Rabu, 29 Februari 2012
AGAMA DAN KEPENTINGAN POLITIK
Oleh: Imam Mustofa
Sekretaris P3M STAIN Jurai Siwo Metro
Sekretaris P3M STAIN Jurai Siwo Metro
Agama pada dasarnya ajaran suci yang berisi moral ketuhanan yang diajarkan kepada manusia melalui wahyu. Dalam Islam, Interpretasi dan Implementasi sipritualitas wahyu Tuhan tersebut dicontohkan oleh Nabi dan Rasul sebagai pengemban otoritas penterjemah pesan Tuhan. Namun demikian, sepeninggal Nabi dan Rasul terakhir, Muhammad SAW, otoritas sepiritual agama sering berbaur dan dijadikan justifikasi langkah-langkah politis dan kepentingan politik kelompok tertentu. Praktik semacam ini berlangsung hingga sekarang.
Simbol-simbol agama, tokoh agama dan kegiatan keagamaan tidak jarang diperalat untuk memuluskan hasrat politik seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini akan sering tampak dan intensitasnya semakin meningkat saat momen-momen hajatan politik seperti pemilu, pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah.
Menjelang pemilihan kepala daerah seperti yang akan dilaksanaan di tiga daerah Otonomi Baru (DOB) di Propinsi Lampung, yaitu Pringsewu, Tulang Bawang Barat dan Mesuji, berbagai kekuatan politik, baik partai maupun perseorangan ((independent) mulai memainkan strategi penggunaan agama sebagai alat. Mereka menyadari bahwa calon pemilih pada umumnya adalah umat beragama terutama Islam. Oleh karena itu, cara jitu untuk melakukan pendekatan adalah melalui lini agama dan keagamaan.
Hal yang paling lumrah adalah memanfaatkan kegiatan keagamaan, seperti peringatan hari besar Islam, Yasinan, tahlilan, istighotsah-an, bahkan membuat jadwal safari Ramadhan dan buka bersama, karena momen tebar pesona tiba saat bulan Ramadhan. Bahkan ada juga yang memanfaatkan jamaah (thoriqah) yang merupakan wahana suci para penempuh "Jejak Tuhan". Biasanya sesorang yang mencalonkan diri dalam pilkada memberikan dana dan sekaligus ikut berbaur dengan masyarakat melaksanakan kegiatan-kegiaan di atas demi pencitraan dan mengemis simpati.
Selain kegiatan dan simbol keagamaan, tokoh agama juga sering dimanfaatkan. Seseorang yang mencalonkan diri dalam pilkada biasanya mendekati tokoh agama, atau bahkan mengumpulkan mereka dalam sebuah kelompok ulama misalnya. Sang calon tidak segan-segan mengeluarkan dana dalam jumlah besar asal tokoh agama tersebut mau mengajak jamaahnya untuk memilih sang calon. Bahkan terkadang pemilik kepentingan untuk kemenangan calon tertentu membiayai tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk melaksanakan ibadah umroh.
Tindakan dan langkah-langah di atas tidaklah salah dan tidak bisa disalahkan. Hanya saja kurang etis. Langkah tersebut merendahkan tokoh agama sebagai simbol otoritas agama, menyeret tokoh agama dalam kubangan kepentingan politik.
Tindakan yang paling merendahkan agama adalah menggunakan ayat-ayat atau teks-teks agama untuk menjustifikasi kepentingan politik. Ayat-ayat suci dan hadis Nabi dijadikan bahan untuk meng-kampanyekan calon tertentu. "Menjual" surga dan neraka untuk kepentingan politik.
Menjadikan agama sebagai tunggangan politik merupakan praktik politik yang tidak santun. Ia tidak sesuai dengan ajaran agama. Memang, seolah-lah itu adalah benar dan islami. Tapi pada dasarnya adalah merendahkan kesucian nilai-nilai ketuhanan, nilai spiritualitas dan moralitas agama, ia menenggelamkan agama dalam arus kepentingan praktis-pragmatis yang bersifat sementara dan sesaat.
Agama adalah ajaran suci yang berisi pesan-pesan tuhan, pesan moral ketuhanan dan spirit untuk menggapai kesejahteraan hidup di dunia dan mencapai kebahagaiaan kehidupan akhirat. Misi ketuhanan dalam agama berlaku tak terbatas ruang dan waktu.
Agama menuntun manusia agar dapat membedakan yang benar dan salah, yang haq dan yang bathil, yang benar dan yang sesat, keadilan dan kezholiman dan sebagainya. Sementara politik praktis yang sering muncul di panggung realitas kehidupan sosial masyarakat kita adalah hanya terbatas pada masalah menang dan kalah, puas dan tidak puas.
Pada dasarnya politik berada pada posisi positif. Politik mencoba mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) melalui organisasi formal demi kesejahteraan masyarakat. Ia berisi spirit untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan masyarakat melalui organisasi tertentu, terutama pemerintahan. Namun demikian, spirit suci politik sering terbajak oleh syahwat personal atau kelompk tertentu, sehingga ia sering berlumur kecurangan dan kekejian demi terpenuhinya hasrat kemenangan, kekuasaan, jabatan dan kepuasan.
Spiritualitas dan Moralitas agama harus diletakkan secara proporsional. Citra ilahiah agama harus diartikulasikan dan diproyeksikan dalam setiap aktifitas kehidupan masyarakat, termasuk dalam berpolitik. Bila aktifitas politik dialiri dengan spiritualitas dan moralitas agama, maka akan terjadi politik yang santun, berorientasi pada kesejahteraan yang berkeadilan, tidak saling menjatuhkan yang hanya berorientasi kemenangan semata. Jangan sampai agama hanya dijadikan tunggangan menuju tahta jabatan dan singgasana kekuasaan profan.
Simbol-simbol agama, tokoh agama dan kegiatan keagamaan tidak jarang diperalat untuk memuluskan hasrat politik seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini akan sering tampak dan intensitasnya semakin meningkat saat momen-momen hajatan politik seperti pemilu, pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah.
Menjelang pemilihan kepala daerah seperti yang akan dilaksanaan di tiga daerah Otonomi Baru (DOB) di Propinsi Lampung, yaitu Pringsewu, Tulang Bawang Barat dan Mesuji, berbagai kekuatan politik, baik partai maupun perseorangan ((independent) mulai memainkan strategi penggunaan agama sebagai alat. Mereka menyadari bahwa calon pemilih pada umumnya adalah umat beragama terutama Islam. Oleh karena itu, cara jitu untuk melakukan pendekatan adalah melalui lini agama dan keagamaan.
Hal yang paling lumrah adalah memanfaatkan kegiatan keagamaan, seperti peringatan hari besar Islam, Yasinan, tahlilan, istighotsah-an, bahkan membuat jadwal safari Ramadhan dan buka bersama, karena momen tebar pesona tiba saat bulan Ramadhan. Bahkan ada juga yang memanfaatkan jamaah (thoriqah) yang merupakan wahana suci para penempuh "Jejak Tuhan". Biasanya sesorang yang mencalonkan diri dalam pilkada memberikan dana dan sekaligus ikut berbaur dengan masyarakat melaksanakan kegiatan-kegiaan di atas demi pencitraan dan mengemis simpati.
Selain kegiatan dan simbol keagamaan, tokoh agama juga sering dimanfaatkan. Seseorang yang mencalonkan diri dalam pilkada biasanya mendekati tokoh agama, atau bahkan mengumpulkan mereka dalam sebuah kelompok ulama misalnya. Sang calon tidak segan-segan mengeluarkan dana dalam jumlah besar asal tokoh agama tersebut mau mengajak jamaahnya untuk memilih sang calon. Bahkan terkadang pemilik kepentingan untuk kemenangan calon tertentu membiayai tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk melaksanakan ibadah umroh.
Tindakan dan langkah-langah di atas tidaklah salah dan tidak bisa disalahkan. Hanya saja kurang etis. Langkah tersebut merendahkan tokoh agama sebagai simbol otoritas agama, menyeret tokoh agama dalam kubangan kepentingan politik.
Tindakan yang paling merendahkan agama adalah menggunakan ayat-ayat atau teks-teks agama untuk menjustifikasi kepentingan politik. Ayat-ayat suci dan hadis Nabi dijadikan bahan untuk meng-kampanyekan calon tertentu. "Menjual" surga dan neraka untuk kepentingan politik.
Menjadikan agama sebagai tunggangan politik merupakan praktik politik yang tidak santun. Ia tidak sesuai dengan ajaran agama. Memang, seolah-lah itu adalah benar dan islami. Tapi pada dasarnya adalah merendahkan kesucian nilai-nilai ketuhanan, nilai spiritualitas dan moralitas agama, ia menenggelamkan agama dalam arus kepentingan praktis-pragmatis yang bersifat sementara dan sesaat.
Agama adalah ajaran suci yang berisi pesan-pesan tuhan, pesan moral ketuhanan dan spirit untuk menggapai kesejahteraan hidup di dunia dan mencapai kebahagaiaan kehidupan akhirat. Misi ketuhanan dalam agama berlaku tak terbatas ruang dan waktu.
Agama menuntun manusia agar dapat membedakan yang benar dan salah, yang haq dan yang bathil, yang benar dan yang sesat, keadilan dan kezholiman dan sebagainya. Sementara politik praktis yang sering muncul di panggung realitas kehidupan sosial masyarakat kita adalah hanya terbatas pada masalah menang dan kalah, puas dan tidak puas.
Pada dasarnya politik berada pada posisi positif. Politik mencoba mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) melalui organisasi formal demi kesejahteraan masyarakat. Ia berisi spirit untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan masyarakat melalui organisasi tertentu, terutama pemerintahan. Namun demikian, spirit suci politik sering terbajak oleh syahwat personal atau kelompk tertentu, sehingga ia sering berlumur kecurangan dan kekejian demi terpenuhinya hasrat kemenangan, kekuasaan, jabatan dan kepuasan.
Spiritualitas dan Moralitas agama harus diletakkan secara proporsional. Citra ilahiah agama harus diartikulasikan dan diproyeksikan dalam setiap aktifitas kehidupan masyarakat, termasuk dalam berpolitik. Bila aktifitas politik dialiri dengan spiritualitas dan moralitas agama, maka akan terjadi politik yang santun, berorientasi pada kesejahteraan yang berkeadilan, tidak saling menjatuhkan yang hanya berorientasi kemenangan semata. Jangan sampai agama hanya dijadikan tunggangan menuju tahta jabatan dan singgasana kekuasaan profan.
Artikel ini telah diterbitkan Lampung Post Sabtu, 9 Juli 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar