Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 10 Mei 2009

TANTANGAN BUDAYA LOKAL DI TENGAH ARUS BUDAYA GLOBAL

OLEH: IMAM MUSTOFA

Globalisasi merupakan proses strukturisasi dunia sebagai suatu keseluruhan yang menghadirkan dua kecenderungan yang saling bertentangan sekaligus, yaitu proses penyeragaman (homogenization) dan pemberagaman (differenciation), sehingga membuat interaksi yang rumit antara lokalisme dan globalisme. Globalisasi mempunyai rangkaian yang panjang dan saling terhubung dari berbagai aspek. Arus globalisasi yang semakin hari semakin deras membawa dampak yang cukup signifikan terhadap sendi-sendi kehidupan yang berada dalam bingkai kebudyaan.



Globalisasi merupakan proses strukturisasi dunia sebagai suatu keseluruhan yang menghadirkan dua kecenderungan yang saling bertentangan sekaligus, yaitu proses penyeragaman (homogenization) dan pemberagaman (differenciation), sehingga membuat interaksi yang rumit antara lokalisme dan globalisme. Globalisasi mempunyai rangkaian yang panjang dan saling terhubung dari berbagai aspek. Arus globalisasi yang semakin hari semakin deras membawa dampak yang cukup signifikan terhadap sendi-sendi kehidupan yang berada dalam bingkai kebudyaan.
Globaliasi menjadikan kebudayaan Barat sebagai trend kebudayaan dunia. Kebudayaan Barat yang didominasi budaya Amerika yang sarat dengan konsumerisme, hedonisme dan materialisme menjadi kiblat bagi kebudayaan-kebudayaan di negara-negara berkembang. Budaya global ini melanda dunia ditandai dengan hegemonisasi gaya hidup (life style). Bersamaan dengan itu, era globalisasi telah melahirkan banyak kreasi berbagai fasilitas untuk mempermudah memenuhi kebutuhan manusia. Fasilitas dan peralatan yang canggih hasil kreasi manusia itu mengalirkan nilai-nalai baru dari luar, yaitu peredaran dan pertukaran kebudayaan.
Kecanggihan media komunikasi dan informasi sebagai produk era modern telah mampu mentransfer kebudayaan tersebut ke seluruh penjuru denyut nadi kehidupan masyarakat global dengan sangat mudah dan begitu cepat. Datangnya kebudayaan global tersebut menimbulkan akulturasi yang tidak jarang menghempaskan dan mencabik nilai-nilai kebudayaan asli (lokal) dari akarnya yang kemudian menggantikan eksistensinya. Padahal, kebudayaan asing ini terkadang berbeda atau bahkan bertentangan dengan nilai dan norma kebudayaan lokal.

Arti Globalisasi
Globalisasi sebagaimana disebutkan dalam Kamus besar Bahasa Indonesia berasal dari kata Globalisme, yakni paham kebijakan nasional yang memperlakukan seluruh dunia sebagai lingkungan yang pantas untuk pengaruh politik. Selama proses tersebut berjalan, tentunya penuh dinamika yang menuntut setiap negara menata Rumah Tangganya seideal mungkin. Atas nama “tatanan dunia baru” itulah globalisasi dianggap menyatukan dunia dalam satu bingkai dan menghapus dan menghempaskan batas-batas geografis yang memisahkan antara negara satu dengan lainnya. Tentunya didukung adanya kebebasan mengakses informasi melalui berbagai media informasi dan telekomunikasi, internet khususnya. Dengan media-media ini maka akan memperluas jaringan. Karena menurut Louis P. Pojman, dalam buku Global Political Philosophy (2003) simbol dari sistem global adalah luasnya jaringan.
Menurut John Tom Linson dalam sebuah tulisan “Cultural Globalization: Placing and Displacing the West” globalisasi merupakan proses hubungan yang rumit antarmasyarakat yang luas, antarbudaya, institusi dan individual. Globaliasai merupakan proses sosial yang mempersingkat waktu dan jarak dari pengurungan waktu yang diambil baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi dengan dipersingkatnya jarak dan waktu, dunia dilihat seakan-akan semakin mengecil dalam beberapa aspek, yang membuat hubungan manusia antara yang satu dengan yang lain semakin dekat.
Globalisasai terjadi pada setiap negara, tidak ada satu organisai atau satu negara pun yang mampu mengendalikannya. Akbar S. Ahmed dan Hastings memberi batasan bahwa globalisasi “pada prinsipnya mengacu pada perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi, transformasi, informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi hal yang bisa dijangkau dengan mudah.
Richard Hibart mengatakan bahwa globalisasi merupakan sesuatu yang sudah menjadi tradisi kita atas dunia ketiga, dan untuk beberapa kurun waktu kita menamainya dengan Imperialisme. Era ini juga ditandai oleh dua proses sosial yang paradoks yaitu proses homologisasi dan proses paralogisasi dengan semakin menguatnya kesatuan (increasing of unity) disatu pihak namun dipihak lain juga terjadinya penguatan perbedaan (increasing of diversity).
Manusia semakin dimanjakan dengan produk industrialisasi yang bisa mengisolasikan dirinya dari orang lain karena segala kebutuhannya telah terpenuhi. Manusia menjadi sangat konsumtif dan disetir oleh semagat kapitalisme pasar. Ketergantungan terhadap produk baru sangat besar untuk hanya takut dikatakan sebagi orang yang tidak gaul dan kuno. Semua kebutuhan materi telah tercukupi oleh kemudahan-kemudahan yang ditawarkan globalisasi. Yang lebih parah, terjadinya pergeseran ukuran kesuksesan yaitu hanya dinilai dengan kesuksesan ekonomi dan kekuasaan.

Kebudayaan Global
Globalisasi merupakan proses rumit yang melibatkan semua unsur dari kehidupan manusia seperti aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, agama, bahasa dan teknologi. Menurut M. Atho Mudzhar (1999) teori globalisasi menandai dan menguji munculnya suatu sistem budaya global terjadi karena berbagai perkembangan sosial dan budaya, seperti adanya sistem satelit dunia, penggalian gaya hidup kosmopolitan, munculnya pola konsumsi dan konsumerisme global, munculnya even-even olahraga internasional, penyebaran dunia pariwisata, menurunnya kedaulatan negara bangsa, timbulnya sistem militer global (baik dalam bentuk peace keeping force, pasukan multinasional maupun pakta pertahanan regional dan lain-lain), pengakuan tentang terjadinya krisis-krisis lingkungan dunia, berkembangnya problem-problem kesehatan berskala dunia (seperti AIDS), munculnya lembaga-lembaga politik dunia (seperti PBB), munculnya gerakan-gerakan politik global, perluasan konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusia dan interaksi rumit antara berbagai agama dunia.
Di era globalisasi ini, budaya yang ada didominasi oleh budaya Barat, khususnya budaya Amerika yang sarat dengan konsumerisme, hedonisme dan materialisme. Globalisasi yang melanda dunia ditandai dengan hegemonisasi food (makanan), fun (hiburan), fashion (mode), dan thoght (pemikiran). Budaya-budaya ini terkadang dipaksakan masuk ke dalam budaya lain, sehingga tidak jarang terjadi “benturan-benturan” kebudayaan.
Kenyataan di atas menjadikan globalisasi semakin mengarah kepada satu bentuk “imperialisme budaya” (culture imperialism) Barat terhadap budaya-budaya lain. Dalam sebuah makalah yang berjudul Haritage, Culture and Globalization Amer al-Roubaie, seorang pakar globalisasi di International Institute of Islamic Thuoght and Civilization, International Islamic University Mlaysia (ITAC-IIUM) mencatat:
“Telah dipahami secara luas bahwa gelombang trend budaya global dewasa ini sebagian besar merupakan produk Barat, menyebar ke seluruh dunia lewat keunggulan teknologi elektronik dan berbagai bentuk media dan sistem komunikasi. Istilah-istilah seperti penjajahn budaya (culture imperialism), penggusuran kultural (cultural cleansing), ketergantungan budaya (cultural dependency), dan penjajahan elektronik (electronic colonialism) digunakan untuk menjelaskan kebudayaan global baru serta berbagai akibatnya terhadap masyarakat non-Barat”
Paparan di atas setidaknya memberikan gambaran bahwa klaim bahwa kebudayaan Barat telah menjadi trend kebudayaan global adalah benar adanya. Dominasi kebudayan Barat terhadap kebudayaan global ini berpengaruh cukup signifikan terhadap eksistensi kebudayan lokal non-Barat.


Tantangan Budaya Lokal
Sebuah buku yang berjudul One World Ready or Not: The Manic Logic of Global Capitalism, karya William Greider tahun 1997 yang lalu telah mengisyaratkan bahwa saat ini dunia sudah masuk pada masa di mana tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi dari yang lain (there is no place to hide from the other), masa yang ditandai oleh semangat kapitalisme dengan meningkatnya industrialisasi, informasi dan transformasi. Disamping itu zaman ini juga memaksa kita untuk bertemu satu dengan lainnya dengan terjadinya cross cultural context. Segala bentuk prilaku manusia dapat dengan mudah dinilai orang lain, saling mempengaruhi dan bahkan saling bertukar posisi secara bergantian. Semua aktifitas manusia mempunyai jaringan satu sama lain misalnya jaringan buruh, perdagangan, pendidikan dan kebudayaan.
Menurut Qodri Azizy, istilah ”globalisasi” dapat berarti juga alat dan dapat pula berarti ideologi. Sebagai alat karena merupakan wujud keberhasilan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama sekali di bidang komunikasi. Sedangkan sebagai ideologi sudah mempunyai arti tersendiri dan netralitasnya sangat berkurang. Oleh karena itu, tidak aneh kalau kemudian tidak sedikit yang menolaknya. Sebab tidak sedikit akan terjadi benturan nilai, antara nilai yang dianggap sebagai sebuah ideologi globalisasi dan nilai-nilai agama, termasuk agama Islam. Baik sebagai alat maupun sebagai ideologi, globalisasi merupakan ancaman dan sekaligus tantangan.
Pertama, sebagai ancaman. Dengan alat komunikasi seperti Hand Phone, TV, para bola, telepon, VCD, DVD dan internet, kita dapat berhubungan dengan dunia luar. Dengan para bola atau internet, kita dapat menyaksikan hiburan porno dari kamar tidur. Kita dapat terpengaruh oleh segala macam bentuk iklan yang sangat konsumtif. Kedua, tantangan. Di pihak lain, jika globalisasi itu memberi pengaruh hal-hal, nilai dan praktik yang positif, maka seharusnya menjadi tantangan bagi umat manusia untuk mampu menyerapnya, terutama sekali hal-hal yang tidak yang tidak mengalami benturan dengan budaya lokal atau nasional, terutama sekali nilai agama.
Di era global seperti sekarang ini tantangan berbagai godaan menyelusup dan menyusup ke dalam kehidupan rumah tangga melalui teknologi komunikasi dan informasi yang cukup canggih. Sejak kecil, anak-anak tanpa disadari telah dijejali dengan berbagai kebudayaan yang menyimpang dari norma-norma sosial dan agama melalui media ini. Hal ini secara otomatis mengpengaruhi pola pikir dan pada gilirannya mengikis eksistensi norma-norma budaya lokal.
Muhammad Bahrul Ulum (1994) mengemukakan bahwa kecanggihan alat komunikasi sebagai produk modern kebudayaan dari berbagai manca daerah dapat dengan mudah masuk ke dalam aliran darah dan denyut nadi kebudayaan lokal yang tidak jarang akan menggeser nilai-nilai moral dan agama yang telah tertanam di dalamnya. Budaya global yang didominasi oleh budaya Barat akan diserap dengan mudah oleh masyarakat dunia. Budaya dalam suatu masyarakat akan sangat berpengaruh pada pembentukan karakter keluarga. Pengaruh ini meliputi perilaku, gaya hidup dan aspek-aspek lain. Budaya Barat sangat menjunjung tinggi kebebasan pribadi untuk berekspresi, dan ini tentunya sangat berbeda dengan masyarakat Timur yang masih menjunjung nilai-nilai moral.
Globalisasi telah meminimalisir perlindungan terhadap budaya lokal melalui proses liberalisasi (swastanisasi) pasar dan perdagangan luas di banyak negara berkembang. Distribusi luas produk budaya barat seperti film, literatur, gaya hidup, nilai-nilai baru melalui media elektronik, siaran satelit, internet, koran-koran dan majalah telah mencemari budaya lokal. Bukan hanya itu, dengan tayangan dalam media-media ini juga tidak menutup kemungkinan akan meningkatkan jumlah kekerasan dalam rumah tangga, kenakalan remaja, diskriminasi sosial dan broken home. Diskriminasi sosial inilah yang biasanya akan menibulkan kriminalitas dalam masyarakat. (JJ. Conger, 1973: 593).
Tiindak kekerasan, tindakan-tindakan amoral yang terjadi antar sesama anggota masyarakat atau bahkan sesama anggota keluarga, pergaulan bebas, pencabulan, seks bebas, aborsi, penggunaan obat-obatan terlarang telah menjadi bagian dari kehidupanmanusia modern. Hal ini tentunya bertentangan dengan norma budaya kita, budaya Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai negara bermoral, masyarakat religius, beradab dan klaim-klaim indah lainnya yang apabila didengar sangat menjukkan hati.

Lalu bagaimana?
Menghadapi ancaman diperlukan sebuah landasan yang kokoh. Landasan ini antara lain dengan penanaman dan norma ajaran agama sejak dini. Selain itu tentunya melaui pengenalan dan penanaman pentingnya norma-norma kebudayan lokal. Bersamaan dengan itu, perlu juga landasan motivasi, inspirasi dan akidah. Di sini perlu memperkuat dan mempertegas landasan hidup agar mampu menghadapi ancaman dan terhindar darinya.
Menumbuhkan kesadaran kembali tentang tujuan hidup menurut Agama. Peran norma agama menjadi sangat penting untuk dijadikan landasan hidup. Kita sadar bahwa kepuasan lahiriah yang pernah dinikmati oleh manusia, hanyalah sementara. Dengan kesadaran itu, maka kita akan sanggup mengatur diri kita. Dengan demikian, ketika kita akan terbawa arus globalisasi, kita akan ingat kesadaran keberagamaan kita yang mempunyai aturan main untuk di dunia dan akhirat.
Penanaman rasa tanggung jawab atas apa yang diperbuat di dunia, baik formalitas administratif sesuai ketentuan yang ada di dunia sendiri maupun hakiki yang mempunyai konsekuensi akhirat kelak. Ketika kita akan menceburkan diri dalam kehidupan globalisasi, maka kita juga selalu sadar akan tanggung jawab kita sendiri terhadap apa yang kita perbuat. (Qodri Azizy, 2004: 32-33)
Penanamn ini harus dimulai sejak dini, yaitu dari lingkungan keluarga. Keluarga pada mempunyai posisi dan kedudukan yang sangat penting dan strategis dalam pembinaan pribadi dan masyarakat. Baik buruknya kepribadian seseorang sangat tergantung pada pembinaan dalam keluarga. Pembinaan keluarga ditujukan untuk melahirkan jalinan cinta kasih. Keluarga bukanlah sekedar tempat berkumpulnya orang-orang yang terikat karena perkawinan maupun keturunan, akan tetapi mempunyai fungsi yang sedemikian luas. Oleh karena itu untuk mempertahankan ekisistensi nilai-nilai kebudayaan lokal adalah memperdalam dan meng-intensif-kan penanaman dan pengamalan nilai-nilai ajaran agama dalam setiap anggota keluarga dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Penutup
Bagaimana pun juga produk suatu budaya dengan ciri “materialistiknya dapat menyebabkan pergolakan dan konflik sosial di masyarakat” non-Barat, yang mempunyai warisan budaya dan kehidupan religius yang berbeda-beda. Kemajuan di bidang komunikasi telah memungkinkan banyak ide-ide baru, ideologi, seni, bahasa dan beragam ilmu pengetahuan untuk melintasi seluruh penjuru dunia. Proses globalisasi juga terdiri dari faktor-faktor yang menjadi ancaman bagi satu kebudayaan asli di berbagai tempat di dunia ini. Dengan kata lain proses globalisasi juga menciptakan bentuk baru aliansi kebudayaan unik yang terdapat pada suatu bangsa atau etnik tertentu. (Nobutaka)

Bahan Bacaan
Adian Husaini,”Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal”, (Jakarta: Gema Innsani Press, 2005)

Ahmad Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

Jam'iah Al-Islah Al-Ijtima'i, “Globalisasi dalam Timbangan Islam” (Solo: Penerbit Era Intermedia, 2002).

JJ. Conger, Adolescence and Youth, (London: Harper and Row, 1973) .

Jurnal al-Jami’ah al-Islamiyah, Vol 1, No. 2 April-Juni 1994 (London: International Collegs of Islamic Science, 1994).

Jurnal Islamiyah Tahun I No. 4/Januari-Maret 2005 (Jakarta: Institute for Study of Islamic Thought and Civilization [INSIST] dan Khoirul Bayan).

Lihat R. H. Tawney, dalam Lynn H. Miller, Global Order: Values and Power in International Politics, (Agenda Politik internasional) alih bahasa, Daryanto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

Louis P. Pojman, Global Political Philosophy, (New York: McGraw Hill, 2003).
Yandianto, “Kamus Umum Bahasa Indonesia”(Bandung: Penerbit M2S, 1997).

ZA. Maulani, “Dakwah dalam Era Globalisasi” Makalah disampaikan dalam ASEAN Yuoth Camp, Jakarta, 1 Oktober 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar