Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rabu, 29 Februari 2012

AGAMA DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN


Oleh: Imam Mustofa
(Kader Kultural NU Lampung)

Agama tidak jarang menjadi sasaran tuduhan sebagai pemicu terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap alam yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan bencana. Mary E. Tucker dan John A. Grim misalnya, menuduh agama dan filsafat sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Agama dan filsafat dipandang punya andil besar dalam membentuk berbagai pandangan tentang penciptaan alam dan peran manusia di dalamnya. Pandangan semacam ini sangat memengaruhi bagaimana manusia memperlakukan alam, khususnya hutan.
Jr. Lynn Jr. White, seorang sejarawan abad pertengahan, sebagaimana dinukil Iswanto (2007) menyatakan bahwa perubahan perlakuan manusia atas lingkungan sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Keduanya menunjukkan dominasinya atas dunia abad Pertengahan. Meskipun demikian, karakter ilmu dan teknologi beserta dampak ekologisnya dibentuk oleh asumsi-asumsi yang berkembang sehingga agamalah yang melatarbelakangi perubahan perlakuan manusia atas ekologi dengan ilmu dan teknologinya. Agama bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan.
Tuduhan Tucker, Grim dan White di atas bukannya tidak beralasan, memang ada beberapa ayat di dalam kitab suci yang sering dijadikan justifikasi eksploitasi alam demi kesejahteraan manusia. Di dalam al-Quran mislanya, surat al-Baqarah ayat 29: "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu"; surat al-Nahl ayat 14: "Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur."
Sementara menurut Alwi Shihab (1997), di dalam Injil juga ada ayat yang dikutip secara tidak proporsional, yaitu Genesis (kitab kejadian) 1:8: Dan Tuhan memberkati mereka (Adam dan Hawa) dan berfirman kepada mereka "Menjadi subur dan berlipatgandalah (dalam keturunan), isi (penuhilah) bumi dan tundukkanlah ia, dan kuasailah ikan di laut, unggas, di udara dan segala makhluk hidup dan bergerak di atas permukaan bumi. Kutipan inilah yang sering dijadikan alat untuk mendiskreditkan ajaran Yahudi-Kristen sebagai pemicu lahirnya sikap eksploitatif terhadap alam.
Ayat-ayat tersebut memang memberi mandat dan kekuasaan kepada manusia untuk mendayagunakan alam demi mencapai kesejahteraan hidup di dunia. Namun demikian, perintah dan mandat tersebut bukan tanpa batas dan aturan. Banyak ayat lain yang menuntut manusia agar tidak berlebihan dan tidak membuat kerusakan dalam mendayagunakan alam. Di dalam Al-Quran misalnya, surat al-A'raf: 56, al-An'am: 141, al-A'raf: 31 dan ayat-ayat lain, serta hadis nabi yang mengautkannya. Sementara dalam Injil, pada Genesis 2:15 dan diperkuat pasal 24.
Berdasarkan hal di atas, maka kalangan praktisi dan agamawan menepis pernyataan White, di antaranya adalah Ian Barbour. Barbour menganggap White terlalu menyederhanakan kompleksitas sejarah, karena sesungguhnya ada banyak faktor yang memengaruhi peradaban manusia terhadap alam. Meskipun begitu, kritik White ini setidaknya mendorong para pemeluk agama untuk melakukan refleksi ke arah teologi kritis, terutama menyangkut pandangan relasi Tuhan dan alam; dan relasi umat manusia dengan alam, (Barbour dalam Iswanto: 2005).
Memang harus diakui bahwa di kalangan umat beragama ada yang menggunakan paradigma antroposentris dalam kaitannya hubungan manusia dengan alam. Pandangan antroposentris meyakini bahwa alam ini diciptakan untuk mengabdi pada kepentingan manusia. Manusia diciptakan melalui citra Tuhan dan mewakili kekuasaan-Nya di muka bumi. Dengan demikian, mengeksploitasi alam untuk kesejahteraan manusia tidak lain karena kehendak Tuhan juga. Paradigma ini ditengarai menjadi faktor utama yang membentuk watak eksploitatif manusia terhadap alam, demikian Roger E. Timm menjelaskan.
Paradigma antroposentris mengarah kepada tindakan eksploitatif-destruktif terhadap alam. Pandangan ini membentuk mental manusia menjadi makhluk yang hanya bisa memanfaatkan tanpa mempedulikan kerusakan. Manusia dipandang sah dan boleh dengan leluasa mengeksploitasi demi mencapai kesejahteraan tanpa menghiraukan dampak kerusakan yang akan ditimbulkan, karena alam diciptakan memang untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteran manusia.
Mengingat kerusakan lingkungan sudah sangat parah dan memprihatinkan, sudah saatnya mengembangkan paradigma baru tentang relasi manusia dengan alam, yaitu paradigma konstruktif sebagai pelengkap atas paradigma kekerabatan manusia dengan semua makhluk. Paradigma ini mengarah pada saling ketergantungan dan hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, terutama hutan. Pengembangan paradigma ini dapat dilakukan melalui pendidikan yang berwawasan lingkungan.
Kerusakan dan perusakan lingkungan tidak bisa dituduhkan kepada ajaran atau teks agama tertentu. Manusialah yang sering menyalahgunakan ajaran agama sebagai justifikasi tindakan eksploitatif-destruktif terhadap alam. Jangan sampai teks-teks agama digunakan sebagai justifikasi eksploitasi dan bahkan perusakan lingkungan. Selain itu, perlu pengembangan paradigma kekerabatan dan paradigma konstruktif demi menjaga keharmonisan manusia dengan alam.

Artikel ini telah diterbitkan Radar Lampung Sabtu, 15 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar