Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 10 Mei 2009

TERORISME, FUNDAMENTALISME DAN DIALOG ANTARPERADABAN

OLEH: IMAMMUSTOFA*
Terorisme merupakan salah satu isu yang fenomenal di awal millennium ketiga ini. Wacana ini semakin mencuat setelah terjadi tragedi runtuhnya menara WTC 11 September 2001. Peristiwa ini banyak membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dunia. Konstelasi politik global berubah total. Sebab, Amerika melalu presiden George W. Bush mengeluarkan kebijakan yang cukup mengagetkan dunia. Ia mengatakan bahwa pihak-pihak yang tidak bergabung dengan Amerika untuk memerangi teroris, maka akan menjadi musuh Amerika. “Now for all nations of the world, there only two choices:either they join America, and if they don’t they join the terrorism.



TERORISME, FUNDAMENTALISME DAN DIALOG ANTARPERADABAN
OLEH: IMAMMUSTOFA*
Terorisme merupakan salah satu isu yang fenomenal di awal millennium ketiga ini. Wacana ini semakin mencuat setelah terjadi tragedi runtuhnya menara WTC 11 September 2001. Peristiwa ini banyak membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dunia. Konstelasi politik global berubah total. Sebab, Amerika melalu presiden George W. Bush mengeluarkan kebijakan yang cukup mengagetkan dunia. Ia mengatakan bahwa pihak-pihak yang tidak bergabung dengan Amerika untuk memerangi teroris, maka akan menjadi musuh Amerika. “Now for all nations of the world, there only two choices:either they join America, and if they don’t they join the terrorism.
Pidato Bush ini merupakan pidato perang global melawan terorisme. Bush nampaknya mencitrakan dirinya sebagai pahlawan bangsanya. Dengan menggandeng sekutu-skutu utamanya, akhirnya Amerika berhasil menggulingkan pemerintahan Taliban karena membangkang tidak mau menyerahkan Usamah bin Laden yang dianggap bertanggung jawab atas tragedi 11 september. Setelah berhasil menggulingkan pemerintah Taliban kemudian Amerika menyerang Irak karena dituduh memiliki senjata pemusnah massal yang dapat membahayakan keamanan global.
Kebijakan Bush untuk melakukan perang global melawan terorisme berimbas sampai ke Indonesia. Petinggi AS mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu sarang teroris. Semula pemerintah tidak menggubris anggapan AS ini, namun setelah terjadi ledakan Bom Bali I tahun 2002, akhirnya pemerintah tidak berdaya melihat kenyataan ini. Bom Bali I menyadarkan pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang anti terorisme yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang. Bom Bali I ini kemudian disusul dengan berbagai ledakan yang berskala besar, seperti bom J.W. Marriot pada 2003, bom Kuningan tahun 2004, bom Bali II tahun 2005, bom Palu tahun 2006, dan serentetan kejadian mengenaskan lainnya.
Sebenarnya tindakan terorisme ini dilakukan dengan berbagai motif. Menurut Loudewijk F. Paulus terorisme mempunyai berbagai motif yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori : rasional, psikologi dan budaya yang kemudian dapat dijabarkan lebih luas. Namun motif yang sering muncul di kancah dunia modern ini antara lain, terorisme untuk mempertahankan atau memperluas daerah jajahan; seperti yang dilakukan oleh tentara-tentara Israel terhadap pejuang Palestina; Memisahkan diri dari pemerintahan yang sah (separatis). IRA (Irish Republica Army) dengan segala bentuk kegiatannya dicap sebagai teroris oleh pemerintah Inggris; Sebagai protes sistem sosial yang berlaku. Brigade Merah Italia, yang bertujuan untuk membebaskan Italia dari kaum kapitalis multinasionalis, oleh pemerintah Italia dimasukkan ke dalam kelompok teroris; Menyingkirkan musuh-mu-suh politik. Banyak digunakan Kadafi untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan cara mengirirnkan Dead Squad untuk membunuh . Yang paling menonjol usaha membunuh bekas PM Libya A. Hamid Bakhoush di Mesir yang menggunakan pembunuh-pembunuh bayaran dari Eropa. Namun akhir-akhir ini terorisme sering dikaitkan dengan motif agama.
Menurut Whittaker, terorisme memang dapat muncul karena ajaran agama atau motivasi agama. Sentimen agama sering menjadi salah satu penyebab radikalisme dan terorisme. Menurut Alwi Shihab (1997) sentimen agama di Indonesia merupakan warisan colonial, di mana mereka telah menggantikan sosial politik umat Islam yang berlandaskan ajaran Islam. (Ahmad Syafi'I Maarif: 2000).
Pendapat di atas dikuatkan dengan pengakuan para pelaku ledakan mulai dari WTC, ledakan-ledakan yang terjadi di Indonesia, bom Madrid, bom London dan lain-lain yang berasal dari kalangan Islam fundamentalis yang tertangkap, mereka mengaku menjalankan aksinya atas nama jihad yang merupakan ajaran agama Islam. Selain itu banyak aksi teror yang membawa nama agama, seperti peledakan truk dan bis-bis di Inggris yang dilakukan oleh Gerakan Nasional Katholik Irlandia; serangan gas beracun yang menebar maut yang dilakukan oleh para anggota sekte Hindu-Budha; pengeboman klinik aborsi yang dilakukan oleh para ekstrimis agama Kristen di Amerika, dan serangkaian teror lainnya yang dilakukan dengan membawa simbol agama. (Mark Juergensmeyer).

Istilah dan Survei Historis
Dalam menyikapi isu terorisme ini masyarakat dunia yang terpolarisasi kepada Timur dan Barat, mempunyai perspektif yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan perspektif ini cukup wajar, karena memang belum ada definisi baku yang disepakati tentang terorisme. Menurut sebagian pakar, istilah terorisme merupakan suatu terminology yang mabigu dan kabur. Michael Kinsley, seorang kolomnis yang menulis dalam Whashinton Post, 5 Oktober 2001, mengatakan bahwa usaha mendefinisikan terorisme adalah sesuatu yang mustahil.
Di kalangan akademisi dan ilmuan sosial-politikpun tidak ada kesepakatan tentang batasan pengertian teorisme. Tidak ada satupun istilah terorisme yang yang diterima secara universal. Namun demikian para sarjana mempunyai definisi yang sesuai dengan pandangan dan keahliannya masing-masing atau menisbahkannya dengan pandangan penguasa.
Namun definisi yang mereka kemukakan tidak lepas dari kepentingan dan tendensi. Nampaknya memang sangat sulit untuk mendapatkan definisi obyektif tentang istilah terorisme ini. Pada kenyataanya definisi terorisme hanya digunakan untuk mendeskrisitkan kelompok social tertentu atau bahkan sebagai jastifikasi untuk melakukan terror.
Kata “teroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin ‘terrere’ yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata ‘teror’ juga bisa menimbulkan kengerian. Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppression of Torrorism (ECST) di Eropa tahun 1977terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes against State menjadi Crimes against humanity. Crimes against Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakatumum ada dalam suasana yang terror. Black’s Law Dictionary mendefinisikan terorisme sebagai kegiatan yang melibatkan unsure kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau Negara bagian Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk (i) mengintimidasi penduduk sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan pemrintah; (iii) mempengaruhi penyelenggaraan Negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.
Konvensi perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) 1937 mendefinisikan terorisme sebagai segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada Negara dengan mekasud menciptakan bentuk terror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang tau masyarakat luas. Sementara itu teorisme di mata penguasa, baik nasional maupun lokal didefinisikan Terrorisme is premeditated threat or use of violenceby subnational groups or cladenstine individual intended to intimidate and coerce govermets, to promote political, religious or ideological out comes, and to inculcate fear among the public at large.
Sedangkan menurut Hussein Alatas yang dimaksud sebagai teroris (pengganas) adalah mereka yang merancang kekuatan sebagai senjata persengketaaan terhadap lawan dengan serangan kepada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah atau benar dari segia agama atau moral, berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh dilakukan bagi mencapai tujuan matalamat persengekataan.
Bagaiamana pun beragamnya definisi terorisme, akan tetapi yang pasti dan akan diterima banyak orang adalah definisi yang dibuat oleh penguasa dan kekuasaan serta mampu memaksakan kehendaknya degan segala kemampuannya, baik militer, politik, ekonomi, teknologi, dan kekuatan budayanya. (Juhaya S. Praja: 2003)
Menurut Noam Chomsky, istilah terorisme mulai digunakan pada abad ke-18 akhir, terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat. Istilah ini diterapkan terutama untuk terorisme pembalasan oleh individu atau kelompok-kelompok.
Munculnya istilah terorisme ini ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan mencapai sasaran tertentu. Perkembangannya bermula dari bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari terorisme dengan mengacu pada sejarah terorisme modern. (Najmuddin Ramly: 2003).
Adalah Maximilien Robespierre dijuluki sebagai bapak terorisme modern. Robespierre menjalankan pemerintahan Prancis teror. Inilah sebenarnya yang menandai munculnya terorisme di era modern, karena revolusi prancis (French Revolution) adalah model tulisan Karl Marx dan Friedich Engels, dan model bagi tindakan Vladimir Lenin di Rusia. Selain itu, Revolusi Prancis adalah gejala yang timbul pertama kalinya dalam sejarah di mana suatu kelompok revolusioner mengontrol suatu bangsa atau pemerintahan yang sah secara hukum. (Le Vebvre: 1965).
Tinta merah aksi terorisme terus menerus tertoreh dalam lembaran sejarah dunia modern, Tiger di Srilanka, Takfir wal-Hijrah di Mesir, Baader-Meinhof di Jerman, Red Brigdes di Italia, Action Directe di Prancis, Irish republican Army di Inggris, Tupak Amaru di di Peru, Aum Shinri Kyo di Jepang dan yeng terakhir adalah kelompok Al-Qaidah yang berbasis di Afghanistan. (Alwi Shihab: 2004).

Paradoks Isu Terorisme dan wacana Islam Fundamentalis
Tuduhan yang dilemparkan terhadap Islam berkaitan dengan terorisme merupakan rekayasa yang dilakukan oleh media masa yang berafiliasi dengan pemerintah Amerika dan rezim Zionis. Sesungguhnya, Islam merupakan agama yang berlandaskan kepada spiritualisme dan moral, serta menentang terorisme dan kekerasan. Berlandaskan kepada ajaran Islam, siapapun yang menyebut dirinya muslim, ia tidak berhak untuk melakukan pembunuhan terhadap orang yang tidak berdosa. Namun demikian, Islam juga memerintahkan umatnya untuk teguh membela hak miliknya dan tanah airnya. Pembelaan terhadap tanah air dan hak milik juga diakui secara resmi oleh undang-undang internasional. Dengan kata lain, pembelaan terhadap tanah air dan hak milik bukanlah sebuah bentuk terorisme.
Menurut John L. Espositi, dalam bukunya "Unholy War" (2002) ketika Osama melakukan jihad melawan Uni-soviet untuk membela tanah air Afghanistan sangat didukung oleh Amerika dan pemerintah Arab Saudi. Bagi Amerika ini adalah perang yang baik dan memberikan dana yang cukup serta para penasehat dari Central Intelligence Agency (CIA). Tapi adanya dukungan ini bukan karena membela tanah air, akan tetapi karena jihad Osamah ketika itu sangat menguntungkan AS.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada paradoks mengenai isu terorisme dan wacana fundamentalisme. Dalam hal ini AS menerapkan standar ganda dalam politik internasional. Di satu sisi ia menjadi "panglima" perang melawan terorisme, selalu mencurigai dan menekan kalangan fundamentalis Islam, namun di sisi lain ia mendukung tindakan terorisme. AS sendiri adalah teorisme Negara.
Noam Cosmky, pakar linguistik pada the Massachussets Institute of Technology mengatakan "we should not forget that the US itself is a leading terorist state". dia juga menyatakan bahwa pengeboman atas Afghanistan (oleh pasukan sekutu pimpinan AS) adalah kejahatan lebih besar dari pada teror 11 September, AS adalah terdakwa negara teroris. Edward S. Herman, guru besar di Universitas Penslyvania, dalam bukunya The Real Teror Network (1982), mengungkap fakta-fakta keganjilan kebijakan antiterorisme AS. selama ini AS merupakan pendukung rezim-rezim "teroris" Garcia di Gautamala, Pinochet di Chili dan rezim Apartheid di Afrika Selatan. (Adian Husaini: 2005)
AS juga dengan terang-terangan mendukung Israel yang jelas-jelas melakukan teror terhadap pera pejuang Palestina. Kebrutalan usaha-usaha Israel untuk menekan Palestina pernah dikemukakan oleh menteri pertahanan Yitzhak Rabin. Pada 19 Januari 1988, dia menyiarkan kebijaksanaan "patah tulang" dengan mengatakan bahwa Israel akan menggunakan "kekerasan, kekuatan dan pukulan-pukulan" untuk menekan para pejuang Palestina. Perdana Menteri Yitzhak Shamir juga pernah menyatakan "Tugas kami sekarang adalah menciptakan kembali benteng rasa takut antara orang-orang Palestina dan militer Israel, dan sekali lagi menyebarkan rasa takut akan kematian pada orang-orang Arab di wilayah-wilayah itu untuk mencegah mereka agar tidak menyerang kami lagi"
Apa yang dilakukan Israel terhadap para pejuang Palestina jelas-jelas tindakan teror, namun AS, sebagai Negara yang mengaku panglima perang perlawanan terhadap terorisme, Negara yang mengaku penjung nilai-nilai HAM dan kebebasan bungkam seribu bahasa seakan mengamini tindak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat Israel.
Di sisi lain ada wacana Islam Fundamentalis atau Islam militan yang sudah lekat dengan berbagai aksi teror sehingga mereka menjadi musuh utama Barat, terutama AS. Media masa menggunakan momentum 11 September untuk menciptakan citra bahwa semua muslimin adalah teroris dan agama Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan. Samuel P. Huntington, ketika berdialog dengan Anthonny Gidden, pada musim semi 2003 mengatakan bahwa militan Islam adalah ancaman bagi Barat. Oleh karena itu mereka harus diperangi. Satu strategi yang memungkinkan adalah dilakukannya serangan dini (preemptive-strike) terhadap ancaman serius dan mendesak. Musuh kita adalah Islam militan.
Padahal adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh kaum fundamentalis atau Islam militan karena adanya ketidakadilan global. Tindak diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu sebagai bentuk ketidakadilan global yang terjadi di banyak negara. Yang paling nyata adalah invasi AS terhadap Afganistan dan Irak yang diwarnai oleh penyiksaan terhdap para tahanan; kekerasan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap para pejuang Palestina. Kalau kita lihat dari definisi terorisme secara obyektif, tindakan-tindakan ini merupakan terrorisme, bahkan dilakukan secara terorganisir oleh suatu bangsa terhadap bangsa yang lain. Mereka sengaja menebar rasa ketakutan, kepanikan, ancaman kehilangan masa depan terhadap bangsa yang mereka invasi atau jajah. Dari sedikit pemaparan di atas nampak sangat jelas bahwa ketidak adilan dan standar ganda yang diterapkan oleh AS memupuk rasa kebencian kalangan Islam Fundamentalis terhadap Barat, terutama Amerika.
Maka wajarlah apabila sebagian besar pelaku tindakan kekerasan terhadap obyek-obyek Barat selama ini selalu beralasan bahwa tindakan mereka sebagai balasan terhadap kezaliman dan reaksi terhadap ketidakadilan global, terutama negara besar pengusung ideologi Kapitalisme, yakni AS dan sekutunya—termasuk Australia—terhadap kaum Muslim di seluruh dunia. Dari dokumen rekaman yang ditemukan polisi yang ditemukan di Semarang, para pelaku peledakan bom di Indonesia mengaku bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebagai balasan terhadap kebrutalan AS. Bahkan sebuah buku ditulis dengan judl "Imam Samudra: Aku Melawan Teroris". Contoh lain seperti munculnya rasa kebencian dari kalangan Islam, seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) terhadap pemerintah Amerika Serikat karena keberpihakan kebijakan luar negeri pemerintah AS kepada kepentingan politik Israel dan penyerangan terhadap Irak.
Karena itu, radikalisme yang dituduhkan kalangan Barat sebagai tindakan terorisme kalangan Islam, tidak muncul dalam ruang hampa. Kekerasan struktural dan ketidak-adilan global yang merugikan umat Islam, menjadi pendorong lahirnya radikalisme. Dalam buku Islam: Continuity and Change in the Modern World, John Obert Voll, menyebutkan bahwa gerakan militan Islam tercipta dari dominasi negara-negara maju terhadap negara taklukan (1982). Dalam acara Dialog Antarumat Beragama dan Kekerasan Pada 6-7 Desember 2004 di Yogyakarta, Syafii Ma'arif menyatakan bahwa selama selama terorisme negara tidak dihentikan maka kekerasan dan konflik tidak akan berakhir. Karena itu, menurutnya, terorisme bisa dihentikan dengan menghentikan terorisme negara.
AS mengecam tindak kekerasan, mewajibkan semua Negara di dunia ini untuk menerapkan demokrasi dan HAM, namun di sisi lain AS sendiri melanggar secara terang-terangan dan penuh rasa bangga terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM. Tindak kekerasan sudah menjadi kebiasaan militer sekutu yang dipimpinnya. Oleh karena itu banyak kalangan Islam yang melakukan kekerasan sebagai balasan terhadap aksi terror AS dan sekutunya.

Respon agama terhadap isu terorisme dan Dialog antaragama dan antarperadaban
Pasca terjadinya tragedi 11 september 2001, hampir semua Negara yang mempunyai kelompok Islam garis keras berupaya sekuat tenaga untuk menyumbangkan berbagai pandangan untuk mengatakan bahwa umat Islam bukan teroris, dan tidak semua aksi teroris itu mewakili umat Islam. Namun demikian hal ini belum mampu menepis kecurigaan Barat terhadap Islam. Oleh Karena itu baik dari kalangan Islam maupun Barat yang mayoritas beragama Kristen bersepakat untuk intens mengadakan dialog antaragama dan peradaban. Paus Johannes Paulus II dan Paus Benekditus XVI sendiri sangat menghormati umat Islam dan bersedia berdialog dengan kalangan Islam.
Mmang tidak satu agamapun di dunia ini yang membolehkan apalagi menganjurkan tindakan teror. Ketika isu terorisme mencuat ke permukaan, berbagai reaksi muncul dari kalangan agamawan. Dari kalangan Islam yang notabene banyak menjadi obyek tuduhan aksi teror, dengan sigap kaum intelektual muslim meng-conter dengan berdalih bahwa mereka yang melakukan teror dengan atas nama Islam sangat jauh menyimpang dari nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Tokoh-tokoh dan intelektual muslim berusaha menjelaskan bahwa agama Islam adalah agama yang cinta damai, agama kasih sayang, agama humanis, agama santun, menjunjung HAM dan berbagai sifat terpuji lainnya. Dan sebaliknya mereka mengecam semua tindakan teror karena tidak ada ajaran Islam yang membolehkan melakukan anarkisme atau terorisme. Kalangan agamawan lain juga bereaksi, para pengusung dialog antarumat beragama sering mengklaim bahwa para teroris, militan dan kelompok fundamentalis memiliki karakter menganggap dirinya paling benar, padahal apa yang mereka lakukan tidak sesusai dengan ajaran agama manapun. Maka dari itu, banyak kalangan baik dari Islam, Kristen ataupun Barat yang menganjurkan diadakannya dialog antaragama dan antarperadaban.
Sebenarnya ide diadakannya dialog antarperadaban dan antaragama ini sudah lama muncul. Pada tanggal 23-24 Maret 1995, di Jakarta pernah diadakan seminar internasional tentang Islam dan Barat dalam Era Globalisasi. (Nur Cholish et all: 1996) Selanjutnya pada tahun 1996, Perdana Menteri Turki, Necmettin Erbakan dalam makalahnya untuk konferensi IIFTIHAR (International Institute for Technology and Human Resource Development) di Jakarta mengajukan tema "Dialog Peradaban" (Dialogue among Civilization). Usul ini didukung dan dikembangkan oleh intelektual muslim lain, seperti B.J Habibie dan Anwar Ibrahim. (Adian Husaini: 2005).
Dialog antarperadaban adalah proses komunikasi dua arah dari dua atau lebih peradaban yang berbeda yang dilakukan oleh aktor dalam berbagai lapisan pemerintahan dan civil society dengan tujuan utama timbulnya saling pengertian dan kerja sama. Dialog dipahami sebagai conversation of cultures, yang berlangsung dalam ruang masyarakat internasional yang memiliki kesamaan komitmen dan berdasarkan penghargaan yang lain sebagai sejajar. Percakapan ini menuntut perenungan dan empati. Perbedaan peradaban mengharuskan, meminjam Habermas, suatu aksi komunikatif (communicative action) dalam ruang publik.
Dialog dilakukan karena disadari ada perbedaan atau bahkan konflik, karena dunia berkarakter plural. Pluralisme peradaban merupakan perbedaan perspektif dalam memahami dunia. Pluralisme peradaban agak berbeda dengan pluralisme jenis-jenis lain seperti gender, ras, agama, dan suku. Pluralisme peradaban juga agak berbeda dengan multikulturalisme yang diartikan sebagai kemajemukan budaya dalam sebuah komunitas negara-bangsa. Dan perbedaan peradaban ini yang menimbulkan jurang yang menganga antara Islam dan Barat. Oleh karena itu dialog dilakukan untuk menciptakan keharmonisan hubungan antara Islam dengan negara-negara Barat yang notabene mayoritas beragama Kristen.
Dalam kaitan dengan sejarah hubungan Islam-Barat, memang banyak peristiwa sejarah yang masih menjadi memori kelabu dalam memori kolektif Barat. Memori ini tampak terbuka setelah isu terorisme yang secara terang-terangan memojokkan posisi umat Islam. Ada sebagian orang yang memanfaatkan situasi dunia yang dipenuhi oleh hiruk pikuk perang melawan terorisme, untuk menyejajarkan Islam dengan faham kekerasan dan umat Islam dengan kelompok teroris. Untuk tujuan itu, mereka menenuhi media massa dengan berbagai makalah dan artikel serta membuat sejumlah film yang isinya memojokkan Islam dan umat muslim. Bahkan kerenggangan hubungan ini juga terjadi pada negara-negara Islam selama ini sangat akrab dengan AS yaitu Kerajaan Arab Saudi (KSA).
Ide untuk melakukan dialog secara intens ini mendapat sambutan yang sangat positif, khususnya dari kalangan moderat. Hal ini tercermin dari banyaknya lembaga-lembaga yang memprakarsai dialog antarperadaban. Dialog itu sendiri esensinya ingin menghadirkan citra diri secara seimbang dan proporsional.
Sr Patricia Madigan, dari Australia, salah satu peserta dialog antaragama yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 6-7 Desember 2004, menyatakan bahwa dialog antarkelompok moderat dari komunitas berbeda akan mempersempit gerak orang- orang yang ingin melakukan kekerasan. Selain itu, dialog semacam ini menjadi sarana untuk memahami agama orang lain sekaligus mempertebal iman. Mgr Rey Manuel Mousanto, peserta dari Filipina, mengatakan, di negaranya sudah ada konferensi uskup dan ulama sejak tahun 1990-an guna mengurangi prasangka agama di Filipina. (Kompas - (7/12/2004).
Untuk mengintensifkan dialog antaragama dan peradaban ini peran organisasi-organisasi Islam sangat diperlukan. Untuk tingkat Internasional seperti OKI dan Liga Arab, untuk tingkat nasional, ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta lembaga pemerinta, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Departemen Agama. Tokoh-tokoh agama juga diharapkan dapat memberikan pemahaman ajaran-ajaran agama melalui kurikulum pendidikan Islam secara konprehensif. Hal ini untuk menghindari kesalahan dalam memahami teks-teks agama yang berpotensi untuk disalahtafsirkan demi menjastifikasi anarkisme atau terorisme yang akan semakin memperburuk nama Islam di mata internasional, khusunya Barat.

*Penulis Adalah Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (IKPPUII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar