harus mengedepankan kesetaraan baik pada diri sendiri maupun orang lain dalam tindakan atau aturan. Pengorbanan yang dilakukan sebagai upaya saling membantu dalam kehidupan masyarakat plural tidaklah harus kehilangan jati diri, harkat, dan martabat kemanusiaanya,
Berdasarkan pemaparan di atas maka bisa kita pahami altruisme merupakan kewajiban moral. Meskipun kewajiban, altruisme dilakukan tanpa ada tekanan dan tanpa mengharap imbalan. Jadi dalam konteks kapasitas seseorang sebagai pejabat Negara, apabila ia mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadinya, maka sebenarnya itu bukan altruisme. Karena kewajiban yang dilakukannya terkait dengan imbalan yang diterimanya. Dalam menjalankan tugas tersebut seorang pejabat digaji atau mendapatkan imbalan. Lalu bagaimana transformasi nilai altruisme oleh pejabat Negara, seperti DPR, Presiden, Menteri, Kepala Daerah, Hakim Jaksa, Polisi dan lain sebagainya yang notabene mereka mendapat imbalan dari apa yang dipebuat, meskipun sering mengabaikan kepentingan rakyat. Bahkan kewajiban moral para pejabat negara untuk mengedepankan kepentingan rakyat sering terabaikan. Dan lebih kewajiban yang harus dilaksanakan tersebut seringkali dikomersialkan lagi demi kepentingan pribadi.
Transformasidan implementasi kewajiban moral altruisme bagi pejabat Negara adalah dengan tidak menjadikan materi sebagi tujuan utama dalam menjalankan kewajiban. Materi atau gaji hendaknya dipandang sebagai konsekuensi logis. Tujuan utama menjalankan pekerjaan, tugas dan kewajiban adalah untuk menyenangkan dan memuaskan rakyat. Jangan sampai materi dijadikan sebagi tujuan utama, apalagi sampai bertujuan untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dalam rangka mencapai jabatan tertentu. Masalahnya, dalam menjalankan tugas, tanggung jawab dan kewajiban ini pejabat Negara tidak jarang mencari keuntungan lagi di luar gaji yang setiap bulan diterimanya. Akhirnya muncul suap menyuap, korupsi dan pelanggaran-pelanggaran yang mengorbankan kepantingan rakyat yang seharusnya diperjuangkan dan diutamakan. Oleh karena itu, tanamkanlah nilai-nilai altruistik dalan jiwa dan hati dan implementasikanlah nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam menjalankan tugas dankewaiban sebagai pelayan rakyat.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post Tanggal 12 Januari 2010
Label:
ARTIKEL ILMIAH,
LINKUNGAN,
Sosial
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar