Minggu, 10 Mei 2009
HUKUM WARIS DI TURKI (Deskripsi Umum)
Bangsa Turki diperkirakan berasal dari Asia Tengah. Secara historis, bangsa Turki mewarisi peradaban Romawi di Anatolia, peradaban Islam, Arab dan Persia sebagai warisan dari Imperium Usmani dan pengaruh negara-negara Barat Modern. Turki dikenal sebagai suatu negara berpenduduk mayoritas Muslim yang pernah memimpin dunia Islam selama tujuh ratus tahun, dari permulaan abad ke-13 hingga jatuhnya Kekhalifahan Usmani pada awal abad ke-20. Fenomena kehidupan masyarakat Turki menjadi menarik ketika negara Turki yang berdiri tahun 1923 menyatakan sebagai sebuah negara sekuler.
HUKUM WARIS DI TURKI
(Deskripsi Umum)
OLEH: IMAM MUSTOFA
A. Pendahuluan
Bangsa Turki diperkirakan berasal dari Asia Tengah. Secara historis, bangsa Turki mewarisi peradaban Romawi di Anatolia, peradaban Islam, Arab dan Persia sebagai warisan dari Imperium Usmani dan pengaruh negara-negara Barat Modern. Turki dikenal sebagai suatu negara berpenduduk mayoritas Muslim yang pernah memimpin dunia Islam selama tujuh ratus tahun, dari permulaan abad ke-13 hingga jatuhnya Kekhalifahan Usmani pada awal abad ke-20. Fenomena kehidupan masyarakat Turki menjadi menarik ketika negara Turki yang berdiri tahun 1923 menyatakan sebagai sebuah negara sekuler.
Perubahan Turki menjadi negara sekular menghaspus ketentuan mengenai “Islam sebagai agama resmi negara”dalam undang-undang yang berlaku. Walaupun demikian, umat Islam tetap merupakan mayoritas dan bebas melakukan ajaran agamanya serta berhasil memberikan kemajuan bagi negaranya. Mulai tahun 1980-an Turki kembali kepada Islam dengan mengikis skularisme dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu nampaknya hukum keluarga di sana menarik untuk dibahas, khususnya undang-undang hukum waris. Makalah singkat ini akan mengkaji sekilas tentang hukum waris di negara yang terletak di dua benua ini. Kajian waris yang akan dipaparkan ini dimulai dari hukum waris Turki pra-amandemen dan pasca-amandemen.
Pembahasan mengenai hukum tidak akan pernah lepas dari pembahasan mengenai politik, karena hukum juga dikatakan sebagai produk politik, tidak terkecuali hukum waris yang merupakan subbagaian dari hukum keluarga yang notabene merupakan hukum perdata. Pembahasan dalam makalah ini tidak menafikan pengaruh bergonta-gantinya ideologi negara Turki dari Islam ke sekular, kembali ke Islam dan kembali lagi ke ideologi sekular, dan akhirnya ada keseimbangan antara keduanya. Namun demikian, tidak setiap perubahan ideologi tersebut sempat mempengaruhi hukum keluarga di Turki.
B. Sekilas tentang Turki
Negara Turki adalah negara di dua benua, Eropa dan Asia. Dengan luas wilayah sekitar 814.578 kilometer persegi, 97% (790.200 km persegi) wilayahnya terletak di benua Asia dan sisanya sekitar 3% (24.378 km persegi) terletak di benua Eropa. Posisi geografi yang strategis itu menjadikan Turki jembatan antara Timur dan Barat. Berdasarkan perhitungan PBB pada tahun 2006, penduduk Turki sekitar 71,1 Juta. Tulang punggung perekonomian Republik Truki adalah pertanian.
Pada tahun 1919-1923 terjadi revolusi Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal . Kecemerlangan karier politik Mustafa Kemal dalam peperangan, yang dikenal sebagai perang kemerdekaan Turki, mengantarkannya menjadi pemimpin dan juru bicara gerakan nasionalisme Turki. Mustafa Kemal mendirikan Negara Republik Turki di atas puing-puing reruntuhan kekhalifahan Turki Usmani dengan prinsip sekularisme, modernisme dan nasionalisme. Meskipun demikian, Mustafa Kemal bukanlah yang pertama kali memperkenalkan ide-ide tersebut di Turki.
Ideologi Kemalisme diluncurkan pada Mei 1931 dan dituliskan menjadi konstitusi pada 1937. inti ajarannya adalah enam: ” prinsip fundamental dan abadi berupa republikanisme, nasionalisme, populisme statisme, skularisme, dan rebolusionisme”. Islam dinasionalisasi pada Januari 1932. Reformasi agama adalah salah satu contoh tindakan ekstrim dari rezim Kemalis setelah penghapusan khalifah. Reformasi ini bertujuan untuk memisahkan agama dari kehidupan politik negara dan mengakhiri kekuatan tokoh-tokoh agama dalam masalah politik, sosial dan kebudayaan. Dalam bidang hukum, Komite ahli hukum mengambil Undang-Undang sipil Swiss untuk memenuhi keperluan hukum di Turki menggantikan Undang-Undang Syariah, berdasarkan keputusan Dewan Nasional agung tanggal 17 februari 1926.
Pada tahun 1960 terjadi kebuntuan politik yang menimbulkankudeta militer pada Mei 1960. Kudeta ini mengawali babak baru dalam kehidupan politik Turki. Dalam kudeta ini Adnan Mandaris yang merupakan Presiden dihukum mati bersama ketua parlemen, Bulatuqan dan Menteri Luar Negeri Fatin Zaurli. Militer Turki mengambil peran sebagai penjaga ideologi Kemalisme sebagai prinsip negara.
Pada tahun 1980-an muncul Necmettin Erbakan dengan partai Refah. Erbakan yang kemudian menjabat Perdana Menteri paa 1995 menghendaki dikikisnya skularisme, serta mendekatkan Turki pada negara-negara Islam seraya menjaga jarak dengan Barat. Akan tetapi, pemerintahan Erbakan tidak berumur panjang, pada 18 Juni 1997 Erbakan dijatuhkan melalui “kudeta konstitusional” jabatan PM kemudian diserahkan kepada tokoh nasionalis-skular, Mesut Yilmaz. Aspirasi dan dukungan yang besar dari masyarakat Turki kembali mengantarkan kemenangan partai berbasis Islam: Partai Keadilan dan Pembangunan dalam pemilu 2002.
C. Hukum Keluarga di Turki
Turki merupakan negara yang pertama kali melakukan pembaruan hukum Islam, termasuk hukum keluarga. Turki melakukan reformasi hukum sejak abad ke 17. Pada waktu itu Turki berusaha mereformasi sistem pengadilannya dengan memasukkan Pengadilan Agama kedalam Pengadilaln Umum (Nizamiyah).
Pada tauhun 1917 pemerintah Turki Utsmani mengeluarkan undang-undang hukum keluarga yang disebut dengan Uttoman Law of Family Right (Qanun Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Uthmaniyah). Karena kurang puas dengan undang-undang ini, pada tahun 1923 pemerintah Turki membentuk panitia untuk membuat draft undang-undang baru. Akan tetapi para ahli hukum yang diserahi tugas ini tidak berhasil membuat suatu draft pembaruan hukum, padahal mereka sudah bekerja selama beberapa tahun.
Karena kegagalan panitia di atas, maka akhirnya Turki mengadopsi hukum Swis (The Swiss Civil Code) tahun 1912, yang kemudian dijadikan undang-undang civil Turki (The Turkish Civil Code of 1926) dengan sedikit perubahan sesuai dengan kondisi Turki. Setelah undang-undang ini diberlakukan ternyata banyak hal yang bertentangan dengan undang-undang 1926 dan beberapa ketetapan dengan konsep Islam tradisional, dan beberapa madzhab mempertimbangkannya sebagai akses yang tidak diinginkan.
Dalam perkembangan lebih lanjut, pada tahun 1954 pemerintah Turki menerbitkan Turkish Family Law 1954 yang mengadministrasikan hukum perkawinan ke Badan Peradilan Negara dan mengurangi sedikit ketentuan yang dianggap tidak begitu penting dalam hukum perkawinan Islam. Undang-undang ini juga berlaku di Cyprus meskipun dikuasai oleh Inggris.
Taher Mahmood menklasifikasikan sistem hukum Islam di negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah kaum muslim menjadi tiga model. Pertama, negara yang menjadikan Islam sebagai agama resmi dan sepenuhnya menggunakan hukum Islam, konstitusinya, hukum publik dan hukum privat, termasuk hukum keluarga; seperti Iraq, Kuwait, Algeria, Uni Emirat Arab, Iran dan lain-lain. Kedua, negara yang tidak menjadikan Islam sebagai agama resmi, sistem hukum juga tidak berdasarkan Islam, namun demikian hukum-hukum yang digunakan banyak diambil dari syariat Islam, khususnya yang berlaku bagi warga yang beragama Islam; dan hukum privat murni diambil dari hukum Islam; seperti Indonesia dan Algeria. Ketiga, negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, namun Islam tidak dijadikan agama resmi dan tidak pula sedikitpun hukum Islam digunakan, baik dalam hukum publik maupun hukum privat. Turki termasuk model yang ketiga ini.
Dari sini diketahui bahwa pemikiran pembaruan hukum Islam di Turki sudah berkembang jauh lebih awal dari negara-negara Islam lainnya. Pembaruan yang terus bergulir di negara Turki ini telah merespon terjadinya perubahan sosial, politik dan budaya. Dinamika ini memberikan insipirasi kepada cendikiawan di negara-negara Muslim lainnya untuk mengadakan perubahan hukum Islam agar sesuai dengan situasi dan kondisi sehingga hukum Islam tetap eksis sepanjang masa. hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen Turkish Family Law pada tahun 2001 sebagai respon terhadap perkembangan zaman.
D. Hukum Waris dalam Hukum Keluarga di Turki
Sebagaimana disinggung di atas, setelah berubah menjadi negara sekular, Turki mengambil hukum Swis tahun 1912 sebagai Undang-undang. Undang-Undang Sipil yang mulai diberlakukan pada tanggal 4 Oktober 1926 ini antara lain tentang: menerapkan monogami; melarang poligami dan memberikan persamaan hak antara pria dan wanita dalam memutuskan perkawinan dan perceraian. Sebagai konsekuensi dari persaman hak dan kewajiban ini hukum waris berdasarkan Islam dihapuskan. Selain itu undang-undang sipil juga memberi kebebasan bagi perkawinan antar agama. Jadi dalam hal waris Turki tidak menggunakan hukum Islam sama sekali, akan tetapi menggunakan undang-undang Swis yang memberikan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Mengenai waris ini dimuat dalam buku III Undang-undang Hukum Perdata Turki (Turkish Civil Code). Buku ini sama sekali tidak menyebutkan masalah wasiat, karena sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa undang-undang ini diadopsi dari Swiss (non-islam) yang notabene tidak mengenal istilah wasiat.
Sebelum menggunakan Undang-Undang Hukum Perdata Swiss ini, Turki menggunakan hukum waris Islam berdasarkan mazhab Hanafi, karena mayoritas masyarakat Turki memang menganut mazhab Hanafi. Namun, sejak berubah menjadi negara sekular, Turki sedikit pun tidak lagi menggunakan sistem waris Islam sama sekali, dan menggunakan sistem waris Hukum Perdata Swiss 1912 tersebut.
Ketentuan yang paling mencolok dalam sistem hukum waris Turki yang baru ini adalah adanya kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam perolehan bagian harta waris. Hal ini sebagai konsekuensi logis adanya kesamaan kedudukan mereka dalam hukum keluarga secara umum. Ini dapat dipahami, karena Swis memang menyetarakan hak antara laki-laki dan perempuan di dalam Undang-Undang. Sistem seperti ini berbeda sama sekali dengan sistem hukum waris Islam yang diambil dari al-Quran, yang menyatakan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan. Ketetapan ini sudah menjadi ijma’ kalangan ulama mazhab, karena pada umumnya mereka menganggap bahwa ayat terkait dengan waris merupakan ayat qathiy al-dilalah yang sudah diatur secara rinci di dalam Al-Quran.
Buku III Turkish Civil Code juga menyebutkan bahwa anak-anak yang ditinggalkan oleh pewaris, mendapatkan bagian yang sama antara yang satu dengan yang lain. Tidak adanya pembedaan bagian berdasarkan gender atau kedudukan anak. Namun, –sepanjang pencarian penulis- di dalam undang-undang ini tidak menjelaskan status anak angkat. Hal paling pokok dalam Undang-undang Hukum Perdata Turki yang berbeda dengan Undang-undang waris negara lain dan tidak bisa dibandingkan atau dikomparasikan. Selain itu, tidak ada satu pun ketetapan hukum waris Turki yang terdapat dalam pembaruan hukum keluarga di Ciprus pada tahun 1951.
Undang-undang hukum waris dalam Turkish Civil Code ini terus digunakan sampai akhirnya Turkey melakukan amandemen yang disetujui oleh Majelis Nasional Turki pada 27 November 2001 dan diumumkan oleh Presiden Ahmet Necdet Sezer dan disosialisasikan melalui Surat Kabar Harian Turki pada 8 Desember 2001. Amandemen ini memuat 1030 pasal. Isi amandemen ini yang terkait dengan hukum waris di Turki antara lain :
1. Suami dan Istri mempunyai kedudukan yang sama dalam keluarga, dan salah satu dari mereka bisa merepresentasikan keluarga di hadapan hukum atau pengadilan ;
2. Bagi anggota yang mempunyai gangguan mental, pemabuk, atau kelainan mental lainnya yang mengancam keluarga, atau orang-orang sekitarnya, maka dengan ketetapan Pengadilan ia dapat di tempatkan di pusat pemulihan (rehabilitasi) untuk mendapatkan pengobatan dan perlindungan; dan dia juga berhak mendapatkan bagian waris sebagaimana hali waris sehat ;
3. Apabila ada bagian yang sudah ditentukan, ketentuan tersebut dapat dibatalkan agar memperluas hak ahli waris yang lain ;
4. Dengan mengambil pertimbangan tradisi struktut keluarga di Turki, dalam keadaan apa pun, bibi atau paman yang mengurusi anak pewaris maka dapat mengambil sebagian tanah peninggalannya ;
5. Apabila Istri atau suami meninggal, untuk menjaga kelangsungan hidup ahli waris yang ditingglakan, maka suami atau istri yang masih hidup dapat mengklaim warisan yang ditinggalkan. Apabila alasannya hanya untuk menjaga kelangsungan dan kesejahteraan pihak pasangan yang ditinggalkan atau ahli waris lain yang sah untuk dapat memiliki tempat tinggal, maka hal itu dapat dipenuhi sebagai kepemilikan ;
6. Apabila harta waris berupa pertanian maka diserahkan kepada ahli waris yang berkompeten agar dapat menghasilkan profit, berdasarkan permintaan pihak yang hendak mengelola; dan apabila memungkin untuk dibagi, maka dibagi kepada yang mampu mengurusinya agar dapat menghasilkan profit ;
7. Mengenai kepemilikan bersama antar ahli waris hendaknya mereka membuat sebuah ketentuan yang disepakati bersama untuk menghindari ketidakpuasan salah satu pihak dan meminta pembagian harta ;
8. Untuk mengimplementasikan ini agar menjadi pertimbangan, maka pihak yang mendapatkan hak lebih dulu harus ditetapkan oleh pengadilan;
9. Untuk menjamin keamanan harta cash atau sedang dalam pinjaman atau penukaran dengan luar negeri atau lembaga kredit luar negeri, maka hal ini akan diatur dalam undang-undang tersendiri;
Apabila kita cermati, hasil amandemen di atas, bisa diambil kesimpulan: Pertama, dalam hal ahli waris, yang menjadi ahli waris adalah keluarga inti, yaitu suami atau istri yang ditinggalkan dan anak (nuclear family) sedangkan kerabat di luar keluarga inti dapat menjadi ahli waris apabila berjasa ikut memelihara ahli waris atau harta warisan. Kedua, mengenai status laki-laki dan perempuan, masih ditetapkan bahwa status laki-laki dan perempuan dalam keluarga sama, sehingga tidak membedakan mereka dalam perolehan harta peninggalan. Ketiga, Undang-undang di atas sudah membuat ketentuan tentang harta warisan cash dan dalam bentuk simpanan. hal ini merupakan suatu bentuk kemajuan hukum waris diera modern seperti sekarang.
E. Penutup
Ideologi Turki sebagai negara menagalami fluktuasi dan dinamis, sebelum keruntuhan Turki Utsmani Turki berideologi Islam, stelah reformasi Mustafa Kemal Attaturk berubah skular. Setelah kemunculan Necmettin Erbakan Turki kembali kepada ideologi Islam, namun setelah ada kudeta pada tahun 1997 Turki berada dibawah kekuatan militer skular namun demikian masih ada perimbangan antara keduanya. Pasca kemenangan partai Keadilan yang berbasis Islam pada tahun 2002 nampaknya Islam lebih dominan menjadi ideologi negara.
Perubahan Ideologi negara Turki ini sedikit banyak berpengaruh pada sistem hukum keluarga yang berlaku, termasuk hukum waris. Namun demikian tidak semua ideologi tersebut sempat membuat undang-undang hukum keluarga saat menjalankan kekuasaan, hal ini terbukti Turki hanya sekali melakukan amandemen hukum perdata yang terkait dengan waris.
Sebelum terjadi reformasi politik turki 1926, Turki menggunakan sistem waris Islam mazhab Hanafi. Kemudian, mengikuti ideologi negara, sistem waris yang digunakan juga skular, yaitu mengambil dari sistem waris hukum perdata Swis sampai akhirnya melakukan amandemen pada tahun 2001. Hal yang menarik adalah, meskipun sudah melakukan amandemen, namun Turki masih mensejajarkan antara laki-laki dan perempuan dalam sistem hukum keluarga, termasuk hukum waris.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mannan, “Reformasi Hukum Islam di Indonesia’. (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2006).
Ade Solihat. M.S., “Kemalisme, Budaya dan Agama Turki”. (Makalah disampaikan pada Ceramah Umum---- KEMALISME: Budaya dan Negara Turki----Diselenggarakan oleh Departemen Linguistik dan Departemen Susastra FIB UI pada tanggal 10 Mei 2005).
Adian Husaini, “Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal”, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).
BBC NEWS World Europe Ctry profiles Country profile Turkey.htm. (diakses pada 12 November 2007).
Bryan S. Turner. “Sosiologi Islam: Sua Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi”. Weber (terj.). (Jakrata: Rajawali Pers, 1984).
Erik J. Zurcher, “Sejarah Turki Modern”,(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2003).
Fahmi Huwaydi, “Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani”. (Bandung: Mizan, 1996).
Hasan Shadily, “Ensiklopedi Indonesia”. (Jakarta: Ichtiar Baru Hoeve, tt).
John L. Esposito, “The Islamic Threat, Myth or Reality”, (New York: Oxford University Press, 1993).
John L. Esposito. “Ensiklopedi Oxford Dunia Islam”. (Bandung: Mizan, 2001).
Riza Sihbudi, “Menyandera Timur Tengah”,(Jakarta: Mizan, 2007).
Tahir Mahmood, “Family Law Reform In The Muslim World”,(Bombay: N.M. Tripathi PVT. LTD, 1974).
Tahir Mahmood, “Islam and Islamic Law under World Constitutions”, dalam E-Jurnal Future Islam (www.futureislam.com). (diakses 11 November 2007).
Tim Penulis “Ensiklopedi Islam”, (Jakarta: Ichtiar Baru Hoeve, 1994).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar