Rabu, 29 Februari 2012
AGAMA DAN KORUPSI
Oleh: Imam Mustofa
(Dosen STAIN Jurai Siwo Metro)
(Dosen STAIN Jurai Siwo Metro)
Korupsi merupakan salah satu musuh bersama (common enememy) semua agama yang juga musuh semua bangsa dan negara. Penulis yakin tidak satu agama pun di muka bumi ini yang membenarkan tindakan korupsi. Karena korupsi tidak hanya mengancam dan menghancurkan peradaban umat manusia yang telah dibangun dengan perjuangan dan pengorbanan dan melalui proses historis yang cukup panjang. Korupsi juga mengancam masa depan generasi umat manusia dan bahkan dapat melenyapkan eksistensi manusia sebagai makhluk yang beradab dan berperadaban.
Di Indonesia, yang terkenal dengan masyarakatnya yang sopan, santun, bermoral dan religius ternyata korupsi justru menggurita dari pusat sampai ke lorong-lorong birokrasi daerah. Bahkan para pelaku korupsi di negeri yang secara formal menganut enam agama ini mayoritas atau bahkan semuanya adalah umat beragama. Bukan hanya itu, mereka yang sudah diproses hukum karena kasus korupsi seringkali mengenakan pakaian yang sering diidentikkan dengan identitas kesholihan seorang yang taat beragama, atau yang sering disebut dengan istilah baju "taqwa" atau baju koko. Fenomena ini mengesankan seolah agama tidak mampu menjadi pengendali yang dapat menahan laju hasrat dan libido para pejabat untuk ngembat uang rakyat.
Ketika agama yang menjadi sumber nilai dan ajaran moral dipahami sebagai ritual formal dan identitas sosial belaka, maka umat beragama tidak akan dapat menyentuh dan mencapai tujuan agama, yaitu membentuk pribadi dan masyarakat yang bermoral. Lebih-lebih Padahal, yang menjadi inti sebuah jaran agama adalah nilai-nilai moral tersebut, dan bukan ritual-ritual formal simbolis.
Melesatnya laju tindakan amoral korupsi di kalangan umat beragama bukanlah berarti agama lunglai dan gagal dalam menahan deru nafsu para koruptor. Sitidaknya ada dua kemungkinan yang terjadi mengapa para penganut agama masih sering berbuat amoral yang bertentangan dengan nilai dan ajaran agama. Kemungkian pertama adalah sebagian penganut agama tersebut tidak mampu manangkap pesan dan nilai moral yang terkandung dalam sebuah ajaran agama atau ritual-ritual agama. Dalam sebuah ritual agama mengandung nilai-nilai moral yang merupakan inti dan ruh sebuah agama. Nilai-nilai moral ini bersemayam di dalam simbol-simbol ritual agama. Nilai dan pesan moral inilah yang harus diserap dari ritual-ritual agama yang menjadi simbol sebuah ketaatan.
Kemungkinan kedua adalah sebagian pemeluk agama yang berbuat amoral korupsi mampu menangkap dan menyerap nilai dan pesan moral agama yang terdapat dalam ritual-ritual agama. Namun demikian mereka gagal mengimplementasikan dan mentransformasikannya dalam kehidupan individu, keluarga dan terlebih dalam kehidupan masyarakat. Nilai moral agama yang sudah terserap oleh seorang umat beragama maka ia harus diimplelemnatisakan dalam setiap detik, setiap detak jantung dan denyut nadi, setiaphela nafas dan tidak ia dibiarkan mengendap di dalam pikiran untuk mengangankan kebahagiaan hidup di alam akhirat belaka. Nilai-nilai moral agama yang terkandung dalam ritual masih bersifat bastrak, agar keindahan agama dapat dirasakan oleh manusia dan makhluk-makhluk di alam semesta ini, maka ia harus diejawantahkan dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam setap interaksi dengan makhluk dan alam semesta. Dengan demikian umat beragama jauh dari tindakan amoral dan destruktif.
Kalau dipahami secara mendalam, pada dasarnya Tuhan menurunkan syariat (ajaran agama) ke muka bumi ini bukanlah untuk kepentingan-Nya, karena Tuhan memang tidak mempunyai kepentingan sama sekali. Syariat diturunkan dan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menegakkan kemaslahatan (kebaikan dan keteraturan) bagi manusia. Lebih luas lagi, kemaslahatan itu juga agar dirasakan oleh seluruh makhluk di alam semesta. Dalam hal ini Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, dalam kitabnya I'lam al-Muwaqqi'iin (III/11) mengatakan bahwa sesungguhnya syariat itu berlandaskan atas asas hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Kemaslahatan ini antara lain berupa nilai-nilai universal syariat seperti keadilan, kasih sayang, persatuan, toleransi, perdamaian dan sebagainya.
Agama adalah sebagai sarana untuk menciptakan hubungan vertikal (vertical relationship) yang harmonis dan konstruktif antara manusia dengan Tuhannya serta hubungan horizontal (horizontal relationship) antara manusia dengan lainnya dan sekalian alam semesta. Berdasarkan paradigma ini, maka korupsi yang merupakan tindakan amoral yang mempunyai daya rusak yang luar biasa, yang merusak infrastruktur sosial masyarakat dan infrastruktur negara merupakan tindakan yang merobohkan pilar dan sendi relasi harmonis manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia serta dengan seluruh makhluk.
Namun sayang, banyak dari kalangan umat beragama yang memahami agama hanya sebagai aturan-aturan legal formal yang hanya menyediakan pahala dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan neraka yang masih bersifat abstrak. Padahal, selain mengandung aturan legal formal, agama mempunyai ajaran moral yang merupakan inti, sebagai perangkat untuk menciptakan masyarakat yang ideal, aman, tenteram, tertib, bahagia di dunia dan akhirat.
Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa maraknya korupsi yang dilakukan oleh sebagian kalangan umat beragama bukan karena kegagalan agama menahan laju deru nafsu para koruptor tersebut. Hal ini terjadi karena kegagalan mereka dalam menangkap nilai dan pesan moral agama dan kegagalan dalam mentransformasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di Indonesia, yang terkenal dengan masyarakatnya yang sopan, santun, bermoral dan religius ternyata korupsi justru menggurita dari pusat sampai ke lorong-lorong birokrasi daerah. Bahkan para pelaku korupsi di negeri yang secara formal menganut enam agama ini mayoritas atau bahkan semuanya adalah umat beragama. Bukan hanya itu, mereka yang sudah diproses hukum karena kasus korupsi seringkali mengenakan pakaian yang sering diidentikkan dengan identitas kesholihan seorang yang taat beragama, atau yang sering disebut dengan istilah baju "taqwa" atau baju koko. Fenomena ini mengesankan seolah agama tidak mampu menjadi pengendali yang dapat menahan laju hasrat dan libido para pejabat untuk ngembat uang rakyat.
Ketika agama yang menjadi sumber nilai dan ajaran moral dipahami sebagai ritual formal dan identitas sosial belaka, maka umat beragama tidak akan dapat menyentuh dan mencapai tujuan agama, yaitu membentuk pribadi dan masyarakat yang bermoral. Lebih-lebih Padahal, yang menjadi inti sebuah jaran agama adalah nilai-nilai moral tersebut, dan bukan ritual-ritual formal simbolis.
Melesatnya laju tindakan amoral korupsi di kalangan umat beragama bukanlah berarti agama lunglai dan gagal dalam menahan deru nafsu para koruptor. Sitidaknya ada dua kemungkinan yang terjadi mengapa para penganut agama masih sering berbuat amoral yang bertentangan dengan nilai dan ajaran agama. Kemungkian pertama adalah sebagian penganut agama tersebut tidak mampu manangkap pesan dan nilai moral yang terkandung dalam sebuah ajaran agama atau ritual-ritual agama. Dalam sebuah ritual agama mengandung nilai-nilai moral yang merupakan inti dan ruh sebuah agama. Nilai-nilai moral ini bersemayam di dalam simbol-simbol ritual agama. Nilai dan pesan moral inilah yang harus diserap dari ritual-ritual agama yang menjadi simbol sebuah ketaatan.
Kemungkinan kedua adalah sebagian pemeluk agama yang berbuat amoral korupsi mampu menangkap dan menyerap nilai dan pesan moral agama yang terdapat dalam ritual-ritual agama. Namun demikian mereka gagal mengimplementasikan dan mentransformasikannya dalam kehidupan individu, keluarga dan terlebih dalam kehidupan masyarakat. Nilai moral agama yang sudah terserap oleh seorang umat beragama maka ia harus diimplelemnatisakan dalam setiap detik, setiap detak jantung dan denyut nadi, setiaphela nafas dan tidak ia dibiarkan mengendap di dalam pikiran untuk mengangankan kebahagiaan hidup di alam akhirat belaka. Nilai-nilai moral agama yang terkandung dalam ritual masih bersifat bastrak, agar keindahan agama dapat dirasakan oleh manusia dan makhluk-makhluk di alam semesta ini, maka ia harus diejawantahkan dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam setap interaksi dengan makhluk dan alam semesta. Dengan demikian umat beragama jauh dari tindakan amoral dan destruktif.
Kalau dipahami secara mendalam, pada dasarnya Tuhan menurunkan syariat (ajaran agama) ke muka bumi ini bukanlah untuk kepentingan-Nya, karena Tuhan memang tidak mempunyai kepentingan sama sekali. Syariat diturunkan dan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menegakkan kemaslahatan (kebaikan dan keteraturan) bagi manusia. Lebih luas lagi, kemaslahatan itu juga agar dirasakan oleh seluruh makhluk di alam semesta. Dalam hal ini Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, dalam kitabnya I'lam al-Muwaqqi'iin (III/11) mengatakan bahwa sesungguhnya syariat itu berlandaskan atas asas hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Kemaslahatan ini antara lain berupa nilai-nilai universal syariat seperti keadilan, kasih sayang, persatuan, toleransi, perdamaian dan sebagainya.
Agama adalah sebagai sarana untuk menciptakan hubungan vertikal (vertical relationship) yang harmonis dan konstruktif antara manusia dengan Tuhannya serta hubungan horizontal (horizontal relationship) antara manusia dengan lainnya dan sekalian alam semesta. Berdasarkan paradigma ini, maka korupsi yang merupakan tindakan amoral yang mempunyai daya rusak yang luar biasa, yang merusak infrastruktur sosial masyarakat dan infrastruktur negara merupakan tindakan yang merobohkan pilar dan sendi relasi harmonis manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia serta dengan seluruh makhluk.
Namun sayang, banyak dari kalangan umat beragama yang memahami agama hanya sebagai aturan-aturan legal formal yang hanya menyediakan pahala dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan neraka yang masih bersifat abstrak. Padahal, selain mengandung aturan legal formal, agama mempunyai ajaran moral yang merupakan inti, sebagai perangkat untuk menciptakan masyarakat yang ideal, aman, tenteram, tertib, bahagia di dunia dan akhirat.
Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa maraknya korupsi yang dilakukan oleh sebagian kalangan umat beragama bukan karena kegagalan agama menahan laju deru nafsu para koruptor tersebut. Hal ini terjadi karena kegagalan mereka dalam menangkap nilai dan pesan moral agama dan kegagalan dalam mentransformasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post Jumat, 5 Nopember 2010
Label:
AGAMA,
ARTIKEL ILMIAH,
KORUPSI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar