Minggu, 10 Mei 2009
PELANGGARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Pembahasan tentang pembajakan terhadap hak kekayaan intelektual (HKI) di Indonesia sesungguhnya pambahasan yang masih baru dikancah hukum, baik hukum positif apalagi hukum Islam. Hal terbukti pada dataran penerapan hukum yang telah terbentuk itu di masyarakat. Sampai saat in, penerapan hukum pada bidang Hak Kekayaan Intelektual masih dihadapkan pada banyak dilema. Di satu sisi, penegakan itu adalah konsekuensi bagi Indonesia untuk sebagai salah satu anggota World Trade Organization (WTO), tapi pada sisi lain ternyata rakyat Indonesia sendiri sama sekali belum mampu untuk meninggalkan budaya itu.
PELANGGARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
OLEH: IMAM MUSTOFA
A. Pendahuluan
Pembahasan tentang pembajakan terhadap hak kekayaan intelektual (HKI) di Indonesia sesungguhnya pambahasan yang masih baru dikancah hukum, baik hukum positif apalagi hukum Islam. Hal terbukti pada dataran penerapan hukum yang telah terbentuk itu di masyarakat. Sampai saat in, penerapan hukum pada bidang Hak Kekayaan Intelektual masih dihadapkan pada banyak dilema. Di satu sisi, penegakan itu adalah konsekuensi bagi Indonesia untuk sebagai salah satu anggota World Trade Organization (WTO), tapi pada sisi lain ternyata rakyat Indonesia sendiri sama sekali belum mampu untuk meninggalkan budaya itu.
Ketidakmampuan masyarakat untuk mandiri menciptakan ide-ide baru sekaligus disokong dengan telah membudayanya pembajakan HKI itulah yang menyebabkan hingga saat ini Indonesia juga masih berada pada tingkat yang sangat tinggi dalam hal pembajakan HKI. Berbagai praktek pelanggaran terhadap hak milik intelektual ini tanpa disadari telah berlangsung sejak lama dan hingga kini masih saja terjadi bahkan dengan intensitas yang lebih tinggi. Apalagi peralatan teknologi dewasa ini sangat mendukung dan memberikan fasilitas terhadap pelanggaraan hak milik intelektual itu dengan berbagai cara seperti pembajakan buku, film dan beberapa alat multimedia. Para opportunis memanfaatkan pelanggaran ini untuk mendapatkan keuntungan besar dengan cara yang mudah serta biaya sedikit tanpa pernah memikirkan kerugian pihak lain, seperti si pencipta dan negara.
Meskipun keberadaan Hak atas Kekayaan intelektual pada dasarnya ada yang dihasilkan oleh dan memerlukan bentukan alam seperti indikasi geografis, namun kebanyakan HKI lebih dialamatkan kepada “kegiatan” manusia. Lahirnya sebuah karya yang dihasilkan oleh “manusia” dengan berbekal kemampuan intelektualitasnya itu secara otomatis memunculkan hak dan kewajiban. Sederhananya, hak yang melekat pada diri si pencipta dan kewajiban yang mengikat orang lain itulah yang kemudian menuntut peran hukum untuk mengawalnya. Karena HKI merupakan realitas hukum yang tidak dapat dihindari. Peran penting hukum di setiap timbulnya hak individu (terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual) itu secara ilustratif bisa dijelaskan melalui asumsi bahwa dalam perjalanannya nanti pastinya akan terjadi persinggungan antara hak dan kewajiban tersebut. Di sinilah posisi hukum berada hal mana sangat diharapkan sekali keperkasaannya untuk selalu mengiringi gerak laju hak individu tersebut, baik dengan tindakan preventif maupun represif.
Mengenai hal ini, Indonesia sudah patut berbangga hati karena sudah mempunyai perangkat hukum (Legal Framework) yang jelas mengenai dilindunginya Hak atas Kekayaan Intelektual setelah beberapa kali mengalami penyempurnaan, yaitu dengan disahkannya Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merk, dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Selain dalam bentuk Undang-undang baru produk bangsa Indonesia sendiri, diatur juga mengenai persaingan curang yang telah lama diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1365 tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH). (Rachmadi Usman, 2003: 18)
Seperangkat regulasi mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual (Baca: HKI) sebagaimana tersebut di atas ringkasnya dikelompokkan ke dalam dua macam hak, yaitu pertama Hak Cipta yang meliputi hak cipta dan hak-hak lain yang terkait dengan hak cipta; dan kedua, Hak Milik Perindustrian yang meliputi Paten dan Paten Sederhana, Merk, Varietas Tanaman, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Rahasia Dagang. Inti dari pengaturan Hak atas Kekayaan Intelektual tersebut adalah untuk memberikan perlindungan terhadap pemilik atau pemegang hak sebuah karya intelektual dari tindakan-tindakan “curang” yang dilakukan orang lain. Lebih luas dari itu, keberadaan perangkat hukum HKI setidaknya bisa diartikulasikan sebagai perangsang yang benar-benar mempunyai daya gedor bagi tumbuh suburnya kekayaan-kekayaan intelektual di negeri ini. Artinya, selain berfungsi sebagai upaya untuk mencegah dan meminimalisasi terjadinya pelanggaran, undang-undang tentang HKI juga berfungsi sebagai sarana untuk mengkampanyekan HKI (Campaign Activities).
Melihat wacana seperti itu, pembahasan mengenai HKI ini akan sangat menarik untuk diperbincangkan di kalangan akademik. Setidaknya untuk mengetahui wacana bagaimana pembjakan terhadap HKI itu di Indonesia, dan kalau bisa dapat memberikan solusi agar kelak Indonesia bebas dari praktek pembajakan terhadak Hak ‘orang lain’ dalam bidang Kekayaan Intelektual.
Kekayaan Intelektual itu sendiri sesungguhnya memiliki banyak ragam. Diantara yang termasuk dalam HKI adalah hak paten, merek, rahasia dagang dan hak cipta. Setiap ragam itu memiliki aturan yang berbeda.
Untuk mewujudkan hasil yang maksimal (yaitu: bagaimana wacana pembajakan HKI di masyarakat dan bagaimana memberantasnya), maka dalam makalah ini, kami bermaksud memaparkan sedikit tentang bagaimana Islam memaknai dan menghargai hak seseorang, dan bagaimana pula pembajakan terhadap HKI dalam pandangan Hukum Islam.
B. Perlindungan Hak dalam Islam
Bagaimana perhatian Islam terhadap hak milik seseorang kiranya tidak perlu kita ragukan lagi. Terlalu banyak nash yang menjelaskan bagaimana pengaturan Islam terhadap hak milik seseorang. Baik dalam al Qur’an ataupun hadist perkara pemerliharaan hak milik seseorang banyak diatur. Salah satunya adalah pengaturan Islam terhadap memperoleh sesuatu barang dengan cara yang sesuai dengan ketentuan.
Tujuan utama hukum Islam sendiri pada dasarnya adalah untuk melindungi hak milik umat manusia. Hal ini sebagimana dirumuskan oleh bahwa Al-Ghazali, bahwa tujuan utama hukum syariat Islam adalah memelihara lima hal pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Segala bentuk upaya untuk memelihara kelima macam ini dipandang sebagai maslahat, dan merusaknya adalah mafsadat.
Di dalam Islam, hukum mencuri yang merupakan pelanggaran terhadap hak milik, ditegaskan di dalam Al-Quran: 'Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasan dan Maha Bijaksana' . (Q.S. Al Maidah: 38 ). Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda tentang bahaya mencuri bagi suatu masyarakat dan ketegasan hukumnya: 'Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya.' (Riwayat Bukhari)
Ketegasan aturan mengenai 'mencuri' ini menunjukkan pengakuan Islam akan hak milik, perlindungannya, dan mengatur perpindahannya secara adil. Di dalam Islam, mencuri bukan hanya dianggap merugikan orang yang dicuri secara individual, tapi juga secara sosial masyarakat luas, sebuah bangsa, atau kemanusiaan itu sendiri. Bahkan secara vertical mencuri itu juga termasuk men-dholimi Allah SWT.
Hukuman potong tangan, yang sering dipandang sebagai tidak manusiawi bagi yang menentangnya atau sebagai hukuman yang serta merta dijalankan apa adanya bagi pendukung literalnya, pada prakteknya tidaklah dilakukan tanpa konteks. Para ahli hukum Islam sering mencontoh kisah yang terjadi dalam masa khalifah kedua Umar bin Khaththab yang tidak menghukum pencuri tapi justru mengancam akan menghukum yang pemilik barang yang dicuri.
Sedemikian lengkapnya pengaturan Islam tentang hak milik seseorang, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Pengaturan dalam Islam sesungghnya lebih lengkap dari pada hukum posititf dalam perkara hak milik. Islam mengatur bagaimana mendapatkan, memelihara, memberikan, mengalihkan hak milik dan lain sebagainya, sebagaimana pula Islam mengatur bagaimana keuntungan yang akan didapatkan seseorang dan masyarakat bila mematuhinya dan bagaimana pula sanksi yang harus ditempuh seseorang jika melanggarnya.
C. Urgensi Fiqh Hak Kekayaan Intelektual
Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang hak cipta menyebutkan bahwa hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berbeda dengan hukum positif, jika ditinjau dari hukum Islam, secara eksplisit permasalahan ini belum diatur oleh nash, baik al qur’an maupun hadist nabi saw. Para ulama yang hidup pada masa tabi’u at tabi’in (300 tahun setelah nabi saw wafat) sering mengklasifikasikan permasalahan semacam itu dengan istilah permasalahan ijtihadi. Istilah itu masih populer pada ulama hingga sekarang, dimana perkara-perkara yang belum diatur dalam al Qur’an secara detail dan belum pula pernah terjadi pada masa rasul saw sehingga tiada pula penjelasan darinya, mak perkara itu disebut masalah ijtihadi. Dalam hal ini termasuk permasalahan penentuan hukum pembajakan hak cipta oleh seseorang.
Konsekuensi dari pengklasifiksian suatu perkara kepada permasalahan ijtihadi adalah penetapun hukum terhadap perkara itu harus dipertimbangkan dari segala bidang, dengan ketentuan hukum yang tidak statis pula, melainkan dinamis. Karena perkara ijtihadi yang telah ditetapkan hukumnya sekarang ini belum tentu sesuai dengan masa yang akan datang, atau bisa jadi hanya pertimbangan tempat. Artinya, bisa jadi di satu wilayah hukum terhadap sesuatu perkara berbeda dengan wilayah lain walaupun pada satu waktu itu juga.
D. Menentukan Hukum Pelanggaran Terhadap Hak Kekayaan Intelektual
Hak milik intelektual dalam khazanah diskursus ilmu keIslaman termasuk dalam bidang mu’malah. Masalah mu’amalah dalam arti yang luas, aturan-aturan hukumnya dituangkan oleh Allah dalam bentuk garis-garis besarnya saja dan bersifat zannī (tidak pasti). Bertitik tolak dari garis-garis besar tersebut, manusia dengan potensi akal yang dianugerahkan kepadanya, diberi “kekuasaan” untuk mencari alternatif-alternatif pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan yang mengitarinya dan yang tidak mampu dijawab oleh nas.
Salah satu alternatif pemecahan itu adalah munculnya konsep Maqāsid asy-Syarī’ah yang dibawa oleh al-Syatibi dengan magnum opusnya Al-Muwāfaqāt fi Usūl asy-Syarī’ah. Kandungan maqāsid asy-syarī’ah adalah kemaslahatan. Kemaslahatan itu, melalui analisis maqāsid asy-syarī’ah tidak hanya dilihat dalam arti teknis belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum dilihat sebagai sesuatu yang mengandung nilai filosofis dari hukum-hukum yang disyariatkan Tuhan terhadap manusia. Penekanan maqāsid asy-syarī’ah yang dilakukan oleh al-Syatibi secara umum bertitik tolak dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa hukum-hukum Tuhan mengandung kemaslahatan.
Kaitan teori ini dengan pembahasan hak milik dalam perspektif hukum Islam adalah bahwa dalam menggali kandungan khazanah fikih Islam tentang hak milik serta menemukan ketetapan hukumnya dengan berasaskan pada konsep maqāsid asy-syarī’ah, karena persoalan hak milik dalam konteks modern termasuk persolan yang baru dan belum dikenal dalam ilmu keIslaman klasik, sehingga membutuhkan perangkat ijtihad yaitu teori maqāsid asy-syarī’ah.
Sebagaimana yang telah dikemukakan, bahwa pembajakan adalah permasalahan ijtihadi, permasalahan yang belum diatur dalam nash secara eksplisit. Sehingga dalam menentukan hukumnya harus melalui penelitian ulama terhadap realitas masyarakat dan akhirnya digali hukumnya dengan menggunakan metode usul fiqh sebagai alatnya.
Jika dilihat dari kasus yang terjadi di Indonesia, penentuan hukum pembajakan dapat diselesaikan dengan menggunakan metode mashlahah mursalah (kepentingan umum). Karena pada dasarnya, terbentuknya suatu hukum tiada lain kecuali bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan di masyarakat. Bahkan lebih liberal lagi dinyatakan bahwa nash-pun pada akhirnya dapat dikesampingkan dalam rangka mewujudkan kemashlahatan itu.
Dalam konteks sejarah, permasalahan mashlahah mursalah juga pernah diterapkan oleh para sahabat. Misalnya, dikisahkan ketika suatu ketika terjadi paceklik, ada kasus pencurian yang dilaporkan kepada Umar untuk dihukum, tetapi Umar menolak menghukumnya, alasannya karena musim paceklik mungkin orang itu terpaksa mencuri karena takut mati kelaparan. Sebaliknya Umar malah pernah mengancam, "Kalau kamu terus menerus melaporkan pencuri hartamu padahal kamu kaya, malah nanti tangan kamu yang akan saya potong, karena kamu yang menjadi sebab orang ini lapar." Dalam kisah lain disebutkan ada dua orang hamba sahaja yang mencuri dari tuannya karena tidak diberi makanan yang cukup, Umar tidak menghukumnya, tapi justru mengancam akan memotong tangan tuannya. Kisah serupa juga bisa didapati pada suatu kisah ketika beberapa budak milik Hathib bin Abi Balta'ah mencuri seekor unta kepunyaan tetangga, dan menyembelihnya. Umar bin Khattab menerima pengaduan tetapi tidak segera menjatuhkan hukuman melainkan lebih dahulu bertanya kepada budak-budak itu tentang sebab-musabab mengapa sampai mencuri. Ternyata mereka benar-benar terpaksa untuk mengisi perut karena ditelantarkan oleh majikannya. Umar benar-benar marah, Hathib segera dipanggil dan dipaksanya untuk mengganti unta yang dicuri budak-budaknya. Sementara budak-budak itu sendiri ia bebaskan dari segala tuntutan.
Ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya, hukum itu melihat konteks atau pre-kondisinya. Setiap keputusan hukum memiliki apa yang disebut sbg 'illat (sebab, rasio-logis tentang kenapa hukum itu ditetapkan). Jadi kalau pre-kondisinya tidak terpenuhi maka hukum itu tidak bisa dijalankan.
Agar tidak panjang-panjang membahasanya ke yang lebih rumit, kita balik saja lagi membahas pemikiran-pemikiran yang sudah ada tentang hak milik intelektual dilihat dari sudut mashlahah mursalah (kemaslahatan umum) dengan kacamata yang sudah ada.
Dalam hal ini terdapt dua pendapat yang diungkapkan sekaligus alasan-alasannya. Pendapat pertama, menyatakan bahwa hak milik intelektual (Intellectual Property Rights - IPR) itu harus dilindungi karena merupakan prasyarat inovasi dan pembangunan. Kalau tidak dilindungi maka orang akan malas menemukan sesuatu akibatnya inovasi terhambat, dan ujung-ujungnya kira-kira pembangunan akan terhambat pula. Kemakmuran bangsa akan berkurang dan ini jelas merugikan. Seorang penemu juga telah menginvestasikan waktu, tenaga, uang, dan sumberdaya lainnya, sehingga sangat pantas apabila apa yang sudah dikeluarkan itu dihargai.
Jika kita sepakat dalam pandangan ini, maka pencurian terhadap hak milik intelektual sama saja dengan pencurian terhadap hak-hak lain yang dilindungi. Islam jelas melarang tindakan zalim suatu pihak terhadap pihak lain.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa hak milik intelektual ini justru merugikan kepentingan publik (kemaslahatan umum) karena akan semakin memperkecil hak-hak publik menjadi hak-hak private (individu atau perusahaan).
Pendapat yang menarik bisa dilihat pada tulisan George Monbiot, di Guardian, tanggal 12 Maret 2002, yang berjudul 'Patent Nonsense'. Dari tulisan itu kita bisa memahami bahwa rejim patent hanya menguntungkan segelintir perusahaan swasta bukan masyarakat umum. Dibuktikan pula melalui analisis sejarah ekonomi Erich Schiff, bahwa tidak benar kalau patent tidak dilindungi maka inovasi akan terhambat. Dicontohkan bahwa Swiss dan Belanda, adalah dua negara yang dalam sejarahnya tidak mau menerapkan undang-undang patent, banyak industrinya yang mencuri patent, namun justru saat itulah berkembang penemuan-penemuan dan perusahaan-perusahaan besar dari sana. Beberapa perusahaan Swiss seperti Nestle dan Ciba; juga perusahaan Belanda seperti Unilever dan Philips, adalah perusahaan yang tumbuh karena 'berkah' mencuri patent atau tidak adanya aturan patent itu. Namun perusahaan-perusahaan itu sekarang berbalik melakukan lobby-lobby untuk memperketat aturan patent.
Kalau kita mengikuti pendapat kedua ini, maka kita akan melihat betapa justru perlindungan hak milik intelektual ini justru akan merugikan masyarakat luas. Apabila merugikan, maka Islam justru harus membuat aturan akan kerugian masyarakat ini minimal.
Tarik menarik di antara dua kubu inilah, paling tidak, bisa memberi gambaran kepada kita bagaimana kita bisa pintar-pintar mengambil keputusan. Kalau dikembalikan kepada hukum Islam maka kita bisa memakai kaidah: "Idza Taa'radal Maslahatan, Quddima A'dlamu huma" yang maksudnya apabila terjadi dua maslahat yang bertentangan, maka ambillah yang memiliki kemaslahatan yang lebih besar.
E. Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual dalam Perspektif Fikih Islam
Fikih Islam memasukkan HAMI dalam al-māl, sehingga keberadaan undang-undangnya sebagai bentuk perlindungan terhadap karya secara umum tidak bertentangan dengan syariah. Hak seorang dalam Hak Milik Intelektual adalah berupa haqq ’aini mālī gairu mujarrad (hak kehartabendaan yang permanen). Disebut dengan haqq ’aini karena seseorang mempunyai kekuasaan penuh untuk menggunakan dan mengembangkan haknya itu.
Sedangkan dinamakan dengan haqq mālī karena obyek dari HAMI adalah al-māl. Sedangkan penamaannya disebut dengan haqq gairu mujarrad (haqq mutaqarrar) karena haqq mujarrad tidak dapat berubah walaupun dicabut atau digugurkan oleh pemiliknya. Dengan kata lain haqq mujarrad tidak meninggalkan bekas apabila digugurkan oleh pemiliknya. Berbeda dengan HAMI sebagai haqq mutaqarrar yang apabila digugurkan atau dimaafkan meninggalkan bekas terhadap orang yang dimaafkan. Misalnya apabila seseorang meninggalkan haqq mālī atas karyanya di depan penerbit, maka karya itu boleh dimanfaatkan oleh siapa saja padahal sebelumnya hanya bisa dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya saja. Ketika haqq mālī suatu karya digugurkan oleh pemiliknya, maka status hukumnya pun berubah.
Sejalan dengan pendapat di atas, Az-Zarqa’ memasukkan HAMI yang ia sebut dengan istilah al-huqūq al-adabiyyah juga ke dalam hak material (al-huqūq al-māliyyah). Kedudukan al-huqūq al-adabiyyah ini sejajar dengan al-haqq al-syakhs dan al-haqq al-‘ainī. Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa HAMI meliputi hak cipta, hak pengarang, dan hak yang berkaitan dengan penemuan lainnya dalam bidang seni maupun teknologi. Akan tetapi Az-Zarqa’ lebih cenderung menyebut HAMI dengan istilah haqq al-ibtikār karena sekupnya lebih luas dari pada al-huqūq al-adabiyyah. Selanjutnya, Muhammad Usman Syabir lebih menspesifikkan HAMI sebagai huqūq ma’nawiyyah yang merupakan bagian dari huquq māliyyah.
Dengan demikian, kedudukan HAMI dalam hukum Islam (fiqh) adalah sah, karena sudah meliputi beberapa hak yang telah dikonsepsikan oleh para fuqaha’ sebelumnya. Di antara hak-hak itu antara lain haqq’aini mālī gairu mujarrad, al-huqūq al-adabiyyah, huquq ma’nawiyyah, dan huquq al-ibtikār.
Kajian soal HKI menurut Islam juga datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga yang menjadi wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Menurut MUI, perlindunangan Hak Cipta tidak bertentangan dengan syariat Islam.
MUI Bahkan mengeluarkan fatwa khusus berkaitan dengan perlindungan HKI, yaitu fatwa MUI No. 1 Tahun 2003 tentang Hak Cipta. Pendapat MUI menggolongkan Hak Cipta sebagai barang berharga yang boleh dimanfaatkan secara syara' (hukum Islam), mengutip pendapat cendekiawan muslim Beirut, Fathi al-Duraini dalam kitabnya Haqq al-Ibtikar fi al-Fiqh al-Islam al-Muqaran.
Mayoritas ulama dari kalangan Mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali berpendapat bahwa hak cipta atas ciptaan yang orisinal dan manfaat tergolong harta berharga, sebagaimana benda jika boleh dimanfaatkan secara syara' (hukum Islam) (Dr Fathi al-Duraini, Haqq al-Ibtikar fi al-Fiqh al-Islam al-Muqaran. )
Berkenaan dengan hak kepengarangan (haqq al-ta'lif), salah satunya hak cipta, perlu dipertimbangkan pendapat Wahbah al-Zuhaili. Imuwan muslim ini berpendapat bahwa hak kepengarangan dilindungi oleh hukum Islam. Karenanya, mencetak ulang atau mengkopi buku tanpa izin merupakan pelanggaran atau kejahatan terhadap hak pengarang.
Berdasarkan hal (bahwa hak kepengarangan adalah hak yang dilindungi oleh syara' [hukum Islam], atas dasar qaidah (istishlah) tersebut, mencetak ulang atau meng-copy buku (tanpa izin yang sah) dipandang sebagai pelanggaran atau kejahatan terhadap hak pengarang; dalam arti bahwa perbuatan tersebut adalah kemaksiatan yang menimbulkan dosa dalam pandangan Syara' dan merupakan pencurian yang mengharuskan ganti rugi terhadap hak pengarang atas naskah yang dicetak secara melanggar dan zalim, serta menimbulkan kerugian moril yang menimpanya.
Berdasarkan alasan tersebut menurut MUI pelanggaran hak cipta hukumnya adalah haram. "Pembajakan bukan saja termasuk perbuatan maksiat, tapi juga merupakan perbuatan dzalim. Memanfaatkan hak orang lain, sama halnya dengan mencuri.
Menurut Ma'ruf Amin, maraknya pelanggaran terhadap HKI, khususnya tindak pembajakan, mematikan kreativitas seniman dalam berkarya. Ma'ruf Amin juga mengatakan bahwa fatwa ini bukan segala-galanya, tapi merupakan sebuah pendekatan moral.
F. Penutup
Realita pembajakan di Indonesia sudah masuk dalam kategori parah. Seakan-akan aktifitas ini telah menjadi budaya di negara ini. Maka, wajar jika pihak pemerintah sangat kewalahan memberantas ‘kegiatan masyarakat’ ini. Tapi, apapun ceritanya, pembajakan sesunggunya akan menimbulkan kerugian yang sangat luar biasa di masyarakat. Tidak terbatas hanya pada kerugian finansial saja, melainkan kerugian dalam bidang etos kerja dan pemikiran yang inovatif juga akan dirasakan. Sebaliknya, suatu negara yang bebas dari pembajakan akan lebih kreatif mengeluarkan ide-ide baru yang cemerlang sehingga dapat memberikan kontribusi keilmuan yang baik bagi rakyat dan negaranya.
Peran hukum Islam juga sangat diperlukan dalam hal ini, untuk meredam aktivitas pembajakan sekaligus meningkatkan pola pikir masyarakat sudah seharusnya hukum Islam melalui para pakarnya, berperan memberikan kontribusi kepada negara, atau setidaknya hanya memberikan petunjuk kepada umat, mana jalan yang benar untuk selanjutnya diterapkan, dan mana yang salah untuk selanjutnya ditinggalkan.
Meskipun dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa pembajakan HKI dalam fikih Islam adalah haram, namun demikian hukum Islam belum megatur secara detail tentang praktek pembajakan ini. Oleh karena itu menjadi tugas kita semua untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat bagaimana Islam memandang praktek pembajakan terhadap HKI. Dengan demikian, akan lebih nyata bahwa Islam pada dasarnya memang komprehensif, termasuk mengatur hukum kekayaan intelektual secara detail . Wallahu a’lam bi ash shawab.
Daftar Pustaka
'Abdul 'Aziz, 'Izzuddin. Tt. Qowaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah.
al Dabbo, Ibrahim Fadil. 1997. Daman al-Manāfi’ Dirāsah Muqāranah fi al-Fiqh al-Islāmi wa al-Qānūn al-Madani. Beirut: Dar al ‘Ammar.
al-Buthy, Ramadhan. 1986. Dhawabith al-Mashlahah fi al-Syari'ah al-Islamiyah. Beirut: uassasah al-Risalah.
al-Duraini, Fathi. 1984. Haqq al-Ibtikar fi al-Fiqh al-Islam al-Muqaran. Bairut: Dar al-Fikr al-Mu'ashi.
Ali Rabi’ah, Abdul Azis Abdul Rahman bin. 1986. Adillatu al-Tasyri’: al-Mukhtalif fi al-Ihtijaj biha al Qiyas, al Istihsan, al Istishlah, al Istishab. Jai’ah al imam bin Su’ud al Islami. tanpa penerbit.
ِِِِAl-Syatibi. 2003. al-Muwafaqat. Beirut:Dar al-Kutub al-'Ilmiyah.
al-Zuhaili, Wahbah. 1998. al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Bairut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir.
Ariwirawan, Adit. 2004 Ekspansi HAKI Bisa Memperparah Kemiskinan, Majalah Keadilan Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Edisi II/Tahun XXXI/2004.
Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid al-Syari’ah Menurut Al-Syatibi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Gautama, Sudargo. 1990. Segi-segi Hak Milik Intelektual. Bandung: Fresco.
Hermawan, Aji. 2004. fiqh Hak Cipta, dalam http://media.isnet.org/Islam/Etc/FiqhHakCipta.html, diakses pada tanggal 16 Mei 2006.
Hukum Online, Mengkaji Hak Kekayaan Intelektual dari Kacamata Hukum Islam, http://hukumonline.com/detail.asp?id=9234&cl=Berita, tertanggal 25 Januari 2003. diakses pada tanggal 16 Mei 2006.
Mth, Asmuni. 2002. Hak Milik Intelektual dalam Perspektif Fiqh Islami dalam Jurnal Al Mawarid (Edisi IX). Yogyakarta: Jurusan Syariah FIAI UII.
Mu’allim, Amir. 1997. Maqashid al-Syari’at: Fungsi dan Keduduknya dalam Penetapan Hukum) dalam Jurnal al-Mawarid Edisi VI Desember.
Mubarok, Jaih. 2003. Dinamika Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA, No. 48/XXXVI/II/2003.
Muhammad, Abdulkadir. 2001. Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Syafrinaldi. 2002. Sejarah dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam Jurnal Al Mawarid (Edisi IX). Yogyakarta: Jurusan Syariah FIAI UII.
Tim Redaksi. 1997. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid II. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Usman, Rachmadi. 2003. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual; Perlindungan Dan Dimensi Hukumnya Di Indonesia. Bandung: P. T Alumni.
UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Hak Cipta, Penerbit Citra Umbara Bandung: Februari 2003
Yusdani. 2000. Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum: Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin At Tufi. Yogyakarta: UII Press.
Zarqa’, Musthofa Ahmad al. Tt. Al-Fiqh al-Islami fi Śaubihi al-Jadīd. Juz III. Beirut: Dar al Fikr.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar