Minggu, 10 Mei 2009
POTRET PERKEMBANGAN HUKUM TALAK DAN CERAI DI INDONESIA DAN MESIR: ANALISIS DESKRIPTIF KOMPARATIF
Hampir semua tulisan yang membahas masalah pembaruan dalam bidang hukum keluarga menjelaskan bahwa adanya tersebut bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak wanita dan menjunjung statusnya, khususnya. Namun demikian, sebenarnya tidak semua pembaruan ini bertujuanuntuk itu, Tunisia mereformasi perundang-undangan hukum keluarga dengan tujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Tujuan lain dari pembaruan ini adalah untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman, karena konsep fikih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya.
POTRET PERKEMBANGAN HUKUM TALAK DAN CERAI DI INDONESIA DAN MESIR: ANALISIS DESKRIPTIF KOMPARATIF
OLEH: IMAM MUSTOFA
A. Pendahuluan
Hampir semua tulisan yang membahas masalah pembaruan dalam bidang hukum keluarga menjelaskan bahwa adanya tersebut bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak wanita dan menjunjung statusnya, khususnya. Namun demikian, sebenarnya tidak semua pembaruan ini bertujuanuntuk itu, Tunisia mereformasi perundang-undangan hukum keluarga dengan tujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Tujuan lain dari pembaruan ini adalah untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman, karena konsep fikih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya.
Talak dan cerai yang merupakan bagian dari kajian hukum keluarga tidak terlepas dari pembaruan yang terjadi di berbagai negara. Dalam makalah ini akan dibahas pembaruan hukum keluarga mengenai talak dan cerai di Indonesia dan Mesir. Sebelum menjelaskan perkembangan hukum talak dan cerai di dua negara ini, terlebih dahulu akan dibahas ketentuan-ketentuan talak dan cerai dalam kazanah fikih, hususnya dalam madzhab Syafi’i dan Hanfi. Hal ini dilakukan karena pada dasarnya perkembangan perundang-undangan yang terjadi di dua negara tersebut berangkat dan mengacu pada aturan-aturan yang terdapat dalam kitab fikih.
Pembahasan dalam tulisan ini bersifat deskriptif komparatif, yaitu perbandingan antara perkembangan ketentuan talak dan cerai dalam perundang-undangan hukum keluarga di Indonesia dan di Mesir. Penulis sengaja memilih Mesir karena pada dasarnya tujuan diadakannya pembaruan di dua negara ini sama, yaitu untuk mengangkat status wanita. Selain itu, Mesir merupakan termasuk negara yang paling awal dalam mereformasi perundang-undangan hukum keluarga. Alasan lain adalah karena rata-rata kaum muslim di dua negara ini menganut madzhab yang sama, yaitu Syafi’i dan Hanafi.
B. Ketentuan Talak dan Cerai dalam Kazanah Fikih
Sebelum adanya pembaruan Perundang-undangan Hukum Perkawinan di Indonesia, aturan-aturan yang digunakan adalah aturan yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Dan karena mayoritas muslim Indonesia adalah penganut madzhab Syafi’i, maka yang banyak menjadi rujukan adalah kitab-kitab karya ulama Syafi’iyah. Kitab yang biasa dipelajari dan dijadikan rujukan pengikut madzhab Syafi’i antara lain al-Umm, Minhaju al-Thalibien, Kanzurraghibien dan syarahnya, Minhaj al-Thullab, Fath al-Wahhab, Tuhfat al-Muhtaj, al-Mughni al-Muhtaj, Nihayah al-Muhtaj, al-Muhadzdzab, Kifayah al-Akhyar fath al-Mu’in, dan I’anah al-thalibien. Dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama, tidak terkecuali dalam hal yang berkaitan hukum keluarga ada tiga belas kitab utama yang menjadi rujukan, yaitu, Bughyah al-Mustarsyidien, al-Faraid, Fath al-Mu’in, fath al-Wahhab, Hasyiyah Kifayah al-Akhyar, al-Mughni al-Muhtaj, Qawanin al-Syar’iyyah, Qawanin al-Syar’iyyah al-Mijallil al-Hukmiyyah wa al-Iftaiyyah, Syarh Kanz al-Raghibien, Syarqawi ‘ala Tahrir, Tuhfat al-Muhtaj, Targhib al-Musytaq dan Kitab al-Fiqh ‘ala madzahib al-arba’ah. Ketetapan rujukan ini berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan No. B/1/735 Pebruari 1958.
Kalau kita cermati dan amati dalam berbagai kitab fikih klasik, pada umumnya ulama-ulama fikih berbeda pendapat dalam penetapan hukum suatu kasus. Tidak terkecuali dalam hal putusnya perkawinan. Perbedaan pendapat ulama ini bisa dipahami, karena metode ijtihad dalam penetapan hukum juga terdapat perbedaan di kalangan ulama, perbedaan penafsiran nash dan perbedaan sosio-kultural di masa mereka hidup. Oleh karena itu tidak mengherankan jika terjadi perbedaan dalam hal putusnya perkawinan.
Putusnya perkawinan, menurut kalangan Malikiyah pada umunya disebabkan oleh talak, khulu’ fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’ dan zhihar . Menurut kalangan Hanafiyah putusnya perceraian disebabkan oleh talak, khulu’ila’ dan zhihar . Sedangkan menurut Syafi’i di antara sebab-sebab terjadinya perceraian antara lain talak, khulu’ fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’ zhihar dan li’an. Secara garis besar hal-hal yang menyebabkan putusnya perkawinan dalam kazanah kitab fikih yaitu:
Pertama, talak. Talak adalah lepasnya ikatan tali pernikahan dengan kata talak dan sejenisnya. Dasar hukum talak antara lain QS, Al-Baqarah ayat 229 ; surat al-Thallaq ayat 1 . Dasar hukum lain adalah dari hadis yang artinya”perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak” . Dalam kazanah fikih, hak untuk men-talak hanya dimiliki oleh suami. Hal ini menurut al-Zuhaili disebabkan oleh dua hal, pertama, pada umumnya, secara psikologis wanita lebih mengedepankan perasaan, sedangkan perasaan wanita cukup lembut, sehingga apabila wanita mempunyai hak talak ia akan mudah mengucapkannya meskipun hanya dengan sebab yang sepele atau alasan yang tidak signifikan. Kedua, kaum laki-laki, dalam hal ini adalah suami mempunyai tanggung jawab yang besar, mulai dari mahar, nafkah, nafkah pada waktu iddah dan lain-lain.
Dari segi akibat hukumnya, Imam Syafi’i membagi talak menjadi talak bai’n kubra atau talak tiga, yaitu pertama, talak tiga, kedua, talak ba’in, dan ketiga talak raj’i. Akibat hukum dari talak ba’in kubra adalah tidak diperbolehkannya ruju’ kecuali bekas istri telah dinikahi oleh laki-laki lain didukhul kemudian dicerai. Setelah masa iddah dengan laki-laki lain maka baru boleh ruju’ dengan suami yang telah menalak tiga. Selain itu, apabila terjadi talak ba’in kubra maka isteri tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari bekas suami. Sedangkan akibat hukum dari talak raj’i adalah suami masih berhak untuk ruju’ dan suami tidak boleh mengusir istri dan istri dilarang keluar rumah kecuali ada alasan yang dibenarkan oleh syara’.
Kedua, khulu’. Khulu’ Imam Syafi’i mendefinisikannya sebagai talak yang dijatuhkan oleh suami dengan syarat sang istri memberikan tebusan (iwadh). Sedangkan menurut kalangan Malikyyah khulu’ sama halnya dengan talak ba’in. Begitu juga dalam hal akibat hukumnya, kalangan Syafi’i juga berpendapat bahwa khulu’ tidak ada ruju’ dan sang istri tidak berhak mendapat tempat tinggal. Dasar hukum khulu’ antara lain, QS: al-Baqarah ayat 229 ; al-nisa’ ayat 4 dan ayat 128 .
Menurut Maliki, khulu’ ini dapat diwakili oleh wali atau orang lain. Adapun syarat-syart khulu’ yaitu: 1) suami harus cakap hukum; 2) status wanita yang menuntut cerai adalah istrinya yang sah; 3) ganti rugi merupakan barang berharga yang juga dapat dijadikan mahar.
Ketiga, fasakh. Menurut kalangan Syafi’iyah fasakh adalah perpisahan atau perceraian suami dengan istri yang diakibatkan oleh alasan-alasan tertentu, seperti antara suami dan istri ternyata masih mahram, yang mengakibatkan suami dan istri haram untuk menjalin ikatan sebagai suami istri. Mengenai hal penyebab terjadinya fasakh, terdapat perbedaan di antara ulama. Menurut Imam Malik fasakh terjadi apabila salah satu dari suami atau istri mengidap penyakit gila, kudis dan penyakit kelamin yang fatal, seperti impoten. Sedangkan menurut Syafi’i penyebab terjadinya fasakh yaitu: pertama, nikah fasid atau nikah yang tidak dah karena alasan syar’i. kedua, karena suami tidak dapat memberikan nafkah dan ketiga, apabila sebelum pernikahan disyaratkan perawan, namun setelah pernikahan ternyata sang istri sudah janda. Adapun akibat hukum dari terjadinya fasakh adalah tidak ada ruju’, dan kemungkinan untuk berkumpul kembali hanya dengan nikah baru; istri tidak berhak mendapat tempatkan nafkah dan tempat tinggal.
Keempat, syiqaq, yaitu percekcokan yang terjadi antara suami dan istri. Proses yang seharusnya dilalui dalam syiqaq adalah dengan mengangkat juru damai dari masing-masing pihak dan tetap mendatangkan pihak-pihak yang bersangkutan.
Kelima, nusyuz, yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. Nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Menurut Syafi’i ada perbedaan antar nusyuz suami dan istri. Apabila yang nusyuz suami maka jalan keluar yang ditempuh adalah dengan perdamaian. Sementara apabila yang nusyuz istri maka dapat ditempuh dengan tiga jalan keluar, menasehati, membiarkan sendirian di tempat tidur atau memukul. Namun untuk memukul harus ada syarat yang harus dipenuhi.
Keenam, ila’; menurut Hanafi ila’ adalah sumpah yang disertai nama Allah atau salah satu dari sifat-Nya bahwa suami tidak akan menggauli istrinya selama waktu tertentu. Sedangkan menurut Syafi’i ila’ adalah sumpah suami yang sah talaknya untuk tidak menggauli istri secara mutlak (tidak terbatas waktu) atau lebih dari empat bulan dengan menggunakan kata Allah maupun salah satu nama-Nya. Dasar hukum ila’ antara lain dalah surat al-baqarah ayat 226-227 .
Menurutt Hanafi syarat ila’ adalah 1) wanita yang disumpah masih berstatus istri; 2) suami cakap hukum atau sah talaknya; 3) tidak terikat dengan tempat; 4) lafzh ila’ tidak terkait dengan bagian tubuh istri; dan 5) suami tidak menggauli istrinya selama empat bulan.
Ketuju, li’an, yaitu tuduhan suami terhadap istri bahwa ia telah berzina. Dasar hukum li’an adalah surat al-Nur ayat 6-8.. Menurut Hanafi li’an harus 1) di hadapan hakim; 2) dilakuan stelah diminta oleh hakim; 3) lafazh li’an diucapkan lima kali dan sumpah; 4) lafazh li’an sesuai dengan tuntuna Al-Quran; 5) proses pengucapan dimulai empat kali ucapan sumpah kemudian diikuti dengan melaknat, dan )boleh menunjuk pihak lain.
Kedelapan, zhihzar, yaitu menyerupakan istri dengan wanita yang menjadi mahram suami, seperti ibu, saudara perempuan kandung dan lain-lain, baik menyerupakan secara keseluruhan, maupun hanya sebagian anggota tubuh. Dasar hukum zhiharantara lain surat al-Mijadalah ayat 2 dan surat al-Maidah ayat 89 . Akibat hukum dari zhihar yaitu 1) suami tidak boleh menggauli istri dan 2) istri berhak meminta digauli dan berhak menolak.
Dari kedelapan hal-hal yang dapat mengakibatkan putusnya perceraian di atas, hampir semuanya berada pada kendali suami. Bahkan pada talak, di dalam kitab-kitab fikih tidak terdapat keterangan yang jelas mengenai sebab-sebab yang membolehkan suami untuk men-talak istrinya. Dan dari sekianbanyak sebab putusnya perceraian hanya satu yang berada dalam kendali istri, yaitu khulu’. Meskipun khulu’ menjadi hak istri, itupun masih harus melalui ketentuan yang melibatkan suami. Ketentuan fikih juga tidak mengatur proses perceraian. Perceraian tidak harus dilakukan di depan sidang pengadilan atau di depan hakim.
C. Ketentuan Talak dan Cerai dalam Perundang-Undangan Hukum Perkawinan di Indonesia
Munculnya ide pembaruan Perundang-Undangan Hukum Perkawinan di berbagai Negara muslim dewasa ini tidak terlepas dari banyaknya masukan dari pemikiran kaum intelektual, khususnya yang telah banyak belajar ke dunia Barat. Para intelektual ini menekankan pentingnya pembaruan Perundang-Undangan Hukum Keluarga yang selama ini berpijak pada kitab-kitab fikih abad pertengahan atau kitab klasik agar lebih menekankan pada realitas sosio-kultural masyarakat.
Pada dasarnya pembaruan Hukum Perceraian di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya, seperti Turki, Mesir, Tunisia, Maroko, Syiria, Irak dan lainnya. Namun demikian apa yang pembaruan yang terjadi di Indoensia lebih maju dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Singapura, Brunei Darussalam dan Thailand.
1. Sebab-sebab perceraian
Pasal 38 UU No. 1/1974 menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena, 1) kematian, 2) perceraian, dan 3) atas putusan Pengadilan. Mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan oleh putusan Pengadilan adalah apabila salah satu pihak suami atau istri bepergian dalam waktu yang cukup lama tanpa ada kabar yang jelas. Undang-undang ini tidak menjelaskan berapa lama waktu yang menjadi alasan bagi Pengadilan untuk memutuskan cerai. Undang-undang ini juga tidak menjelaskan berapa jangka waktu untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu. Namun demikian hal ini akan jelas apabila merujuk pada pasal 493 Hukum Perdata.
Di dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 19 disebutkan hal bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
d) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
e) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
KHI tampaknya menggunakan alur UU.No. 1/1974, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan-aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada Bab XVI. Dalam pasal 113 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena: 1) Kematian, 2) Perceraian dan 3) Atas putusan Pengadilan. Pasal selanjutnya, pasal 114 menyebutkan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Di sini kita bisa mencermati bahwa KHI menambahkan talak dalam hal yang mengakibatkan perceraian. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1/tahun 1974 yang tidak mengenal istilah talak, kemudian disebutkan dalam pasal 117 bahwa yang dimaksud talak adalah:
Ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan pasal 131.
Di sini KHI mensyaratkan ikrar talak harus disampaikan di depan sidang Pengadilan Agama. Hal ini senada dengan yang disebutkan dalam pasal 66 ayat (1) UU No. 7/1974.
Adapun yang menjadi alasan perceraian dijelaskan dalam pasal 116 yang menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-trut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e) Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g) Suami melanggar taklik talak;
h) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya keidak rukunan dalam rumah tangga.
Berbagai alasan yang disebutkan pada poin-poin di atas merupakan alasan untuk permohonan cerai talak. Untuk poin terakhir, (k), yaitu permohonan cerai karena terjadi percekcokan terus menerus (syiqaq) dalam pasal 76 UU No. 7/ 1989, ayat 1) apabila gugatan perceraian berdasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat suami istri.” Ayat (2) “pengadilan setelah mendengar saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim.”
Kemudian tentang permohonan cerai yang berdasarkan li’an dijelaskan dalam pasal 87 ayat 1 UU No. 7/ 1989 yang berbunyi “Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau tergugat untuk bersumpah.
Berangkat dari pasal 116 KHI, ada tambahan dua sebab perceraian dibanding dengan pasal 19 PP No. 9 /tahun 1975 yaitu sumi melanggar taklik talak dan murtad. Tambahan ini cukup penting, karena pada Undang-undang yang lain tidak disebutkan. UU No. 1/1974 juga tidak menyinggung masalah murtad sebagai alasan perceraian. Penyebutan murtad sebagai salah satu sebab perceraian merupakan suatu kemajuan. Dengan demikian apabila salah satu pihak suami atau isteri keluar dari agama Islam, maka suami atau istri dapat mengajukan permohonan cerai kepada pengadilan.
Selanjutnya KHI menyebutkan aturan-aturan tentang talak pasal 118 - pasal 123. Dalam KHI disebutkan pembagian talak kepada talak raj’I, talak bainsughra dan talak bain kubra. Yang dimaksud dengan talak raj’I adalah adalah talak ke satu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selam istri dalam masa iddah.. sedangkan talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh dengan akad nikah baru dengan bekas suamimya meskipun dalam iddah. Talak ba’in sughra yang dimaksud di sini adalah talak yang terjadi qabla dukhul, talak dengan tebusan atau khulu’ dan talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. Sedangkan talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk yang ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis masa iddahnya.
2. Proses perceraian
Menurut UU.No. 1/1974 perceraian harus dilakukan depan sidang Pengadilan, UU ini menjelaskannya dalam pasal 39 yang menyatakan:
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.
Di dalam UU No. 7 tahun 1989 pasal 65 tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Sedangkan di dalam KHI pasal 115 dinyatakan:
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
Mengenai tempat pengajuan permohonan cerai talak harus diajukan ke pengadilan, hal ini berdasarkan UUPA No. 7/1989 pasal 66:
a. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
b. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya, meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
c. Dalam hal termohon bertempat tinggal di luar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
d. Dalam hal pemohon dan termohon bertempat tinggal di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Berbeda dengan UUPA No. 7/1989 yang tidak memuat aturan tatacara pelaksanaan talak, KHI mengaturnya dalam pasal 129:
Seorang suami yang akan menjatuhjan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan meminta agara diadakan sidang untuk keperluan itu.
Keterangan di atas menjelaskan bahwa dalam perundang-undangan yang berlaku, telah diatur bagi siapa saja yang hendak menalak istrinya dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Permohonan tersebut dapat berupa lisan maupun tulisan dan harus disertai dengan bukti-bukti. Dan hal yang paling berbeda dengan ketentuan dalam fikih adalah perceraian yang sah adalah perceraian yang dilakukan di depan sidang, hal ini diatur dalam pasal 39 UUP No. 1/1974, UUPA No. 7/1989 dalam KHI pasal 115.
Menyangkut saat mulai terjadinya perceraian karena talak dijelaskan dalam PP No. 9/1975 pasal 17 sebagai berikut:
Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirim kan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
Selanjutnya pasal 18 menyatakan bahwa perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Hal ini senada dengan yang dituangkan dalam KHI pasal 123:
perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan
Mengenai cerai gugat atau khulu’, gugatan perceraian harus diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat, kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Cerai gugat hanya boleh dilakukan apabila disertai dengan alasan-alasan yang tepat, seperti suami meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin istrinya tanpa alasan yang sah atau suami seorang yang murtad dan tidak memenuhi kewajiban kepada istrinya, sedangkan istri khawatir akan melanggar hukum Allah. Dalam kondisi seperti ini istri tidak wajib menggauli suami dengan baik dania berhak untuk khulu’. Penjelasan mengenai khulu’ ini terdapat dalampasal 148 KHI.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang ditetapkan dalam undang-undang hukum keluarga telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan apabila dibanding dengan ketetapan yang ada dalam kitab-kitab fikih. Berkaitan dengan tujuan pembaruan, yaitu untuk mengangkat status sosial wanita juga sudah tampak, ini dapat kita cermati bahwa dalam kitab-kitab fikih tidak menjelaskan alasan-alasan bagi suami untuk menjatuhkan talak. Sedangkan dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khusunya sekarang, untuk menjatuhkan talak harus ada alasan yang dikuatkan dengan saksi-saksi. Permohonan talak dengan alasan apapun harus diajukan ke pengadilan serta harus diucapkan di depan sidang. Terjadinya perceraian baik dengan talak maupun gugat cerai terhitung sejak putusan Pengadilan Agama, putusan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai.
Namun demikian pada umumnya perundang-undangan yang ada belum secara total menjunjung hak-hak dan martabat wanita, karena masih banyak pasal yang bisa gender, seperti dalam masalah iddah. Hal ini dapat dipahami karena pada umunya pembaruan perundang-undangan di Indonesia masih bertumpu pada ketentuan fikih.
D. Ketentuan Talak dan Cerai dalam Perundang-Undangan Hukum Keluarga di Mesir
Pada umumnya muslim Mesir menganut madzhab Syafi’i dan Hanafi. Maka tidak mengherankan apabila ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam hukum keluarga di Mesir banyak mengambil dari kedua madzhab ini, khususnya sebelum terjadi pembaruan.
Dibandingkan Indonesia, Mesir lebih awal melakukan pembaruan Perundang-Undangan Perkawinan. Mesri juga lebih sering dalam melakukan pembaruan ini. Namun demikian bukan berarti perundang-undangan Mesir lebih lengkap dan lebih menjamin keadilan semua pihak.
1. Sebab-sebab perceraian
Undang-Undang Mesir tidak memberikan legitimasi kepada istri untuk menuntut cerai kecuali ada kekerasan atau suami mengalami kelainan atau penyakit seksual seperti impoten. Madzhab Hanafi memang agak kaku (rigid), istri harus menahan diri perceraian, jadi harus menghindari perceraian semaksimal mungkin. Hal ini berbeda dengan tiga madzhab lainnya, terutama madzhab Maliki yang lebih mengedepankan rasio dan liberal.
Pertama kali terjadi pembaruan pada Undang-undang Hukum Keluarga di Mesir adalah pada tahun 1915, pada masa daulah Utsmaniyah. Dalam irada, Sultan menetapkan bahwa istri dapat menuntut cerai apabila suami meninggalkan istrinya. Dalam irada lain ditetapkan bahwa seorang istri dapat meminta cerai dengan alasan bahwa suami mengidap penyakit yang menyebabkan tidak mungkin hidup bersama sebagai suami istri. Kemudian pada tahun 1917 Sultan mengeluarkan ketetapan kembali melalui The Ottaman Law of Family Rights yang menyatakan bahwa diperbolehkannya taklik talak bagi istri dan suami tidak boleh nikah lagi dengan wanita lain. Ketetapan ini merupakan ketetapan pertama yang menjadi acuan pembaruan perundang-undangan hukum keluarga.
Perkembangan selanjutnya adalah ketika Mesir menetapkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1920. dalam Undang-undang ini ditetapkan bahwa pengadilan berhak untuk memutuskan cerai dengan alasan suami tidak mampu memberi nafkah, begitu juga apabila suami mengidap penyakit yang membahayakan. Dalam Undang-undang No. 25 tahun 1929 alasan untuk menuntut talak diperluas. Dalam Undang-undang ini ditetapkan dua hal yang dapat dijadikan Pengadilan untuk menetapkan talak yaitu:
1. Apabilas suami tidak mampu untuk memberikan nafkah;
2. Apabila suami mempunyai penyalkit menular atau membahayakan;
3. Apabila ada perlakuan yang semena-mena dari suami;
4. Apabila suami pergi meninggalkan istri dalam waktu yang cukup lama.
Menurut Khoiruddin Nasution, hal ini berarti bahwa Undang-undang tahun 1920 memberdayakan pengadilan dan memperluas definisi penyakit membahayakan, sedangkan Undang-undang tahun 1929 memberdayakan pengadilan.
Pasal 2 UU No. 25 tahun 1929 disebutkan bahwa talak yang diucapkan sebagai sumpah atau ancaman itu selayaknya dianggap mempunyai akibat hukum apabila suami yang bersangkutan benar-benar menghendakinya. Dan di dalam pasal 3 disebutkan bahwa istri berhak mengajukan cerai apabila dirasa jika rumah tangga tetap diteruskan akan membahayakan istri. Dan apabila terjadi pertengkaran yang tidak mungkin ada perdamaian, maka dalam keadaan seperti ini pengadilan berhak menetapkan perceraian.
Dalam hal suami meninggalkan istri, UU tahun 1929 menyatakan bahwa apabila suami meningglkan istri selama satu tahun atau lebih tanpa ada alasan yang jelas dan tanpa keterangan, maka istri berhak menuntut cerai. Apabila ternyata suami kembali, sebelum terjadi perceraian, maka ia harus meyakinkan istri untuk meneruskan rumah tangga dan apabila gagal maka pengadilan berhak menetapkan perceraian.
Pada bulan Juli 1979 Mesir menetapkan Undang-undang No. 44 yang di dalamnya menyatakan bahwa. Amandemen ini berisi lebih jauh mengenai amandemen hukum keluarga. Di antara isinya adalah istri harus diberi tahu ketika suami akan melangsungkan poligami, atau poligami harus mendapatkan izin dari istri, dan apabila istri tidak mengizinkan maka ia berhak menuntut cerai. Apabila suami menyembunyikan fakta dari istri kedua bahwa dia telah beristri maka istri kedua berhak menuntut cerai.
2. Proses perceraian
Mesir selalu berusaha memperbarui undang-undang hukum keluarga untuk mengangkat status wanita. Namun demikian tidak selalu berhasil. Pada tahun 1943 dan 1945 menteri Sosial menyiapkan draf yang di dalamnya menyebutkan bahwa seorang suami hanya boleh menceraikan istrinya setelah mendapat izin dari pengadilan dan petugas tidak boleh mencatatkan perceraian yang tidak diizinkan hakim. Pasal 2 menyebutkan bahwa hakim hanya memberikan izin perceraian kalau memang usaha perdamaian tidak berhasil. Orang yang melanggar aturan ini dapat dihukum dengan hukuman kurungan atau denda, meskipun perceraian tetap sah. Namun demikian draf ini ditolak, Karena ditentang oleh sejumlah ulama.
Perkembangan selanjutnya yaitu pada tahun 1985. Dalam pasal 5 Undang-undang No. 100 tahun 1985 dinyatakan bahwa perceraian harus dicatatkan dalam sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh notaris yang berwenang, 30 hari setelah terjadi perceraian. Keberadaan istri harus diperhatikan kalau hadir pada waktu membuat sertifikat. Kalau tidak hadir, istri harus dikirimkan salinan sertifikat dan pihak-pihak lain yang dianggap penting sesuai dengan prosedur yang ada, dan harus ditetapkan Menteri Kehakiman. Akibat perceraian terhitung dari tanggal sertifikat tersebut.
Pada Januari 2000, pemerintah Mesir mengamandemen undang-undang, apabila terrjadi ketidakcocokan maka istri berhak menggugat cerai (khulu’). Jadi istri dapat menuntut cerai tanpa harus menunggu keputusan pengadilan yang dibuat berdasarkan bukti-bukti substantif dan keterangan pendukung berkaitan perlakuan tidak baik oleh suami. Sebaliknya, permohonan cerai berdasarkan undang-undang ini menetapkan bahwa istri sebaiknya mengembalikan mahar.
E. Analisis Komparatif
Dalam sub bab ini penulis tidak menganalisis ketentuan talak dan cerai dalam kitab-kitab fikih konvensional, karena pembahasan ketentuan dalam kitab-kitab tersebut hanya sebagai pijakan pembahasan perkembangan hukum talak dan cerai dalam perundang-undangan di Indonesia dan Mesir. Dalam sub bab ini hanya aka menganalisa ketentuan yang berlaku di dua negara di atas. Namun demikian, pad dasarnya di sinilah letak persamaanantara Perundang-undangan Perkawinan Indonesia dan Mesir, yaitu keduanya berangkat dan berpijak pada kitab-kitab fikih kovensional. Bahkan madzhab mayoritas masyarakat kedua negara ini sama, yaitu madzhab Syafi’i.
Mesir lebih awal melakukan reformasi di bidang hukum keluarga, khususnya mengenai cerai dan talak. Sama dengan Indonesia, tujuan pembaruan hukum keluarga di Mesir juga untuk meningkatkan status wanita. Dengan adanya pembaruan perundang-undangan cerai dan talak ini maka suami tidak dapat menjatuhkan talak secara semena-mena terhadap istri. Karena suami harus dapat mengajukan bukti-bukti dan saksi tentang alasan permohonan talaknya. Selain itu talak harus melalui proses sertifikasi. Berkaitan dengan gugat cerai, istri juga diberi hak yang lebih luas, yaitu dapat mengajukan gugatan khulu’. Begitu juga apabila suami pergi meninggalkan istri tanpa alasan yang jelas, suami mengidap penyakit atau tidak mampu memberikan nafkah maka ia dapat mengajukan gugatan cerai ke pengadilan.
1. Sebab-sebab perceraian
Dari aspek sebab-sebab perceraian perundanga-undangan perkawinan di Indonesia lebih luas, setidaknya ada delapan poin yang menjadi penyebab perceraian dalam perspektif Perundang-undagan Perkawinan di Indonesia. Perundang-undangan Mesir hanya menyebutkan enam poin yang sebagaiman dijelaskan di atas.
Selain itu, ketentuan talak dan cerai dalam Perundang-undangan Indonesia mencakup hal-hal yang bersangkutan dengan isteri dan juga suami. Sehingga penyebutan dalam pasal-pasal dengan menggunakan kata “salah satu” (salah satu suami atau istri). Hal ini berbeda dengan pasal-pasal dalam perundang-undangan perkawinan di Mesir yang menggunakan kata “apabila suami”. Jadi yang menjadi obyek pembahasan penyebab perceraian hanya suami. Hal ini seolah-olah yang menjadi penyebab perceraian hanya bisa terjadi pada diri susmi. Padahal, tidak demikian, baik suami maupun istri bisa saja melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan terjaidnya perceraian.
Perbuatan zina, perlakuan yang kejam, dipenjarakan selama lima tahun atau lebih, kemurtadan salah satu pihak suami atau istri, menurut Perundang-undangan Hukum Perkawinan di Indonesia menjadi penyebab terjadinya perceraian. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang berlaku di Mesir yang tidak menjelaskan hal-hal tersebut. Namun demikian, dalam ketentuan yang berlaku di Mesir menyebutkan bahwa apabila suami tidak dapat memberikan nafkah maka hal ini bisa menjadi penyebab perceraian. Dan tentunya dengan pengajuan gugatan cerai oleh pihak istri.
Selantnya, Perundang-Undangan Perkawinan Mesir tidak menjelaskan tentang kematian sebagai penyebab putusnya tali pernikahan. Hal ini berbeda dengan Perundangang-undangan di Indonesia yang menyebutkan kematian sebagai penyebab perceraian. Namun menurut penulis kematian tidak cukup urgen untuk disebutkan dalam pasal-pasal sebagai penyebab perceraian, karena apabila salah satu pihak meninggal maka secara otomatis perkawian berakhir.
Dalam hal salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain - kalau dalam Perundang-Undangan Mesir disebutkan apabila suami pergi meninggalkan pihak lain- dari segi waktu, tenggat waktu yang disebutkan dalam Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia lebih lama, yaitu selama dua (2) tahun. Hal ini berbeda dengan yang berlaku di Mesir yanghanya memberikan waktu satu tahun. Menurut penulis, waktu satu tahun terlalu cepat atau terlalu singkat untuk dijadikan penyebab putusnya perkawinan. Seharusnya ditinjau dari kemampuan masing-masing pihak untuk tidak mendapatkan pelayanan, kalau pada istri, apakah dia mampu bertahan ketika selama satu tahun tidak mendapatkan nafkah dari suami. Kalau memang masih dapat bertahan mengapa ditinggalkan selama satu tahun menjadi penyebab perceraian. Begitu juga waktu dua tahun sebagaimana yang disebutkan dalam perundang-undangan atau ketentuan talak dan cerai di Indonesia. Kalau ditinggalkan selama dua tahun masih bisa bertahan,megapa harus terjadi perceraian.
Yang menarik dari perundang-undangan perkawianan Mesir adalah dalam istri yang tidak setuju dengan poligami suami, maka istri pertama dapat menggugat cerai. Begitu juga apabila suami tidak berterus terang tentang statusnya dengan istri pertama, maka istri kedua juga bisa menggugat cerai. Hal ini tidak disinggung sama sekali alam Perundang-undangan Perkawinan di Indoneisia. Hanya saja apabila suami akan melaksanakan poligami harus mendapatkan izin dari istri pertama dengan mengajukan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Proses perceraian
Dalam hal proses perceraian, ada sedikit perbedaan antara ketentuan yang berlaku diIndonesia dan Mesir. Ketentuan yang berlaku di Indonesia menyatakan bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan dan harus disertai dengan bukti-bukti. Sedangkan ketentuan yang berlaku di Mesir tidak mensyaratkan pengajuan permohonan, namun hanya mensyaratkan pencatatan tentang terjadinya perceraian. Selain itu, pengadilan menuntut adanya bukti-bukti yang menjadi alasan dilaksanakannya ikrar talak atau cerai. Sedangkan di Mesir pembuktian ini tidak disinggung.
Di samping hal di atas, Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia hanya mengakui perceraian itu sah apabila dilakukan di depan sidang di Pengadilan. Sedangkan ketentuan Mesir tidak secara jelas menssyaratkan itu. Akan tetapu hanya menyatakan bahwa perceraian harus didaftarkan untuk mendapatkan sertifikat cerai. Sertifikat tersebut harus ditandatangani oleh notaris yang berwenang, 30 hari setelah terjadi perceraian.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa dalam Perundang-undangan perkawinan, Pengadilan gama mempunyai otoritas yang cukup kuat dalam menentukan putus tidaknya suatu perkawinan. UUP No. 1 /1974, UUPA No. 7/1989, PP No. 9/1975 dan KHI menyatakanbahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Menurut Alyasa Abu Bakar, aturan-aturan perceraian yang terdapat dalam Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia seperti UUP dan UUPA berikut penjelasannya masih mengandung beberapa persoalan mendasar. Setidaknya ada empat kesimpulan yangia kemukakan setelah mencermati perundang-undangan perkawinan diIndonesia, Pertama, perceraian dilakukan oleh para pihak sendiri, dalam hal ini adalah suami. Pengadilan hanya menyaksikan dan memberikan keterangan tentang terjadinya perceraian. Kedua, perceraian dan sidang pengadilan harus dilakukan dalam rangka untuk itu, apabila penyaksian pengadilan di luar sidang maka perceraian tidak sah. Ketiga, secara implisit dapat dikatakan bahwa perceraian tersebut baru boleh dilakukan apabila telah mendapat izin dari Pengadilan. Keempat, perceraian dianggap terjadi sejak talak diucapkan suami di depan sidang pengadilan tersebut.
Ketentuan Indonesia menyatakan bahwa sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian, maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirim kan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian. Jadi, pihak yang bersangkutan, baik suami maupun istri tidak mendapatkan sertifikat atau akte cerai, tapi hanya mendapat salinan Putusan Pengadilan tentang terjadinya talak perceraian. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang berlaku di Mesir yang memberikan sertifikat Cerai kepada masing-masing pihak.
Hal lain yang membedakan antara ketentuan indonesia dan Mesir adalah tentang mulai dihitungnya atau berlakunya ketetapan perceraian. Dalam ketentuan Indonesia (PP No. 9/1975 pasal 17 dan KHI pasal 123) dinyatakan bahwa “Perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.” Hal ini berbeda dengan ketentuan Mesir (Undang-undang No. 100 tahun 1985 pasal 5) yang di antara isinya menyebutkan bahwa. Akibat perceraian terhitung dari tanggal sertifikat tersebut.
F. Kesimpulan
Ketetapan mengenai hukum keluarga, khusunya yang berkaitan dengan talak dan cerai yang terdapat dalam kitab-kitab fikih pada umumnya bias gender. Hal ini dapat dipahami, karena fikih disajikan tidak mengenal perbandingan dengan kebudayan-kebudayaan lain. Fikih berkembang secara kasuistik tanpa rencana dan sistem dan tidak mempunyai teori mengenai hukum, politik atau ekonomi. Selain fikih kurang memberikan kebebasan kepada fuqaha,karena situasi politik sepanjang sejarah Islam.
Pada umumnya ulama madzhab menyetujui hak talak mutlak suami, sementara istri hanya mempunyai hak khulu’. Dengan demikian suami secara mutlak dapat menceraikan istrinya, sementara kalau istri ingin cerai tetap harus melibatkan suami.
Pembaruan Perundang-Undangan Hukum keluarga, dalam hal ini yang berkaitan dengan talak dan cerai, baik di Indonesia maupun di Mesir masih bertumpu pada ketetapan yang ada dalam kitab-kitab fikih, sehingga masih perlu terus dikembangkan sampai Undang-undang tersebut benar-benar menjunjung hak-hak dan statusnya. Namun demikian, sudah banyak kemajuan dalam hal talak dan cerai, baik di Indonesia maupun di Mesir Harus melibatkan pengadilan. Selain itu semua proses perceraian harus di bukti bukti pembenar dan perceraian dihitung sejak dikeluarkannya surat cerai, kalau di mesir sertifikat cerai.
Ada beberapa perbedaan dan persamaan antara Perundang-Undangan Hukum Perkawinan, khususnya mengenai talak dan cerai yang berlaku Mesir di Mesir dan di Indoensia, sebagaimana dijelaskan di atas. Namun demikian dalam pengamatan penulis sisi perbedaan keduanya lebih banyak dari pada persamaannya, baik tentang sebab-sebab perceraian maupun tentang prosesnya. Sebab-sebab yang disebutkan dalam perundang-Undangan Indonesia lebih lengkap dan melibatkan suami istri sebagai obyek pembahasannya. Hal ini berbeda dengan Perundang-undangan di Mesir kurang lengkap dan cenderung lebih banyak membahas hal-hal yang berkaitan dengan suami sebagai penyebab perceraian. Begitu juga dalam proses perceraian. Dalam perundang-undangan Indonesia, Pengadilan mempunyai peran yang cukup dominan dalam menentukan perceraian. Sedangkan di Mesir tidak demikian.
Sebagai penutup, menurut hemat penulis, dalam konteks era modern sekarang ini Perundang-Undangan Perkawinan tentang talak dan cerai Indonesia lebih relevan dibandingkan dengan Mesir. Karena dalam ketentuan di Indonesia, Pengadilan mempunyai peran yang cukup signifikan demi adanya kepastian hukum. Kehadiran pengadilan dalam proses perceraian sebagai penengah dan pengawas agar tidak melenceng dari ketentuan dan menghindari kesewang-wenangan terhadap salah satu pihak oleh pihak yang lain. Selain itu agar hak masing-masing pihak lebih terjamin.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1995.
al-Syafi’i, al-Umm, Beirut: Dar al-kutub al-‘ilmiyyah, 2002.
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Uu No. 1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2004.
Atho’ Mudhar dan Khoiruddin Nasution (editor), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Bhader Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, Bandung: Mandar Maju, 1997.
Cik Hasan Bisri, [penyunting], Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999.
Dawoud El Alami dan Doreen Hincheliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of the arab World, London, the Hague, Boston: Kluwer Law International, 1996.
http://kompas.com/kompas-cetak/0608/16/nasional/2887656.htm accesed 16.30:3/12/2006
J.N.D. Anderson, Recent Development in Syaria Law V, New York: New York University Press, 1959.
John, L. Esposito, Women in Muslim Family law, Syracuse University Press, 1982.
Khoiruddin Nasution, Status Waita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: Indonesian-Netherlands Coorperation in Islamic Studies [INIS], 2002.
Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indoensia, Bandung; Alumni, 1982.
Syamsuddin al-Sarakhsi, al-Mabsuth, Beirut: Dar al-Ma’rufah, 1989.
Tahir Mahmood, Family Reform in the Muslim World, Bombay: NM. TRIPATI PVT. LTD, 1972.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Darul Fikr al-Mu’ashirah, 2002.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar