Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 10 Mei 2009

ISU TERORISME DAN RESPON AGAMA-AGAMA

OLEH: IMAM MUSTOFA
Abstract
Terorisme merupakan salah satu isu yang fenomenal di awal millennium ketiga ini. Wacana ini semakin mencuat setelah terjadi tragedi runtuhnya menara WTC 11 September 2001. Peristiwa ini banyak membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dunia. Konstelasi politik global berubah total. Kalangan Barat mencurigai tindak kekerasan yang dilakukan oleh kalangan Islam merupakan sebagai aplikasi dari ajaran jihad yang sering dilekatkan dengan kalangan Islam fundamentalis. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada paradoks mengenai isu terorisme dan wacana fundamentalisme.


ISU TERORISME DAN RESPON AGAMA-AGAMA
OLEH: IMAM MUSTOFA
Abstract
Terorisme merupakan salah satu isu yang fenomenal di awal millennium ketiga ini. Wacana ini semakin mencuat setelah terjadi tragedi runtuhnya menara WTC 11 September 2001. Peristiwa ini banyak membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dunia. Konstelasi politik global berubah total. Kalangan Barat mencurigai tindak kekerasan yang dilakukan oleh kalangan Islam merupakan sebagai aplikasi dari ajaran jihad yang sering dilekatkan dengan kalangan Islam fundamentalis. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada paradoks mengenai isu terorisme dan wacana fundamentalisme. Dalam hal ini AS menerapkan standar ganda dalam politik internasional. Di satu sisi ia menjadi "panglima" perang melawan terorisme, selalu mencurigai dan menekan kalangan fundamentalis Islam, namun di sisi lain ia sering melakukan aksi teror dan mendukung mendukung tindakan terorisme. Inilah yang menimbulkan banyaknya tindak kekerasan dari kalangan umat Islam sebagai balasan terhadap aksi teror yang dilakukan oleh AS dan sekutu-sekutunya. Menaggapi isu terorisme ini banyak kalangan, baik Islam maupun Barat yang mayoritas beragama Kristen yang mengajak di adakannya dialog antaragama dan peradaban secara intens.

A. Pendahuluan
Terorisme merupakan salah satu isu yang fenomenal di awal millennium ketiga ini. Isu ini semakin mencuat setelah terjadi tragedi runtuhnya menara WTC 11 September 2001. Peristiwa ini banyak membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dunia. Konstelasi politik global berubah total. Sebab, Amerika melalui presiden George W. Bush mengeluarkan kebijakan yang cukup mengagetkan dunia. Ia mengatakan bahwa pihak-pihak yang tidak bergabung dengan Amerika untuk memerangi teroris, maka akan menjadi musuh Amerika. “Now for all nations of the world, there only two choice: either they join America, and if they don’t they join the terrorism.
Kebijakan Bush untuk melakukan perang global melawan terorisme berimbas sampai ke Indonesia. Petinggi AS mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu sarang teroris. Semula pemerintah tidak menggubris anggapan AS ini, namun setelah terjadi ledakan Bom Bali I tahun 2002, akhirnya pemerintah tidak berdaya melihat kenyataan ini. Bom Bali I menyadarkan pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang anti terorisme yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang. Bom Bali I ini kemudian disusul dengan berbagai ledakan yang berskala besar, seperti bom J.W. Marriot pada 2003, bom Kuningan tahun 2004, bom Bali II tahun 2005, bom Palu tahun 2006, dan serentetan kejadian mengenaskan lainnya.
Sebenarnya tindakan terorisme ini dilakukan dengan berbagai motif. Menurut Loudewijk F. Paulus terorisme mempunyai berbagai motif yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: rasional, psikologi dan budaya yang kemudian dapat dijabarkan lebih luas. Namun motif yang sering muncul di kancah dunia modern ini antara lain, terorisme untuk mempertahankan atau memperluas daerah jajahan; seperti yang dilakukan oleh tentara-tentara Israel terhadap pejuang Palestina; Memisahkan diri dari pemerintahan yang sah (separatis). IRA (Irish Republica Army) dengan segala bentuk kegiatannya dicap sebagai teroris oleh pemerintah Inggris; Sebagai protes sistem sosial yang berlaku. Brigade Merah Italia, yang bertujuan untuk membebaskan Italia dari kaum kapitalis multinasionalis, oleh pemerintah Italia dimasukkan ke dalam kelompok teroris; Menyingkirkan musuh-mu-suh politik. Banyak digunakan Kadafi untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan cara mengirirnkan Dead Squad untuk membunuh . Yang paling menonjol usaha membunuh bekas PM Libya A. Hamid Bakhoush di Mesir yang menggunakan pembunuh-pembunuh bayaran dari Eropa. Namun akhir-akhir ini terorisme sering dikaitkan dengan motif agama.
Menurut Whittaker, terorisme memang dapat muncul karena ajaran agama atau motivasi agama. Sentimen agama sering menjadi salah satu penyebab radikalisme dan terorisme. Namun demikian aksi terorisme yang marak akhir-akhir ini sebenarnya bukan dilatarbelakangi oleh ajaran agama. Aksi kekerasan tersebut muncul lebih mengarah pada reaksi oleh kelompok yang frustasi dan kecewa terhadap ketidakadilan global dan tindakan Negara-negara Barat, khususnya Amerika yang selalu melakukan teror dan mendukung Israel dalam melakukan teror terhadap para pejuang Palestina. Ketika AS sebagai lambang kapitalisme dan sekularisme mendominasi peradaban Barat, karakteristik benturan kepentingan tidak lagi dibangun atas konsep teologis, dan ideologis. Konflik peradaban lebih dibangun atas kepentingan politik, ekonomi dan pertahanan.
Memang para pelaku ledakan mulai dari WTC, ledakan-ledakan yang terjadi di Indonesia, bom Madrid, bom London dan lain-lain yang berasal dari kalangan Islam fundamentalis. Namun apa yang mereka lakukan hanyalah sebagai reaksi terhadap kebrutalan AS dan sekutu-sekutunya dalam percaturan politik internasional, dan bukan tindakanteror yang muncul di ruang hampa.
Pada dasarnya banyak aksi teror yang dilakukan oleh penganut agama lain, namun yang selalu disorot hanyalah umat Islam. Sebagai contoh, peledakan truk dan bis-bis di Inggris yang dilakukan oleh Gerakan Nasional Katholik Irlandia; serangan gas beracun yang menebar maut yang dilakukan oleh para anggota sekte Hindu-Budha; pengeboman klinik aborsi yang dilakukan oleh para ekstrimis agama Kristen di Amerika, dan serangkaian teror lainnya yang dilakukan dengan membawa simbol agama.

Istilah dan Survei Historis
Dalam menyikapi isu terorisme ini masyarakat dunia yang terpolarisasi kepada Timur dan Barat. Keduanya mempunyai perspektif yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan perspektif ini karena belum ada definisi baku yang disepakati tentang terorisme. Menurut sebagian pakar, istilah terorisme merupakan suatu terminologi yang ambigu dan kabur. Michael Kinsley, seorang kolomnis yang menulis dalam Whashinton Post, 5 Oktober 2001, mengatakan bahwa usaha mendefinisikan terorisme adalah sesuatu yang mustahil.
Di kalangan akademisi dan ilmuan sosial-politik pun tidak ada kesepakatan tentang batasan pengertian terorisme. Tidak ada satupun istilah terorisme yang diterima secara universal. Namun demikian para sarjana mempunyai definisi yang sesuai dengan pandangan dan keahliannya masing-masing atau menisbahkannya dengan pandangan penguasa.
Kata “teroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin ‘terrere’ yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata ‘teror’ juga bisa menimbulkan kengerian. Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppression of Torrorism (ECST) di Eropa tahun 1977 terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes against State menjadi Crimes against humanity. Crimes against Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum ada dalam suasana yang teror. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1937 mendefinisikan terorisme sebagai segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Sementara itu terorisme di mata penguasa, baik nasional maupun lokal didefinisikan Terorisme is premeditated threat or use of violenceby subnational groups or cladenstine individual intended to intimidate and coerce govermets, to promote political, religious or ideological out comes, and to inculcate fear among the public at large.
Hussein Alatas mendefinisikannya sebagai teroris (pengganas) adalah mereka yang merancang kekuatan sebagai senjata persengketaan terhadap lawan dengan serangan kepada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah atau benar dari segala agama atau moral, berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh dilakukan bagi mencapai tujuan matalamat persengketaan.
Bagaiamana pun beragamnya definisi terorisme, akan tetapi yang pasti dan akan diterima banyak orang adalah definisi yang dibuat oleh penguasa dan kekuasaan serta mampu memaksakan kehendaknya degan segala kemampuannya, baik militer, politik, ekonomi, teknologi, dan kekuatan budayanya.
Menurut Noam Chomsky, istilah terorisme mulai digunakan pada abad ke-18 akhir, terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat. Istilah ini diterapkan terutama untuk terorisme pembalasan oleh individu atau kelompok-kelompok. Munculnya istilah terorisme ini ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan mencapai sasaran tertentu. Perkembangannya bermula dari bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari terorisme dengan mengacu pada sejarah terorisme modern.
Adalah Maximilien Robespierre dijuluki sebagai bapak terorisme modern. Robespierre menjalankan pemerintahan Prancis teror. Inilah sebenarnya yang menandai munculnya terorisme di era modern, karena revolusi prancis (French Revolution) adalah model tulisan Karl Marx dan Friedich Engels, dan model bagi tindakan Vladimir Lenin di Rusia. Selain itu, Revolusi Prancis adalah gejala yang timbul pertama kalinya dalam sejarah di mana suatu kelompok revolusioner mengontrol suatu bangsa atau pemerintahan yang sah secara hukum.
Tinta merah aksi terorisme terus menerus tertoreh dalam lembaran sejarah dunia modern, Tiger di Srilanka, Takfir wal-Hijrah di Mesir, Baader-Meinhof di Jerman, Red Brigdes di Italia, Action Directe di Prancis, Irish republican Army di Inggris, Tupak Amaru di di Peru, Aum Shinri Kyo di Jepang dan yeng terakhir adalah kelompok Al-Qaidah yang berbasis di Afghanistan.

Isu Terorisme dan Wacana Islam Fundamentalis
Tuduhan yang dilemparkan terhadap Islam berkaitan dengan terorisme merupakan rekayasa yang dilakukan oleh media masa yang berafiliasi dengan pemerintah Amerika dan rezim Zionis. Sesungguhnya, Islam merupakan agama yang berlandaskan kepada spiritualisme dan moral, serta menentang terorisme dan kekerasan. Berlandaskan kepada ajaran Islam, siapapun yang menyebut dirinya muslim, ia tidak berhak untuk melakukan pembunuhan terhadap orang yang tidak berdosa. Namun demikian, Islam juga memerintahkan umatnya untuk teguh membela hak miliknya dan tanah airnya. Pembelaan terhadap tanah air dan hak milik juga diakui secara resmi oleh undang-undang internasional. Dengan kata lain, pembelaan terhadap tanah air dan hak milik bukanlah sebuah bentuk terorisme.
Menurut John L. Esposito, dalam bukunya "Unholy War" (2002) ketika Osama melakukan jihad melawan Uni-soviet untuk membela tanah air Afghanistan sangat didukung oleh Amerika dan pemerintah Arab Saudi. Bagi Amerika ini adalah perang yang baik dan memberikan dana yang cukup serta para penasehat dari Central Intelligence Agency (CIA). Tapi adanya dukungan ini bukan karena membela tanah air, akan tetapi karena jihad Osamah ketika itu sangat menguntungkan AS.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada paradoks mengenai isu terorisme dan wacana fundamentalisme. Dalam hal ini AS menerapkan standar ganda dalam politik internasional. Di satu sisi ia menjadi "panglima" perang melawan terorisme, selalu mencurigai dan menekan kalangan fundamentalis Islam, namun di sisi lain ia mendukung tindakan terorisme. AS sendiri adalah teorisme Negara.
AS juga dengan terang-terangan mendukung Israel yang jelas-jelas melakukan teror terhadap pera pejuang Palestina. Kebrutalan usaha-usaha Israel untuk menekan Palestina pernah dikemukakan oleh menteri pertahanan Yitzhak Rabin. Pada 19 Januari 1988, dia menyiarkan kebijaksanaan "patah tulang" dengan mengatakan bahwa Israel akan menggunakan "kekerasan, kekuatan dan pukulan-pukulan" untuk menekan para pejuang Palestina. Perdana Menteri Yitzhak Shamir juga pernah menyatakan "Tugas kami sekarang adalah menciptakan kembali benteng rasa takut antara orang-orang Palestina dan militer Israel, dan sekali lagi menyebarkan rasa takut akan kematian pada orang-orang Arab di wilayah-wilayah itu untuk mencegah mereka agar tidak menyerang kami lagi"
Di sisi lain ada wacana Islam Fundamentalis atau Islam militan yang sudah lekat dengan berbagai aksi teror sehingga mereka menjadi musuh utama Barat, terutama AS. Media masa menggunakan momentum 11 September untuk menciptakan citra bahwa semua muslimin adalah teroris dan agama Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan. Samuel P. Huntington, ketika berdialog dengan Anthonny Gidden, pada musim semi 2003 mengatakan bahwa militan Islam adalah ancaman bagi Barat. Oleh karena itu mereka harus diperangi. Satu strategi yang memungkinkan adalah dilakukannya serangan dini (preemptive-strike) terhadap ancaman serius dan mendesak. Musuh kita adalah Islam militan.
Rasa kebencian dan frustasi ini diekspresikan dengan berbagai tindak kekerasan seperti peledakan WTC, bom bunuh diri dan berbagai peledakan yang bertujuan untuk melakukan perlawanan terhadap hegemoni AS, imprealisme Barat, dan kapitalisme global. Meskipun demikian pelaku-pelaku kekerasan yang umumnya dari kalangan Islam fundamental ini beralasan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan jihad di jalan Allah. Para pelaku teror di Indonesiapun mengaku bahwa mereka melakukan tindak kekerasan dengan meledakkan berbagai fasilitas fital sebagai jihad dan ungkapan kebencian terhadap AS dan sekutunya seperti Australia. Oleh karena itu perlu adanya reinterpretasi dan reaktualisasi konsep jihad agar tidak disalahgunakan yang mengakibatkan semakin buruknya citra umat Islam di mata umat lainnya.

Terorisme Negara (State Terorrism)
Terorisme negara ini termasuk istilah baru, yang biasanya disebut "terorisme (oleh) negara (state terrorism). Penggagasnya adalah Mahatir Muhammad. Menurutnya, terorisme yang dikerahkan oleh negara, tidak kalah dahsyatnya dengan terorisme personal maupun kolektif. Kalau kedua bentuk teror yang pertama dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sedangkan terorisme negara dilakukan secara terang-terangan. Satu-satunya negara yang telah menebarkan teror ke seluruh dinia adalah Amerika Serikat. Dan AS juga adalah satu-satunya negara di dunia yang dikritik oleh Pengadilan Internasional atas tindakan terorismenya.
Noam Cosmky, pakar linguistik pada the Massachussets Institute of Technology mengatakan "we should not forget that the US itself is a leading terrorist state". Dia juga menyatakan bahwa pengeboman atas Afghanistan (oleh pasukan sekutu pimpinan AS) adalah kejahatan lebih besar dari pada teror 11 September, AS adalah terdakwa negara teroris. Edward S. Herman, guru besar di Universitas Penslyvania, dalam bukunya The Real Teror Network (1982), mengungkap fakta-fakta keganjilan kebijakan antiterorisme AS. selama ini AS merupakan pendukung rezim-rezim "teroris" Garcia di Gautamala, Pinochet di Chili dan rezim Apartheid di Afrika Selatan.
AS dan para sekutunya bertindak diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu sebagai bentuk ketidakadilan global yang terjadi di banyak Negara, khususnya Negara muslim. Yang paling nyata adalah invasi AS terhadap Afganistan dan Irak yang diwarnai oleh penyiksaan terhdap para tahanan; kekerasan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap para pejuang Palestina. ketidakadilan dan standar ganda yang diterapkan oleh AS inilah yang memupuk rasa kebencian kalangan Islam Fundamentalis terhadap Barat, terutama Amerika.
Apa yang dilakukan Israel terhadap para pejuang Palestina jelas-jelas tindakan teror, namun AS, sebagai Negara yang mengaku panglima perang perlawanan terhadap terorisme, Negara yang mengaku penjung nilai-nilai HAM dan kebebasan bungkam seribu bahasa seakan mengamini tindak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh militer Israel.
Catatan di bawah ini mungkin cukup untuk menjadi bukti kebrutalan AS dan sekut-sekutunya:
According to the latest UNICEF report (2006), in 2004 the under-5 infant mortality was 122,000 in Occupied Iraq, 359,000 in Occupied Afghanistan and 1,000 in the occupying country Australia (noting that in 2004 the populations of these countries were 28.1 million, 28.6 million and 19.9 million, respectively)
About 1,300 under-5 year old infants will have died in Occupied Iraq and Afghanistan on Christmas Day alone and 0.5 million will die in the coming year due to non-provision by the US-led Coalition of life-preserving requisites demanded by the Geneva Conventions.
Bahkan kekuatan Iperialisme AS dan sekutunya menekan Negara-negara lemah dalam bidang ekonomi dan politik. Michael Barratt-Brown mengatakan bahwa imperialisme tidak diragukan lagi masih merupakan kekuatan paling besar dalam kaitan ekonomi, politik, dan militer yang dengannya negeri-negeri yang secara ekonomi kurang berkembang tunduk pada mereka yang secara ekonomi lebih berkembang. Kebrutalan ini sudah berjalan cukupa lama. Selama bertahun tahun Amerika Serikat menjalankan politik aktif untuk melakukan intervensi langsung dan terbuka dalam permasalahan di Amerika Tengah dan Selatan: Kuba, Nikaragua, Panama, Chili, Guatamela, Salvador, Grenada telah merasakan bagaimana kedaulatan mereka diserang, mulai dari peperangan langsung hingga kudeta-kudeta dan tindakan-tindakan subversi yang diakui secara terbuka, dari usaha-usaha pembunuhan hingga pemberian bantuan keuangan untuk pasukan-pasukan 'kontra'. Di Asia Timur, Amerika terjun dalam beberapa perang besar, membiayai tindakan-tindakan militer massa yang menyebabkan beratus-ratus ribu orang meninggal di tangan pemerintahan Negara yang 'bersahabat' dengan mereka, menggulingkan pemerintahan (Iran, Isael)
Dalam bidang Informasi dan pemberitaan, kebrutalan Barat, khusunya Amerika memang menjadi ancaman yang serius bagi kemerdekaan Negara-negara lemah dan berkembang di millennium ketiga ini. Anthomi Smith dalam Geopolitics of Information menyatakan bahwa ancaman terhadap kemerdekaan pada akhir abad kedua puluh dari ilmu elektronika baru dapat menjadi lebih besar daripada kolonialisme itu sendiri. Dalam bidang militer, penguasaan terus dilakukan oleh AS meskipun perang dingin telah berakhir. Tahun 2003, hanya dalam beberapa hari saja, mereka sanggup mengganti penguasa di Irak yang sebelumnya mereka menggulingkan rezim Taliban dengan relatif mudah. Tentara Amerika merajalela di berbagai Negara. Kini, AS memiliki sekitar 1.700 instalasi militer yang tersebar di serarus Negara. Suatu gambaran yang menurut Chakmers Johnson, mencerminkan bentuk baru imperialisme. Maka wajarlah apabila Nuqaib Al-attas menngatakan bahwa belum pernah ada peradaban manusia yang membahayakan umat manusia, binatang, tumbuhan dan bahan mineral, seperti peradaban Barat.

Respon Agama terhadap Isu Terorisme dan Dialog Antaragama dan Antarperadaban
Pasca terjadinya tragedi 11 september 2001, hampir semua Negara yang mempunyai kelompok Islam garis keras berupaya sekuat tenaga untuk menyumbangkan berbagai pandangan untuk mengatakan bahwa umat Islam bukan teroris, dan tidak semua aksi teroris itu mewakili umat Islam. Namun demikian hal ini belum mampu menepis kecurigaan Barat terhadap Islam. Oleh Karena itu baik dari kalangan Islam maupun Barat yang mayoritas beragama Kristen bersepakat untuk intens mengadakan dialog antaragama dan peradaban. Paus Johannes Paulus II dan Paus Benekditus XVI sendiri sangat menghormati umat Islam dan bersedia berdialog dengan kalangan Islam.
Sebenarnya ide diadakannya dialog antarperadaban dan antaragama ini sudah lama muncul. Pada tanggal 23-24 Maret 1995, di Jakarta pernah diadakan seminar internasional tentang Islam dan Barat dalam Era Globalisasi. Selanjutnya pada tahun 1996, Perdana Menteri Turki, Necmettin Erbakan dalam makalahnya untuk konferensi IIFTIHAR (International Institute for Technology and Human Resource Development) di Jakarta mengajukan tema "Dialog Peradaban" (Dialogue among Civilization). Usul ini didukung dan dikembangkan oleh intelektual muslim lain, seperti B.J Habibie dan Anwar Ibrahim.
Dialog antarperadaban adalah proses komunikasi dua arah dari dua atau lebih peradaban yang berbeda yang dilakukan oleh aktor dalam berbagai lapisan pemerintahan dan civil society dengan tujuan utama timbulnya saling pengertian dan kerja sama. Dialog dipahami sebagai conversation of cultures, yang berlangsung dalam ruang masyarakat internasional yang memiliki kesamaan komitmen dan berdasarkan penghargaan yang lain sebagai sejajar. Percakapan ini menuntut perenungan dan empati. Perbedaan peradaban mengharuskan, meminjam Habermas, suatu aksi komunikatif (communicative action) dalam ruang publik.
Ide ini mendapat sambutan yang sangat positif, khususnya dari kalangan moderat. Hal ini tercermin dari banyaknya lembaga-lembaga yang memprakarsai dialog antarperadaban. Dialog itu sendiri esensinya ingin menghadirkan citra diri secara seimbang dan proporsional.
Dialog dilakukan karena disadari ada perbedaan atau bahkan konflik, karena dunia berkarakter plural. Pluralisme peradaban merupakan perbedaan perspektif dalam memahami dunia. Pluralisme peradaban agak berbeda dengan pluralisme jenis-jenis lain seperti gender, ras, agama, dan suku. Pluralisme peradaban juga agak berbeda dengan multikulturalisme yang diartikan sebagai kemajemukan budaya dalam sebuah komunitas negara-bangsa.
Sr Patricia Madigan, dari Australia, salah satu peserta dialog antaragama yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 6-7 Desember 2004, menyatakan bahwa dialog antarkelompok moderat dari komunitas berbeda akan mempersempit gerak orang- orang yang ingin melakukan kekerasan. Selain itu, dialog semacam ini menjadi sarana untuk memahami agama orang lain sekaligus mempertebal iman. Mgr Rey Manuel Mousanto, peserta dari Filipina, mengatakan, di negaranya sudah ada konferensi uskup dan ulama sejak tahun 1990-an guna mengurangi prasangka agama di Filipina.
Untuk mengintensifkan dialog antaragama dan peradaban ini peran organisasi-organisasi Islam sangat diperlukan. Untuk tingkat Internasional seperti OKI dan Liga Arab, untuk tingkat nasional, ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta lembaga pemerinta, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Departemen Agama. Tokoh-tokoh agama juga diharapkan dapat memberikan pemahaman ajaran-ajaran agama melalui kurikulum pendidikan Islam secara konprehensif. Hal ini untuk menghindari kesalahan dalam memahami teks-teks agama yang berpotensi untuk disalahtafsirkan demi menjastifikasi anarkisme atau terorisme

DAFTAR PUSTAKA

Adian Husaini (2005), Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta; Gema Insani Press.

Alwi Shihab (2004), Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Anthony Smith (1980), The Geo Politics of Information: How Western Culture Dominates the World, New York: Oxford University Press.

Edward S. Herman (1982), The Real Teror Network: Terorisme in Fact in Propaganda, Boston: South End Press.

Edward W Said (1996), Kebudayaan dan Kekuasaan: Membongkar Mitos Hegemoni Barat, Bandung; Mizan.

http://venus.igalaksi.com/warisan/amerika02j8.htm

http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/92.htm

http://www.unicef.org/infobycountry/index.html

John L. Espositi (2002), Unholy War: Terror in the Name of Islam, New York-London: Oxford University Press.

Juhaya S. Praja (2003), Islam Globalisasi & Kontra Terorisme (Islam Pasca Tragedi 911), Bandung: Kaki Langit.

Kompas - (7/12/2004).

Kompas, (29 Oktober 2002).

Loudewijk F. Paulus (2000), Terorisme, Buletin Balitbang Dephan.htm.www.Dephan.com

Mark Juergensmeyer (2003), Terorisme Para Pembela Agama (terj), Jogjakarta: Tawang Press.

Michael Barratt-Borown, (1970), After Imperialism, New York: Humanities.

Najmuddin Ramly (2003), Paradoks Penangan Terorisme, Republika Online http--www_republika_co_id.htm

Nur Cholish Madjid et all (1996), Agama dan Dialog Antarperadaban, Jakarta: Yayasan Paramadina.

Paul Findley (1995), Diplomasi Munafik Ala Yahudi; Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel (terj), Bandung: Mizan.

Samuel P. Huntington (1996), The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, New York: Touchtone Books.

Sunardi dan Abdul Wahid (2004), Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum Bandung: PT Refika Aditama.

Whittaker (2000), Terorisme: Understanding Global Threat, New York: Longman London.

*Penulis Adalah Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (IKPPUII)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar